• Tidak ada hasil yang ditemukan

Macam-macam Hak Atas Tanah Dalam Hukum Pertanahan

BAB IV LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DI TEMPUH

A. Macam-macam Hak Atas Tanah Dalam Hukum Pertanahan

Adapun macam-macam hak atas tanah sebagaimana termuat dalam Pasal 16

juncto Pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bidang, antara lain adalah :

1. Hak atas tanah yang bersifat tetap

Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-undang yang baru. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan.

2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang

Hak atas tanah ini akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang- undang. Hak atas tanah ini macamnya belum ada.

3. Hak atas tanah yang bersifat sementara

Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan

dihapuskan dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feodal, dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam-macam hak atas tanah ini adalah Hak Gadai (Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

Dalam hal ini, instansi Pemerintahan yang diberikan kewenangan mengurusi administrasi pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Semula Badan Pertanahan Nasional (BPN) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional, kemudian ditambahkan

dengan Keputusan Presiden Nomor 154 Tahun 1999, diubah dengan Keputusan

Presiden Nomor 95 Tahun 2000, dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006, yang dimaksud dengan Badan Pertanahan Nasional adalah Lembaga Pemerintah Non- Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan Pertanahan Nasional dipimpin oleh Kepala, dan berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 ini ditetapkan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas Pemerintah dibidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. Dimana selanjutnya dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi:

a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan. b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan.

c. Koordinasi kebijakan, perencanaan, dan program dibidang pertanahan.

d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum dibidang pertanahan.

e. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survey, pengukuran dan pemetaan di bidang

f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum. g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah.

h. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-

wilayah khusus.

i. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/ daerah bekerja sama dengan departemen keuangan.

j. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah.

k. Kerja sama dengan lembaga-lembaga lain.

l. Penyelenggara dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan, dan program di bidang

pertanahan.

m. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan.

n. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara, dan konflik di bidang

pertanahan.

o. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan.

p. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan.

q. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang

pertanahan.

r. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan.

s. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang

t. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang dan/ atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

u. Fungsi lain dibidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Sejalan dengan pokok pembahasan dalam Bab ini, adapun macam-macam hak atas tanah sebagaimana termaktub dalam kelompok hak atas tanah yang bersifat tetap,dapat diuraikansecara berturut sebagai berikut:

1. Hak Milik

Hak Milik (HM) adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6,dan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.90

Dalam penjelasan Pasal 20 UUPA dinyatakan bahwa dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakan dengan hak-hak lainnya. Hak Milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak, tak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu, sifat yang demikian akan bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Kata-kata terkuat dan terpenuh itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak

90Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar

pakai, dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan, bahwa di antara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak miliklah yang terkuat.

Turun temurun memiliki artibahwa Hak Milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dan dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.

Subyek yang dapat mempunyai Hak Milik harus sesuai dengan prinsip nasionalitas,sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA bahwa hanya warga negara Indonesia yang boleh mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa. Dimana selanjutnya dalam Pasal 21 UUPA disebutkan:

1) “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.

3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak

milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan

kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatus kepada negara,

dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

4) Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonsianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan bagiannya berlaku ketentuan ayat 3 pasal ini.”

Karena hak milik merupakan hubungan sepenuhnya antara pemilik dengan hak atas tanahnya, maka prinsip nasionalitas tersebut berlaku secara utuh. Oleh sebab itu hak yang dapat diberikan kepada orang asing hanyalah hak pakai, bahkan terhadap badan-badan hukum, tidak semua badan hukum yang boleh mempunyai hak milik, melainkan hanya badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah saja. Dalam Penjelasan Umum UUPA II angka (5) disebutkan bahwa:

“ Sesuai dengan asas kebangsaan tersebut dalam Pasal 1 maka menurut Pasal 9 juncto Pasal 21 ayat (1) hanya warga negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat 2). Orang- orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (Pasal 21 ayat 2). Adapun pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan- badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik, tapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada jaminan- jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai menurut Pasal 28, 35 dan 41). Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (Pasal 17)”.

Namun terhadap hak-hak atas tanah untuk keperluan suci dan sosial, pada Pasal 49 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa Hak Milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.

Selain dari keperluan-keperluan yang berhubungan dengan keagamaan dan sosial kepada badan-badan hukum yang ada hubungannya dengan perekonomian juga dapat diberikan hak milik sebagaimana disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, yaitu pada Pasal 1 yang menyatakan bahwa Badan-badan hukum yang disebutkan dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah, masing-masing yang disebutkan pada pasal-pasal 2, 3 dan 4 peraturan ini a. Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut Bank Negara)

b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan

Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 139)

c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah

mendengar menteri agama.

d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah

mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.

Sebelumnya pelimpahan kewenangan keputusan pemberian hak atas tanah diatur dalam Peraturan menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, kemudian pelimpahan kewenangan keputusan pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi setelah di terbitkannya Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu, pada tanggal 24 Pebruari 2011 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu, pada tanggal 12 Juli 2012.

Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011, Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 20.000 m2(dua puluh ribu meter persegi), dan pemberian Hak Milik atas tanah non

pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2(dua ribu meter persegi).

Sedangkan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai pemberian Hak Milik untuk orang perorangan atas tanah

pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 m2 (dua puluh ribu meter persegi),

pemberian Hak Milik untuk badan hukum atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 20.000 m2(dua puluh ribu meter persegi), dan pemberian Hak Milik atas

tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 2.000 m2(dua ribu meter persegi).91

2. Hak Guna Usaha

91Pasal 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.

Hak Guna Usaha (HGU) ditentukan secara umum didalam Pasal 16 ayat (1) huruf b UUPA. Secara khusus diatur didalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Guna Usaha diatur dengan peraturan perundangan. Peraturan yang dimaksud disini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Dimana didalam peraturan pemerintah ini secara khusus diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 18.

Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna untuk perusahaan pertanian, perikanan, peternakan. Selanjut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menambahkan guna perusahaan perkebunan.

Subjek yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha menurut Pasal 30 UUPA juncto Pasal 2 Peratuan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 adalah:

a. Warga Negara Indonesia

b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia.

Bagi pemegang Hak Guna Usaha yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Guna Usaha, maka dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika hal ini dilakukan, maka Hak Guna Usahanya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.

Asal tanah Hak Guna Usaha adalah tanah negara. Jika asal Hak Guna Usaha berupa tanah hak, maka tanah tersebut harus dilakukan pelepasan, atau penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang Hak Guna Usaha, selanjutnya mengajukan permohonan pemberian Hak Guna Usaha kepada Badan Pertanahan Nasional. Jika tanah berasal dari kawasan hutan, maka tanah tersebut harus dikeluarkan statusnya sebagai kawasan hutan.92

Hak Guna Usaha terjadi dengan penetapan pemerintah. Hak Guna Usaha ini terjadi melalui permohonan pemberian Hak Guna Usaha oleh pemohon kepada Badan Pertanahan Nasional. Apabila semua persyaratan yang ditentukan dalam permohonan tersebut dipenuhi, maka Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). Berdasarkan Pasal 5 Peratuan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996luas minimum tanah yang dapat diberikan Hak Guna Usaha adalah 5 ha (lima hektar) dan luas maksimum tanah yang dapat diberikan Hak Guna Usaha kepada perorangan adalah 25 ha (dua puluh lima hektar).

Berdasarkan Pasal 7 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional berwenang menerbitkan SKPH atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000.000 m2

(dua juta meter persegi).

Jangka waktu Hak Guna Usaha mempunyai jangka waktu pertama kalinya

paling lama 35 Tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25

92Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

tahun.93Selanjutnya Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengatur

jangka waktu Hak Guna Usaha adalah pertama kalinya paling lama 35 Tahun,

diperpanjang paling lama 25 Tahun dan dapat diperbaharui paling lama 35 Tahun. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaruan Hak Guna Usaha diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut.94

Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemegang hak untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaruan Hak Guna Usaha adalah:95

1. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan

tujuan pemberian hak tersebut.

2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.

3. Pemegang hak masih memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang hak.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 34 UUPA, dinyatakan bahwa Hak Guna Usaha hapus oleh karena beberapa sebab, antara lain yaitu:

a. Jangka waktu berakhir

b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat tidak dipenuhi

c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir

d. Dicabut untuk kepentingan umum

e. Diterlantarkan

93Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria.

94Pasal 10Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.

95Pasal 9Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna

f. Tanahnya musnah

g. Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) UUPA

3. Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Hak Guna Bangunan terdiri dari beberapa jenis, antara lain yaitu Hak Guna Bangunan atas tanah negara,Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan, dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik.

Hak Guna Bangunan atas tanah negara diberikan dengan keputusan pemberian oleh Badan Pertanahan Nasional atau pejabat yang ditunjuk. Berdasarkan Pasal 35

ayat (1) UUPAjuncto Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996,jangka

waktu yang diberikan pemerintah mengenai Hak Guna Bangunan adalah selama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan kemudian dapat diperbaharui30 tahun lagi sehingga keseluruhannya menjadi 80 tahun. Permohonan perpanjangan atau pembaruan hak harus diajukan selambat- lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka Hak Guna Bangunan tersebut.96

Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011, Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perorangan atas tanah yang

luasnya tidak lebih dari 1.000 m2 (seribu meter persegi), pemberian Hak Guna

96Pasal 27ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang

Bangunan untuk badan hukum atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 5.000 m2(lima

ribu meter persegi), dan pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan. Sedangkan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perorangan atas tanah yang luasnya lebih dari 1.000 m2 (seribu meter persegi) dan tidak lebih dari

5.000 m2(lima ribu meter persegi), serta pemberian Hak Guna Bangunan untuk badan

hukum atas tanah yang luasnya lebih dari 5.000 m2 (lima ribu meter persegi) dan

tidak lebih dari 75.000 m2(tujuh puluh lima ribu meter persegi).97

Berdasarkan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 ditentukan bahwa Hak Guna Bangunan atas permohonan pemegang hak dapat diperpanjang dan diperbahurui jika memenuhi syarat:

a. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan

tujuan pemberian hak tersebut.

b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi.

c. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang

bersangkutan.

Terhadap Hak Guna Bangunan berada diatas tanah Hak Milik, maka Hak Guna Bangunan tersebut terjadi dengan pemberian hak oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)dengan jangka waktu paling lama 30 tahun, namun atas kesepakatan antara pemegang Hak Guna

97Pasal 8 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.

Bangunan dengan pemegang Hak Milik, Hak Guna Bangunan tersebut dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan.98

Dalam hal ini yang menjadi Obyek hak adalah tanah untuk mendirikan bangunan, sedangkan subyek hak adalah perorangan warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia. Hak Guna Bangunan ini akan hapus apabila jangka waktu berakhir, dihentikan sebelum waktunya berakhir karena suatu persyaratan tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir, dicabut untuk kepentingan umum, diterlantarkan, dan tanahnya musnah.99

4. Hak Pakai

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya.

Perkataan “menggunakan” dalam Hak Pakai menunjukan pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan “memungut hasil” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertianbahwa Hak

98Pasal 29ayat (1 dan 2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.

99Pasal 35 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak

Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya untuk pertanian, peternakan, dan perkebunan.

Subyek Hak Pakai adalah perorangan warga negara Indonesia dan warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum Indonesia, dan badan hukum asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia, perwakilan asing serta badan-badan pemerintah.Hak Pakai dapat diberikan atas tanah negara, tanah Hak Pengelolaan oleh pemerintah dan atas tanah Hak Milik oleh pemegang Hak Milik.

Jangka waktu hak pakai atas tanah negara dan tanah pengelolaan paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang maksimum selama 20 tahun. Hak Pakai juga dapat diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, yaitu selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.100Hak Pakai yang diberikan untuk jangka

waktu yang tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dapat diberikan kepada:101

a. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah

b. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional;

c. Badan keagamaan dan badan sosial.

Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011, Kepala Kantor Pertanahan memberi keputusan mengenai pemberian Hak Pakaiuntuk orang perorangan atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 20.000 m2(dua puluh ribu meter persegi), badan hukum atas

100

Pasal 45 ayat (1)Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.

101Pasal 45 ayat (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang

tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 20.000 m2 (dua puluh ribu meter

persegi), orang perorangan atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2(dua ribu meter persegi), dan badan hukum atas tanah non pertanian yang

luasnya tidak lebih dari 2.000 m2(dua ribu meter persegi).

Sedangkan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai pemberian Hak Pakai untukorang perorangan atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 m2(dua puluh ribu meter persegi), badan

hukum atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 m2(dua puluh ribu meter

persegi), orang perorangan atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 2.000 m2

(dua ribu meter persegi), badan hukum atas tanah non pertanian yang luasnya lebih

Dokumen terkait