• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanah Timbul Dalam Persepsi Hukum Tanah Nasional

BAB III STATUS PENGUASAN TANAH TIMBUL D

B. Pengaturan Hukum Mengenai Status Tanah Timbul

2. Tanah Timbul Dalam Persepsi Hukum Tanah Nasional

Pasal 2 UUPA mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh

negara. Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi yang disebut Tanah,76

termasuk pada tubuh bumi dibawahnya serta yang berada diatas air. Sedangkan pengertian air adalah perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia, dan ruang angkasa adalah ruang diatas bumi dan diatas perairan.77

Secara eksplisit (tegas) UUPA tidak ada menyebutkan tentang keberadaan tanah timbul, tetapi secara implisit (tidak tegas) dari luas ruang lingkup UUPA yang meliputi bumi, air, dan ruang angkasa sebagaimana telah diuraikan diatas, dapatlah diketahui bahwa tanah timbul adalah merupakan “permukaan bumi” yang tidak terlepas dari apa yang dikehendaki oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Penggunaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tersebut menunjukkan bahwa tujuan pemanfaatannya semata-mata untuk mensejahterakan rakyat sekaligus dengan memperhatikan aspek keadilan yang ditunjukan dari kata “sebesar-besarnya”, sehingga hasil dari penggunaan dan

76Penjelasan Pasal 1, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria, “Dalam Undang-Undang Pokok Agraria diadakan perbedaan antara pengertian bumi dan tanah sebagai dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (1). Yang dimaksud dengan “tanah” ialah permukaan bumi”.

77Pasal 1 ayat (4), (5) dan (6)Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

pemanfaatan bumi, air dan dan kekayaan alam tersebut bukan hanya untuk perorangan atau kelompok tertentu, melainkan untuk rakyat banyak.

Sejalan dengan itu, pada tanggal 6 Mei 1999 Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional mempertegas status tanah timbul dengan mengeluarkanSurat Edaran Nomor 410-1293 tentang Penertiban Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi. Dalam angka 3 Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1293 tersebut,dinyatakan bahwa:

“Tanah-tanah timbul secara alami seperti delta, tanah pantai, tepi danau/situ, endapan tepi sungai, pulau timbul dan tanah timbul secara alami lainnya dinyatakan sebagai tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Selanjutnya penguasaan/pe-milikan serta penggunaannya diatur oleh Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional sesuai dengan peraturan

perundangan yang berlaku.”

Kemudian ketentuan mengenai status tanah timbul diatas dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tersebut dinyatakan bahwa “Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah peraian pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara.”

Dari uraian pasal diatas, maka berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UUPA, hak menguasai dari negara tersebut memberi wewenangkepada negara untuk:

d. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

e. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

f. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukumyang mengenai bumi,air dan ruang angkasa.

Sehingga dengan demikian dapat diketahui bahwa secara Hukum Tanah Nasional, tanah timbul adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, oleh sebab itu setiap orang yang akan menguasai tanah timbul haruslah memperoleh izin terlebih dahulu dari aparat pemerintah yang berwenang untuk itu yaitu Badan Pertanahan Nasional.

3. Tanah Timbul Dalam Persepsi Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai

Sebagaimana diketahui dan telah dijelaskan pada Bab terdahulu bahwa keberadaan tanah timbul hanya dapat ditemui pada tempat tertentu, yaitu di tepi sungai, pantai, danau, maupun di tengah laut. Oleh sebab itu, tentu harus diperhatikan juga aturan hukum yang termuat dalam peraturan sektoral terkait keberadaan tanah timbul tersebut.

Adapun peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan tanah timbul ini adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan yang telah dicabut dan digantikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentangSumber Daya Air, beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, baik peraturan pemerintah, keputusan Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan lainnya.

Tetapi dalam tesis ini, agar tidak terjadi perluasan makna dan tetap fokus pada penelitian yang dilakukan, maka disini hanya akan dibahas tentang peraturan yang mengatur tentang sungai. Hal inipun tentunya bukan membahas peraturan

tentang sungai dengan cakupan luas, melainkan hanya membahas peraturan sungai yang ada kaitannya dengan tanah timbul(aanslibbing).

Sebagai sumber daya air, sungai diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44), yang kemudian terakhir ini dicabut dan digantikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 74), namun peraturan pelaksanaan tentang sungai yang lama masih dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang baru ini. Salah satu peraturan pelaksanaan tentang sungai yang masih berlaku adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai Dan Bekas Sungai.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai dijelaskan bahwa Sungai adalah “alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupajaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi oleh garis sempadan yang merupakan garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang di tetapkan sebagai batas pelindung sungai.78

Sungai terdiri dari palung sungai dan sempadan sungai yangmembentuk ruang sungai.Palung sungai sebagaimana dimaksud berfungsi sebagai ruang wadah air mengalir dan sebagai tempat berlangsungnya ekosistem sungai, sedangkan sempadam

78

Pasal 1 angka 1 dan 9Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.

sungai berfungsi untuk sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu.79

Dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun

2011dinyatakan bahwa garis sempadan sungai di tentukan pada sungai : a. Tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan;

b. Tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan;

c. Bertanggul di dalam kawasan perkotaan;

d. Bertanggul di luar kawasan perkotaan.

Khusus sungai tidak bertanggul di kawasan perkotaan, penentuan garis sempadannya adalah:80

1. Paling sedikit 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai, sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter. 2. Paling sedikit 15 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai, sepanjang alur

sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 3 meter sampai dengan 20 meter. 3. Paling sedikit 30 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai, sepanjang alur

sungai, dalam hal kedalaman sungai lebih dari 20 meter.

Sedangkan untuk kawasan diluar perkotaan yang tidak bertanggul,penentuan garis sempadan di bedakan menjadi 2 bagian yaitu sebagai berikut :81

79Pasal 5 angka (1), (2), (4), dan (5)Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.

80

Pasal 9Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.

1. Untuk sungai besar, dengan luas DAS lebih besar dari 500 km2(lima ratus kilo

meter persegi) ditentukan paling sedikit berjarak 100 meter dari tepi kiri dan dan kanan.

2. Untuk sungai kecil, dengan luas DAS lebih besar dari 500 km2(lima ratus kilo

meter persegi) ditentukan paling sedikit berjarak 50 meter dari tepi kiri dan dan kanan.

Gambar 4 : Sungai Tidak Bertanggul

Sumber : Data primer yang telah diolah berdasarkan wawancara dengan aparat Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Indragiri Hulu, pada tanggal 7 Desember 2011

Kemudian, untuk sungai bertanggul, adapun penentuan garis sempadannya adalah sebagai berikut:82

1. Untuk sungai bertanggul di kawasan perkotaan, garis sempadan ditentukan paling sedikit berjarak 3 meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.

81Pasal 10Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.

82

Pasal 11 dan Pasal 12Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.

2. Untuk sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan, garis sempadan ditentukan paling sedikit berjarak 5 meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.

Gambar5 : Sungai Bertanggul

Sumber : Data primer yang telah diolah berdasarkan wawancara dengan aparat Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Indragiri Hulu, pada tanggal 7 Desember 2011

Dari uraian dan penjelasan diatas, maka jelaslah kiranya diketahui, bagian- bagian yang merupakan ruang sungai, meliputi tanah pada palung sungai dan tanah di sempadan sungai. Dalam tesis ini pengkajian yang dilakukan adalah tanah timbul (aanslibbing) sebagaimana terlihat pada “Gambar4” bahwa pertambahan tanah dan/atau kemunculan tanah, akibat terjadinya perlekatan (natrekking) pada bagian sempadan sungai. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa tanah timbul adalah tanah bekas sungai yang merupakan bagian dari sempadan sungai.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011, Bekas Sungai

dikuasai Negara, dimana lokasi bekas sungai dapat digunakan untuk membangun prasaranan sumber daya air, sebagai lahan pengganti bagi pemilik tanah yang tanahnya terkena alur sungai baru, kawasan budidaya/atau kawasan lindung sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Dalam hal ini,apabila sungai sebagaimana dimaksud tercatat sebagai barang milik negara/daerah, penggunaan bekas sungai

dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara/daerah, yang selanjutnya ketentuan mengenai pengaturan bekas sungai sebagaimana dimaksud diatur dengan Peraturan Menteri.83

Kemudian dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tersebut dinyatakan bahwa:84

1. Setiap orang yang akan melakukan kegiatan pada ruang sungai wajib memperoleh izin.

2. Kegiatan sebagaimana dimaksud diatas meliputi:

a. Pelaksanaan konstruksi yang mengubah aliran sungai dan/atau alur sungai b. pemanfaatan bantaran dan sempadan sungai;

c. pemanfaatan bekas sungai;

d. pemanfaatan air sungai selain untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada;

e. pemanfaatan sungai sebagai penyedia tenaga air; f. pemanfaatan sungai sebagai sarana transfortasi; g. pemanfaatan sungai di kawasan hutan;

h. pembuangan air limbah kesungai;

i. pengambilan komoditas tambang disungai;

j. pemanfaatan sungai untuk perikanan menggunakan keramba atau jaring apung.

Adapun izin sebagaimana dimaksud Pasal 57 ayat (2) huruf a sampai f dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.85

C. Status Penguasaan Tanah Timbul Di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu

Dari beberapa persepsi hukum sebagaimana telah diuraikan, jelaslah diketahui bagaimana hukum mengatur terkait tanah timbul. Dan bila dicermati, maka dapat

83Pasal 75ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.

84Pasal 57 ayat (1) dan (2)Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.

85

Pasal 58 ayat (1)Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai.

dikatakan bahwa hanya KUHPerdata (BW) yang mengatur secara eksplisit (tegas) tentang tanah timbul. Namun perlu diingatkan kembali bahwa apa yang termaktub dalam ketentuan BW tersebut tidaklah dapat dijadikan dasar hukum oleh seseorang untuk mendapat pengakuan atas penguasaan atau kepemilikan tanah timbul.

Sementara itu, bila ditinjau dari persepsi Hukum Tanah Indonesia, baik bersifat pelaksana maupun berupa kebijakan, didalamnya hanya tercantum suatu pernyataan bahwa “tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai

langsung oleh negara”,86 dimana selanjutnya pengguasaan negara tersebut

memberikan kewenangan kepada instansi pemerintahan yang ditunjuk untuk itu mengatur dan memberi izin kepada pihak yang ingin menguasai tanah timbul.

Bila dicermati dari uraian sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa secara yuridis dalam konsep hukum tanah Indonesia, penguasan negara atas tanah timbul berada dibawah Kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sementara itu berdasarkan peraturan sektoral tentang sungai penguasaan negara tersebut berada dibawah kewenangan Menteri Pekerjaan Umum, yang dapat diserahkan kepada gubernur, bupati/walikota.

Selanjutnya terlepas dari ketentuan hukum positif diatas, berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa menurut budaya atau hukum adat/kebiasaan yang hidup dalam masyarakat di Desa Teluk Erong, Kecamatan Rengat, tanah timbul yang

86Pasal 12 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2004 tentang

yang muncul karena adanya peristiwa alam tersebut dikategorikan sebagai tanah desa oleh masyarakat setempat, dimana hak untuk mengerjakan dan memanfaatkannya diprioritaskan kepada warga pemilik tanah yang berbatasan secara langsung.87

Namun demikian,hak sebagaimana dimaksud diatas bukanlah suatu ketentuan

sebagaimana perlekatan (natrekking) dalam KUHPerdata.SebagaimanamenurutDedi

Putra dan Encik Suherman, bahwa apa yang dimaksud perlekatan (natrekking) dalam KUHPerdata bukanlah suatu ketentuan yang melahirkan hubungan kepemilikan dalam ketentuan hukum adat/kebiasaan setempat, melainkan hanya suatu ketentuan yang memberi kewenangan bagi warga pemilik tanah yang berbatasan untuk mengusahai dan mengerjakan tanah timbul tersebut.88

Dalam hal ini, penguasaan tanah timbul tersebut baru akan diakui sah kepemilikannya setelah adanya perbuatan yang khusus oleh pihak/warga yang bersangkutan membuka danmengerjakan tanah timbul tersebutdengan memberi tanda batas yang jelas tanpa dipersoalkan oleh pihak manapun juga. Dimana selanjutnya tindakan yang perlu dilakukan oleh warga yang bersangkutan adalah membayar kompensasi pemasukan kedalam kas desa guna diterbitkannya bukti tertulisolehaparat desa setempat terkait pengusahaan tanah tersebut.89

87Hasil wawancara dengan Dedi Putra (RT), dan warga Desa Teluk Erong, Kelurahan

Kampung Dagang, Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Propinsi Riau, pada tanggal 4 Desember 2011.

88Hasil wawancara dengan Dedi Putra (RT) dan Encik Suherman (Lurah Kampung Dagang),

Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Propinsi Riau, pada tanggal 5 Desember 2011.

89Hasil wawancara dengan Dedi Putra (RT) dan Encik Suherman (Lurah Kampung Dagang),

Dokumen terkait