• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komparasi Analisis Maqasid Syariah Dan Kesetaraan Gender Tentang Hukum ‘Iddah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komparasi Analisis Maqasid Syariah Dan Kesetaraan Gender Tentang Hukum ‘Iddah"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPARASI ANALISIS MAQASID SYARIAH

DAN KESETARAAN GENDER TENTANG HUKUM

‘IDDAH

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

DEZA EMIRA NIM. 1112044100015

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh :

Deza Emira

NIM. 1112044100015

Di Bawah Bimbingan

Dr. H. Umar Al Haddad, MA

NIP. 196809041994011001

/

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi Yang Berjudul “Komparasi Analisis Maqasid Syariah Dan Kesetaraan

Gender tentang Hukum Iddah telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal , skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Syariah pada Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah).

Jakarta, 12 Oktober 2016

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D

NIP. 19691216 199603 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASHAH

Ketua : Dr. H. Abdul Halim, M. Ag (...) NIP. 196706081994031005

Sekretaris : Arip Purkon, M.A (...) NIP. 197904272003121002

Pembimbing : Dr. H. Umar Al Haddad, M.A (...) NIP. 196809041994011001

Penguji I : Dr. Hj. Mesraini, MA.,SH (...) NIP. 197602132003122001

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta,12 Oktober 2016

Deza Emira

(5)

ABSTRAK

Deza Emira. NIM 1112044100015. KOMPARASI ANALISIS MAQASID SYARIAH DAN KESETARAAN GENDER TENTANG HUKUM „IDDAH. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. x + 102 halaman.

Skripsi ini membahas hukum „iddah dalam dua analisis. Pertama, „iddah dalam konsep maqashid syariah dengan fokus pada pemikiran Jasser Auda , yang juga tidak terlepas dari konsep maqashid syariah Asy Syathibi sebagai muassis ilmu maqashid syariah. Kedua, „iddah dalam pandangan kesetaraan gender yang ditawarkan oleh CEDAW (Convention On The Elimination Of All Form Of Diskrimination Against Women) sebagai konvensi yang telah diratifikasi oleh UU No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) melalui pendekatan normatif, yaitu konsep maqasid syariah. Kemudian dilanjutkan dengan pendekatan komparasi (perbandingan). Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa studi dokumen dan data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan kemudian diolah menggunakan analisis isi. Penelitian ini menggunak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam konsep maqashid syariah, hukum „iddah merupakan kewajiban yang harus tetap terjaga eksistensinya, berdasarkan kemaslahatan yang ada dibalik penetapannya. Adapun, dalam konsep kesetaraan gender yang ditawarkan CEDAW, „iddah sejatinya mengandung makna pemeliharaan terhadap hak-hak perempuan, bukan pendiskriminasian yang merugikan satu pihak semata. Penelitian ini membuktikan bahwa ketentuan „iddah sebagai salah satu bentuk keluwesan hukum Islam.

Kata Kunci : „iddah, Maqasid, Syariah, CEDAW Pembimbing : Dr. H. Umar al Haddad, MA.

(6)

vi

KATA PENGANTAR ĘĪÙäĕÃ ĜĚÙäĕÃ ه ĘسÇ

Segala puji bagi Zat yang Maha Pengasih dengan kasih yang luas membentang menaungi alam semesta serta Maha Penyayang dengan sayang yang teristimewa untuk mereka yang dikehendaki-Nya. Zat yang dengan kasih sayang-Nya telah melimpahkan nikmat yang tak terhingga, petunjuk serta pertolongan kepada penulis salah satunya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat beruntaikan salam dalam doa dan harapan kepada pencerah kejahiliahan, pembawa risalah kehidupan menuju kebahagian, nabi Muhammad Saw. serta keluarga, para Sahabat-sahabat mulia dan setiap mereka yang telah berjuang menegakkan panji-panji syariat, mengibarkan bendera tauhid dan menebarkan rahmat Islam.

Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar strata satu (S. 1) dalam Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul “Relevansi Hukum „iddah (Dalam Komparasi Analisis Maqasid Syariah Dan Kesetaraan Gender)”.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini penulis mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik dukungan secara langsung ataupun tidak langsung. Untuk itu penulis ingin ucapkan terimakasih kepada yang terhormat :

(7)

vii

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Arip Purkon, M.A., Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang senantiasa mengarahkan, membimbing serta membina para mahasiswa/i tanpa kenal lelah dan selalu semangat.

3. Dr. H. Umar Alhaddad, M.A. Dosen pembimbing skripsi yang selalu memberikan bimbingan dan arahan selama masa penulisan skripsi ini. Terimakasih atas bantuan, perhatian serta arahan yang selama ini diberikan. 4. Dosen dan karyawan di lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengetahuan serta nasehat arahannya kepada penulis.

5. Pimpinan Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Pascasarjana, serta segenap karyawan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.

6. Hotn‟iddah Nasution, S.Ag., MA. Dosen Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan arahan, bimbingan dan konsultasi bagi penulis selama menjalani masa studi.

7. Teristimewa buat Ayahanda Zamril Panduko Sati dan Ibunda Emyanis tercinta. Yang telah mendidik dan membesarkan dengan cinta dan kasih sayang. Beserta kakak-kakak dan keluarga yang selalu memberikan dukungan serta doa-doa yang indah.

(8)

viii

akhlak dalam menjalani kehidupan. Serta keluarga besar, guru dan saudara se-almamater Darussunnah Institute For Hadith Sciences Ciputat.

9. Seluruh rekan mahasiswa/i angkatan 2012. Terkhusus kawan-kawan mahasiswa/i Konsentrasi Peradilan Agama A 2012. Penulis sampaikan terimakasih, telah menjadi kawan seperjuangan selama kurang lebih empat tahun menempuh studi di Hukum Keluarga.

10.Teman-teman KKN CEMARA 2015.

11.Seluruh pihak yang secara langsung atau tidak yang telah memberi dukungan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Atas bantuannya penulis ucapkan jazakumullah khairal jazaa‟. Selain itu, penulis mengharapkan kritik saran membangun dari seluruh pembaca guna upaya perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini. Semoga skripsi ini bermanfaat untuk umat khususnya penulis dan menjadi nilai amal. Aamiin.

Jakarta, 4 Oktober 2016

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 12

C. Batasan Masalah ... 12

D. Rumusan Masalah ... 13

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

F. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ... 14

G. Metode Penelitian ... 15

H. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ‘IDDAH ... 19

A. Konsep „iddah dalam Fiqih ... 19

1. Pengertian „iddah ... 19

2. Dasar Hukum „iddah ... 22

3. Macam-Macam „iddah ... 31

4. Hak dan Larangan bagi Perempuan dalam Masa „iddah ... 35

5. Ihdad ... 37

B. Keberanjakan Konsep „iddah ... 39

1. Konsep „iddah Pra Islam ... 39

2. Konsep „iddah dalam KHI ... 45

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MAQASHID SYARIAH DAN CEDAW ... 49

A. Tinjauan Umum Tentang Maqashid Syariah ... 49

1. Pengertian dan Perkembangan Maqasid Syariah ... 49

2. Kedudukan Maqasid Syariah dalam Lingkup Hukum Al Ahwal Asy Syakhsiyyah ... 59

3. Maqashid Syariah dalam Pandangan Jasser Audah ... 65

B. Tinjauan Umum tentang CEDAW ... 72

1. Sejarah dan Latar Belakang CEDAW ... 72

2. Asas-Asas CEDAW ... 73

(10)

x

BAB IV ‘IDDAH DALAM KONSEP MAQASHID SYARIAH DAN

KESETARAAN GENDER DALAM CEDAW ... 79

A. Analisis „iddah dalam Konsep Maqashid Syariah ... 79

B. Analisis „iddah dalam Pandangan CEDAW ... 87

C. Perbandingan Analisis Konsep Maqashid Syariah dan CEDAW Terhadap Relevansi Kewajiban „iddah ... 93

BAB V PENUTUP ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 97

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai bagian dari syariat Islam, „iddah merupakan satu di antara hukum yang berlaku khusus untuk perempuan. Kewajiban „iddah tersebut ditetapkan berdasarkan Alquran, Sunnah dan Ijma‟.1„iddah merupakan salah satu akibat hukum dari putusnya suatu ikatan perkawinan. Pembahasannya yang kompleks, mulai dari pengertian, pembagian, serta ketentuan „iddah yang beragam,2 menempatkan „iddah pada sub bab tersendiri dalam kajian fiqih munakahat.

Secara eksistensial, kedudukan syariat atau hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia merupakan sub sistem dari hukum nasional itu sendiri. Karenanya, hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meski harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah usai.3

Keberadaan Undang-undang Perkawinan no.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam atau yang lebih dikenal dengan istilah KHI

1

Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Cet. IV, (Damaskus: Dar al Fikr, 2004), Jilid . 9, h. 7167.

2„iddah

bagi istri yang ditalak adalah selama tiga quru‟ seperti yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah: 228, berbeda dengan „iddah istri yang ditinggal mati oleh suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari sesuai dengan QS.Al-Baqarah: 234, Istri yang menjalani masa „iddah dalam keadaan hamil maka „iddahnya hingga ia melahirkan, dengan dalil QS. Al-Thalaq: 4, berbeda dengan istri yang tidak hamil. Istri yang masih dalam usia haid juga memiliki ketentuan „iddah yang berbeda pula.

3

(12)

merupakan salah satu bukti sekaligus hasil dari perjuangan eksistensi tersebut. Selain itu KHI menunjukkan bahwa hukum perkawinan dan juga kewarisan menjadi bidang hukum dalam kemasyarakatan yang mendapatkan pengaturan normatif secara rinci. Termasuk ketentuan „iddah, yang diatur dalam beberapa pasal dalam KHI.

Ketentuan „iddah yang diatur dalam Alquran merupakan salah satu bukti bahwa bukan hanya sebagai sebuah kitab agama dan ajaran-ajaran moral, Alquran juga memuat unsur-unsur legislasi. Dalam mengemukakan pesan-pesannya, nabi Saw. secara terus terang ingin meninggalkan nilai-nilai dan institusi pra-Islam, tapi hanya sejauh ketika ia berusaha membangun, sekali dan untuk selamanya sebagai dasar-dasar agama baru,4 yaitu Islam. Sehingga ditemukan beberapa hukum pada masa pra-Islam yang masih bertahan setelahnya namun dengan corak keIslaman. Sejalan dengan kaedah ushul “al muhafadhatu „ala al qadimi al shalih wa al akhdzu bi al jadid al

ashlah” memelihara yang lama yang masih baik seraya mengambil hal baru yang lebih baik.5

Kearifan syariat Islam juga didukung oleh fakta turunnya Alquran secara berangsur-angsur yang dimaksudkan diantaranya untuk menguatkan makna hukum. Karena turunnya tepat pada waktu diperlukannya keterangan hukum. Hal ini sekaligus memperjelas sebagian maksud atau tujuan hukum. Sehingga sebab-sebab turunnya Alquran atau ashbabun nuzul tersebut dapat

4

Wael B. Hallaq, A History Of Islamic Legal Theories, Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar Untuk Ushul Fiqh Mazhab Sunni, Penerjemah E.Kusnadiningrat dan Abdul Haris Bin Wahid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h .4.

5

(13)

3

membantu dalam memahami dan menemukan tujuan ditetapkannya suatu hukum syariat.6 Hal ini menunjukkan bahwa sedikit banyaknya kebiasaan umat pada masa dan di tempat diturunkannya Alquran mempengaruhi hukum yang terbentuk. Termasuk dalam ketentuan „iddah.

Kewajiban „iddah bagi perempuan tidak akan terlepas dari visi dan misi syariat Islam untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat. Di dalamnya terkandung prinsip-prinsip kebijaksanaan, kasih sayang, keadilan, dan kemaslahatan. Aturan-aturan hukum bagi perempuan yang sedang menjalani masa „iddah yang tertuang dalam fiqih tentu memiliki relevansi dengan salah satu kemaslahatan yang ingin dicapai atau kemudaratan yang hendak dihindarkan. Di sisi lain maqashid hukum Islam atau maqasid syariah dapat mempresentasikan hubungan antara hukum Islam dengan ide-ide terkini tentang hak-hak manusia, pembangunan dan keadaban.7

Wahbah al Zuhaili, seorang ulama fikih kontemporer kenamaan menyebutkan beberapa hikmah berlakunya ketentuan „iddah, diantaranya untuk mengetahui kosongnya rahim istri, sebagai ibadah, sebagai rasa berkabung atas kematian suami atau untuk memberikan kesempatan yang cukup untuk si suami setelah talak agar dia kembali kepada istrinya yang

6

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟shum, dkk, Cet. XVI, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012) ,h. 102.

7

(14)

telah ia talak.8 Hikmah-hikmah tersebut juga dapat ditemukan dalam banyak literatur fikih klasik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan sosial akan mempengaruhi suatu hukum yang berlaku di dalamnya. Karena, jika prinsip utama Islam diletakkan sebagai bagian dari kerangka makro, yakni institusi sosial sebagai proses kebudayaan, maka pertama-tama yang perlu disadari bahwa institusi sosial tidak mungkin mengisolasikan diri dari perkembangan dan transformasi sosial, kultural maupun struktural. Karenanya cara pandang terhadap noktah-noktah ajaran Islam pun, dituntut secara terus-menerus melakukan penyesuaian dengan perkembangan masyarakat. Lebih dari itu, institusi Islam juga harus selalu memainkan peran strategis, terarah dan sejalan dengan karekteristik Islam selaku ajaran universal.9

Kewajiban „iddah bagi perempuan tentu tidak terlepas dari pengaruh keadaan sosial arab pra-Islam terutama perihal peran dan kedudukannya dalam masyarakat pada masa itu. Sehingga dalam memahami ketentuan hukum „iddah juga harus disertakan dengan pemahaman terhadap kehidupan sosial pada masa disyariatkannya „iddah. Untuk mempertahankan eksistensi syariat Islam yang relevan untuk setiap tempat dan waktu. Sejalan dengan qa‟iddah ushul “taghayyuru al ahkami, bi taghayyuri al azmani wa al amkani”. Apalagi ketika memasuki era globalisasi seperti sekarang ini.

8

Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, h. 7168. 9

(15)

5

Karena hukum Islam dan era globalisasi sering dipersepsikan sebagai dua hal yang sangat berbeda dan bahkan dikatakan saling bertentangan.10

Wacana hukum Islam dan era globalisasi dalam konteks ini, untuk menjelaskan bahwa membicarakan hukum Islam dalam globalisasi itu justru sesuatu yang sangat relevan. Hukum Islam bukan sesuatu yang statis, tetapi mempunyai daya lentur yang dapat sejalan dengan arus globalisasi yang bergerak cepat. 11 Hal ini dimaksud untuk menjaga kemaslahatan, menghilangkan kesempitan serta menolak bahaya sebagai tujuan adanya hukum syara‟.12

Kemaslahatan dan bahaya dalam suatu hal tidak harus selalu relatif. Kebolehan dan pelarangannya masing-masing ditentukan oleh sebuah paradigma yang telah mapan, bukan atas dasar pertimbangan kemaslahatan manusia di dunia semata.13 Sehingga dalam pemilahannya tidak terlepas dari memahami nash hukum dengan benar, bukan hanya dengan pandangan nalar semata.

Perubahan zaman dan keberagaman budaya dengan segala perkembangannya tidak jarang bahkan pasti diikuti dengan pergeseran posisi dan peran perempuan dalam tatanan kehidupan sosial khususnya. Hal ini tentu akan mempengaruhi kerelevanan ketentuan „iddah tersebut. Apalagi

10

Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, Cet ke. II, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 3.

11

Amir Syarifudin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum Islam Kontemporer di Indonesia, h. 3.

12

Wahbah al Zuhaili, Al Wajiz fi Ushul al Fiqh, (Damaskus : Dar al Fikr, 2014), h .32. 12

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h.543, Wahbah al Zuhaili, Al Wajiz fi Ushul al Fiqh, h. 217.

13

(16)

ketika dihadapkan dengan kemajuan teknologi, ketika kekosongan rahim dapat diketahui dengan alat canggih tanpa harus menunggu selama waktu tertentu. Apalagi di era globalisasi dan reformasi sekarang, struktur peranan perempuan Indonesia khususnya akan mengalami perubahan akibat tranparansi dalam segala aspek kehidupan.14

Dalam ketentuan „iddah diatur bahwa adanya larangan bagi perempuan untuk dipinang15 ketika menjalani masa „iddahnya bahkan haram untuk dinikahi16 oleh laki-laki lain, dan jika terlanjur terjadi pernikahan dengan keadaan istri masih dalam masa „iddahnya maka pernikahan tersebut harus dibatalkan.17 Larangan ini berlangsung sekitar 90 hari hingga satu tahun.18 Bukan hanya sekedar larangan untuk dipinang atau dinikahi, bagi istri yang ditinggal mati oleh suami juga diwajibkan menjalani masa berkabung atau ihdad.19 Sedangkan dipihak suami diperbolehkan melakukan akad pernikahan bahkan ketika akad dengan istri lama masih berlangsung atau sah (poligami).

Secara sekilas, konsep „iddah tersebut akan menimbulkan suatu pandangan adanya keadaan bias gender.20 Terutama bagi kalangan feminis yang menyuarakan kesetaraan gender dalam segala bidang termasuk ranah perkawinan.

14

Zaitunah Subhan, Perempuan Dan Politik Dalam Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), h. 54.

15

Juga dijelaskan dalam Pasal 12 KHI. 16

Pasal 40 KHI. 17

Pasal 71 KHI. 18

Pasal 153 KHI, tergantung penyebab putusnya perkawinan dan keadaan biologis istri. 19

Pasal 170 KHI. 20

(17)

7

Beranjak dari pembahasan „iddah, secara historis, konstruk syariah Islam tradisional tidak terbentuk sekali jadi, melainkan produk antar generasi Islam sejak abad ke-2 Hijrah (ke-8 Masehi) oleh para imam madzhab, kemudian dilanjutkan dengan generasi penerusnya di abad pertengahan (abad ke13 hingga abad ke-17), bahkan hingga kini. Pada masa-masa pembentukannya, kandungan syariah Islam merefleksikan kondisi riil masyarakat Islam, terutama masa klasik, meskipun dalam banyak hal terdapat loncatan penting. 21

Namun kini formula-formula syariah dianggap tidak cukup pro-aktif dalam merespon perubahan sosial dunia Islam dewasa ini. Terutama dalam menyikapi semakin pentingnya Aspek HAM di tingkat nasional dan dalam pergaulan Internasional.22

Sehingga untuk membuktikan pernyataan bahwa Islam Shalihun likulli zaman wa makan harus mempertimbangkan beberapa sudut pandang dalam memahami suatu konteks hukum. Ada dua hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, dari segi penjagaan eksistensi atau kemurnian hukum Islam agar tidak keluar dari ketentuan syari‟ yaitu berupa nash. Kedua, dari segi penjagaan terhadap kedinamisan suatu hukum dalam merespon perubahan sosial.

Islam sebagai agama yang Shalihun likulli zaman wa makan, mungkin bisa dinilai sebagai suatu hukum responsif. Suatu institusi yang responsif

21

Syukron Kamil,dkk., Syariah Islam dan HAM ; Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan Dan Non-Muslim, (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah,2 007), h.xxi.

22

(18)

mempertahankan secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan keberadaan kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya. Untuk melakukan hal ini, hukum yang responsif memperkuat cara-cara bagaimana keterbukaaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat pertentangan diantara keduanya.23

Di sisi lain, faktor yang juga berpengaruh adalah pemahaman terhadap istilah fikih dan syariat itu sendiri. Secara praktis, kekaburan garis pembeda antara fikih dan syariat membuka peluang adanya klaim „keilahian‟ atau „kesucian‟ terhadap hasil ijtihad manusia. Secara historis, kedua klaim

tersebut mengakibatkan dua fenomena serius yaitu tuduhan bid‟ah dan penolakan terhadap pembaruan hukum Islam. Saling menuduh bid‟ah ataupun murtad, yang bukan hanya menuduh bersalah atau berdosa. Bahkan menimbulkan konflik berdarah salah satunya peperangan sengit antara pengikut Syafi‟i dengan Hanafi yang dipicu oleh sedikit perbedaan

pendapat.24

Untuk zaman sekarang, walaupun tidak sampai menyebabkan pertumpahan darah, tapi di sekitar kita dapat kita jumpai banyaknya fatwa-fatwa baru termasuk pembahasan hukum keluarga yang terkadang dinilai oleh suatu kelompok menyimpang dari ajaran agama. Banyak terjadi penafsiran serta ijtihad bebas yang terkadang menghasilkan fatwa hukum yang “nyeleneh”. Biasanya hal ini mengatasnamakan nilai kemanusiaan termasuk

23

Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Cet. II , (Bandung: Nusamedia, 2008), h. 87.

24

(19)

9

kesetaraan gender. Begitu juga sebaliknya, tidak sedikit pihak yang dengan mudah menganggap sesat ketika ada suatu pembaharuan hukum yang dinilai tidak senada dengan hukum yang terdapat dalam kitab fikih klasik.

HAM adalah salah satu isu yang sering diangkat sebagai pembanding suatu konsep hukum termasuk syariat Islam. Tak jarang Islam digambarkan sebagai agama yang tidak menjunjung nilai kemanusiaan apalagi kesetaraan.

Harus diakui bahwa sebagai konsep, HAM merupakan rumusan dan temuan masyarakat modern di abad ke-20. Namun sebagai sistem nilai HAM dapat dilacak dalam masyarakat Islam.25 Masyarakat Islam Indonesia pada umumnya dapat menerima dan mengakui gagasan HAM, karena ajaran Islam sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. Pengalaman Indonesia sebagai bangsa yang pernah terjajah telah menjadi pendorong utama untuk menerima dan mengakui HAM,26 salah satunya mengenai kesetaraan gender yang juga dikuatkan oleh adanya CEDAW (Convension on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) sebagai sebuah konvensi yang berusaha menghapus segala bentuk pendiskriminasian terhadap perempuan. Apalagi, pada tanggal 24 Juli 1984 diundangkan Undang-undang Republik Indonesia No.7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita tersebut.27

25

Seperti yang terkandung dalam Piagam Madinah. Lihat, Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam Dan HAM; Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan Dan Non-Muslim, h. 17.

26

Sukron Kamil, dkk., Syariah Islam dan HAM; Dampak Perda Syariah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak-Hak Perempuan dan Non-Muslim, h. 19.

27

(20)

Di lain sisi, dengan melepaskan diri dari ajaran agama, sekularisme menawarkan hak yang sama bagi semua orang, hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan atau yang dikenal dengan emansipasi perempuan. Sebaliknya revivalisme yang lahir terhadap respon terhadap sekularisme mengajak kembali kepada agama, sebagai politik anti feminisme.28

Adapun posisi hukum Islam merupakan hukum yang meliputi dimensi Ilahiah dan dimensi insaniah. Bahwa hukum Islam bersumber dari Allah Swt. sehingga harus selalu didasarkan pada sumber utamanya yaitu Alquran dan sunah Nabi Saw. Namun, di sisi lain hukum Islam dibuat untuk kemaslahatan manusia ,untuk diterapkan di alam manusia, sehingga pemikiran yang bersentuhan dengan pelaksanaannya harus mempertimbangkan realitas yang melingkupi kehidupan manusia, terutama yang berkaitan dengan bidang hukum muamalah, terkait dengan interaksi antar manusia. 29 Sehingga dibutuhkan suatu teori atau metode tertentu untuk menemukan titik temu antara kedua sisi tersebut dan menjaga keseimbangan antara keduanya yang memiliki porsi masing-masing.

Meskipun ada penolakan beberapa fakih terhadap ide „kontemporerisasi‟ terminologi maqasid, namun tidak sedikit fakih atau

cendekiawan muslim kontemporer mengembangkan terminologi Maqasid tradisional dalam bahasa masa kini. Pada abad ke-20 M para penulis Maqasid secara signifikan mengembangkan „perlindungan keturunan‟ atau Hifdz an

28

Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, (Jogjakarta: Kibar Press, 2006), h. 7.

29

(21)

11

Nasl menjadi teori “berorientasi keluarga”. Ibn „Asyur, misalnya menjadikan „peduli keluarga‟ sebagai Maqasid hukum Islam.30

Ini menunjukkan bahwa maqashid syariah juga berusaha untuk menyelaraskan hukum Islam dengan perubahan sosial. Dan diantara perubahan sosial tersebut adalah isu kesetaraan gender yang merupakan turunan dari penghormatan terhadap nilai kemanusiaan atau HAM.

Adapun pembahasan kesetaraan jender, seiring berjalannya waktu masih menjadi hal yang menarik untuk diperbincangkan. Baik dalam pembahasan sosial masyarakat, politik, ekonomi terutama ranah hukum. Tidak luput dari kritik para kaum feminis, yaitu kedudukan perempuan dalam Islam dalam hubungan perkawinan misalnya. Sehingga tidak dipungkiri, Syariah atau fikih Islam yang mengatur tentang perempuan khususnya menjadi sasaran empuk para feminis.

Perlu kiranya diadakan suatu penelitian mengenai hukum „iddah ini dalam dua kacamata yang berbeda untuk menemukan titik terang. Agar hukum yang dihasilkan bukan merupakan hukum yang lari dari nilai esensialnya sehingga hilang nafas keislamannya. Dan bukan juga hukum yang kaku, yang melupakan sisi kedinamisannya. Dengan harapan adanya keseimbangan pemahaman dan penerapan hukum Islam dalam kehidupan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai ketentuan „iddah. Hasil penelitian tersebut kemudian akan penulis tuangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul

30

(22)

“Komparasi Analisis Maqasid Syariah Dan Kesetaraan Gender Tentang

Hukum „iddah

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan maqashid syariah dalam penetapan hukum Islam terutama dalam ruang lingkup al ahwal asy syakhshiyyah? 2. Bagaimana maqashid syariah memandang kewajiban „iddah? 3. Bagaimana konsep kesetaraan jender dalam CEDAW?

4. Bagaimana pengaruh CEDAW terhadap hukum yang berlaku di negara-negara yang telah meratifikasi CEDAW khususnya Indonesia dalam hal hukum keluarga atau al ahwal asy syakhshiyyah khususnya dalam kewajiban „iddah?

5. Bagaimana perbedaan dan persamaan konsep perlindungan terhadap perempuan dalam pandangan Maqashid syariah dan kesetaraan jender (CEDAW)?

C. Batasan Masalah

(23)

13

penulis membatasi pada pandangan atau pemikiran maqasid syariah Jasser Audah seorang pemikir maqashid kontemporer. Sedangkan dari segi kesetaraan gender penulis membatasi pada konsep CEDAW mengenai kesetaraan gender pada pasal-pasal yang berkaitan.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep „iddah dalam pandangan maqashid syariah dan kesetaraan gender dalam CEDAW?

2. Bagaimana komparasi antara analisis maqashid syariah dan kesetaraan gender dalam hukum „iddah?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang penulis paparkan sebelumnya, dapat dipahami bahwa tujuan yang ingin penulis capai adalah sebagai berikut :

a. Untuk memahami konsep „iddah dalam pandangan maqashid syariah dan kesetaraan gender dalam CEDAW.

b. Untuk mengetahui perbandingan antara analisis maqashid syariah dan kesetaraan gender dalam hukum „iddah.

(24)

1) Memberikan informasi tentang wacana „iddah dalam pandangan maqashid syariah dan CEDAW.

2) Memberikan kontribusi secara ilmiah dalam menetralisir pemikiran atau ijtihad dalam ranah fikih terutama fikih munakahat.

b. Manfaat Praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wacana dalam mempertimbangkan pembaharuan dalam hukum Islam dengan tetap menjaga kemurniannya.

2) Karya ini diharapkan dapat menjadi bahan latihan bagi penulis dalam mengembangkan wacana dan latihan akademik yaitu dalam menciptakan suatu karya ilmiah.

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

No .

Nama/ judul skripsi/

tahun Substansi

Perbedaan dengan penulis

1.

Achmad Wira

Atmaja/ Syibhul „„iddah Bagi Suami Dalam Perspektif Fikih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia/ Fakultas Syariah dan Hukum- Ahwalus Syakhshiyyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun/2013.

Berlakunya syibhul

„iddah bagi laki-laki

dalam beberapa keadaan. Walaupun secara tersurat tidak dijelaskan dalam Alquran maupun sunnah. Namun, ketentuan tersebut dapat dipahami secara tersirat.

Dalam pandangan

(25)

15

2.

Teuku Mahdar Ardian/

Ultrasonografi dan Pengaruhnya

Terhadap Status Hukum „iddah/ Ahwalus

Syakhshiyyah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun/2010.

Ultrasonografi memiliki peran penting dalam mendeteksi ada atau tidak adanya janin dalam rahim perempuan. Namun, hal itu tidak mempengaruhi ketentuan „iddah, karena ilat dibalik penetepan hukum „iddah, bukan

bara‟atu rahim semata.

kesetaraan gender yang terdapat dalam

CEDAW, ketentuan „iddah merupakan salah satu bentuk pemeliharaan terhadap hak perempuan bukan bentuk pendiskriminasi an. 3.

Khafidzoh/ Studi Kritik Atas Hadis Larangan Berhias Bagi Perempuan

„iddah/ Fakultas

Ushuluddin- Tafsir Hadis/ 2014.

Penelitian ini

menunjukkan bahwa hadis mengenai ketentuan

„iddah dan ihdad bagi istri yang ditinggal mati suami, merupakan hadis dengan kualitas shahih.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

(26)

2. Sumber Data

a. Sumber data primer

Sesuai dengan metode yang digunakan, maka penulis akan mengambil data primer mengenai maqashid syariah dari buku

Maqasid Shariah As Philosophy Of Islamic Law, A System Approach oleh

Jasser Auda yang telah diterjemahkan dengan judul Membumikan Hukum

Islam Melalui Maqasid Syariah, Pendekatan Sistem. Sedangkan mengenai kesetaraan gender dalam CEDAW, penulis menjadikan teks CEDAW sebagai sumber data primer.

b. Sumber data sekunder

Sebagai data pendukung, penulis akan mengambil data dari kitab-kitab tafsir, masail fiqhiyah, qawaid fiqhiyyah serta tulisan-tulisan berupa jurnal, artikel yang relevan dengan masalah yang dibahas.

3. Teknik Pengumpulan Data

(27)

17

4. Teknis Analisis Data

Dalam hal teknis analisis data, penulis akan mencoba untuk menganalisa setiap sumber data yang berkaitan untuk kemudian diambil kesimpulan hukum. Kemudian kesimpulan tersebut dikomparasikan dengan menghadirkan persamaan dan perbedaan masing-masing untuk menemukan titik temu antara keduanya.

H. Sistematika penulisan

Penelitian ini terbagai ke dalam 5 (lima) bab yang saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga menjadi sebuah penulisan terarah dan sistematis. Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bab pertama, dalam bab ini menguraikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penelitian.

Bab kedua, dalam bab ini berisi tinjauan tentang konsep „iddah dalam fiqih, meliputi pengertian, dasar hukum sertamacam-macam „iddah. Selanjutnya pada bab yang sama penulis juga membahas keberanjakan konsep „iddahterdiri dari masa pra Islam, setelah datangnya Islam, hingga kontemporer yaitu khusus ketentuan „iddah yang diatur oleh KHI.

(28)

lingkup hukum al ahwal asy syaksshiyyah serta maqasid syariah dalam pemikiran Jasser Audah. Pada bab ketiga ini, penulis juga membahas tentang tinjauan umum tentang CEDAW, meliputi Sejarah dan latar belakang, asas-asas serta prinsip-prinsip konvensi CEDAW terutama mengenai kesetaraan.

Bab keempat, status hukum „iddah kaitannya dengan maqashid syariah dan kesetaraan gender dalam CEDAW, meliputi analisis dan Perbandingan analisis Pandangan Maqashid Syariah dan Cedaw terhadap relevansi kewajiban „iddah serta Implikasi analisis terhadap ketentuan

(29)

19

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ‘IDDAH

A. Konsep ‘Iddah dalam Fikih

1. Pengertian Iddah

Secara bahasa „iddah merupakan salah satu kosa kata dari bahasa arab dalam bentuk mashdar sima‟i yaitu „iddah1, Éàع artinya hitungan, se(jumlah). Berasal dari kata àعĩ àع yang berarti menghitung, semakna dengan kata ĦصÙأ dan ÆسÙ. ÉأäĚĕà Éàع berarti „iddah seorang perempuan yang bercerai atau ditinggal mati suaminya.2

Alasan pemakaian istilah „iddah yaitu karena setiap „iddah mengandung hitungan, baik berdasarkan hitungan quru‟ atau hitungan bulan.3 Dalam bahasa Indonesia kata „iddah telah menjadi kata serapan menjadi idah dan didefenisikan denga masa tunggu atau masa dimana belum diperbolehkan menikah bagi wanita yang berpisah dengan suami baik karena ditalak maupun bercerai mati.4 Sedangkan dalam KHI selain kata „iddahjuga digunakan istilah “waktu tunggu”.5

Sedangkan pengertian „iddah menurut istilah, terdapat beragam defenisi dari ulama fikih tapi masih dengan eksistensi yang sama,

1

Abdurrahman al Jaziri, Al Fiqh „ala al Mazahib al Arba‟ah, (Dar al Irsyad, tth), Jilid. 4, h. 461.

2

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al Munawir Arab Indonesia, Cet. XIV, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h .903, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Cet. 8, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), h. 1275.

3

Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr), Jilid. 9, h. 589. lihat juga Syihab al Din al Qalyubi, Hasyiyah Syarah Minhaj ath Thalibin, h.40.

4

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 516.

5

(30)

diantaranya, pengertian „iddah menurut Syekh Wahbah al Zuhaili, „iddah merupakan masa penantian bagi seorang perempuan untuk memastikan keadaan rahimnya dalam keadaan kosong dari kandungan, atau dengan tujuan ta‟abbudi,6 atau sebagai bentuk ungkapan kesedihan istri atas perpisahannya dengan suami.7

Menurut mazhab Hanafiyah, „iddah adalah masa yang ditentukan oleh syari‟8 untuk menghilangkan jejak pernikahan atau firasy.9

Menurut mazhab Malikiyah, „iddah adalah masa larangan untuk menikah bagi perempuan pasca ditalak, wafatnya suami, atau terjadi faskh pernikahan. 10

Menurut mazhab Hanabilah, „iddah adalah masa tunggu bagi perempuan yang ditentukan oleh syara‟.11

Abu Zahrah mendefenisikan „iddah sebagai masa yang ditentukan oleh syari‟ untuk menghilangkan jejak pernikahan, apabila terjadi

6Ta‟abbudi

atau ta‟abbudiyah merupakan sesuatu yang tidak bisa dinalar dengan akal atau tidak diketahui hikmahnya secara logika, melakukan hanya sebagai ketundukan hamba kepada Tuhannya. Lihat, Abu Bakr bin Muhammad al Dimyati, I‟anah al Thalibin, (Beirut: Dar al Fikr, tth), Jilid. 4, h.37, Abu Bakr bin Muhammad al Dimyati menjelaskan dalam pembahasan „iddah bahwa ta‟abbudi merupakan „illat hukum „iddah yang kedua setelah bara atu al rahim.

7

Wahbah al Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Jilid.9, h. 7166, seperti pengertian „iddah menurut Syafi‟iyah, lihat, Abdurrahman al Jaziri, Al Fiqh „ala al Mazahib al Arba‟ah, Jilid. 4, h .465.

8Syari‟

atau yang membuat syariat dikenal juga dengan istilah Hakim atau pembuat hukum, yaitu Allah Swt. baik suatu hukum diketahui dengan perantara wahyu atau dengan jalan ijtihad. Sehingga hukum didefenisikan sebagai khitab atau ketetapan Allah Swt. lihat Wahbah al Zuhaili, Al Wajiz fi Ushul Al Fiqh, h. 144.

9

Abdurrahman al Jaziri, Al Fiqh „ala al Mazahib al Arba‟ah, Jilid. 4, h. 457. Kata firasy menunjukkan bahwa (pada masa perbudakan masih terjadi) budak perempuan yang digauli oleh tuannya, juga menjalani masa „iddah.

10

Abdurrahman al Jaziri, Al Fiqh „ala al Mazahib al Arba‟ah, Jilid .4, h .461. Diantara bentuk fasakh, seperti adanya hubungan sepersusuan antara suami istri, ditemukan aib pada salah satu keduanya, terjadi li‟an, perpindahan agama atau murtad, dll.

11

(31)

21

perceraian antara suami istri, maka wanita tidak langsung terbebas dari akibat hukum pernikahan. Tapi ia menunggu dan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain hingga berakhir masa „iddah yang telah ditentukan tersebut. 12

Sayuti Thalib dalam bukunya menyebutkan bahwa kata „iddah dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada, suami dapat rujuk kepada istrinya. Dengan demikian, kata „iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu dimana suami dapat rujuk kepada istrinya. Kedua, dengan demikian dilihat dari segi istri, masa „iddah itu akan berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu dimana istri belum dapat melangsungkan pernikahan dengan pihak atau laki-laki lain.13

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan, bahwa „iddah adalah jangka waktu tertentu yang ditetapkan syara‟ bagi perempuan pasca

putusnya perkawinan. Dan selama periode tersebut perempuan terikat hukum, berupa larangan-larangan ataupun hak-hak.

2. Dasar Hukum ‘Iddah

Dalil-dalil syar‟i atau dasar hukum syariat merupakan segala sesuatu yang dijadikan landasan ditetapkannya suatu hukum Islam. Di

12

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal al Syakhshiyyah, (Kairo: Dar Al Fikr Al Arabi, 2005), h. 371.

13

(32)

antara dalil-dalil syar‟i tersebut terdapat dalil-dalil yang telah disepakati ulama dan dalil yang masih diperselisihkan. Dalil-dalil yang telah disepakati ulama adalah Alquran, sunnah, ijma‟ dan qiyas.14

a. Alquran15

Pembahasaan dalam Alquran bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu i‟tiqadiyah, khuluqiyah dan amaliyah. Kategori amal disebut juga fiqhul Quran, yang terdiri dari dua macam. Pertama, ibadah seperti salat, puasa, haji, zakat dan sebagainya. Kedua, muamalah seperti berbagai macam akad transaksi, jinayah atau pidana dan segala bidang yang berkaitan dengan kemasyarakatan termasuk hukum perdata atau hukum keluarga.16

Bentuk penjelasan Alquran terhadap berbagai hukum yang dikandungnya dapat dikelompokkan menjadi dua metode, yaitu tafshili dan ijmali. Adapun pembahasan mengenai hukum keluarga

14

Wahbah al Zuhaili, Al Wajiz Fi Ushul Al Fiqh, (Damaskus: Dar al Fikr, 2014), h .21. Abdul Wahhab Khallaf, Cet. VIII, (Kuwait: Dar al Kuwaitiyah, 1968)h. 21.

15

Perintah dan lalrangan di dalam Alquran menempati kedudukan sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Perintah dan larangan merupakan sumber syariah yang terkandung dalam ayat-ayat ahkam. Lihat A. Rahman I. Doi, Syariah The Islamic Law, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Penerjemah Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2002), h. 57.

16

(33)

23

termasuk kategori hukum yang dijelaskan secara tafshili, karena kebanyakan hukum yang membahas hal ini, termasuk hal yang

ta‟abbudiyah.17

Jika dikaji lebih jauh, di antara hukum-hukum syara‟ yang dipaparkan dalam Alquran, hanya hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah keluarga inilah yang dijelaskan secara rinci. Misalnya, hukum-hukum tentang pernikahan, mahram, perceraian termasuk macam-macam „iddah , pembagian harta pusaka atau faraidh dan sebagainya, yang kesemuanya itu dijelaskan secara rinci oleh Alquran dan disempurnakan oleh sunnah. Sehingga seakan-seakan tidak ada satu pun hukum-hukum keluarga yang tidak didasarkan pada nash-nash Alquran dan sunnah.18

Alquran menyatakan bahwa wanita yang dicerai atau ditalak, berkewajiban menjalani masa tunggu selama tiga quru‟.19 Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. Al- Baqarah (2): 228

تٰĎĖطĚۡĕٱģ

ČĖخ Äę Ĝ ۡĚت ۡĒĩ ěأ ĜĢĕ €ĔÚĩ َģ ۚ ءٓģäč ÊثٰĖث ĜĢسĊĝأÇ Ĝ ۡصÇäتĩ

ّٱ

Ç Ĝę ۡ¼ĩ Ĝك ě½ ĜĢęÄÙ ۡãأ ٓĨف

ّٱ

ģ

ė ۡĤĪۡĕٱ

ۚäخٓ ۡۡٱ

ĜġدäÇ €ČÙأ ĜĢتĕĤعÇģ

ãأ ۡě½ كĕ ٰá Ĩف

ÃٓģدÃ

Ĕۡثę ĜĢĕģ ۚÄ ٗÚٰĖ ۡص½

ħâĕٱ

Ç ĜĢۡĪĖع

ۚفģä ۡعĚۡĕٱ

ēÄجäĖĕģ

ģ ۗ Êجãد ĜĢۡĪĖع

ّٱ

ٌĘĪĒÙ ٌæĩæع

٢٢٢

(

/ÉäĎÈĕÃ

٢

:

٢٢٢

)

17

Wahbah al Zuhaili, Al Wajiz Fi Ushul al Fiqh, h.32. Abdul Wahhab Khallaf, „Ilmu Ushul al Fiqh, h. 33. . Abdul Wahhab Khallaf menyatakan bahwa sesuatu yang dihukumi ta‟abbudi, merupakan hal yang tidak bisa dinalar oleh akal dan tidak akan berubah disebabkan perkembangan zaman.

18 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Penerjemah Saefullah Ma‟shum, dkk, Cet. XVI, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012), h. 133.

19

(34)

Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Sebab turunnya ayat tersebut adalah ketika seorang perempuan Anshar yang ditalak suaminya, datang menemui nabi Saw. dan pada saat itu belum ada ayat yang mengatur ketentuan „iddah, maka Allah menurunkan QS. Al baqarah: 288 tersebut. Dalam tafsirnya, Wahbah al Zuhaili juga menjelaskan beberapa ketetapan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. Pertama, kewajiban „iddah. Kedua, anjuran untuk rujuk. Ketiga, hak-hak suami istri.20

Perempuan yang dimaksud dalam ayat diatas adalah khusus untuk perempuan yang dalam usia haid dan mengalami haid dan telah melakukan hubungan suami istri serta tidak dalam keadaaan hamil.21 Dari keumuman lafaz al muthalaqat “wanita-wanita yang ditalak” tersebut dikecualikan beberapa kategori perempuan, yaitu anak-anak dan perempuan menopouse, maka menjalani masa „iddahnya selama tiga bulan, perempuan hamil hingga ia melahirkan dan perempuan yang ditalak sebelum dukhul tidak diwajibkan menjalani „iddah.

Adapun perempuan yang ditalak sebelum dukhul tidak wajib menjalani masa „iddah. Berdasarkan QS. Al Ahzab: 49

20

Wahbah Al Zuhaili, Al Tafsir al Munir fi al Aq‟iddah wa al Syariah wa al Manhaj, Cet.II (Damaskus: Dar Al Fikr, 2003), Jilid. 1, h. 696.

21

(35)

25

ÄĢ€ĩأٰٓĩ

Ĝĩâĕٱ

Ęت ۡÚĒĝ Ãá½ ÃٓĤĞęÃء

تٰĞę ۡ¼Ěۡĕٱ

ěأ ĔۡÈč Ĝę ĜġĤĚتۡĎĖ÷ Ęث

Ä ٗÙÃäس ĜġĤفäسģ ĜġĤعتĚف ۖÄĢĝģ€àت ۡعت Éàع ۡĜę ĜĢۡĪĖع ۡĘĒĕ ÄĚف ĜġĤ€سĚت

ٗٗĪĚج

٩٤

(

ÅÃæÙۡÃ

/

33

:

٩٤

)

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ´‟iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut´ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”

Perempuan yang ditalak sebelum didukhul maka tidak ada kewajiban „iddah baginya berdasarkan nash tersebut dan telah menjadi ijma‟ atau kesepakatan umat sebagaimana hukum „iddah bagi

perempuan yang telah didukhul.22

Ayat ini juga menunjukkan bahwa talak hanya terjadi setelah adanya akad nikah dan dibolehkan bagi suami menjatuhkan talak kepada istrinya sebelum melakukan hubungan suami istri. Namun terdapat perbedaan mengenai makna “min qabli an tamassu hunna”. Menurut imam Ahmad dan imam Syafi‟i, bahwa yang dimaksud ayat ini adalah jima‟ yaitu hubungan suami istri sehingga sesuatu selain jima‟ seperti khalwat tidak menyebabkan wajibnya „iddah. Sedangkan

menurut malikiyah dan hanafiyah, khalwah yang diperbolehkan yaitu khalwah setelah adanya akad maka disamakan dengan jima‟ sehingga

tetap diwajibkan „iddah jika terjadi talak sekalipun belum dukhul.23 Ayat ini juga mengandung hukum kewajiban bagi suami memberikan mutah untuk istri yang ditalak sebelum dukhul. Tapi

22

Wahbah al Zuhaili, Al Tafsir al Munir fi al Aq‟iddah wa al Syariah wa al Manhaj, Cet. II (Damaskus: Dar Al Fikr, 2003), Jilid.11, h. 377.

23

(36)

menurut imam Syafi‟i hukum memberikan mut‟ah belum sampai pada

ustingkat wajib, tetapi sunah. Dan jika wanita tersebut telah menentukan maharnya maka, perempuan tersebut berhak menerima setengah dari mahar yang seharusnya.24

Perempuan yang ditalak dalam keadaan hamil, wajib menjalani masa „iddah hingga ia melahirkan. Berdasarkan QS. Ath Thalaq: 425

...

تٰĕģأģ

ēÄĚ ۡÙ ۡۡٱ

Čتĩ Ĝęģ ۚĜĢĖ ۡĚÙ Ĝ ۡعöĩ ěأ ĜĢĖجأ

ّٱ

Ġĕ Ĕع ۡÖĩ

ۡĜę

ğä ۡęأ

à ٗä ۡسĩ

٩

(

/ ċٗطĕÃ

56

:

٩

)

Artinya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu „iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

Masa „iddah wanita hamil berakhir ketika ia melahirkan. Menurut malikiyah masa „iddah tetap berakhir sekalipun perempuan tersebut hanya melahirkan masih berupa segumpal darah atau segumpal daging. Sedangkan menurut syafi‟iyah disyaratkan bahwa

yang dilahirkan adalah anak dalam usia sempurna untuk dilahirkan.26 Perempuan menopouse dan perempuan yang belum haid, wajib menjalani masa „iddah selama tiga bulan. Berdasarkan QS.Ath Thalaq:4

24

Wahbah al Zuhaili, Al Tafsir al Munir fi al Aq‟iddah wa al Syariah wa al Manhaj, Jilid. 1, h. 380.

25

Setelah diturunkannya ayat mengenai ketentuan „iddah bagi wanita yang ditalak dan wanita yang ditinggal mati suaminya, seorang sahabat yaitu, Ubay bin Ka‟ab ra. datang menemui Rasul Saw. untuk menanyakan perkara „iddah wanita tua atau menopouse, anak kecil serta wanita hamil (yang belum dijeaskan dalam QS. Al Baqarah. Pertanyaan ini menjadi asbab al nuzul turunnya surat al Thalaq ayat 4 ini. Lihat, Abu Hasan Ali Bin Ahmad Al Wahidi, Asbab Al nuzul, (Beirut: Dar al Fikr, 1991), h. 290.

26

(37)

27

Ĩ ـ

ٰٓĕٱģ

Ĝę Ĝ ۡسÂĩ

ضĪÚĚۡĕٱ

ě½ ۡĘĒئٓÄسĝ Ĝę

ۡĘتۡÈت ۡãٱ

äĢ ۡشأ ÊثٰĖث ĜĢتàعف

ģ

Ĩ ـ

ٰٓĕٱ

ۚĜ ۡöÚĩ ۡĘĕ

...

٩

(

/ ċٗطĕÃ

56

:

٩

)

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa „iddahnya), maka masa „iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. QS. At- Thalaq (65): 4

Umur perempuan menopouse menurut mazhab Hanbali 50 tahun, menurut mazhab Hanafi 55 tahun, menurut mazhab Syafii 62 tahun dan menurut maliki 70 tahun.27

Sedangkan ketentuan bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dijelaskan dalam QS. Al- Baqarah (2): 234

Ĝĩâĕٱģ

äĢ ۡشأ ÊعÇ ۡãأ ĜĢسĊĝأÇ Ĝ ۡصÇäتĩ Ä ٗج ٰģ ۡåأ ěģãâĩģ ۡĘĒĞę ě ۡĤفĤتĩ

ĜĢسĊĝأ ٓĨف ĜۡĖعف ÄĚĪف ۡĘĒۡĪĖع ×ÄĞج ٗف ĜĢĖجأ Ĝ ۡغĖÇ Ãá¾ف ۖà ٗä ۡشعģ

Ç

ۗفģä ۡعĚۡĕٱ

ģ

ّٱ

äĪÈخ ěĤĖĚ ۡعت ÄĚÇ

٢3٩

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber´‟iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ´‟iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” QS. Al Baqarah (2): 234.

Pada ayat ini dijelaskan hukum hidad atau ihdad dalam pernikahan dan kewajiban „iddah bagi perempuan. „iddah sebagai jangka waktu yang ditetapkan bagi perempuan, di dalamnya perempuan diwajibkan untuk tetap tinggal di rumah, tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain, dilarang keluar rumah kecuali ada uzur syar‟i. Ketentuan ini ditetapkan untuk mengetahui

27

(38)

kekosongan rahim mantan istri atau sebagai bentuk penghormatan istri kepada suaminya yang meninggal.28

b. Sunnah 29

Sunnah berfungsi menopang Alquran dalam menjelaskan hukum-hukum Islam. Ada beberapa kedudukan sunnah terhadap Alquran. Pertama, sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, merinci ayat yang mujmal, mentakhsis ayat yang umum. Kedua, membawa hukum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuan pokok yang terdapat dalam Alquran. Dan terakhir, sunnah membawa hukum-hukum yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Alquran.30

Dalam konteks ini imam Al Syathibi berkata: “di dalam

melakukan istinbath hukum, tidak seyogyanya hanya membatasi dengan memakai dalil Alquran saja, tanpa memperhatikan penjabaran (syarah) dan penjelesan (bayan), yaitu sunnah. Sebab di dalam Alquran terdapat banyak hal-hal yang masih global (kully), sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus menengok keterangan dari sunnah.31

28

Wahbah Al Zuhaili, Al Tafsir al Munir fi al Aq‟iddah wa al Syariah wa al Manhaj, Jilid. 1, h. 739.

29

Sebagaimana kewenangan Alquran sebagai sumber utama pertama syariah, maka hadis atau sunnah pun memiliki kewenangan utama kedua yang tidak kalah pentingnya, salah satunya dalam menafsirkan Alquran. Lihat A. Rahman I. Doi, Syariah The Islamic Law, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Penerjemah Zaimudin dan Rusydi Sulaiman, h. 67.

30

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 161. Wahbah al Zuhaili menjelaskan bahwa ada empat macam kedudukan Sunnah terhadap Alquran sebagai sumber hukum, yaitu muakk‟iddah (menguatkan), mubayyinah (menjelaskan), nasikhah (menasakh atau menghapus hukum), dan yang terakhir sunah datang membawa hukum baru yang tidak disebutkan dalam Alquran. Lihat Al Wajiz fi Ushul Al Fiqh, h. 38-39.

31

(39)

29

„Iddah sebagai bagian hukum keluarga termasuk hukum yang

dibahas secara rinci dalam Alquran, sehingga beberapa sunnah yang menjelaskan tentang „iddah memiliki kedudukan menjelaskan, merinci atau mentakhsiskan jika ada kemujmalan atau keumuman ayat mengenai „iddah.

Diantara sunnah yang menjelaskan tentang ketentuan „iddah adalah, Rasulullah Saw. pernah berkata pada Fatimah binti Qais

وُبَأ ى ِجْوَز ََِإ َلَسْرَأ ُلوُقَ ت ٍسْيَ ق َتِْب َةَمِطاَف ُتْعََِ َلاَق ِمْهَْْا َِِأ ِنْب ِرْكَب َِِأ ْنَع

ْرَأَو ىِقَاَطِب َةَعيِبَر َِِأ َنْب َشايَع ِةَرِغُمْلا ِنْب ِصْفَح ُنْب وِرْمَع

ٍرََْ ِعُصآ ِةَسْمَِِ َُعَم َلَس

ْتَلاَق .َا َلاَق ْمُكِلِزَْم ِِ دَتْعَأ َاَو اَذَ اِإ ٌةَقَفَ ن َِ اَمَأ ُتْلُقَ ف ٍرِعَش ِعُصآ ِةَسَََْو

ِللا َلوُسَر ُتْيَ تَأَو ِِاَيِث ىَلَع ُتْدَدَشَف

-ملسو يلع ها ىلص

َلاَقَ ف

«

ِكَقلَط ْمَك

َلاَق .اًثَاَث ُتْلُ ق

«

ِمُأ ِنْبا ِكِمَع ِنْبا ِتْيَ ب ِِ ىِدَتْعا .ٌةَقَفَ ن ِكَل َسْيَل َقَدَص

ِِيِنِذآَف ِكُتدِع ْتَضَقْ نا اَذِإَف َُدِْع ِكَبْوَ ث ىِقْلُ ت ِرَصَبْلا ُريِرَض ُنِإَف ٍموُتْكَم

ْتَلاَق

ِواَعُم ْمُهْ ِم ٌباطُخ َِِبَطَخَف

ِِ لا َلاَقَ ف .ِمْهَْْا وُبَأَو ُةَي

-ملسو يلع ها ىلص

«

نِإ

ِنْب َةَماَسُأِب ِكْيَلَع ْنِكَلَو ِءاَسِلا ىَلَع ٌةدِش ُِْم ِمْهَْْا وُبَأَو ِلاَْْا ُفيِفَخ ٌبِرَت َةَيِواَعُم

ٍدْيَز

Diriwayatkan dari abu bakar bin abi jahm, ia mendengar fatimah

binti qais pernah berujar.”suamiku yakni abu „amr bin hafs mengirim utusan yaitu „ayyas bin abi rabi‟ah kepadaku menyampaikan talak. Dia juga mengirimkan 5 sha‟ kurma dan 5 sha‟ gandum. Lalu saya

(40)

saw bersabda, sungguh muawiyah adalah seseorang yang susah kehidupannya sedangkan abu jahm suka memukul perempuan, kemudian rasulullah saw. mengusulkan agar fatimah binti qais menikah dengan usamah bin zaid.32(HR. Muslim)

Hadis tersebut merupakan salah satu riwayat yang menjelaskan tentang ketentuan „iddah, khususnya „iddah sebab talak bain. Hadis ini menjelaskan bahwa perempuan yang sedang ber‟iddah sebab talak bain tidak lagi mendapatkan hak nafkah.

c. Ijma’

Ijma‟ merupakan salah satu dalil syara‟ yang memiliki tingkat

kekuatan argumentatif setingkat di bawah dalil-dalil nash (Alquran dan hadis) berupa kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya rasulullah Saw. terhadap hukum syara‟ yang bersifat

praktis („amaly).33

Berdasarkan nash Alquran dan sunnah tersebut maka ulama sepakat tentang kewajiban „iddah bagi perempuan dari masa Rasulullah Saw. hingga sekarang , walaupun terdapat perbedaan pendapat pada pembagian macam-macam „iddah (masalah-masalah furu‟ atau cabang).34

3. Macam-macam ‘Iddah

32

Muslim Bin Hujjaj an Naisabury, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al Afaq al Jad‟iddah, Tth), Jilid, h. 4.

33

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h.307-308. Mengenai kehujahan ijma‟, jika ijma‟ dalam satu perkara yang disertai dengan dalil yang qath‟i termasuk „iddah karena terdapat nash Alquran yang mengaturnya, maka dalam hal ini ijma berkedudukan sebagai hujjah penguat bukan hujjah yang berdiri sendiri.

Lain halnya jika dalil ijma‟ adalah dalil yang zhanni, maka ijma‟ menjadi hujjah yang berdiri sendiri dan memiliki yang kuat setara dengan Alquran dan sunnah. Lihat. Al Wajiz fi Ushul Al Fiqh, h. 50.

34

(41)

31

Berdasarkan pembatasan waktunya, „iddah dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, sebagai berikut:35

a. Hitungan Masa ‘iddah Berdasarkan Waktu Melahirkan

Ketentuan ini berlaku pada „iddah wanita hamil, baik perceraian karena talak atau sebab wafatnya suami.36 Perempuan hamil wajib menjalani masa „iddah hingga melahirkan. Karena asal disyariatkan

„iddah adalah untuk memastikan kosongnya rahim dari kehamilan atau

bara ah al rahim. Ketika perempuan yang ber‟iddah melahirkan, maka ketika itu berakhir pula masa „iddahnya, dengan syarat;37

1) Proses kelahiran telah sempurna, sehingga jika istri hamil anak kembar maka „iddahnya belum berakhir kecuali setelah kelahiran semua anak kembar tersebut, hingga rahim istri benar-benar kosong. 2) Proses persalinan selesai, baik istri melahirkan pada usia kandungan

telah sempurna ataupun prematur, baik telah ditiupkan roh atau belum.38

Abu zahrah dalam kitabnya juga menjelaskan, bahwa kelahiran yang mengakhiri masa „iddah disyaratkan bahwa yang dilahirkan adalah bayi yang telah sempurna atau sebagian. Jika yang dilahirkan belum berupa bayi, misalnya masih berupa gumpalan daging atau darah. Maka itu tidak menyebabkan berakhirnya masa „iddah. Karena ada kemungkinan itu bukanlah kehamilan tetapi suatu kelainan atau

35

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Al Syakhshiyyah, h. 373. Lihat juga, Abu Said Umar bin al Guramah al Amrawi, Ahkam al Thalaq, h. 85.

36

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Al Syakhshiyyah, h. 373. 37

Abu Said al Amrawi, Ahkam al Thalaq, h. 93. 38

(42)

penyakit dalam rahim istri. Kemungkinan tersebut membawa pada keraguan. Dan berakhirnya „iddah tidak bisa berdasarkan pada sesuatu yang belum pasti.39

Ibnu Syihab berpendapat bahwa halal bagi perempuan untuk menikah ketika telah melahirkan sekalipun masih dalam keadaan nifas. Tetapi suami tidak boleh menggaulinya hingga istri suci dari nifasnya.Jumhur ulama salaf dan para mufti Mesir juga berpendapat bahwa wanita hamil apabila suaminya wafat, maka masa „iddahnya berakhir ketika ia melahirkan dan ketentuan „iddah sebab wafat menjadi gugur.40

Sekalipun jarak waktu antara kematian suami dan melahirkan hanya satu jam. Dalam riwayat imam Muhammad, diceritakan bahwa, jika istri telah melahirkan dan mayat suami masih di pembaringan,

maka ketika itu telah dihalalkan menikah baginya.

b. Hitungan Masa ‘Iddah Berdasarkan Quru’

Makna qar‟u menurut mazhab Hanafiah dan Hanabilah adalah masa haid. Sedangkan menurut mazhab Malikiyah dan Syafiiyah, qar‟u adalah masa suci antara dua haid.41

39

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal al Syakhshiyyah, h. 373. 40

Abu Said al Amrawi, Ahkam al Thalaq,, h. 94. 41

(43)

33

Wanita yang menjalani masa „iddah berdasarkan hitungan quru‟ yaitu perempuan yang telah mengalami masa haid. Kuantitas haid perempuan bisa jadi dua kali sebulan atau hanya sekali sebulan. Maka masa „iddahnya adalah selama tiga quru‟.42

Hitungan „iddah berdasarkan quru‟ yaitu selama tiga kali haid dengan hitungan sempurna. Sehingga jika terjadi talak bid‟i maka masa

haid ketika si istri ditalaq tidak dihitung sebagai satu kali haid.43

c. Hitungan Masa ‘Iddah Berdasarkan Bulan

Perempuan yang menjalani masa „iddah dengan penghitungan batas waktu berdasarkan bulan, dapat dikelompokkan menjadi dua:

1) Hitungan bulan berdasarkan quru‟, berlaku pada tiga kategori perempuan; pertama, Ayisah atau perempuan menopouse yaitu perempuan yang tidak mengalami masa haid lagi.44 Perempuan menopause menjalani masa „iddahnya selama tiga bulan, dihitung berdasarkan perkiraan tiga kali haid. Karena berdasarkan kebiasaan perempuan normal mengalami haid satu kali selama sebulan.45

Kedua, selain perempuan menopouse, anak-anak yang belum mencapai usia balig sehingga belum mengalami haid. Maka wajib menjalani masa „iddah selama tiga bulan.46 Dan Apabila anak perempuan berumur sembilan tahun atau lebih yaitu usia remaja

42

Abu Said al Amrawi, Ahkam al Thalaq, h. 85, Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal al Syakhshiyyah, h. 374.

43

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Al Syakhshiyyah, h. 374. 44

Kira-kira berusia 55 tahun, lihat Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal al Syakhshiyyah, h. 375.

45

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Al Syakhshiyyah, h. 375. 46

(44)

atau murahiqah dan belum mengalami haid, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat;47

a) „iddahnya tetap tiga bulan. Jika pada pertengahan masa

„iddahnya, anak tersebut mengalami haid maka berpindah

hukum „iddahnya seperti halnya wanita yang haid yaitu tiga

quru‟.

b) „iddah anak tersebut adalah empat bulan sepuluh hari hingga ia yakin akan kekosongan rahimnya. Karena masa remaja, ada kemungkinan si anak untuk hamil.

Ketiga, perempuan yang mengalami istihadhah atau darah yang terus-menerus keluar. Jika ia mengetahui jadwal haidnya ketika normal, maka hitungan tersebut bisa dijadikan acuan. Sedangkan, jika tidak maka „iddah perempuan tersebut dihitung selama tiga bulan.48

2) Hitungan bulan asli (bukan perkiraan dari hitungan haid). Hitungan ini berlaku pada „iddah wafat jika istri tidak dalam keadaan hamil. Masa „iddahnya adalah selama empat bulan sepuluh hari. Karena dianggap merupakan waktu paling lama bagi seorang perempuan untuk jauh dari laki-laki. Sehingga jika ada suami yang bersumpah tidak berhubungan dengan istrinya melewati empat bulan maka dihitung sebagai talak. 49

4. Hak dan Larangan Bagi Istri dalam Masa ‘Iddah

47

Abu Said al Amrawi, Ahkam al Thalaq, h. 92. 48

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal al Syakhshiyyah, h. 375. 49

(45)

35

a.Nafkah

Selama masa „iddah, nafkah istri masih menjadi tanggung jawab suami. Menurut hanafiyah, kewajiban nafkah „iddah sama halnya dengan kewajiban memberi nafkah istri. Sehingga meninggalkannya dianggap hutang bagi suami.50

Ulama sepakat bahwa Istri dalam masa „iddahnya sebab ditalak raj‟i berhak mendapatkan nafkah. Sedangkan, bagi istri yang ber‟iddah

sebab talak ba‟in berhak mendapatkan nafkah jika dalam keadaan hamil. Jika tidak, menurut Imam Syafi‟i, maka istri hanya berhak mendapat

fasilitas tempat tinggal atau sukna yaitu tempat tinggal yang biasa didiami suami istri ketika menjalani kehidupan rumah tangga. Sedangkan menurut Ibnu Abi Laila, peremuan yang sedang „iddah sebab talak bain tidak berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Karena kewajiban nafkah adalah hak dalam suatu hubungan perkwinan. Dan wanita yang ditalak bain tidak memiliki ikatan pernikahan lagi.51 Sabda nabi kepada Fatimah Binty Qais

ِكس او كل ةقفن ا

“(kamu) tidak (berhak mendapatkan) hak nafkan maupun tempat tinggal”

Ada beberapa keadaan, istri yang sedang menjalani masa „iddah tidak berhak mendapatkah nafkah dari suami, diantaranya;52

50

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Al Syakhshiyyah, h. 383. 51

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Al Syakhshiyyah, h. 384. 52

(46)

1) Apabila akad pernikahan sebelumnya merupakan akad yang fasid, atau hubungan syubhat. Karena tidak ada kewajiban memberikan nafkah pada ikatan tersebut.

2) Apabila istri menjalani „iddah wafat maka ia tidak berhak menerima nafkah (dengan cara diambil dari harta peninggalan suami misalnya). Tidak adanya hak nafkah bagi istri yang ditinggal mati, karena nafkah adalah kewajiban suami dan tidak berpindah pada tanggungjawab ahliwarisnya ketika suami meninggal.

3) Pada perceraian sebab faskh karena kemaksiatan istri. Karena tidak ada hak bagi pelaku jarimah atau kesalahan berupa hak-haknya sebagai istri termasuk nafkah. Dengan melakukan maksiat menunjukkan bahwa istri telah meninggalkan kewajiban sehingga tidak memiliki hak untuk mendapatkan nafkah dari suami.

b.Tetapnya nasab bagi anak yang lahir pada masa „iddah.

c.Hak waris, jika salah seorang suami atau istri meninggal ketika masa

„iddah istri maka masing-masing suami istri masih bisa saling mewarisi

jika „iddah disebabkan talak raj‟i.

d.Suami dilarang menikahi saudara perempuan istri. Larangan menikah juga berlaku jika suami telah mempunya empat istri termasuk istri yang ber‟iddah.

(47)

37

f. Tidak boleh menikah dan dipinang secara terang-terangan ataupun sindiran kecuali pada „iddah wafat.53

g.Hidad atau ihdad, yaitu larangan bagi istri untuk berhias selama masa

„iddah perceraian sebab kematian suami menurut ijma. Sedangkan

hidad wajib dalam masa „iddah sebab talak bain menurut hanafiyah. Berbeda dengan syafiiyah yang tidak mewajibkannya selain pada

„iddah wafat.

5. Ihdad

Ihdad artinya meninggalkan berhias, memakai wangi-wangian, memakai pakaian yang berwarna, menjaga diri dari bertemu dengan lawan jenis. Hal-hal tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh istri sebagai hak dari suaminya yang meninggal. Pada masa jahiliyah „iddah seorang perempuan adalah selama setahun penuh. Kemudian Islam datang dengan ajarannya. 54

Terdapat beberapa ikhtilaf mengenai kriteria larangan berhias bagi wanita yang sedang berihdad. Namun masih dalam eksistensi larangan berhias yang menurut penulis juga dipengaruhi oleh makna dan kriteria berhias menurut kebiasaan penduduk setempat. Seperti yang dikutip oleh abu said al amrawi, syekh abudul aziz bin baz pernah ditanya mengenai ketentuan bagi perempuan yang ber‟iddah. Pertanyaan itu diajukan kepada beliau pada tahun 1396 H.55

53

Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal al Syakhshiyyah, h. 381-382. 54

Abu Said al Amrawi, Ahkam al Thalaq, h. 101. 55

(48)

Ketentuan bagi perempuan yang sedang ber‟iddah dapat disimpulkan seperti berikut;

a. Tetap tinggal di rumah kediamannya ketika suami meninggal. Istri tidak boleh keluar rumah kecuali ada hajat atau keperluan mendesak seperti berobat ke rumah sakit, membeli kebutuhan sehari-sehari seperti makanan. Hal ini diperbolehkan jika tidak ada orang lain yang bisa membantu untuk menggantikannya

b. Tidak memakai pakaian bagus, pakaian yan

Referensi

Dokumen terkait

Puji Syukur kepada Allah SWT, karena dengan hidayah-Nya, skripsi berjudul “ ZINE TENTANG KESETARAAN GENDER (Studi Analisis Produksi Pesan Dalam Media Zine Tentang

Dari beberapa penjelasan konsep yang berhubungan dengan kesetaraan gender disebut di atas peneliti memilih salah satu konsep yang sekaligus menjadi parameter dalam kajian ini,

Kalau dilihat dari padatnya mata pelajaran yang telah diberikan kepada siswa SLTP dan SLTA sudah begitu banyak, maka konsep kesetaraan gender ini sebaiknya terintegrasi,

Untuk mengaplikasikan teori sistem sebagai pendekatan dalam hukum Islam, Ada enam fitur sistem yang dioptimalkan Jasser Auda sebagai pisau analisis, yaitu

• Dikarenakan kurangnya perspektif gender, kesetaraan dalam UU tidak menyediakan perlindungan yang efektif untuk hak-hak perempuan.. Kesetaraan hasil (kesetaraan substantif)

Hubungan antara umur peserta dengan kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi juga menunjukkan bahwa peserta berumur kurang dari 45 tahun menyatakan kesetaraan gender dalam

Hal ini merupakan jawaban pemerintah terkait dengan kesetaraan gender dianggap perlu, untuk mendukung pembangunan baik di bidang ekonomi, politik, sosial, hukum

2 Al-Ihkam : Jurnal Hukum Keluarga Jurusan Ahwal al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Mataram yang bersifat kodrati.1 Adapun konsep kesetaraan gender yang selalu mengemuka adalah