• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM DAN KORELASI INDEPENDENS

C. PENGAWAS HAKIM KONSTITUSI

3. MAJELIS KEHORMATAN HAKIM KONSTITUSI

Munculnya keberadaan dari Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi tidak terlepas dari respon kejadian penangkapan Akil Mochtar juga mendapat reaksi para petinggi lembaga negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kepala negara (chief of state) dan kepala pemerintahan (chief of government) langsung memanggil enam petinggi lembaga negara pada 5 Oktober 2013 ke Istana Negara secara mendadak, seusai menghadiri peringatan HUT Tentara Nasional Indonesia di Bandara Halim Perdanakusuma. Enam petinggi lembaga negara yang hadir yakni Marzuki Alie sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Sidarto Danusubroto sebagai Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat, Irman Gusman sebagai Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Suparman Marzuki sebagai Ketua Komisi Yudisial, Hadi Poernomo sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, dan Hatta Ali sebagai Ketua Mahkamah Agung.101

Melihat adanya keadaan genting yang harus direspon demi menyelamatkan marwah Mahkamah Konstitusi maka Presiden mengerluarkan

101

Kompas, “Jalan Panjang Talik Ulur Perppu MK”

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang memuat tiga substansi. Pertama yakni penambahan persyaratan menjadi hakim konstitusi dengan latar belakang partai politik harus terlebih dulu non-aktif selama minimal 7 tahun dari partainya. Kedua, soal mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi dari presiden, DPR, dan MA yang harus terlebih dulu di seleksi oleh panel ahli yang dibentuk Komisi Yudisial. Dan ketiga, soal perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi melalui Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang harus dipermanenkan.

Tindak lanjut Perppu dari Presiden ini sesuai dengan ketentuan konstitusi pada Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD RI 1945 maka Dewan Perwakilan Rakyat harus memberikan penetapan persetujuan atau penolakan Perppu tersebut menjadi Undang-Undang. Akhirnya melalui voting pada rapat paripurna yang diselenggarakan, Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Perppu tersebut dengan mengeluarkan Undang-Undang No. 4 tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pada Pasal 27 A ayat (4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Udang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut Perppu No. 1/2013 menyatakan “Majelis Hakim Konstitusi dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial untuk menegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang bersifat tetap”. Pengaturan Majelis

Kehormatan Hakim Konstitusi pada Perppu ini memberikan akibat hukum terhadap Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi digantikan keberadaanya, hal ini dipertegas dengan pengaturan pada Pasal 87 A Perppu No.1/2013 menyatakan, “Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan terbentuknya Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.”

Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi memiliki kewenangan yang diatur pada Pasal 27 A ayat (8) Perppu No. 1/2013 antara lain :

a. memanggil hakim konstitusi yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;

b. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimity keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain; dan

c. memberikan sanksi kepada hakim konstitusi yang terbukti melanggar kode etik.

Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi memiliki keanggotaan yang diatur pada Pasal 27 A ayat (2) Perppu No1/2013, terdiri atas unsur :

a. 1 (satu) orang mantan hakim konstitusi; b. 1 (satu) orang praktisi hukum;

c. 2 (dua) orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar di bidang hukum; dan

d. 1 (satu) orang tokoh masyarakat.

Pengaturan lebih lanjut Pasal 27 A ayat (14) menyatakan, “pembentukan sekretariat berkedudukan di Komisi Yudusial dan dipimpin oleh Sekretaris Jendral Komisi Yudisial.”

Sesuai dengan konstitusi pada Pasal 24 C ayat (1) UUD RI 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki salah satu kewenangan yaitu menguji Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sejumlah advokat yang sering beracara di MK. Mereka adalah Andi M Asrun, Robikin Emhas, Syarif Hidayatullah, Heru Widodo, Samsul Huda, Dorel Almir, Daniel Tonapa Masiku, Hartanto, Samsudin, Dhimas Pradana dan Aan Sukirman102

Meskipun kekuasaan kehakiman tidak dapat diintervensi oleh cabang kekuasaan lain di luar kekuasaan kehakiman sebagaimana telah dijamin dalam UUD 1945, namun tidak berarti hakim, termasuk hakim konstitusi, memohonkan pengujian Undang-Undang No. 4 tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2013 kepada Mahkamah Konstitusi.

Namun Mahkamah Konstitusi kembali mengejutkan negeri ini dengan memberikan putusan dari 8 Hakim Konstitusi yang ada dengan suara bulat tanpa perbedaan pendapat (dissenting opinion) pada amar putusanya menyatakan untuk seluruhnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar dari pertimbangan mahkamah tersebut antara lain yang terdapat pada halam 112 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014,

Bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan yang membatasi kebebasan kekuasaan kehakiman. Kebebasan kekuasaan kehakiman bukanlah sebuah privilege dari kekuasaan kehakiman itu sendiri, melainkan ruh dari kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum. Kebebasan kekuasaan kehakiman, sebagaimana dinyatakan oleh Montesquieu, adalah untuk melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif.

102

Sindonews, “Mahkamah Konstitusi gugurkan keberadaan Penetapan UU MK”

terbebas atau kebal dari sanksi etika maupun sanksi hukum apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran baik etika maupun tindak pidana yang masing-masing pelanggaran tersebut, telah tersedia tata cara dan forum penyelesaiannya.

Dalam hubunganya dengan Komsisi Yudisial, Mahkamah telah memutus dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006, bertanggal 23 Agutus 2006 bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 B UUD 1945. Komisi Yudisial bukanlah lembaga pengawas dari Mahkamah Konstitusi apalagi lembaga yang berwenang untuk menilai benar atau tidak benarnya putusan Mahkamah sebagai putusan lembaga peradilan. Dalam praktik negara hukum, tidak pernah terjadi di manapun putusan pengadilan dapat dinilai benar atau tidak benarnya oleh lembaga negara yang lain, alih-alih oleh sebuah komisi, bahkan komentar yang berlebihan dan tidak sewajarnya terhadap kekuasaan kehakiman dalam menjalankan fungsinya menyelesaikan sengketa (dispute settlement) yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik yang meluas di banyak negara dikualifikasikan sebagai contempt of court.

Pelibatan Komisi Yudisial sebagaimana ketentuan dalam UU 4/2014 adalah merupakan bentuk penyelundupan hukum karena ersebut secara jelas betetnangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006 yang menegaskan secara konstitusional bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan Komisi Yudisial yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24 B UUD 1945. Terhadap tindakan penyelelundupan hukum yang demikian maupun tindakan yang inkonstitusional lainya harus dikoreksi oleh Mahkamah melalui upaya judicial review ini demi tegaknya konstitusi.

Berdasarkan pertimbangan hukum diatas, Mahkamah berpendapat bahwa dalil-dalil permohonan para Pemohon sepanjang mengenai Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi beralasan menurut hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini kembali menimbulkan kontroversi di masyarakat, Taufiqurahman Syahuri sebagai Komisioner Komisi Yudisial, “Ada pelanggaran kode etik oleh hakim MK ketika mengadili kasus yang berkenaan dengan dirinya sendiri dan mengabulkan permohonan dari pihak-pihak yang ‘dekat’ dengan MK.”103

103

Pusat Informasi Kompas, “MK secara Bulat Batalkan UU No 4/2014 tentang Penetapan Perppu MK”

Komisioner Komisi Yudisial yang lain, Imam Anshori Saleh juga menyesali adanya putusan MK ini bahkan menilai, “Hal ini sebagai

tragedi penegakan hukum. MK telah menggunakan kekuasaannya untuk tidak mau diawasi.”104

Respon menyadari dari lemahnya pengawasan terhadap Hakim Konstitusi selama ini dengan tertangkap tanganya Akil Mochtar membuat Mahkamah

Dengan dibatalkanya UU No. 3/2014 yang mengatur keberadaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi maka sehingga keberadaan dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang telah digantikan keberadaanya menjadi dikembalikan lagi eksistensinya dalam sistem ketatanegaraan kita.

Dari berbagai hukum normatif dan putusan hakim diatas dapat terlihat karakteristik dari Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sebagai pengawas Hakim Konstitusi, antara lain :

a. Diatur pada tingkat Undang-Undang yaitu UU Nomor 3/2014 dan Perppu No. 1/2013;

b. Kewenanganya bersifat preventif merespon pelaporan pelanggaran dan represif penindakan terhadap pelanggaran;

c. Bersifat permanen, melakukan pengawasan secara terus-menerus, merespon laporan pelanggaran, dan memberikan tindakan terhadap pelanggaran;

d. Unsur keanggotaan dari eksternal Hakim Konstitusi;

e. Saat ini status hukum kewenangan dan keberadaan institusi pengawas ini mengawasi Hakim Konstitusi sudah tidak berwenang lagi dan tidak ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia

Dokumen terkait