PENINGKATAN KOMPONEN IPTEK DALAM NEGERI UNTUK INDUSTRI NASIONAL
3.1 Mainstreaming Iptek dalam Pembangunan Nasional
3.1 Mainstreaming Iptek dalam Pembangunan Nasional
Menteri Negara Riset dan Teknologi*)
Kita patut bersyukur untuk pertumbuhan ekonomi di atas 6%,
income per capita berkisar US$3000 dan GDP Rp. 7000T artinya
ekonomi kita secara bertahap terus berkembang dan bahkan kita sudah masuk menjadi anggota negara-negara G-20. Ini semua adalah berkat kerja keras kita semua. Kita bisa rasakan bahwa saat ini jumlah penduduk klas menengah juga semakin banyak, meskipun jumlah penduduk dengan pendapatan rendah masih sangat besar.
Laporan World Economic Forum (WEF) 2011/2012
menyebutkan bahwa Indonesia sekarang termasuk kategori Negara yang berada pada tahapan efficiency-driven. Apabila kita berhasil memperbaiki beberapa kelemahan-kelemahan yang ada maka niscaya negara Indonesia bisa masuk ke kategori Negara yang innovation driven.
Menurut The Global Competitiveness Report 2011-2012, daya saing Indonesia menempati peringkat ke-46 dari 142 negara. Dari 12 pilar daya saing yang dinilai, pilar kesiapan teknologi dan inovasi merupakan pilar yang mempunyai nilai terendah dibandingkan pilar-pilar lainnya. Nilai pilar kesiapan teknologi 3,33 dan pilar inovasi 3,59. Sementara itu, pilar yang tertinggi adalah pilar kesehatan dan pendidikan dasar 5,74 dan makro ekonomi 5,66. Fakta ini mengindikasi bahwa perkembangan sumber daya Iptek (S&T resource advantage) _________________
*) Besumber dari Teks Sambutan Menristek pada Sidang Paripurna- II Dewan Riset Nasional di Auditorium BPPT, Senin, 16 juli 2012
Mainstreaming Iptek Dalam Pembangunan Nasional – DRN 2012
Mainstreaming Iptek Dalam Pembangunan Nasional – DRN 2012 43 belum memberikan sumbangan yang signifikan bagi pembentukkan keunggulan posisi (positional advantage) Indonesia di dalam peningkatan daya saing. Artinya struktur ekonomi Indonesia saat ini masih terfokus pada pertanian dan industri yang mengekstraksi dan mengumpulkan hasil alam. Industri yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah produk, proses produksi dan distribusi di dalam negeri masih terbatas.
Apabila kita perhatikan data ekspor selama satu dasawarsa ini maka produk-produk manufaktur ekspor didominasi oleh produk-produk bernilai tambah rendah. Sedangkan produk manufaktur dengan kandungan teknologi menengah sampai tinggi masih rendah dan cenderung defisit.
Hal ini dapat dijelaskan apabila kita memperhatikan data volume pertumbuhan ekonomi yang meningkat akan tetapi investasi R&D tidak ada peningkatan yang berarti sehingga dapat dimengerti bahwa produk-produk yang dihasilkan tidak tersentuh oleh hasil-hasil R&D nasional. Dalam sebuah sistim masyarakat/industri, dapat saja terjadi situasi dimana iptek dikembangkan tanpa ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat industri. Bagi masyarakat/industri, dimana iptek dipandang kurang berharga artinya “iptek terdevaluasi”. Dalam kondisi demikian, maka sistim pasar mengalami hambatan untuk bisa meningkatkan efisiensi, baik efisiensi teknis maupun efisiensi alokatif karena keduanya membutuhkan kapasitas iptek.
Sebagian ekonom memperlakukan iptek sebagai faktor eksternal dari pasar, sebagian teknolog memperlakukan pasar sebagai faktor eksternal dari iptek, arena jual-beli yang meminta hasil penerapan iptek. Dari sini, terlewatkan adalah hubungan-hubungan saling terpaut secara intim antara iptek dan pasar. Transaksi pasar seringkali merupakan arena dimana iptek berkembang dan bersikulasi. Meski demikian, dalam praktiknya bisa saja kedua kegiatan ini, pengembangan
iptek dan transaksi pasar, tidak bersifat saling memperkuat
(mutual reinforcement).
Di era kepemimpinan Presiden Soeharto, bangsa Indonesia menerapkan kebijakan berwatak tekno-nasionalistik. Di-akhir 1970-an, sebuah upaya industrialisasi berbasis teknologi “garda depan” (frontier technology) dijalankan. Sebuah ekonomi dimana area produksi digerakkan oleh ide high-tech, dengan pangsa pasar internasional dan nasional, menjadi objektif dari kebijakan ini. Ini merupakan misi nasionalisme yang mengandalkan penguasaan teknologi, dan kebijakan teknologi yang berorientasi nasionalisme – tekno-nasionalisme. Para penganut tekno-nasionalisme percaya bahwa iptek “garda depan” harus dikuasai, dan bahwa daya saing ekonomi harus bersumber pada kekuatan iptek (Hill dan Thee Kian Wie, 1998). Pada era ini, beberapa inovasi besar telah dihasilkan, akan tetapi dimasa krisis ekonomi tahun 1997-1998 konsistensi kebijakan khususnya terkait dengan proyek-proyek pengembangan dan industri high-tech berubah dan menyebabkan sistim inovasi yang sedang dibentuk tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Tentu saja tidak semua pemikir ekonomi menerima paham tekno-nasionalisme tersebut. Sejak awal 1970-an, sejumlah ahli ekonomi menyarankan agar Indonesia menempuh industrialisasi dengan berbasiskan penanaman modal asing, pembangunan pabrik berpola turnkey, dan alih teknologi (Thee, 1997). Akhir-akhir ini sejumlah pakar ekonomi percaya bahwa pendekatan yang lebih tepat adalah pembangunan ekonomi yang dihela pasar (market-led economy development). Jadi disatu sisi, terdapat pandangan bahwa iptek merupakan kekuatan penentu (determining force), tetapi di pihak lain terdapat kepercayaan akan determinisme pasar. Bahwa mekanisme pasar itu sendiri yang akan menentukan jenis teknologi mana layak berkembang dan arah
Mainstreaming Iptek Dalam Pembangunan Nasional – DRN 2012
Mainstreaming Iptek Dalam Pembangunan Nasional – DRN 2012 45 perkembangannya. Dalam hal ini, mekanisme pasar merupakan kekuatan pengungkit pertumbuhan ekonomi. Mari kita belajar dari Cina terkait dengan mutual reinforcement. Seperti halnya Indonesia, Cina juga memiliki sumber daya alam yang berlimpah dan memiliki populasi penduduk yang besar. Pada tahun 1970-an negara ‘Tirai Bambu’ ini memulai bereksperimen dengan kebijakan-kebijakan untuk memacu perkembangan iptek. Deng Xiaoping beragumen bahwa: “Profound changes have taken place and new leaps have been made in almost all areas. A whole new range of new sciences and technologies is continuously emerging.”
Langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah Cina adalah antara lain, pada awalnya melakukan impor iptek dari negara-negara Barat untuk tujuan merenovasi perusahaan-perusahaan milik negara. Penanaman modal asing dirangsang untuk masuk ke Cina, tapi dengan batasan-batasan yang ditentukan oleh Pemerintah Cina. Meskipun ekonomi Cina di masa itu sudah terbuka terhadap korporat multinasional (MNC) tetapi peran MNC di pasar domestik dibatasi, dengan cara diharuskan bermitra dengan BUMN Cina.
“Torch Plan” adalah salah satu program Pemerintah, yang mencakup pengembangan berbagai kawasan high-technology. Dalam kawasan itu didirikan sejumlah perguruan tinggi berikut perusahaan-perusahaan high-technology (BUMN), yang menggabungkan riset, pendidikan dan produksi industrial. Para pelaku utama dalam proses inovasi tersebut adalah perusahaan milik negara, perguruan tinggi dan lembaga riset pemerintah. Tetapi strategi ini tidak sukses. Hubungan antara institusi riset dan perusahaan swasta Cina tidak berkembang, meskipun telah berdiri sejumlah industrial parks, hanya sedikit perusahaan swasta Cina yang berpartisipasi di situ.
Pemerintah Cina mengubah kebijakannya, dengan mengurangi kendali Pemerintah Pusat, serta lebih terbuka
lagi terhadap penanaman modal asing langsung (Foreign
Direct Investment, FDI). Pada awal 1990-an Pemerintah Cina
meminta perusahaan-perusahaan swasta Cina untuk melakukan alih teknologi dan mengupayakan peningkatan kapabilitas teknologi. Group swasta didorong untuk melakukan pengembangan produk, dengan berbasiskan riset yang berorientasi persaingan pasar. Kebijakan ini menstimulasi tumbuhnya kelompok swasta non-pemerintah yang didirikan oleh para individual dari perguruan tinggi, dengan kepemilikan secara bersama publik-swasta.
Pada tahun 1995, Pemerintah Cina mengeluarkan kebijakan baru yang bertujuan untuk mempercepat pengembangan iptek, yaitu “pengembangan riset fundamental menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan pengembangan teknologi terapan diserahkan kepada pelaku pasar dan Pemerintah Provinsi”. Perhatian pada
perusahaan kecil dan menengah mulai meningkat. Pengembangan industrial parks juga bergeser ke arah yang lebih sesuai dengan kebutuhan perusahaan kecil dan menengah. Sejumlah pusat inkubasi membentuk modal ventura untuk kelompok usaha kecil dan menengah, dan membantu mereka untuk mendapatkan pinjaman bank. Meskipun sukses merangsang pertumbuhan berbagai perusahaan berbasis iptek, muncul persoalan baru yang signifikan. Program akusisi teknologi lewat FDI justru menimbulkan dominasi pasar domestik oleh kelompok usaha multinasional berbasis asing. Di banyak sektor, para MNC bergerak jauh lebih agresif dan meraih posisi pasar yang kuat, serta mempertahankan kendali mereka atas kepemilikan teknologi. Keterbukaan terhadap FDI tidak memberikan benefit dalam bentuk alih teknologi.
Meskipun demikian, Pemerintah Cina berhasil mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi, terbukti saat ini menurut
SJR-SCImago Journal & Country Cina menempati ranking
kedua setelah AS dalam hal scientific publication (1996-2010). Mainstreaming Iptek Dalam Pembangunan Nasional – DRN 2012
Mainstreaming Iptek Dalam Pembangunan Nasional – DRN 2012 47 Demikian juga dengan jumlah paten yang terdaftar di USPTO, meningkat signifikan. Semua ini sejalan juga dengan peningkatan investasi R&D yang saat ini lebih besar dari 1.5% dari GDP. Keberhasilan ini tidak terlepas dari leadership, konsistensi kebijakan, dan infrastruktur sosial dan budaya yang berkembang sejalan dengan makin kuatnya sistim inovasi yang dibentuk.
Bagaimana dengan Indonesia? Dari sisi kebijakan dan strategi kebijakan awalnya hampir sama, akan tetapi bila kita bandingkan hasilnya saat ini sangat jauh bedanya. Apabila kebijakan S&T Pemerintah Indonesia masih berfokus pada “penguatan sistim inovasi nasional”, maka kebijakan S&T Pemerintah Cina adalah “memperkuat budaya inovasi”.
Dari ilustrasi tersebut diatas, saya ingin kaitkan dengan beberapa isu yang saat ini kita hadapi dan memerlukan masukan dan rekomendasi dari para pakar Dewan Riset Nasional.
Pertama terkait dengan upaya peningkatan investasi R&D agar mencapai 1 % GDP pada tahun 2014. Saat ini investasi yang ada adalah sebesar 0.08% dari GDP dan 80% investasi Pemerintah. Bagaimana merubah agar prosentasi tersebut meningkat dengan porsi investasi swasta lebih dominan? Kedua terkait dengan peran Iptek sebagai pilar ketiga MP3EI. Bagaimana menciptakan kondisi mutual reinforcement antara pasar dan iptek? Bagaimana mainstream iptek pada produk-produk komoditas MP3EI sesuai dengan kapasitas absorpsi teknologinya? Investasi nasional pada produk komoditas MP3EI diharapkan dapat menggambarkan juga investasi R&D (investasi litbang, jumlah SDM iptek, sarpras lab), produktivitas R&D, tumbuhnya pusat-pusat unggulan iptek bertaraf internasional, dan terciptanya klaster inovasi.
Ketiga strategi transfer teknologi. Bagaimana transfer teknologi melalui pola FDI?, transfer teknologi pada
proyek-proyek besar yang diciptakan oleh Pemerintah seperti pengembangan pesawat tempur KFX/IFX, pengadaan kapal selam dan kapal perang, proyek energi 10MW, proyek e-KTP, mobil nasional, dan lain-lain? Persepsi tentang konsep teknologi masih berbeda antara pemilik proyek/potensial pengguna, industri, dan lembaga litbang. Kesuksesan transfer teknologi sangat ditentukan oleh strategi dan kapasitas serta kapabilitas teknologi dari agent of technology transfer. Oleh karena itu, diperlukan revitalisasi industri utama khususnya terkait dengan revitalisasi teknis untuk peningkatan kapabilitas teknologi.
Keempat terkait dengan sinergi kebijakan. Bagaimana agar kebijakan iptek dapat didukung oleh kebijakan-kebijakan terkait lainnya seperti kebijakan ekonomi, kebijakan pajak dan keuangan, kebijakan industri, kebijakan pendidikan, kebijakan tenaga kerja, kebijakan infrastruktur sosial, dan lain-lain?
Kelima, di beberapa negara maju, tanggung jawab terhadap penguasaan kemandirian teknologi berada pada Kementerian sektoral terkait dan tidak berada di satu Kementerian saja. Disisi lain, transfer teknologi akan sulit terjadi pada proyek-proyek pengadaan, sedangkan proyek-proyek-proyek-proyek pengembangan riset hampir tidak ada. Isu disini adalah peran dari masing-masing Kementerian dalam penguasaan dan kemandirian teknologi terkait dengan pendekatan small many and big few dan terciptanya proyek pengembangan riset.
Isu keenam adalah tentang produktivitas R&D, index
technology readiness, index inovasi, dan infrastruktur iptek.
Perlu dipertimbangkan bahwa phenomena Swedish paradox memperlihatkan bahwa peningkatan investasi R&D tidak otomatis akan terjadi peningkatan pemanfaatan teknologi pada industri atau konstribusi iptek pada ekonomi.
Mainstreaming Iptek Dalam Pembangunan Nasional – DRN 2012
Mainstreaming Iptek Dalam Pembangunan Nasional – DRN 2012 49 Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2005 tentang Dewan Riset Nasional Pasal 4, menyatakan bahwa Dewan Riset Nasional (DRN) mempunyai tugas :
[1] membantu Menteri dalam merumuskan arah dan prioritas utama pembangunan iptek;
[2] memberikan berbagai pertimbangan kepada Menteri dalam penyusunan kebijakan strategis nasional ilmu pengetahuan dan teknologi.
DRN yang beranggotakan para pakar dari berbagai unsur kelembagaan iptek, seperti Perguruan Tinggi, lembaga riset Pemerintah, dan industri, hendaknya berperan sebagai:
gudang pakar (think tank). DRN dapat secara aktif mengkaji berbagai aspek perkembangan Iptek yang diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan pembangunan nasional;
group pakar mandiri (Independent expert group). DRN dapat memberikan second opinion terhadap berbagai kebijakan Iptek serta kebijakan-kebijakan pembangunan lainnya yang dirumuskan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, masukan dan rekomendasi DRN secara periodik terhadap isu-isu iptek yang berkembang sangatlah diharapkan.
Akhirnya, dalam kesempatan baik ini saya sampaikan terima-kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada DRN yang dalam Sidang Paripurna kali ini menyelenggrakan forum dialog nasional. Saya berharap hasil dari forum dialog ini ada rekomendasi-rekomendasi terhadap isu-isu yang berkembang dan terciptanya sinkronisasi dan harmonisasi berbagai kebijakan dalam mendorong perkembangan ekonomi yang berakar pada kemampuan teknologi dan inovasi guna peningkatan daya saing bangsa dan demi percepatan proses pembangunan nasional.
3.2 SUPREMASI HUKUM SEBAGAI BASIS PENGUATAN