• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Konsep ‘ Iddah dalam Fikih 1.Pengertian ‘Iddah

3. Macam-macam ‘I ddah

32

Muslim Bin Hujjaj an Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al Afaq al Jad‟iddah, Tth), Jilid, h. 4.

33

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h.307-308. Mengenai kehujahan ijma‟, jika ijma‟ dalam satu perkara yang disertai dengan dalil yang qath‟i termasuk „iddah karena terdapat nash Alquran yang mengaturnya, maka dalam hal ini ijma berkedudukan sebagai hujjah penguat bukan hujjah yang berdiri sendiri.

Lain halnya jika dalil ijma‟ adalah dalil yang zhanni, maka ijma‟ menjadi hujjah yang berdiri sendiri dan memiliki yang kuat setara dengan Alquran dan sunnah. Lihat. Al Wajiz fi Ushul Al Fiqh, h. 50.

34

Kamal bin Sayid Salim, Shahih Fiqh as Sunnah, (Kairo: Maktabah Tawfikiya, 2013), Jilid. 3, h. 318.

31

Berdasarkan pembatasan waktunya, „iddah dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, sebagai berikut:35

a. Hitungan Masa ‘iddah Berdasarkan Waktu Melahirkan

Ketentuan ini berlaku pada „iddah wanita hamil, baik perceraian karena talak atau sebab wafatnya suami.36 Perempuan hamil wajib menjalani masa „iddah hingga melahirkan. Karena asal disyariatkan

„iddah adalah untuk memastikan kosongnya rahim dari kehamilan atau

bara ah al rahim. Ketika perempuan yang ber‟iddah melahirkan, maka ketika itu berakhir pula masa „iddahnya, dengan syarat;37

1) Proses kelahiran telah sempurna, sehingga jika istri hamil anak kembar maka „iddahnya belum berakhir kecuali setelah kelahiran semua anak kembar tersebut, hingga rahim istri benar-benar kosong. 2) Proses persalinan selesai, baik istri melahirkan pada usia kandungan

telah sempurna ataupun prematur, baik telah ditiupkan roh atau belum.38

Abu zahrah dalam kitabnya juga menjelaskan, bahwa kelahiran yang mengakhiri masa „iddah disyaratkan bahwa yang dilahirkan adalah bayi yang telah sempurna atau sebagian. Jika yang dilahirkan belum berupa bayi, misalnya masih berupa gumpalan daging atau darah. Maka itu tidak menyebabkan berakhirnya masa „iddah. Karena ada kemungkinan itu bukanlah kehamilan tetapi suatu kelainan atau

35

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Al Syakhshiyyah, h. 373. Lihat juga, Abu Said Umar bin al Guramah al Amrawi, Ahkam al Thalaq, h. 85.

36

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Al Syakhshiyyah, h. 373. 37

Abu Said al Amrawi, Ahkam al Thalaq, h. 93. 38

penyakit dalam rahim istri. Kemungkinan tersebut membawa pada keraguan. Dan berakhirnya „iddah tidak bisa berdasarkan pada sesuatu yang belum pasti.39

Ibnu Syihab berpendapat bahwa halal bagi perempuan untuk menikah ketika telah melahirkan sekalipun masih dalam keadaan nifas. Tetapi suami tidak boleh menggaulinya hingga istri suci dari nifasnya.Jumhur ulama salaf dan para mufti Mesir juga berpendapat bahwa wanita hamil apabila suaminya wafat, maka masa „iddahnya berakhir ketika ia melahirkan dan ketentuan „iddah sebab wafat menjadi gugur.40

Sekalipun jarak waktu antara kematian suami dan melahirkan hanya satu jam. Dalam riwayat imam Muhammad, diceritakan bahwa, jika istri telah melahirkan dan mayat suami masih di pembaringan,

maka ketika itu telah dihalalkan menikah baginya.

b. Hitungan Masa ‘Iddah Berdasarkan Quru’

Makna qar‟u menurut mazhab Hanafiah dan Hanabilah adalah masa haid. Sedangkan menurut mazhab Malikiyah dan Syafiiyah, qar‟u

adalah masa suci antara dua haid.41

39

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal al Syakhshiyyah, h. 373. 40

Abu Said al Amrawi, Ahkam al Thalaq,, h. 94. 41

Abu Said al Amrawi, Ahkam al Thalaq, h. 89. Hal ini berawal perbedaan sahabat mengartikan lafal qurû. Umar ibn Khaththâb, Alî ibn Abî Thâlib dan pakar lainnya seperti Mujâhid dan Dhahhâk serta pakar Kufah mengartikan lafal qurû adalah “haid”,yang kemudian menjadi pendapat dari kalangan Hanafiyah dan Hanbaliyah. Sahabat lainnya seperti Aisyah, Ibn Umar, Zayd ibn Tsâbit dan pakar-pakar Hijâz mengartikan lafal qurû adalah suci yang kemudian menjadi pendapat dari kalangan Malikiyah dan Syafi„iyyah. Abdul Helim, Membaca Kembali „Illah Doktrin „iddah dalam Perspektif Ushul al Fiqh, Karsa, Vol. 20, No. 2 (Desember 2012), h. 282.

33

Wanita yang menjalani masa „iddah berdasarkan hitungan quru‟

yaitu perempuan yang telah mengalami masa haid. Kuantitas haid perempuan bisa jadi dua kali sebulan atau hanya sekali sebulan. Maka masa „iddahnya adalah selama tiga quru‟.42

Hitungan „iddah berdasarkan quru‟ yaitu selama tiga kali haid dengan hitungan sempurna. Sehingga jika terjadi talak bid‟i maka masa haid ketika si istri ditalaq tidak dihitung sebagai satu kali haid.43

c. Hitungan Masa ‘Iddah Berdasarkan Bulan

Perempuan yang menjalani masa „iddah dengan penghitungan batas waktu berdasarkan bulan, dapat dikelompokkan menjadi dua:

1) Hitungan bulan berdasarkan quru‟, berlaku pada tiga kategori perempuan; pertama, Ayisah atau perempuan menopouse yaitu perempuan yang tidak mengalami masa haid lagi.44 Perempuan menopause menjalani masa „iddahnya selama tiga bulan, dihitung berdasarkan perkiraan tiga kali haid. Karena berdasarkan kebiasaan perempuan normal mengalami haid satu kali selama sebulan.45

Kedua, selain perempuan menopouse, anak-anak yang belum mencapai usia balig sehingga belum mengalami haid. Maka wajib menjalani masa „iddah selama tiga bulan.46 Dan Apabila anak perempuan berumur sembilan tahun atau lebih yaitu usia remaja

42

Abu Said al Amrawi, Ahkam al Thalaq, h. 85, Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal al Syakhshiyyah, h. 374.

43

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Al Syakhshiyyah, h. 374. 44

Kira-kira berusia 55 tahun, lihat Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal al Syakhshiyyah, h. 375.

45

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Al Syakhshiyyah, h. 375. 46

atau murahiqah dan belum mengalami haid, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat;47

a) „iddahnya tetap tiga bulan. Jika pada pertengahan masa

„iddahnya, anak tersebut mengalami haid maka berpindah hukum „iddahnya seperti halnya wanita yang haid yaitu tiga

quru‟.

b) „iddah anak tersebut adalah empat bulan sepuluh hari hingga ia yakin akan kekosongan rahimnya. Karena masa remaja, ada kemungkinan si anak untuk hamil.

Ketiga, perempuan yang mengalami istihadhah atau darah yang terus-menerus keluar. Jika ia mengetahui jadwal haidnya ketika normal, maka hitungan tersebut bisa dijadikan acuan. Sedangkan, jika tidak maka „iddah perempuan tersebut dihitung selama tiga bulan.48

2) Hitungan bulan asli (bukan perkiraan dari hitungan haid). Hitungan ini berlaku pada „iddah wafat jika istri tidak dalam keadaan hamil. Masa „iddahnya adalah selama empat bulan sepuluh hari. Karena dianggap merupakan waktu paling lama bagi seorang perempuan untuk jauh dari laki-laki. Sehingga jika ada suami yang bersumpah tidak berhubungan dengan istrinya melewati empat bulan maka dihitung sebagai talak. 49