• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dan Perkembangan Maqasid Syariah

TINJAUAN UMUM TENTANG MAQASID SYARIAH DAN KESETARAAN GENDER DALAM CEDAW

A. Tinjauan Umum tentang Maqasid Syariah

1. Pengertian dan Perkembangan Maqasid Syariah

Term maqashid berasal dari bahasa Arab àصÄĎę (maqashid) yang merupakan bentuk jamak kata àصĎę (maqsad), berasal dari kata àصč artinya maksud, sasaran, prinsip, niat, tujuan akhir.1 Term itu berarti telos (dalam bahasa Yunani), finalite (Prancis), atau zweck (Jerman). 2

Sementara itu, syari‟ah yang secara etimologis bermakna jalan menuju mata air, dalam terminologi fikih berarti hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah untuk hambaNya, baik yang ditetapkan melalui Alquran maupun sunnah nabi Muhammad Saw. yang berupa perkataan, perbuatan atau keketapan nabi Saw.3

Syariah merupakan salah satu istilah umum dalam mempresentasikan hukum Islam4 di samping fikih dan fatwa. Ketiga term tersebut memiliki

1

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Munawwir Arab Indonesia, h. 1125. lihat juga, Majma‟ Al Lugah Al „Arabiyah, Al Mu‟jam al Wasith, Cet. V, (Mesir: Maktabah al Syuruq al Dauliyah, 2011), h. 765. kata maqsad semakna dengan kata wijhah yang berarti arah atau tujuan.

2

Jasser Auda, Maqasid Syariah As Philosophy Of Islamic Law: A System Approach: Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, Penerjemah Rosidin dan Ali Abdu El Mun‟im, Cet. I, (Bandung: Mizan Pustaka, 2015), h. 33.

3 „Abd al Karim Zaidan, al Madkhal li Dirasah al Syariah al Islamiyyah, (Beirut: Muassasah al Risalah, 1976), h. 39.

4

Ketika ulama menyebutkan kata syariat, kata tersebut bisa mengandung dua arti; Pertama, seluruh agama yang mencakup ak‟iddah, ibadah, adab, akhlak, hukum dan muamalah. Dengan kata lain, syariat mencakup ushul dan furu‟, ak‟iddah dan amal, teori dan aplikasi. Kedua, sisi hukum amal agama. Seperti ibadah dan muamalah yang mencakup hubungan dan ibadah kepada Allah. Serta mencakup juga urusan keluarga (al ahwal al syakhshiyyah), masyarakat,

makna yang berbeda, sehingga untuk penggunaan yang tepat harus ada identifikasi yang jelas.5 Dalam bukunya, Jasser Auda mendefenisikan tiga term tersebut, sebagai berikut; 6

a. Syariah yaitu wahyu yang diterima oleh nabi Muhammad Saw. dan dipraktikkan dalam risalah dan misi kehidupan beliau. Dengan kata lain, syariah adalah Alquran dan sunnah.

b. Fikih yaitu koleksi jumlah besar, pendapat hukum yang diberikan oleh ahli hukum Islam dari berbagai mazhab, berkenaan dengan aplikasi syariah (dalam arti di atas) pada berbagai situasi kehidupan nyata sepanjang empat belas abad terakhir.7

c. Fatwa yaitu aplikasi syariah atau fikih (dalam kehidupan nyata) umat Islam saat ini.

Secara istilah Maqashid syariah dapat didefenisikan sebagai makna-makna yang dimaksud syari‟ yang hendak dicapai di balik penetapan syariat dan hukum-hukum, yang ditetapkan para mujtahid berdasarkan nash

Negara, hukum dan hubungan luar negeri. Lihat, Yusuf al Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah, h. 16-17.

5

Perlu adanya pembatasan maksud syariat pada pembahasan ini. Karena ketika kita mengatakan maqashid syariah atau maksud-maksud syariah, apakah yang dimaksud dari ungkapan tersebut adalah maksud-maksud sisi amal yang menjadi pembahasan fikih atau seluruh maksud islam yang mencakup ak‟iddah dan amal.

6

Jasser Auda, Maqasid Syariah As Philosophy Of Islamic Law: A System Approach: Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, h. 24.

7

Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Syahrur, bahwa Sesungguhnya ayat-ayat hukum yang memiliki eksistensi mutlak (yaitu apa yang disebut dengan “syariat islam atau al syari‟ah al islamiyah”) adalah satu hal, sedangkan fikih islam yang mencerminkan interaksi manusia dan pemahaman mereka terhadap syariat islam pada penggal waktu historis tertentu adalah sesuatu hal yang lain. Syariat islam bersifat ilahiyah, sedangkan fikih islam bersifat humanis historis. Lihat, Muhammad Syahrur, Nahw Usul Jad‟iddah Li Al Fiqh Al Islami, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Penerjemah Sahiron Syamsuddin, Cet. VI, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2010), h. 149.

51

syariat. 8 Dan makna tersebut adalah dalam rangka memperoleh kemaslahatan ukhrawi dan duniawi.9 Untuk menolak atau menghindari kemudaratan atau keduanya sekaligus.10 Sebagai mana yang dikatakan oleh imam al Ghazali, bahwa tujuan syari‟ menetapkan syariat adalah untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan serta harta kekayaan hamba.11

Maqashid syariah adalah makna dan tujuan yang dipelihara dalam syariat pada setiap hukum dan prinsipnya. Atau merupakan tujuan akhir syariat dan rahasia di balik penetapan hukumnya.12 Suatu keharusan bagi mujtahid untuk memahaminya dalam merumuskan istinbath hukum dan memahami nash. Selain itu, untuk kalangan selain mujtahid juga perlu mengetahuinya agar dapat memahami hikmah rahasia syariat Islam.13

Setelah era sahabat, teori dan klasifikasi maqasid mulai berkembang. Tetapi, maqasid sebagaimana yang kita kenal saat ini tidak berkembang dengan jelas hingga masa para ahli usul fikih belakangan, yaitu pada abad ke-5 hingga 8 H. 14 Dalam sejarah perkembangannya, posisi maqashid

8Ibnu „Asyur, Maqashid As Syari‟ah Al Islamiyah, Cet. I, (Oman: Dar Al Nafais, 1999), h. 183. lihat Jasser Auda, Inathatu al Ahkam al Syariah bi Maqashidiha, Cet.III, (USA: International Intsitute of Islamic Thouht, 2007), h. 15.

9

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy Syathibi, Al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, (Beirut: Dar al Fikr, tth), Jilid. 2, h. 2.

10

Saifuddin abu al Hasan Al Amidi, Al Ihkam fi Ushul al Ahkam, Cet. I, (Muassasah al nur, 1388 H), Jilid. 3, h. 271.

11

Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, Al Mustashfa min „Ilm al Ushul, h. 287. 12

Satria Effendi mendefinisikan maqasid syariah dari dua sisi, di mana Kata maqasid syariah mengandung pengertian umum dan khusus. Pengertian umum identik dengan pengertian istilah maqashid al syari‟ (maksud Allah dalam sebuah ayat atau maksud Rasulullah Saw. dalam sebuah haids). Adapun maksud istilah tersebut yang bersifat khusus adalah adalah substansi yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum. Lihat Fahmi Arif, Maqashid Syariah dalam Takaran Ushul Fiqh Humanis Satria Effendi, Jaenal Aripin, Filsafat Hukum Islam dalam Dua Pertanyaan, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 185.

13

Wahbah al Zuhaili, Al wajiz fi Ushul al Fiqh, h. 217. 14

Jasser Auda, Maqasid Syariah As Philosophy Of Islamic Law: A System Approach: Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, h. 45-46.

syariah pada masa awal tidak begitu jelas dan terkesan dikesampingkan. Kajian tentang hukum Islam atau fikih hanya dikaitkan dengan ushul al fiqh dan qawaid al fiqh yang berorientasi pada teks dan bukan pada maksud atau makna di balik teks.15

Dua hal tersebut menjadi unsur-unsur dalam satu sistem yang tidak terpisahkan dan berkembang dalam garis linier yang sama: ushul al fiqh menjadi metodologi yang harus diaplikasikan untuk menuju fikih, sementara qawaid al fiqh menjadi pondasi dasar bangunan fikih yang ada. Sementara itu, maqasid syariah yang menyumbangkan nilai-nilai dan spirit pada fikih itu sendiri diletakkan dalam domain filsafat yang dianggap tidak bersentuhan langsung dengan istinbath hukum Islam.16 Seperti halnya Subhi Mahmasani yang mengatakan bahwa istilah maqasid syariah identik dengan filsafat hukum Islam.17

Maqasid sendiri belum menjadi subjek (topik) karya ilmiah tersendiri atau menjadi perhatian khusus hingga akhir abad ke-3 H. Kemudian, perkembangan teori „tingkatan keniscayaan‟ oleh imam al-Juwaini (w.478 H/1085 M) terjadi lebih lama lagi yaitu abad ke-5 H. Konsepsi-konsepsi maqasid awal abad ke-3 dan 5 H:18

15 Ibnu „Asyur, Maqashid As Syari‟ah Al Islamiyah, h. 166-167. 16

Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas-Fiqh al Aqalliyat dan Evolusi Maqasid Syariah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2010), h. 185. Karena itu, kajian maqashid syariah juga menjadi objek utama dalam bidang filsafat hukum Islam, lihat Hasbi Umar, Nalar Fikih Kontemporer, Cet.I, (Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta,), h. 120.

17

Subhi Mahmasani, Falsafatu al Tasyri‟ fi al Islami, (Dar al Kasyyaf,1952), h. 18

Jasser Auda, Maqasid Syariah As Philosophy Of Islamic Law: A System Approach: Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, h. 46.

53

a. Al-tirmizi al-Haki/m (w. 296 H/ 908 M), mendedikasikan karya terkenal pertama bagi topik maqasid, di mana terma maqasid digunakan sebagai judul buku al-salah wa maqasiduha (salat dan maqasidnya). Buku ini berisi sekumpulan hikmah dan „rahasia‟ spritual di balik setiap gerakan salat dengan kecendrungan sufi. Contohnya adalah menegaskan ketundukan sebagai maqasid di balik pengagugan kepada Allah Swt. Melalui setiap gerakan dalam salat; mencapai kesadaran sebagai maqasid di balik memuji kepada Allah Swt. memfokuskan salat seseorang sebagai maqasid di balik menghadap kabah, dan seterusnya, Al-tirmizi al-Hakim juga menulis buku serupa tentang Haji berjudul al-Hajj wa Asraruh (Haji dan Rahasia-rahasianya).

b. Abu Zaid al-Balkhi (w. 322 H/933 M) mengemukakan karya terkenal pertama tentang maqasid muamalah, al-Ibanah „an „ilal al-Diyanah (Penjelasan tujuan-tujuan di balik praktik-praktik ibadah), di mana dia menelaah maqasid di balik hukum-hukum yuridis Islam. Al-Balkhi juga menulis sebuah buku khusus tentang kemaslahatan berjudul masalih al-abdan wa al-anfus (kemaslahatan-kemaslahatan raga dan jiwa); dia menjelaskan bagaimana praktik dan hukum Islam berkontribusi terhadap kesehatan, baik fisik maupun mental.

c. Al-Qaffal al-Kabir (w. 365 H/975 M) menulis manuskrib terkuno yang ditemukan di Dar al-Kutub (Balai Kitab-kitab) Mesir terkait topik maqasid, Mahasin al-Syara‟i (Keindahan-keindahan Hukum

Syariah). Setelah pendahuluan 20 halaman, al-Qaffal melanjutkan dengan membagi bukunya sesuai dengan bab-bab kitab fikih tradisional (dari bab taharah, salat, dll.). Dia menyebutkan masing-masing hukum secara singkat dan mengelaborasi maqasid dan hikmah di baliknya. Manuskrip ini tergolong jelas dan memuat 400 halaman. Halaman terakhir menyebutkan tanggal penyelesaian buku tersebutt, yaitu 11 Rabiul Awal 358 H (7 Februari 969 M). Ulasan tentang hukum-hukum fikih disajikan secara ekstensif, sekalipun secara ketat mengacu pada hukum secara individual, tanpa memperkenalkan teori umum apa pun tentang maqasid.

d. Ibnu Badawaih al-Qummi (w. 381 H/991 M). Beberapa peneliti mengklaim bahwa penelitian tentang maqasid syariah terbatas pada mazhab fikih sunni hingga abad ke-20 M. Tetapi, monografi yang dikenal pertama kali didedikasikan pada maqasid sebenarnya ditulis oleh Ibn Bawaihi Al-Saduq al-Qummi, salah seorang fakih terkemuka syiah abad ke-4 H, yang menulis buku yang memuat 335 bab tentang subjek ini. Buku ini berjudul „ilal al-syara‟i (alasan-alasan di balik hukum syariah), merasionalisasikan keimanan kepada Allah Swt.,kenabian, surga dan rukun iman lainnya. Buku ini juga memberikan rasionalisasi moral terhadap salat, puasa, haji, zakat, berbakti kepada orangtua dan kewajiban lain.

e. Al-Amiri al-Failasuf (w. 381 H/991 M) mengajukan klasifikasi teoritik pertama terhadap maqasid dalam karyanya al-i‟lam bi

55

manaqib al-Islam (pemberitahuan tentang kebaikan-kebaikan Islam). Tetapi klasifikasi al-amiri semata-mata berdasarkan hukum pidana (hudud) dalam hukum Islam.

Dalam waktu tiga abad, ide maksud sebab (hikmah, „illat, munasabah atau makna)19 tampak pada beberapa penalaran yang digunakan oleh para imam mazhab tradisional, seperti penalaran melalui qiyas, istihsan dan pertimbangan kemaslahatan.20

Bagi sejumlah teoritikus hukum Islam, maqasid adalah alternatif untuk ØĕÄصę (masalih) atau kemaslahatan-kemaslahatan. Misalnya „Abd al -Malik al-Juwaini (w.478 H/ 1185 M), salah seorang kontributor paling awal terhadap teori maqasid menggunakan istilah al-maqasid dan masalih

al-„ammah (kemaslahatan-kemaslahatan umum) secara bergantian,21 yang ditetapkan para mujtahid berdasarkan nash-nash syariah.22 Oleh karena itu, yang menjadi tema utama dalam bahasan maqasid syariah adalah masalah

„illat dan hikmah ditetapkannya suatu hukum.23

Secara etimologi, „illat berarti “nama sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya”. Sedangkan

19

Kata hikmah, merupakan term yang paling banyak digunakan dalam pembahasan maqasid atau tujuan syariat. Sedangkan kata illat, dalam penggunaan istilahnya mengandung dua makna. Pertama, sifat yang jelas yang tetap yang sesuai dengan hukum, ditetapkan oleh syari‟ sebagai sebab adanya hukum. Kedua, illat adalah hukum dan maslahat yang berkaitan dengan perintah ataupun kebolehan. Atau mafsadat yang berkaitan dengan larangan.

20

Jasser Auda, Maqasid Syariah As Philosophy Of Islamic Law: A System Approach: Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, h. 45-46.

21

Jasser Auda, Maqasid Syariah As Philosophy Of Islamic Law: A System Approach: Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, h. 33.

22

Jasser Auda, Inathatu al Ahkam al Syariah bi Maqashidiha, Cet.III, (USA: International Intsitute of Islamic Thouht, 2007), h. 15.

23

Hasbi Umar, Nalar Fikih Kontemporer, h. 120, Lihat Ahmad Al Raisuni, Nazariyat al Maqasid „inda asy Syathibi, ( Rabat: Dar Al Aman, 1991), h. 67.

menurut terminologi “suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatu hukum”.24

Menurut al-Ghazali, „illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab adanya hukum, dalam arti adanya suatu „illat menyebabkan munculnya suatu hukum.25 Dengan demikian „illat dalam kedua defenisi di atas, hanya merupakan indikasi (imarah), penyebab dan motif dalam suatu hukum yang dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui suatu hukum. 26

Sedangkan hikmah dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa arab, al hikmah. Kata ini dapat berarti kebijaksanaan, pepatah, filsafat, kenabian, Alquran, keadilan dan lain-lain.27 Sedangkan dalam kamus bahasa arab yang cukup otoritatif, ditemukan banyak sekali makna untuk kata ini. Ibnu mandzur mengatakan bahwa al hikmah adalah pengetahuan tentang sesuatu yang paling luhur (utama) dengan menggunakan metodologi pengetahuan yang juga paling luhur.28

Kebanyakan ahli usul menggunakan lafaz hikmah untuk menjelaskan makna dari maksud atau tujuan pensyariatan suatu hukum dan komponen dari tujuan tersebut yaitu memelihara kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al Thufi, hikmah adalah tujuan akhir hukum yang ingin dicapai dengan pensyariatannya.29

24 „Abd Qadir Ibn Badran al Dimasyqi, Al Madkhal Ila Madzhab al Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Beirut: Muassasah al Risalah, 1991), h. 66.

25

Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustasfa fi „Ilm al Ushul, (Beirut: Dar al Kutub al „Ilmiyah, 1983), h. 96

26

Jaenal Aripin, Azharudin Latif, Filsafat Hukum Islam Tasyri dan Syar‟i, (Jakarta: UIN Jakarta Press,2006), h. 7.

27

Atabik Ali dan Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 786-787. 28 Muhammad bin Makram bin Mandzur al Mishri, Lisan al Arab, (Kairo: Dar al Ma‟arif, tth), Jilid. 11, h. 951.

29

Abdurrahman Ibrahim Zaid al Kailani, Qawaid Al Maqasid „inda al Imam al Syathibi, (Damaskus: Dar al Fikr, 2002), h. 49.

57

Namun Yusuf Qardhawi secara gamblang membedakan antara ilat dan hikmah. Maksud-maksud syariah bukanlah illat yang disebutkan oleh para ahli usul fikih dalam bab qiyas dan didefenisikan dengan sifat yang jelas, tetap dan sesuai dengan hukum. Illat tersebut sesuai dengan hukum, tetapi ia bukan maksud bagi hukum tersebut. 30 Para ahli ushul fikih tidak menyatukan antara hukum dan hikmah dikarenakan hikmah sulit untuk ditetapkan. Menyatukan hukum terhadap hikmah akan menyebabkan kekacauan, kebingungan dan kesusahan.31

Meskipun menggunakan kata yang berbeda, akan tetapi secara substansi, baik kata ilat maupun hikmah memiliki kaitan benang merah yang kuat. Yakni sama-sama memiliki arti sebagai alat untuk mengetahui makna di balik suatu ketetapan yang ada, dan sama-sama juga memiliki fungsi sebagai landasan atau dasar bagi sebuah ketetapan hukum.32

Problematika hukum yang begitu banyak dan mandulnya ushul al fiqh dalam berdialektika dengan zaman mendorong al Syathibi untuk me refresh (menyegarkan kembali) kajian teoritis ushul al fiqh, terutama dengan memasukan konsepsi maqashid al syariah sebagai konsideransi utamanya, seperti yang dipaparkan dalam kitab al Muwaffaqat. Karena itula al Syathibi dikokohkan sebagai muassis „ulum maqashid al syari‟ah (pendiri ilmu

30

Sebagaimana pendapat mengenai „illat rukhsah (adanya alasan keringanan) ketika safar. Baik dalam bentuk jama‟ qashar dalam shalat atau berbuka ketika puasa di bulan ramadhan. Illat dalam rukhsah tersebut adalah safar bukan kesusahah yang dirasakan musafir di dalam safarnya.

31

Yusuf al Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqashid asy Syari‟ah (Baina al Maqashid al Kulliyah wa an Nushus al Juz‟iyyah), Fikih Maqasid Syariah Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, Penerjemah Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2007). 18.

32

Jaenal Aripin, Azharudin Latif, Filsafat Hukum Islam Tasyri dan Syar‟i, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 7.

maqashid syariah), yang menurut hallaq, di tangan al syathibi lah ushul fiqh mencapai titik kulminasi perkembangan intelektual. Singkatnya, pada era al syathibi ini maqashid syariah menjadi bagian dari ushul fiqh. Di sinilah terjadi pertemuan antara teori hukum islam dan filsafat hukum islam.33

Posisi maqashid syriah lalu mengalami perkembangan berikutnya pada masa Ibnu „Asyur. Meskipun keterkaitan antara teori ushul fiqh dan maqashid syariah merupakan suatu keniscayaan, Ibnu „Asyur melihat perlunya maqashid syariah menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Konsekuensinya adalah bahwa maqashid syariah tidak hanya sebagai kumpulan konsepsi nilai yang membungkus fiqh dan ushul fiqh, tetapi juga berevolusi menjadi sebuah pendekatan. Maqashid syariah akhirnya menempati posisi sentral dalam perkembangan hukum islam kontemporer ketika menjadi konsederasi utama dalam proses penetapan hukum. Jasser Auda, seorang sarjana yang dengan pendekatan sistem mengansumsikan hukum islam sebagai suatu sistem, menjadikan maqashid syariah sebagai substansi pokok yang harus eksis dalam setiap ketetapannya.34

Secara umum, ulama maqashidiyyun menyatakan bahwa maqashid syariah dapat ditentukan melalui empat media,35 yaitu penegasan Alquran, penegasan hadis, istiqra‟ (riset atau kajian induktif) dan al ma‟qul (logika). Tidak ada yang memungkiri bahwa Alquran dan hadis seringkali menyebutkan secara eksplisit alasan atau tujuan dari disyariatkannya suatu

33

Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas-Fiqh al Aqalliyat dan Evolusi Maqasid Syariah dari Konsep ke Pendekatan, h. 188.

34

Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas-Fiqh al Aqalliyat dan Evolusi Maqasid Syariah dari Konsep ke Pendekatan, h. 188.

35

59

ketentuan hukum. Tetapi di bagian-bagian lain, seringkali pula alasan atau tujuan hukum dibiarkan menjadi implisit atau bahkan tidak dinyatakan sama sekali. Karena sudah menjadi ijma‟ ulama bahwa setiap ketentuan hukum itu pasti memiliki tujuan untuk kemaslahatan, maka illat dan tujuan itu harus ditemukan dengan pengamatan dan penelitian secara seksama sehingga bisa dipahami dan dijadikan suatu rujukan penetapan hukum.36