• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi dalam Persepektif Independensi Peradilan dan Akuntabilitas Peradilan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi dalam Persepektif Independensi Peradilan dan Akuntabilitas Peradilan"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas nikmat Iman, Islam dan ridho yang Penulis selalu dapatkan semenjak penulis hidup terutama sepanjang proses perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini yang berjudul “Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi dalam Persepektif Independensi Peradilan dan Akuntabilitas Peradilan” yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari masih teradapat banyak keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skirpsi ni, semoga kedepanya penulis dapat lebih memperbaiki karya ilmiah penulis selanjutnya baik dari segi substansi maupun metodologi penulisan. Alhamdulillah, Penulis mendapat banyak doa, semangat, saran, motivasi, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak. Prof. Budiman Ginting S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(4)

4. Bapak Dr. Oka Saidin S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Faisal Akbar, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen Pembimbing I Penulis yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

6. Bapak Yusrin Nazief, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing II Penulis yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini;

7. Bapak Armansyah, S.H., M.Hum. dan Bapak Drs. Nazaruddin, S.H. M.A. selaku dosen Penguji dalam siding skripsi ini;

8. Seluruh dosen terutama dosen-dosen Departemen Hukum Tata Negara yang telah memberikan banyak Ilmu Pengetahuan Hukum dan mendidik kepribadian Penulis;

9. Terkhusus untuk Orang Tua Penulis, Ayahanda Hazuardi, S.E. dan Ibunda Diah Sulastri Dewi, S.H., M.H. serta saudara kandung penulis Bang Suhadi Putra Wijaya, S.H dan Ka Ayu Widya Suharti S.H. yang telah memberikan begitu banyak memberikan doa, nasehat, dan mengingatkan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini ketika penulis sering lalai dalam mengerjakanya;

(5)

11. Seluruh sahabat-sahabat seperjuangan penulis yang tak bisa Penulis sebutkan satu-persatu terutama stambuk 2010 baik dalam organisasi-organisasi kemahasiswaaan maupun di kelas yang telah memberikan banyak pelajaran nilai-nilai kehidupan dan bertukar pemikiran-pemikiran kepada Penulis.

12. Seluruh senior-senior dan alumni mahasiswa yang tak bisa Penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak menurunkan ilmu akademik dan non akademik kepada penulis;

13. Seluruh adik-adik mahasiswa penulis yang tak bisa Penulis sebutkan satu-persat yang telah banyak berkerjasama dan terus menstimulus pemikiran serta ide Penulis;

14. BTM Aladdinsyah, S.H. berserta seluruh anggota dan alumni khususnya jajaran Presidium BTM Aladdinsyah S.H. dan seluruh pengurus periode 2011-2012 yang telah lebih mengenalkan kepada Penulis nikmatnya beriman,bertakwa, dan bersilaturahim;

15. Meriam Debating Club berserta seluruh coach, anggota, dan senior coach khususnya pengurus merangkap coach periode 2013-2014 yang telah menjadi wadah diskusi akademik dan pembentuk karakter kritis Penulis;

(6)

17. Seluruh rekan-rekan Mahasiswa seluruh Indonesia yang pernah berjumpa dengan Penulis untuk dapat bertukar pemikiran dan pengalaman melalui kompetisi.

Medan, Juli 2014

Penulis

NIM : 100200411

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN………..………. 1

A. LATAR BELAKANG………... 1

B. RUMUSAN MASALAH……….. 8

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN………. 8

D. KEASLIAN PENULISAN………... 10

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN………. 10

F. METODE PENULISAN……… 14

G. SISTEMATIKA PENULISAN……….… 18

BAB II TINJAUAN UMUM DAN KORELASI INDEPENDENSI PERADILAN, AKUNTABILITAS PERADILAN, DAN SISTEM PENGAWASAN PERADILAN….……… 20

A. TINJAUAN UMUM INDEPENDESI PERADILAN………. 20

B. TINJAUAN UMUM AKUNTABILITAS PERADILAN………… 25

(8)

BAB III MAHKAMAH KONSTITUSI, HAKIM KONSTITUSI, DAN

PENGAWAS HAKIM KONSTITUSI………. 42

A. MAHKAMAH KONSTITUSI…..……… 39

1. SEJARAH MAHKAMAH KONSTITUSI…….……….... 39

2. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI………….…. 1

B. HAKIM KONSTITUSI………..………... 46

C. PENGAWAS HAKIM KONSTITUSI……….….……… 49

1. KOMISI YUDISIAL………... 50

2. MAJELIS KEHORAMATAN MAHKAMAH KONSTITUSI……….. 56

3. MAJELIS KEHORMATAN HAKIM KONSTITUSI………….60

4. DEWAN ETIK HAKIM KONSTITUSI ……….... 65

BAB IV PENGATURAN SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI SERTA PERSPEKTIF INDEPENDESI PERADILAN DAN AKUNTABILITAS PERADILAN TERHADAP SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI… 71 A. PENGATURAN SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI………71

1. SUBJEKYANG DIAWASI………. 72

2. OBJEK YANG DIAWASI……….. 75

3. SUBJEKYANG MENGAWASI………. 79

(9)

B. PERSPEKTIF INDEPENDESI PERADILAN TERHADAP

SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI……… 87

C. PERSPEKTIF AKUNTABILITAS PERADILAN TERHADAP SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI... 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….… 96

A. KESIMPULAN……….. 96

B. SARAN……….. 98

(10)

SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI DALAM PERSPEKTIF INDEPENDENSI PERADILAN DAN AKUNTABILITAS PERADILAN

ABSTRAK

Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum.1 Yusrin Nazief, S.H. M.Hum.2

Muhammad Reza Winata3

Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan amanah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 begitupula dengan menjaga kehormatan dan martabat hakim. Hal ini dapat tercipta dengan adanya pengawasan terhadap etika dan perlaku hakim sehingga akan menjaga karakter hakim untuk hanya selalu setia kepada keadilan dan kebenaran. Ketika sinergi antara setiap subsistem dari pengawasan Hakim Konstitusi yaitu subjek yang diawasi, objek yang diawasi, subjek yang mengawasi, dan proses pengawasan dapat berlangsung harmonis maka independensi dan akuntabilitas peradilan akan terjaga.

Cita negara hukum Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia menuntut seluruh aspek penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berbangsa berlandaskan hukum sebagai supremasi tertinggi. Untuk menegakan supremasi hukum di negeri ini maka harus ada peradilan yang bebas dari berbagai intervensi atau biasa disebut sebagai independensi peradilan. Namun realitanya, preseden tertangkapnya pimpinan dari lembaga negara penegak hukum mengindikasikan independensi peradilan di Indonesia belum berfungsi dengan baik maka diperlukan adanya prinsip akuntabilitas peradilan untuk dapat mengawal independensi peradilan. Disinilah fungsi dari pengawasan terhadap seorang hakim akan dapat menjamin prinsip independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan saling bersinergi.

Skripsi ini membahas tentang sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi dalam perspektif independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Sistem pengawasan Hakim Konstitusi dianalisis dengan konsep independensi dan akuntabilitas peradilan untuk menemukan jawaban secara komperhensif dan kongkret terhadap permasalahan pada skripsi ini. Dari analisis tersebut salah satu yang dapat disimpulkan adalah kebebasan hakim untuk menjalankan fungsinya merupakan hal yang mutlak harus dimiliki, akan tetapi demi manjamin independesi tersebut tidak disalahgunakan menjadi tameng hukum oleh hakim maka harus ada mekanisme mempertanggungjawabkan setiap perbuatan hakim melalui pengawasan

1

Dosen Pembinging I Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum USU

2

Dosen Pembimbing II Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum USU

3

(11)

SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI DALAM PERSPEKTIF INDEPENDENSI PERADILAN DAN AKUNTABILITAS PERADILAN

ABSTRAK

Dr. Faisal Akbar Nasution, S.H., M.Hum.1 Yusrin Nazief, S.H. M.Hum.2

Muhammad Reza Winata3

Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan amanah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 begitupula dengan menjaga kehormatan dan martabat hakim. Hal ini dapat tercipta dengan adanya pengawasan terhadap etika dan perlaku hakim sehingga akan menjaga karakter hakim untuk hanya selalu setia kepada keadilan dan kebenaran. Ketika sinergi antara setiap subsistem dari pengawasan Hakim Konstitusi yaitu subjek yang diawasi, objek yang diawasi, subjek yang mengawasi, dan proses pengawasan dapat berlangsung harmonis maka independensi dan akuntabilitas peradilan akan terjaga.

Cita negara hukum Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia menuntut seluruh aspek penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berbangsa berlandaskan hukum sebagai supremasi tertinggi. Untuk menegakan supremasi hukum di negeri ini maka harus ada peradilan yang bebas dari berbagai intervensi atau biasa disebut sebagai independensi peradilan. Namun realitanya, preseden tertangkapnya pimpinan dari lembaga negara penegak hukum mengindikasikan independensi peradilan di Indonesia belum berfungsi dengan baik maka diperlukan adanya prinsip akuntabilitas peradilan untuk dapat mengawal independensi peradilan. Disinilah fungsi dari pengawasan terhadap seorang hakim akan dapat menjamin prinsip independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan saling bersinergi.

Skripsi ini membahas tentang sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi dalam perspektif independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Sistem pengawasan Hakim Konstitusi dianalisis dengan konsep independensi dan akuntabilitas peradilan untuk menemukan jawaban secara komperhensif dan kongkret terhadap permasalahan pada skripsi ini. Dari analisis tersebut salah satu yang dapat disimpulkan adalah kebebasan hakim untuk menjalankan fungsinya merupakan hal yang mutlak harus dimiliki, akan tetapi demi manjamin independesi tersebut tidak disalahgunakan menjadi tameng hukum oleh hakim maka harus ada mekanisme mempertanggungjawabkan setiap perbuatan hakim melalui pengawasan

1

Dosen Pembinging I Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum USU

2

Dosen Pembimbing II Skripsi Penulis, Dosen Fakultas Hukum USU

3

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cita negara hukum yang ideal sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam bangsa Indonesia sudah mulai dirumuskan oleh para founding father and mother (bapak dan ibu pendiri) Negara Kesatuan Republik Indonesia semenjak era kemerdekaan dan diformulasikan kembali ketika era reformasi. Ide negara hukum atau dengan istilah lain nomokrasi ini tidak dapat terlepas dari pengaruh konsep negara hukum lainnya seperti Nomokrasi Islam, Rechtstaat, Rule of Law, dan Sosialist Legal yang berkembang di dunia sehingga mempengaruhi konsepsi cita

negara hukum di Indonesia yang saat ini lebih dikenal dan diakui sebagai Negara Hukum Pancasila. Jimly Asshidiqie mencoba membandingkan ide nomokrasi dengan ide demokrasi dengan melihat dari segi etimologi (pembentukan kata) yaitu nomokrasi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata Nomos dan Kratos, nomos memiliki arti norma dan kratos memiliki arti kekuasaan sehingga

dapat dikatakan bahwa nomokrasi sangat berhubungan dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.4

Hubungan hukum dan kekuasaan secara sederhana disampaikan oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan slogan “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”5

4

Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hal 151.

5

(13)

membatasi dan meligitimasi kekuasaan yang terdapat dalam suatu negara. Salah satu konsep kekuasaan yang saat ini paling banyak dijadikan referensi bagi negara-neagara di dunia untuk membagi kekuasaan dalam suatu negara disampaikan oleh Monstesquieu dalam bukunya, “L’esprit des Lois” (1748) yang membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan yaitu6

1. Kekuasaan Legislatif, sebagai pembuat undang-undang;

:

2. Kekuasaan Eksekutif, sebagai pelaksana undang-undang;

3. Kekuasaan Yudikatif, sebagai kekuasaan untuk menghakimi pelanggaran terhadap undang-undang.

Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri karena kekuasaan tersebut dianggapnya sangat penting. Pemikiranya tersebut tidak bisa dilepaskan dari pengalamanya sebagai hakim, di mana kekuasaan yudikatif menurutnya sangat berbeda dengan kekuasaan ekskutif.7

Keberadaan kekuasaan yudikatif atau biasa disebut juga sebagai kekuasaan kehakiman dalam suatu negara hukum sangatlah merupakan keniscayaan untuk dapat mewujudkan penegakan dari hukum itu sendiri, lebih lanjut menurut The International Comission of Jurist, ciri-ciri dari negara hukum terdiri dari8

1. Negara harus tunduk pada hukum;

:

2. Pemerintah menghormati hak-hak individu; 3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

6

Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hal. 283.

7

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Jakarta : Kencana, 2009, hal. 12.

8

(14)

Independesi dalam kekuasaan kehakiman ini merupakan persyaratan utama agar lembaga peradilan dapat menjalankan fungsinya dengan ideal.

Di Negara Indonesia sendiri telah mendeklarasikan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang lebih lanjut disebut UUD RI 1945, pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Hal ini memberikan konsekuensi seluruh penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berbangsa di Indonesia harus berdasarkan hukum dan menjadikan hukum sebagai supremasi tertinggi di dalam negara. Konsep negara hukum yang bercirikan peradilan yang bebas dan tidak memihak diejawantahkan lebih lanjut dengan memisahkan kekuasaan yudikatif secara tegas terpisah berbagai dari bab-bab cabang kekuasaan negara lainya yang dapat kita lihat pada pengaturan tersendiri bab tentang Kekuasaan Kehakiman pada Bab IX UUD RI 1945.

(15)

Konstitusi yang sesuai fungsinya sering disebut sebagai lembaga pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution) dan lembaga penafsir konstitusi (The Interpreter of Constitution).9

Pada tataran realita Pasal 24 ayat (1) UUD RI tahun 1945 yang merupakan ruh dari penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam perspektif doktrin tentang nilai konstitusi tampaknya hanyalah menjadi nilai nominal bukan lagi menjadi nilai normatif.10

Tepat pada hari Rabu tanggal 2 Oktober tahun 2013 pukul 21.00 WIB, rakyat Indonesia dikagetkan dengan berita yang meruntuhkan kembali pilar independensi kekuasaan kehakiman yang seharusnya menegakan hukum dan keadilan dengan terjadinya penangkapan terhadap M. Akil Mochtar yang sedang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di rumah

dinasnya bersama Chairun Nisa sebagai anggota

Cornelis Nalau Antun sebagai pengusaha dalam Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan menerima suap dalam penanganan gugatan beserta penyitaan uang sekitar Rp. 3 miliar yang terdiri dari 284.050 dollar Singapura dan 22.000 dollar AS.12

9

Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2008, hlm. 495.

10

Nilai Nominal mengandung pengertian bahwa menurut hukum masih berlaku tetapi pelaksanaannya atau kenyataanya tidak sempurna karena ada pasal-pasal yang tidak dilaksanakan sedangkan Nilai Normatif mengandung perngertian bahwa konstitusi itu masih berlaku tidak hanya dalam arti hukum (legal) melainkan juga dalam kenyataan (realitas). Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, Yogyakarta, : Kreasi Total Media, 2007, hlm. 54.

11

Wikipedia, “Akil Mochtar 2014]

12

Kompas, “Kronologis Penangkapan Akil Mochtar”

(16)

Peristiwa ini benar-benar memutar balikan tingkat kepercayaan publik (public trust) kepada institusi Mahkamah Konsitusi dari lembaga tinggi negara yang dipercaya integritasnya menjadi lembaga tinggi negara yang dipertanyakan integritasnya, menurut data dari Lingkar Survey Indonesia sebagai berikut,13

Fakta empiris yang terjadi ini telah mengingatkan kita kembali bahwa konsep dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak dapat berdiri sendiri, dibutuhkan suatu konsep lain untuk dapat mengawal terselenggaranya independensi peradilan yang ideal yaitu konsep akuntabilitas peradilan. Hal ini diperlukan karena konsep dari kekuasaan kehakiman itu sendiri pada dasarnya menurut Brian Z Tamanaha dalam bukunya On the Rule of Law

Untuk pertama kalinya, kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi berada pada titik nadir. Pasca penangkapan ketuanya, kepercayaan publik terhadap MK merosot dibawah 30 %. Publik yang masih percaya kepada MK hanya 28.0 %. Sedangkan mayoritas publik yaitu sebesar 66.5 % tidak lagi percaya kepada MK sebagai benteng terakhir penegakan hukum di Indonesia. Sebelum “malapetaka Akil” ini, kepercayaan terhadap MK justru sebaliknya selalu diatas 60 %. “Hanya butuh seorang Akil dalam sehari untuk merobohkan MK”. Hal ini dimaklumi karena sakralnya lembaga MK selama ini dan posisi Akil Mochtar sendiri sebagai ketuanya. Preseden yang mengenaskan ini kembali menambah daftar hitam penyelenggara kekuasaan kehakiman yang terjerat kasus hukum sehingga berimplikasi terhadap terkikisnya harapan masyarakat kepada penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan cita negara hukum sebagaimana semestinya.

14

13

Lingkar Survey Indonesia, “Robohnya MK kami”

, “Kekuasaan hakim itu akan berujung pada penyalahgunaan kekuasaan. (Abuse of Power

[diakses 28 Februari 2014]

14

Ibrahim, “Independensi dan Akuntabilitas Hakim”

(17)

Judicial Corruption). Pada titik inilah Rule of Law berubah jadi Rule by Judges

maka hakim harus akuntabel. Putusan dan perilakunya harus dapat dipertanggungjawabkan secara publik.”

Dari pendapat diatas dapat kita lihat adanya hubungan kausalitas yang kuat antara akuntabilitas peradilan dengan independesi peradilan karena akuntabilitas peradilan sangat dibutuhkan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dari adanya independensi peradilan. Secara lebih umum, konsep akuntabilitas pada kekuasaan kehakiman ini tidak terlepas dari konsep umum akuntabilitas yang biasa digunakan dalam konsep Good Governance untuk mencapai penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien maka diharapkan akuntabilitas peradilan menciptakan penyelengaraan peradilan yang dapat mempertanggungjawabkan independensi kekuasaanya.

Sinergitas dari konsep independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan tersebut tercermin melalui mekanisme sistem pengawasan peradilan karena sistem pengawasan dapat menjamin agar peradilan tetap menjaga independensi dan akuntabilitas sebagaimana seharusnya. Sesuai pendapat dari Sudibyo Triatmodjo,15

15

Ansyahrul, Loc.. Cit. hlm. 155.

(18)

Sesuai dengan ruang lingkup dari penelitian ini yaitu terhadap Mahkamah Konstitusi maka pembahasan sistem pengawasan peradilan akan di fokuskan kepada pengawasan terhadap Hakim Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman. Pengawasan terhadap Hakim Konstitusi ini secara normatif mengalami berbagai perkembangan. Hal ini akan diteliti dengan menelusuri rangkaian panjang silih bergantinya norma-norma yang mengaturnya. Dimulai dari pembatalan norma yang mengatur Hakim Konstitusi juga termasuk Hakim yang diawasi oleh Komisi Yudisial16, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang17, pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat18, sampai dibatalkanya kembali norma yang mengatur pengawasan terhadap Hakim Konstitusi tersebut melalui Pengujian Undang-Undang kepada Mahkamah Konstitusi.19

Realita yang terjadi (Das Sein) dengan adanya penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah menghianati yang seharusnya terjadi (Das Sollen) haruslah menjadi perenungan bersama untuk menelaah bagaimana seharusnya hukum yang berlaku sekarang (Ius Constitutum) pada peraturan perundang-undangan idealnya dapat mewujudkan hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum). Disinilah kehadiran sistem pengawasan yang solid dan komperhensif dituntut untuk dapat menjaga kehormatan dan martabat Hakim Konstitusi agar dapat mewujudkan Hakim yang

16

Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tahun 2006.

17

Peraturan Pemerintah Penggant Kedua Atas

18

Undang No. 4 tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

19

(19)

berintegritas dan berwibawa, untuk itulah kita sangat perlu mengkaji ulang rancangan besar (grand design) dari sistem pengawasan kepada Hakim Konstitusi dari perspektif independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan secara proposional dan bersinergi demi menciptakan kekuasaan kehakiman di Mahkamah Konstitusi yang ideal, oleh karena itu dalam penelitian ini dipilih judul : “SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI DALAM PERSPEKTIF INDEPENDENSI PERADILAN DAN AKUNTABILITAS PERADILAN”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pengamatan penulis yang bersumber dari beberapa literatur peraturan perundang-undangan maupun fakta empiris di masyarakat Indonesia terutama yang berhubungan dengan Mahkamah Konstitusi maka untuk memahami lebih lanjut, penulis mengemukakan beberapa permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan mengenai sistem pengawasan Hakim Konstitusi? 2. Bagaimanakah perspektif independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan

terhadap sistem pengawasan Hakim Konstitusi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Mengetahui dan menganalisa pengaturan mengenai sistem pengawasan Hakim

(20)

b. Mengetahui dan menganalisa perspektif independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan terhadap sistem pengawasan Hakim Konstitusi

2. Manfaat

Diharapkan penelitian yang dilakukan ini akan memberikan manfaat antara lain : a. Secara Teoritis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan khazanah dokumentasi dalam segi hukum terhadap persoalan sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi dalam mewujudkan keseimbangan dan kesinergian antara independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan sebagai ikhtiar pengembangan ilmu pengetahuan Hukum Tara Negara.

b. Secara Praktis

(21)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skirpsi ini merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi dalam perspektif Independesi Peradilan dan Akuntabilitas Peradilan” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari sebuah proses penemuan kebenaran ilmiah sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenaranaya secara ilmiah pula, insyAllah. Apabila ada skripsi yang sama maka akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Independensi Peradilan

Dalam Kamus umum bahas Indonesia karangan Poerwadarminta yang dimaksud Independensi adalah berdiri sendiri. 20 Independensi secara harfiah dapat diartikan bebas, merdeka atau berdiri sendiri.21 Jika merujuk dalam Black’s Law Dictionary karangan Garner,22

20

Nur Agus Susanto, “Independesi Kekuasaan Kehakiman dan Efektivitas Sanksi untuk Kasus Hakim Penerima Suap” Jurnal Komisi Yudisial Volume-IV Nomor 1 April 2011 , hlm. 35.

21

Suparman Marzuki, “Kekuasaan Kehakiman : Independensi, Akuntabilitas, dan Pengawasan Hakim”, Bunga Rampai Komisi Yudisial Edisi tahun 2012, hlm. 285.

22

Nur Agus Susanto, Loc. Cit.

Independensi diartikan sebagai “… not subject to control or influence of another, not associated with another entity, not

(22)

merujuk dalam Black’s Law Dictionary karangan Garner,23

Richard D. Aldrich menyatakan,

“A governmental body consisting of one or more judges who is to adjudicate and administer justice”

dan/atau” the building where the judge or judges converse to adjudicate dispute and administer justice”.

24

Akuntabilitas secara etimologi berasal dari bahasa Latin : accomptare (mempertanggungjawabkan) bentuk kata dasar computare (memperhitungkan)

bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah “… that individual judges must remain free of influence, except for the dictates of law, the constitution, reasoned decision, legal precedent, and

the dictates of the judges individual cosnsciences.” (…bahwa para hakim

tersendiri harus tetap bebas dari pengaruh, kecuali atas perintah hukum, konstitusi, keputusan yang dipertimbangkan pemikiran sehat, preseden hukum, dan perintah hati nurani para hakim sendiri).

Dari doktrin yang mendefiniskan mengenai independensi peradilan diatas maka dapat dikatakan independensi peradilan adalah sebuah prinsip yang harus dimiliki oleh cabang kekuasaan yudikatif untuk bebas atau merdeka dari berbagai pengaruh atau intervensi dari pihak-pihak lain. Hakim hanya dapat dipengaruhi oleh hati nurani dan akal pikiran hakim serta peristiwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Akuntabilitas Peradilan

23

Nur Agus Susanto, Loc. Cit.

24

(23)

yang juga berasal dari kata putare (mengadakan perhitungan).25 Tuntutan akuntabilitas merupakan bagian dari prinsip good governance agar pengadilan bisa dikelola dengan baik.26 Sementara itu, definisi Peradilan jika merujuk dalam Black’s Law Dictionary karangan Garner , 27

Menurut Salman Luthan,

“A governmental body consisting of one or more judges who is to adjudicate and administer justice” dan/atau” the

building where the judge or judges converse to adjudicate dispute and administer

justice”.

28

25

Wikipedia, “Akuntabilitas

“Gagasan Akuntabilitas pada dasarnya muncul dari adanya pemberian kekuasaan kepada institusi atau seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas publik karena ia menjalankan tugas publik dalam bidang tertentu maka dia harus mempunyai pertanggungjawaban terhadap tugas publik yang ia laksanakan.”

Dari pendapat yang mendefiniskan akuntabilitas peradilan diatas maka dapat dilihat bahwa akuntabilitas peradilan merupakan pertanggungjawaban dari peradilan khususnya hakim sebagai pihak yang diberikan kekuasaan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman kepada publik sebagai pemberi kekuasaan tersebut agar tetap dapat menjamin hakim menjalankan kekuasaan kehakimanya tersebut sebagaimana seharusnya.

26

Surya Jaya, “Independensi dan Akuntabilitas harus Seiring”, Buletin, Komisi Yudisial Volume VII No.2 September – Oktober 2012, hlm. 43.

27

Nur Agus Susanto, Loc.. Cit. hlm. 35.

28

(24)

3. Sistem Pengawasan Peradilan

Memahami frasa Sistem Pengawasan maka lebih baik mendefinisikan terlebih dahulu dari masing-masing kata pembentuknya, Sistem berasal darisystēma) dansustēma) adalah suatu kesatuan

yang terdiri

memudahkan aliran29

Sedangkan pengawasan terbentuk dari Bahasa Melayu dengan kata dasar awas yang bermaksud pemerhatian teliti semasa melihat.30 Secara terminologi menurut Ansyahrul,31 “Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah pelaksanaan pekerjaan atau kegiatan telah dilakukan sesuai dengan rencana semula. Bila ternyata ditemukan adanya penyimpangan atau hambatan segera diambil tindakan koreksi.”

Ketika kita gabungkan definisi sistem dan pengawasan menjadi frasa sistem pengawasan, secara sederhana dapat dikatakan merupakan suatu kesatuan komponen-kompenen yang memiliki korelasi keterkaitan dengan tujuan untuk memperoleh informasi mengenai perbandingan antara kenyataan yang terjadi (perbuatan apatur negara) dengan yang seharusnya dilaksanakan (peraturan yang ada) sehingga apabila ada perbedaan akan ada upaya tindak lanjut.

29

Wikipedia, “Sistem” <http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem> [diakses 4 Mei 2014]

30

Wikipedia, “Pengawasan

31

(25)

F. Metode Penelitian

Metode dalam penelitian merupakan komponen yang mutlak keberadaanya dalam penelitian, menurut Soejono Soekanto secara istilah metode berarti jalan ke32 sedangkan menurut Peter R. Senn,33 “metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang memiliki langkah-langkah yang sistematis”, untuk lebih memahami mengenai metode kita dapat melihat dari peranan metode dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan sebagai berikut34

1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lengkap;

:

2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui;

3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner; dan

4. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat.

Dalam pembahasan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan untuk skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif atau dengan istilah lain atau penelitian hukum positif. Menurut Harjono penelitian hukum positif memiki makna yang sama dengan kajian hukum doktriner, kajian hukum normatif, kajian hukum murni (pure legal)35

32

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 2010, hlm. 5.

33

Bambang Sunggono, Metode Peneitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 46.

34

Soerjono Soekanto, Loc.Cit. hlm. 7.

35

Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia Publishing, 2005, hlm. 48.

(26)

dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang pantas.36 Menurut Johny Ibrahim, 37 “Penelitian Hukum Normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.” Sedangkan, ilmu hukum (normatif) sendiri bertujuan mengubah keadaan atau menawarkan penyelesaian terhadap masalah kongkret.38

2. Pendekatan Permasalahan

Dalam pembahasan skripsi ini akan digunakan beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya39, antara lain40

Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan pendekatan ini peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,

: a. Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hokum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan akadmis, penliti perlu mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut sehingga peneliti mampu menangkap kandungan filosofi yang terdapat dalam undang-undang itu dan dapat menyimpukan mengenai ada atau tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.

b. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang telah mempunyai kekuatan tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.

c. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

36

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penetlitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 118.

37

Johny Ibrahim, Loc.. Cit. hlm. 47.

38

Ibid. hlm. 53.

39

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Prenada Media, 2005, hlm. 93.

40

(27)

konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan sehingga dapat menjadi sandaran bagi peneliti dalam membangun argumentasi hukum terhadap isu yang dihadapi.

3. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan sumber data dari data sekunder, pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Adapun data sekunder memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut41

a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap terbuat (ready-made);

:

b. Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti-peneliti terdahulu; dan

c. Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat.

Di dalam penelitian hukum data sekunder pada bidang hukum mencakup42 a. Bahan Hukum Primer

:

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari : Norma atau kaidah dasar (Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945), Peraturan Dasar (Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945), Peraturan-Perundang-undangan, Bahan hukum yang tidak dikodefikasikan seperti hukum adat, Yurisprudensi, Traktat, dan Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan lain-lain.

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensikopledia, indeks kumulatif dan lain-lain.

41

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 24.

42

(28)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari peraturan-perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dokumen-dokumen pemerintah lainya, buku-buku koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-arikel yang terdapat dalam jurnal, majalah, buletin yang diambil dari media cetak maupun eletronik.

Studi kepustakaan mempunyai beberapa fungsi, meliputi43

1. Menyediakan kerangka konsepsi atau teori untuk penelitian yang direncanakan;

:

2. Menyediakan informasi tentang penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan;

3. Memberi rasa percaya diri bagi peneliti, karena melalui kajian pustaka semua konstruksi yang berhubungan dengan penelitian telah tersedia; 4. Memberi informasi tentang metode-metode, populasi dan sampel,

instrumen, dan analisis data yang digunakan pada penelitian yang dilakukan sebelumnya; dan

5. Menyediakan temuan, kesimpulan penelitian yang dihubungkan dengan penemuan dan kesimpulan kita.

4. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode survey dan metode deduksi. Metode survey yaitu usaha koleksi data dalam jumlah besar yang menyeluruh atas data yang terdiri dari

43

(29)

peraturan-peraturan hukum positif yang berlaku di dalam suatu masyarakat, tidak hanya yang berupa perundang-undangan akan tetapi juga yang berupa keputusan-keputusan lembaga peradilan dalam menyelesaikan perkara in concreto.44 Metode deduksi dikerjakan untuk menyimpulkan pengetahuan-pengetahuan kongkret mengenai kaidah yang benar dan tepat untuk diterapkan menyelesaikan suatu permasalahan tertentu.45

Bab IV : Bab IV akan membahas mengenai Pengaturan Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi dan Perspektif Independesi Peradilan dan G. Sistematika Penulisan

Bab I : Bab I merupakan bab pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas mengenai Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

Bab II : Bab II akan membahas mengenai Tinjauan Umum dan Korelasi Independesi Peradilan, Akuntabilitas Peradilan, dan Sistem Pengawasan Peradilan.

Bab III : Bab III akan membahas mengenai struktur dari Mahkamah Konstitusi, Hakim Konstitusi dan Pengawas Hakim Konstitusi yang terdiri dari Komisi Yudisial, Majelis Kehoramatan Mahkamah Konstitusi, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi, dan Dewan Etik Hakim Konstitusi.

44

Bambang Sunggono, Loc.. Cit

45

(30)

Akuntabilitas Peradilan terhadap Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi.

(31)

BAB II

TINJAUAN UMUM DAN KORELASI

INDEPENDENSI PERADILAN, AKUNTABILITAS PERADILAN, DAN SISTEM PENGAWASAN PERADILAN

A. Tinjauan Umum tentang Independensi Peradilan

Independensi merupakan prinsip berbasis kepercayaan yang berfungsi sebagai proteksi terhadap institusi maupun seorang pemegang kekuasaan yudikatif sebagai penegak keadilan dari kemungkinan intervensi atau pengaruh dari pihak-pihak yang berkepentingan, hal ini agar peradilan dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan benar.46

Konsep dari independensi peradilan telah banyak dikemukakan oleh para pakar hukum di Indonesia, pembahasan akan dimulai dengan memberikan tujuan yang hendak dicapai dari adanya independensi peradilan. Bagir Manan menyatakan,47 “Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menjamin ‘impartiality’ dan ‘fairness’ dalam memutus perkara, termasuk perkara-perkara yang langsung atau tidak langsung melibatkan kepentingan cabang-cabang kekuasaan yang lain.” Sedangkan menurut Efik Yusdiansyah tujuan dasar dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah48

a. Sebagai bagian dari sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan di antara badan-badan penyenggara Negara, kekuasaan kehakiman yang

:

46

Suparman Marzuki, “Kekuasaan …” Loc.. Cit. hlm. 285.

47

Hukum Online, “Masalah Independensi Hakim dan Rasa Keadilan Masyarakat hukumonline.com/klinik/detail/cl3026/masalah-independensi-hakim-dan-rasa-keadilan-masyarakat> [diakses pada 27/2/2014]

48

(32)

merdeka diperlukan untuk menjamin dan melindungi kebebasan individu;

b. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk mencegah penyelenggara pemerintah bertindak dengan kekerasan atau semena-mena dan menindas;

c. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintah atau suatu peraturan perundang-undagan sehingga sistem hukum dapat dijalankan dan ditegakan; dan

d. Kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, atau netral (impartiality) dari hakim dalam memutus suatu perkara.

Sedangkan untuk dapat menguji apakah tujuan dari indepedensi peradilan tersebut menurut Erhard Blakenburg dapat dilihat dari dua hal,49

Dari tujuan keberadaan prinsip independensi peradilan tersebut menunjukan bahwa kekuasaan peradilan harus merdeka dari berbagai campur tangan atau intervensi pihak-pihak yang dapat mengganggu independensi peradilan, Salman Luthan mencoba mengartikan mendeskripsikan bentuk dari intervensi terhadap independesi tersebut dengan menamakan independesi struktural dan independensi fungsional, yaitu sebagai berikut

Ketidakberpihakan (impartiality) dan keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insularity). Imparsialitas terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusanya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak berperkara. Imparsialitas proses peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim dapat melepaskan diri dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara karenanya hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika ia melihat ada potensi imparsialitas. Sementara itu, pemutusan relasi dengan dunia politik penting bagi seorang hakim agar ia tidak menjadi alat untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik.

50

Peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasaan di luar kekuasaan badan peradilan, misalnya bebas dari campur tangan eksekutif, legilatif,

:

49

Ibid.

50

(33)

dan campur tangan kekuatan-kekuatan sosial yang terdapat dalam masyarakat. Dalam pengertian ini termasuk pula pengertian peradilan tertentu bebas dari campur tangan peradilan lain (misalkan peradilan umum beras dari campur tangan peradilan militer), peradilan yang lebih rendah bebas campur tangan dari peradilan yang lebih tinggi kecuali melalui mekanisme upaya hukum dan pembinaan peradilan.

Melengkapi konsep dari bentuk intervensi ini, selain peradilan harus independen dari intervensi lembaga negara lainya dan kekuatan sosial yang terdapat dalam masyarakat, menurut Ansyahrul,51

Dari bentuk intervensi yang telah dibahas maka independensi peradilan dapat dilasifikasikan, menurut Richard D. Aldrich membagi kekuasan kehakiman yang merdeka ke dalam dua pengertian,

Dalam mengemban tugasnya Hakim harus bebas dari berbagai tekanan kepentingan, baik eksternal (kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan kekuatan-kekuatan politik lainya), maupun internal dari lingkungan kekuasaan Yudikatif sendiri. Juga terkandung di dalamnya bebas dari pengaruh-pengaruh dari pihak-pihak yang berperkara, pihak-pihak yang berkepentingan, serta pengaruh dari kepentingan Hakim itu sendiri.

52

yaitu : “Kemerdekaan personal (personal independent) dan kemedekaan substatif (substantive independent). Kemerdekaan personal adalah kemerdekaan yang dikaitkan dengan keberadaan dari individu hakim itu sendiri. Sedangkan kemerdekaan substantif adalah kebebasan yang berkaitan dengan isi dari putusan yang akan dilakukanya.” Seide dengan pendapat ini Shimon Sheret dalam Judicial Independence : New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi Independence of

Judiacry menjadi empat hal yaitu53

51

Ansyahrul, Pemuliaan Peradilan dari Dimensi Integritas Hakim, Pengawasan, dan Hukum Acara, Jakarta : Mahakamah Agung RI, 2008, hlm. 179.

52

Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 33.

: “Substantive Independence (Independensi

53

(34)

dalam memutus perkara), Personal Independence (misalnya adanya jaminan kerja dan jabatan), Internal Independence (misalnya Independensi dari atasan dan rekan kerja), dan Collective Independence (misalnya adanya partisipasi pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk penentuan budget pengadilan).” Lebih lanjut berdasarkan doktrin independesi peradilan dari Simon ini, menurut Saldi Isra Independensi Hakim yang tidak dapat disentuh hanyalah Independensi dalam memutus perkara (Substantive Independence).54

Dari sudut pandang lain Salman memberikan indikator perkembangan dari independensi peradilan yang dapat dilihat independensi dalam tataran normatif dan independesi peradilan dalam tataran budaya, seperti berikut

55

a. Independensi Peradilan dalam tataran Normatif

:

Independensi ini terkait dengan apakah norma-norma hukum memberikan perlindungan terhadap Independensi Struktural dan Fungsional dari lembaga peradilan.

b. Independensi Peradilan dalam tataran Budaya

Independesi ini terkait dengan sikap dan perilaku institusi, termasuk perilaku apaturnya (hakim) dalam menjalankan Indepedensi Struktural dan Independensi Fungsionalnya.

Melengkapi doktrin-doktrin dari independesi peradilan, Ansyahrul menyatakan bahwa independensi peradilan, “harus bebas dari dan bebas untuk”.56

1. Lembaga-lembaga negara lainya seperti eksekutif dan legislatif;

Dari konsep tersebut jika disandingkan berbagai pendapat ahli diatas dapat disimpulkan bahwa independensi peradilan mencakup dua dimensi yaitu ‘bebas dari’ dan ‘bebas untuk’. Bebas dari maksudnya, peradilan harus independen dari berbagai intervensi dari berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain seperti :

dan-masa-depan-komisi-yudisial&catid=18:jurnalnasional&Itemid=5> [diakses 3 Maret 2014]

54

Ibid.

55

Salman Luthan, Loc. Cit.. Hlm. 317.

56

(35)

2. Lembaga peradilan itu sendiri seperti atasan dan rekan kerja; 3. Pihak-pihak yang berperkara;

4. Kekuatan politik; 5. Kelompok masyarakat; 6. Media massa.

7. Kepentingan hakim sendiri.

Sedangkan bebas untuk maksudnya, hakim bebas untuk mewudkan dari tujuan-tujuan dari peradilan yang hendak dicapai dari adanya independensi peradilan antara lain :

1. Merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan lainya dalam suatu negara;

2. Menguatkan check and balances diantara cabang kekuasaan negara lainya dengan kewenangan peradilan menilai keabsahan secara hukum peraturan perundang-undagan sehingga sistem hukum dapat menciptakan keadilan dan kepastian hukum;

3. Menjaga agar hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki sikap dan perilaku adil, jujur, imparsial dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang diajukan kepadanya;

4. Menjamin agar hakim dalam melaksanakan kewenanganya tetap berdasarkan peristiwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(36)

B. Tinjauan Umum tentang Akuntabilitas Peradilan

Akuntabilitas merupakan prinsip yang dibutuhkan untuk melengkapi independensi, seperti pada independensi peradilan, basis moral dari akuntabilitas adalah kepercayaan dari masyarakat sehingga keduanya menjadi instrumen penguat kepercayaan dari pemberi kekuasaan kepemegang kekuasaan.57 Disinilah tujuan dari eksistensi akuntabilitas peradilan memiliki keterkaitan dengan independensi peradilan, menurut Shameela Seedat dalam Judicial Accountability Mechanism58

Keberadaan dari akuntabilitas tidak terlepas dari adanya kekuasaan yang dimiliki oleh suatu instansi atau seseorang, keberadaan akuntabilitas menurut Gayus Lumbun,

,

Akuntabilitas merupakan pelengkap independensi. Aturan konflik kepentingan, mekanisme pencegahan suap, dan pengawasan hakim merupakan contoh mekanisme akuntabilitas yang bertujuan memastikan hakim bertindak independen, imparsial, dan profesional dalam proses ajudikasi. Dengan begitu, mekanisme akuntabilitas tak bisa dilihat sebagai ancaman terhadap independensi, melainkan lebih menumbuhkan kepercayaan publik terhadap hakim dan peradilan.

59

57

Suparman Marzuki, “Kekuasaan…” Loc.. Cit. hlm. 302.

Akuntabilitas menuntut adanya kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah. Pemberi amanah dapat diartikan pihak yang mengangkat, pihak yang dilayani secara langsung maupun kepada pihak masyarakat atau publik, yang merupakan sumber utama dari kewenangan dan tanggung jawab yang diembannya. Untuk itu, pemegang amanah diharapkan untuk memberikan penjelasan atas apa yang telah dilakukan, baik dalam bentuk keberhasilan maupun kegagalan dalam pelaksanaan tugas yang diembanya.

58

Oce Madril, “Komisi Yudisial dan Akuntabilitas Hakim”

[diakses 1 Maret 2014]

59

(37)

Menurut Artidjo Alkostar, akuntabilitas peradilan ditujukan untuk,60 “para Hakim yang telah memiliki knowledge, skill legal technic capacity, and integrity harus dapat mempertanggung jawabkan pekerjaan profesionalnya kepada kebenaran ilmu pengetahuan, institusi, publik, hati nurani dan kepada Allah Yang Maha Kuasa.” Sedangkan Romzek menyatakan jenis-jenis dari akuntabilitas antara lain,61

Ada beberapa pendekatan untuk lebih mamahami konsep dari akuntabilitas peradilan menurut J. Djohansjah, antara lain

“(1) akuntabilitas hukum, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang rendah dengan kontrol eskternal; (2) akuntabilitas politik, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang tinggi dan control eksternal; (3) akuntabilitas hirarki, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang rendah dan kontrol internal; (4) akuntabilitas professional, dicirikan dengan otonomi kelembagaan yang tinggi dan kontrol internal.”

62

60

Artidjo Alkostar, “Independesi dan Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman”, Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim seluruh Indonesia, Lombok, 2012, hlm. 3

61

J. Djohansyah, Reformasi Mahkamah Agung menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Bekasi : Percetakan KBI, 2008, hlm. 178.

62

J. Djohansjah, Loc. Cit. hlm 181.

,

(38)

Menyambung ide pendekatan untuk membahas mengenai akuntabilitas peradilan tersebut, Gayus Lumbun memberikan konsep dari pembenahan prioritas jangka pendek adalah pengembangan akuntabilitas dan tranparansi khususnya pada aspek kinerja badan peradilan, diuraikan sebagai berikut63 :

Akuntabilitas dan Tranparansi dari aspek Kinerja merupakan aspek krusial yang menyangkut kinerja di lingkungan badan peradilan dalam hal penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. Secara konseptual, kegiatan pelatihan berkaitan dengan peningkatan kompetensi hakim. Akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan diklat sangatlah penting untuk menjamin bahwa kepersetaan dalam diklat relevan dengan bidang tugas dan tanggung jawabnya, dan narasumber yang berkompeten dengan kriteria yang jelas.

Dari berbagai argumentasi-argumentasi mengenai akuntabilitas peradilan diatas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain, dasar munculnya akuntabilitas peradilan adalah karena adanya kekuasaan yang diberikan oleh pemegang kekuasaan asli yaitu rakyat kepada pemegang kekuasaan kehakiman yaitu hakim sehingga segala aktivitas dan perbuatan hakim tersebut haruslah sesuai dengan amanah yang diberikan oleh rakyat. Realisasi dari akuntabilitas ini ditujukan terutama seharusnya kepada Allah Yang Maha Esa dan hati nurani seorang hakim, namun dikarenakan hal tersebut bersifat abstrak dan sulit diukur maka diperlukan indikator lain untuk melihat akuntabilitas dari seorang hakim yaitu melalui keprofesionalanya yang tercermin dari etika dan perilaku yang dimilikinya sedangkan akuntabilitas terhadap ilmu pengetahuan, institusi dan publik dapat tercermin melalui argumentasi hukum dalam putusanya.

63

(39)

C. Tinjauan Umum tentang Sistem Pengawasan Peradilan

Pengawasan diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim memiliki sikap berintegritas tinggi, jujur, imparsial, dan profesional dalam menjalankan kewenanganya maupun dalam keseharianya yang akan mempengaruhi tugas yudisialnya. Pengawasan dapat mencegah potensi pelanggaran atau pengabaian independensi oleh pribadi hakim sendiri, pimpinan pengadilan, dari pihak-pihak yang berperkara, tekanan kekuatan lainya, atau dari masyarakat tertentu. Pengawasan dibutuhkan untuk menjaga akuntabilitas hakim agar selalu dapat mempertanggungjawabkan setiap perbuatanya hanya berdasarkan kebenaran.64

Urgensi dari adanya sebuah pengawasan menurut Bambang Widjajanto, “Adanya sistem pengawasan yang baik yang memuat rinci atas hal-hal penting yang perlu diawasi untuk menjaga martabat dan kehormatan kekuasaan kehakiman, adanya kode etik dan, perilaku yang applicable, tersedianya tata cara dan mekanisme pengawasan yang utuh dan solid, tersedianya orang-orang yang memiliki profesionalitas dan integritas dalam melakukan pengawasan.”65

Untuk meneliti sistem pengawasan terhadap Hakim konstitusi berikut akan disampaikan konsep-konsep dari pengawasan secara umum maupun pengawasan Dalam bahasa lebih sedehana, pengawasan harus memiliki pengaturan yang jelas dan terperinci untuk dapat mencapai tujuan utama dari adanya pengawasan yaitu menciptakan hakim yang memiliki profesionalitas sesuai kode etik dan perilaku hakim.

64

Suparman Marzuki, “Kewenangan… “ Loc.. Cit. hlm. 101.

65

(40)

yang teradapat dalam lembaga peradilan. Paulus Effendi Lotulung memetakan suatu lembaga pengawasan sebagai berikut66

Konsep selanjutnya untuk dapat mengklasifikasikan sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi, menurut Suparman Marzuki menyatakan ada tiga pendekatan Pengawasan Hakim yaitu Preemtif, Preventif, dan Represif sebagai pendekatan yang saling melengkapi, sebagai berikut

:

a. Ditinjau dari segi kedudukan dari badan atau organ yang melaksanakan kontrol

1. Kontrol intern atau built in control, berarti pengawasan yang dilakukan oleh organisasi atau struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri; dan

2. Kontrol eksternal, pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisasi atau struktural berada di luar pemerintah.

b. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaanya suatu kontrol

1. Kontrol a priori, yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan pengawasan kepadanya; dan

2. Kontrol a poteriori, yakni pengawasan yang baru terjadi sesudah dikeluarkan peraturan perundangan atau sesudah terjadinya tindakan atau peristiwa yang akan dikontrol.

c. Ditinjau dari segi obyek yang diawasi

1. Kontrol segi hukum, adalah kontrol untuk menilai segi-segi pertimbangan yang bersifat hukum dari tindakan pemerintah; dan 2. Kontrol dari segi kemanfaatan, adalah untuk menilai tepat tidaknya

tindakan pemerintah dilihat dari segi pertimbangan kemanfaatannya.

67

a. Pengawasan dengan Pendekatan Preemtif :

Dijalankan dengan program-program peningkatan kapasitas (pelatihan) dan peningkatan kesejahteraan.

b. Pengawasan dengan Pendekatan Preventif

Dilakukan dengan pemantauan persidangan, pemantauan terhadap hakim tertentu secara rutin atau insidental.

c. Pengawasan dengan Pendekatan Represif (penindakan)

66

Ahmad Basuki, “Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebagai Upaya dalam Mewujudkan Akuntabilitas Peradilan Pidana”, Jurnal Perspektif Volume XVIII No. 1 Tahun 2013 Edisi Januari, hlm. 62.

67

(41)

Dijalankan dengan program pemanggilan dan pemeriksaan, serta penjatuhan sanksi baik karena tindakan murni perilaku maupun putusannya.

Sebagai bahan perbandingan, Ahmad Fadlil Sumadi memberikan gambaran konsep pengawasan terhadap ranah kekuasaan Mahkamah Agung, pengawasan internal dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara dan pengawas tertinggi terhadap pengadilan yang berada dibawahnya sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. 68 Pengawasan internal dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pengawasan melekat dan pengawasan fungsional, dengan penjabaran sebagai berikut69

Sedangkan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial jika kita ingin melihat konsep pengawasanya bisa dilihat dari pernyataan Charles Simabura yang menyatakan,

: a. Pengawasan Melekat

Merupakan fungsi pengawasan yang inheren dalam fungsi kepempimpinan pengadilan dalam perspektif manajemen atau fungsi pengadilan atasan dalam perspektif susunan kelembagaan.

b. Pengawasan Fungsional

Merupakan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh satuan organisasi yang sengaja dibentuk untuk menjalankan fungsi tersebut, yakni jika di Mahkamah Agung adalah Badan Pengawas Mahkamah Agung.

70

68

Ahmad Fadlil Sumadi, Pengawasan dan Pembinaan Pengadilan, Jakarta Timur : Setara Press, 2001, 180.

69

Ibid.

70

Charles Simabura. Membangun Sinergi dalam Pengawasan Hakim, Jurnal Mahkamah Konstitusi Volume 6 Nomor 2 bulan Juli tahun 2009, hlm. 47.

(42)

Kembali ke pemikiran Ahmad Fadlil melengkapi konsep pengawasan internal, menyatakan ada dua bentuk pengawasan berdasarkan pelaksanaanya, antara lain71

Setelah membahas urgernsi dan klasifikasi dari pengawasan dalam peradilan maka selanjutnya yang akan di sampaikan adalah mengenai objek yang akn menjadi pengawasan dalam peradilan khususnya bagi seorang hakim yaitu etika dan perilaku dari seorang hakim. Ruang lingkup pengawasan terhadap etika dan perilaku hakim ini masihlah sangat relevan dengan konsep pengawasan

:

a. Pengawasan dengan Pelaksanaan Aktif dan Terus-menerus

Proses pengawasan ini dilakukan secara rutin dan reguler maka penyelenggaraan fungsi pengawasan ini memerlukan pengelolaan berdasarkan fungsi-fungsi menajemen, sehingga terdapat manajemen pengawasan. Pelaksanaan Pengawasan Aktif ini digunakan untuk melaksanakan Pengawasan Internal dengan bentuk Pengawasan Melekat dan Pengawasan Fungsional seperti yang dijelaskan sebelumnya.

b. Pengawasan dengan Pelaksanaan Pasif

Proses pengawasan yang pelaksanaanya bergantung pada adanya pengaduan dari masyarakat. Pengaduan ini dilaksanakan dengac cara monitoring, observasi, konfirmasi, dan/atau investigasi guna menungkapkan kebenaran hal yang diadukan. Pengaduan merupakan masukan yang berasal dari pengawasan masyarakat terhadap jalanya peradilan dan perilaku hakim yang menjalalankanya. Pemimpin atau lembaga pengawas berkewajiban untuk menindaklanjuti setiap pengaduan. Kewajiban tersebut dikonstruksikan bersuber dari hak masyarakat dalam mengawasi jalanya peradilan yang baik dalam konsep negara hukum yang demokratis. Termasuk ke dalam pengawasan pasif ini adalah penerimaan laporan dari pengadilan atau pimpinan bawahan kepada pengadilan atau pimpinan yang lebih tinggi, baik laporan yang bersifat rutin maupun laporan insidentil ketika terjadi kasus.

71

(43)

terhadap peradilan secara umum, dengan berbagai alasan menurut Imam Anshori Shaleh berikut72

Pengawasan terhadap etika dan perilaku hakim ini tidak dapat terlepas dari enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, seperti yang tercatum dalam The Bangalore Principle of Judicial Conduct, antara lain

:

1. Pada umumnya, sasaran pengawasan terhadap hakim adalah pemeliharaan atau penjagaan agar negara hukum dapat berjalan dengan baik;

2. Tolak ukurnya adalah hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan dan tindakan hakim dalam bentuk material maupun hukum formal (rechmatigheid), serta maanfaatnya bagi kesejahteraan rakyat (doelmatigheid);

3. Ada pencocokan antara perbuatan dan tolak ukur yang telah diteteapkan;

4. Jika terdapat tanda-tanda akan terjadi penyimpangan terhadap tolak ukur tersebut dapat dilakukan tindakan pencegahan.

73

72

Imam Anshori Shaleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang : Setara Press, 2014, hlm. 128.

73

Ibid. :

1. Independensi (Independence Principle)

Yaitu jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum.

2. Ketidakberpihakan (Impartiality Prniciple)

Adalah prinisip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya;

3. Integritas (Integrity Principle)

Merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatanya;

4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Priciple)

Adalah norma kesusilaan pribadi dan norma kesusilaan antara pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan;

(44)

Merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial, ekonomi, umur, pandangan politik ataupun alasan-alasan yang serupa;

6. Kecakapan dan keseksamaan (Competence and Diligence Principle) Merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik

dan terpercaya. Kecakapan tercerin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan kesamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas professional hakim.

(45)

D. Korelasi Independesi Peradilan, Akuntabilitas Peradilan, dan Pengawasan Peradilan

Dari ketiga komponen pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya yaitu independensi peradilan, akuntabilitas peradilan, dan sistem pengawasan peradilan dapat di hasilkan sebuah korelasi yang saling menghubungkan ketiga hal tersebut. Kembali kepada konsep peradilan secara umum, Bagir Manan menyatakan ada 4 (empat) asas peradilan demokratis yaitu74

1. Prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), hal ini menyebabkan tidak boleh membentuk pendapat umum yang dikesankan bahwa terdakwa bersalah;

:

2. Larangan peradilan oleh Pers (Trial by press), tidak jarang pengadilan oleh pers ini melanggar hak pribadi dan kematian perdata atau pembunuhan karakter terhadap seseprang bahkan terhadap keluarganya;

3. Prinsip Fairness, yang mengandung makna tidak saja memuat tanggung jawab hakim untuk berlaku jujur dan tidak memihak, tetapi mengandung makna pula bahwa setiap pihak yang berperkara (termasuk terdakwa) mempunyai kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara. Keadilan bukan hanya hak publik atau hak korban, tetapi juga hak mereka yang disangkakan bersalah atau sedang diadili; dan

4. Prinsip kebebasan hakim, kebebasan ini termasuk di dalamnya bebas dari rasa kebimbangan dan rasa takut hakim sebagai akibat dari adanya tekanan publik baik berupa perusakan gedung pengadilan atau penganiayaan yang ditunjukan pada hakim.

Dari pendapatnya tersebut terlihat konsep independensi peradilan sangat dibutuhkan untuk menciptakan peradilan yang demokratis, lebih lanjut Bagir Manan berpendapat bahwa ada beberapa substansi dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu75

1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam menyelenggarakan fungsi peradilan atau fungsi yustisial meliputi

:

74

Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 35.

75

(46)

memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa, dan kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum;

2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu putusan atau ketetapan hukum;

3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim bertindak objektif, jujur, dan tidak memihak;

4. Pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum baik berupa hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri;

5. Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur tangan dari kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman; dan

6. Semua tindakan terhadap hakim samara-mata dilakukan menurut undang-undang.

Meski demikian, konsep independensi peradilan bukanlah tanpa batasan. Al insaanu ma’al khoto’ wal nisyaan, manusia adalah tempat salah dan lupa.

Pepatah Arab tersebut memiliki korelasi dengan doktrin umum yang diungkapkan oleh Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power, courrupt absolutely. Kekuasaan cenderung dikorupsi, kekuasaan mutlak, mutlak dikorupsi. Hal inipun disadari oleh Bagir Manan yang merumuskan bahwa diperlukan batasan-batasan terhadap independensi kekuasaan kehakiman yaitu76

1. Hakim hanya memutus menurut hukum, hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim dalam memutus perkara kongret harus dapat menunjuk secara tegas ketentuan hukum dalam perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan asas legalitas dari suatu negara yang berdasarkan hukum;

:

2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan. Hal ini berimplikasi bahwa hakim dapat melakukan penafsiran, melakukan konstruksi, bahkan tidak menerapkan atau mengenyampingkan suatu ketentuan hukum yang berlaku. Semua itu dilakukan dalam rangka menciptakan keadilan sehingga tidak dapat dilaksanakan dengan sewenang-wenang;

3. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan menindak hakim yang sewenang-wenang atau menyalahgunakan kewenangan atau kebebasannya.

76

(47)

Sehingga dibutuhkan suatu konsep lagi untuk dapat mendampingi konsep independensi peradilan yaitu akuntabilitas peradilan.

Fungsi akuntabilitas peradilan terhadap independensi peradilan ini menurut Suparman Marzuki,77

Pembatasan mengenai independensi peradilan dengan adanya akuntabilitas peradilan lebih lanjut menurut Suparman Marzuki menyatakan,

“Keberadaan Akuntabilitas adalah untuk memastikan bahwa kewenangan kekuasaan kehakiman dilaksanakan dengan baik, sumber daya dipakai secara patut, sekaligus untuk mencegah timbulnya “tirani yudisial” yang pada akhirnya akan menghancurkan prinsip Independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri.” Jadi fungsi dari akuntabilitas peradilan ini akan mengawal agar independensi peradilan tidak disalahgunakan oleh pemegang kekuasaan kehakiman maka segala aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.

78

Mengkorelasikan antara independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan dengan sistem pengawasan peradilan maka pendapat Paulus E Lotolung

“Tidak ada independensi tanpa pertanggungjawaban. Indepedensi dibatasi oleh asas-asas umum berperkara yang baik, oleh hukum materiil dan formil yang berlaku, kehendak para pihak yang berperkara, komitmen ketuhanan para hakim, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE dan PPH), serta nilai-nilai keadilan.” Aspek-aspek inilah yang harus dicapai untuk dapat menciptakan independensi peradilan yang akuntabel.

77

Suparman Marzuki, Kewenangan Komisi Yudisial dalam konteks Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman. Bunga Rampai Komisi Yudisial Edisi tahun 2013. Hlm. 101.

78

(48)

dalam makalahnya “Streghtening the Independence and Efficiency of Judiciary” berikut dapat dijadikan rujukan79

Menanggapi doktrin tersebut Imam Anshori Shaleh memberikan pandanganya terhadap eksistensi dari pengawasan peradilan terhadap independensi dan akuntabilitas peradilan, pengawasan diharapkan,

,

“…perlunya independensi peradilan tidak berarti bahwa hakim tidak dapat dikritik atau diawasi. Sebagai keseimbangan dari independensi, selalu harus dapat terdapat akuntabilitas peradilan atau tanggung jawab peradilan untuk mencegah ketidakadilan. Mekanisme tu harus dikembangkan oleh lembaga peradilan itu sendiri dan masyarakat dalam pengertian untuk menjadi akuntabilitas seorang hakim.”

80

Pengejawantahan dari pertemuan konsep independensi dan akuntabilitas peradilan ini yang secara mekanisme terdapat dalam sistem pengawasan peradilan, dengan adanya pengawasan maka hakim khususnya hakim sebagai

1. Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidak-adilan.

2. Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidak-adilan.

3. Mendapatkan cara-cara yang lebih baik untuk mencapai tujuan dalam melaksankan tugas pokok dan fungsinya secara efektif.

Dari berbagai pandangan dari ahli hukum diatas maka dapat di simpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara konsep independensi peradilan dan akuntabilitas peradilan dengan pengawasan. Independensi peradilan yang merupakan prinsip dasar untuk terciptanya kekuasaan kehakiman yang professional tidak bisa berjalan dengan sendirinya, disinilah prinsip dari akuntabilitas peradilan melengkapi independensi peradilan untuk menghindari terhadap penyalahgunaan independensi peradilan tersebut.

79

Imam Anshori Shaleh, Loc. Cit. hlm. 127.

80

(49)
(50)

BAB III

MAHKAMAH KONSTITUSI, HAKIM KONSTITUSI, DAN PENGAWAS HAKIM KONSTITUSI

A. Mahkamah Konstitusi sebagai Cabang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

1. Sejarah Mahkamah Konstitusi

Reformasi marupakan suatu evaluasi terhadap problematika dalam kehidupan bernegara yang mengalami stagnansi. Problematika bernegara pra reformasi di Indonesia dideskripsikan oleh Soimin dan Mashuriyanto dengan menyatakan,81

Perubahan fundamental yang merupakan resultante era reformasi terjadi pada Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi tertulis Republik Indonesia dengan mengalami empat kali perubahan yaitu ; pertama pada tanggal 19 Oktober 1999, kedua pada tanggal 18 Agustus 2000, ketiga pada tanggal 9 November

Sistem ketatanegaraan yang dibangun pada masa Orde Baru tidak mencerminkan sistem kehidupan bernegara yang demokratis, seharusnya kehidupan bernegara yang mencerminkan sistem pemerintahan yang demokratis salah satunya adalah tingkat partisipasi masyarakat dalam pemerintahan serta adanya mekanisme check and balances di antara lembaga-lembaga negara dalam menjalankan kebijakan Negara.

Reformasi menuntut terjadinya perubahan pada ketatanegaran di Indonesia untuk menemukan solusi menjawab problematika tersebut yaitu dengan mencari model ketatanegaraan terbaik yang paling relevan bagi Indonesia.

81

(51)

2001, dan perubahan keempat pada tanggal 10 Agustus 2002. Keseluruhan perubahan konstitusi tersebut tentunya mempunyai implikasi terhadap adanya penghapusan lembaga negara dan penambahan lembaga negara baru. Lembaga negara yang dihapus adalah Dewan Petimbangan Agung (DPA), sedangkan lembaga negara yang baru adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Bank Sentral (Bank Sentral Indonesia), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan TNI/Polri. Khusus pada penelitian ini pembahasan akan dikhususkan pada institusi negara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Falsafah dari pembentukan Mahkamah Konstitusi menurut Abdul Rasyid, 82

Pembentukan Mahkamah Konstitusi juga merupakan penegasan terhadap prinsip Negara Hukum dan perlindungan Hak Asasi (Hak Konstitusional) yang telah dijamin oleh Konstitusi. Selain itu, pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa problem yang terjadi dalam “Untuk menciptakan sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut asas pemisahan kekuasaan (separation of power) secara fungsional dan menerapkan “check and balances” untuk menggantikan secara bertahap pengunaan asas pendistribusian kekuasaan (distribution of power) dan paham integralisme dari lembaga tertinggi negara.” Hal ini merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara.

82

(52)

praktik ketatanegaraaan yang sebelumnya tidak ditentukan.83 Keberadaan dari Mahkamah Konstitusi juga memberikan harapan baru bagi para pencari keadilan di tengah masyarakat yang sedang mengalami krisi

Referensi

Dokumen terkait

(Mahmud et al., 2005) Penelitian ini bertujuan untuk membuat blok rem komposit menggunakan arang tempurung kelapa sebagai material subtitusi grafit pada blok

Pada hari ini, Senin tanggal Sembilan belas bulan Maret tahun Dua Ribu Dua Belas, sesuai dengan jadual yang termuat pada website http://lpse.kemendag.go.id , Pokja

Data diperoleh dari Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (www. bi.go.id); (b) Pendapatan dalam penelitian ini merupakan total produk

Sinergi kebijakan pembangunan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota tersebut dituangkan ke dalam salah satunya dokumen perencanaan yang

Pada tabel dapat dilihat bahwa persentase kedua blok lebih dari 70% dan hasil uji t-student juga menunjukkan bahwa persentase kedua blok tidak berbeda nyata

Hasil penelitian dengan menggunakan regresi linear berganda menunjukkan bukti bahwa DPK dan CAR berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyaluran kredit

Abstrak: tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melakukan pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan, dan implikasi

Hakikat belajar menurut teori kognitif merupakan suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi perceptual, dan proses internal. Atau