• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENGATURAN SISTEM PENGAWASAN HAKIM

4. PROSES PENGAWASAN

Setelah sudah semakin jelas sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi dalam penelitian ini, mulai dari subjek yang diawasinya adalah Hakim Konstitusi, objek pengawasanya adalah Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, dan subjek yang mengawasinya atau pengawasnya untuk saat ini yang masih berfungsi adalah Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, selanjutnya yang kita akan bahas adalah bagaimana institusi ini menegakan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi melalui pengawasanya dan direlevansikan dengan berbagai doktrin tentang pengawasan.

Untuk dapat melihat proses dari pengawasan terhadap Hakim Konstitusi yang dilakukan oleh Dewan Etik Hakim Konstitusi maka kita dapat meninjau berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, dari kewenangan ini akan terlihat bagaimana Dewan Etik Hakim Konstitusi dapat melaksanakan fungsinya sebagai penjaga dan penegakan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku Hakim Konstitusi. Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi dinyatakan, Dewan Etik Hakim Konstitusi untuk melaksanakan tugasnya sesuai pada Pasal 4 PMK No. 2/2013mempunyai wewenang sebagai berikut,

a. memberikan pendapat secara tertulis atas pertanyaan Hakim mengenai suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a;

b. memanggil dan memeriksa Hakim Terlapor atau Hakim yang Diduga melakukan pelanggaran, pelapor, serta pihak lain yang berkaitan;

c. memberikan teguran lisan atau tertulis kepada Hakim Terlapor atau Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran ringan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a;

d. mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan untuk memeriksa dan mengambil keputusan terhadap Terlapor atau Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, serta dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim yang diduga melakukan pelanggaran telah mendapat teguran lisan dan/atau tertulis sebanyak 3 (tiga) kali.

Dari kewenangan Dewan Etik Hakim Konstitusi tersebut kita akan menganalisa bentuk pengawasan yang dimiliki oleh Dewan Etik Hakim Konstitusi terhadap Hakim Konstitusi, dimulai dengan doktrin dari Suparman Marzuki menyatakan, ada tiga pendekatan pengawasan hakim yaitu Preemtif, Preventif, dan Represif,118

118

Suparman Marzuki, “Kewenangan… “ Loc.. Cit. hlm. 102.

seperti yang telah diuraikan sebagaimana sebelumnya. Dari 4 kewenangan yang dimiliki Dewan Etik Hakim Konstitusi terlihat ada 2 pendekatan yang relevan yaitu pengawasan dengan Pendekatan Preventif yaitu

dilakukan dengan pemantauan persidangan, pemantauan terhadap hakim tertentu secara rutin atau insidental. Pendekatan Preventif ini terlihat pada kewenangan huruf a. Sedangkan Pengawasan dengan Pendekatan Represif (penindakan) yaitu dijalankan dengan program pemanggilan dan pemeriksaan, serta penjatuhan sanksi baik karena tindakan murni perilaku maupun putusannya. Pendekatan Represif ini teradapat pada kewenangan huruf b dan c dari Dewan Etik Hakim Konstitusi.

Hal menarik selanjutnya adalah ternyata yang melakukan pengawasan dengan Pendekatan Represif bukan hanya Dewan Etik Hakim Konstitusi, sesuai kewenangan Dewan Etik Hakim Konstitusi pada huruf d yaitu membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi maka setelah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini terbentuk dengan kewenanganya akan melakukan Pengawasan dengan Pendekatan Represif yaitu sesuai pada Pasal 7 PMK No. 1/2013, “berwenang, memeriksa dan mengambil keputusan terhadap laporan dan/atau informasi bahwa Hakim Terlapor diduga melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, serta tidak melakukan kewajiban dan melanggar larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 27B Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.” Dengan kewenangan ini Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 8 PMK No. 1/2013 juga diberikan tugas untuk :

a. pengumpulan informasi dan bukti terkait dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Terlapor;

b. pemanggilan terhadap Hakim Terlapor, pelapor, saksi, dan ahli untuk didengarkan keteranganya;

d. penyampaian Keputusan Majelis Kehormatan kepada Mahkamah Konstitusi.

Berbeda pula doktrin dari Ahmad Fadlil melengkapi konsep Pengawasan Internal, menyatakan ada dua bentuk Pengawasan berdasarkan Pelaksanaanya, antara lain Pengawasan dengan Pelaksanaan Aktif dan Terus-menerus yaitu proses pengawasan ini dilakukan secara rutin dan regular dan Pengawasan dengan Pelaksanaan Pasif yaitu proses pengawasan yang pelaksanaanya bergantung pada adanya pengaduan dari masyarakat. Pengaduan ini dilaksanakan dengan cara monitoring, observasi, konfirmasi, dan/atau investigasi guna menungkapkan kebenaran hal yang diadukan.119

Pengawasan Internal dengan Pelaksanaan Pasif ini juga memiliki perbedaan dari pihak yang melakukan tindakan sebelumnya untuk direspon Dewan etika yaitu permohonan atau pengaduan. Pada huruf b,c,dan d memang sesuai dengan doktrin yang yang mengatakan bergantung pada pengaduan dari

Dari kewenangan a,b,c dan d dapat kita lihat bahwa Dewan Etik Hakim Konstitusi melakukan pengawasan setelah aksi atau tindakan dari pihak lain atau merupakan respon dari pihak lain. Jadi Dewan Etik tidak dapat melaksanakan fungsinya ketika tidak ada perbuatan atau aksi dari pihak lain sehingga terlihat Dewan Etik tidak memiliki Pengawasan dengan Pelaksanaan Aktif dan Terus- menerus. Dapat dikatakan Dewan Etik dalam melaksanakan kewenangannya merupakan pengawasan dengan Pelaksanaan Pasif cara monitoring, observasi, konfirmasi, dan/atau investigasi berdasarkan permohonan atau pengaduan yang terdapat pada kewenangan pada huruf a,b,c,dan d.

119

masyarakat, akantetapi pada huruf a terlihat suatu konsep yang berbeda ternyata Pengawasan Pasif ini tidak hanya terbatas dari masyarakat akan tetapi juga bisa dari pihak Hakim Konstitusi sendiri dengan meminta pendapat kepada Dewan Etik terhadap suatu perbuatan yang mengandung keraguan sebagai pelanggaran.

B. Perspektif Independesi Peradilan terhadap Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi

Sesuai dengan kesimpulan mengenai konsep independensi peradilan yang telah dikaji pada bab sebelumnya yaitu independensi peradilan mencakup dua dimensi yaitu ‘bebas dari’ dan ‘bebas untuk’. Bebas dari maksudnya, peradilan harus independen dari berbagai intervensi dari berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain seperti :

1. Lembaga-lembaga negara lainya seperti eksekutif dan legislatif; 2. Lembaga peradilan itu sendiri seperti atasan dan rekan kerja; 3. Pihak-pihak yang berperkara;

4. Kekuatan politik; 5. Kelompok masyarakat; 6. Media massa.

7. Kepentingan hakim sendiri.

Sedangkan bebas untuk maksudnya, hakim bebas untuk mewudkan dari tujuan- tujuan dari peradilan yang hendak dicapai dari adanya independensi peradilan antara lain :

1. Merupakan pengembangan lebih lanjut dari konsep pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan lainya dalam suatu negara;

2. Menguatkan check and balances diantara cabang kekuasaan negara lainya dengan kewenangan peradilan menilai keabsahan secara hukum peraturan perundang-undagan sehingga sistem hukum dapat menciptakan keadilan dan kepastian hukum;

3. Menjaga agar hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki sikap dan perilaku adil, jujur, imparsial dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara yang diajukan kepadanya;

4. Menjamin agar hakim dalam melaksanakan kewenanganya tetap berdasarkan peristiwa hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. Melindungi hak-hak individu dari setiap warga negara agar tetap sesuai dengan hukum.

Dikaitkan dengan sistem pengawasan Hakim Konstitusi saat ini, Kekuasaan kehakiman membutuhkan independensi, sebagaimana yang disampaikan Suparman Marzuki, independensi adalah proteksi yang berbasis pada kepercayaan terhadap manusia penyandang kewenangan yudikatif sebagai penegak keadilan yang harus dilindungi dari kemungkinan intervensi darimanapun agar dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan benar.120

120

Suparman Marzuki, “Kekuasaan …” Loc.. Cit. hlm. 285.

Disinilah penyandang kekuasaan yudikatif tersebut didalam pengaturan sistem pengawasan Hakim Konstitusi adalah Hakim Konstitusi sebagai subjek yang diawasi demi tercapainya Independensi Hakim Konstitusi untuk menghindari

adanya intervensi dari pihak manapun sehingga Hakim dapat malaksanakan kewenangan sebagaimana seharusnya.

Untuk menjamin Independensi atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman itulah menurut Bagir Manan berpendapat bahwa ada beberapa substansi dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu salah satunya pengawasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui upaya hukum baik berupa hukum biasa maupun luar biasa oleh dan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman sendiri.121

Setelah kita mendapatkan hubungan pengaturan sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi dapat mewujudkan independensi peradilan, selanjutnya akan dibahas bentuk dari independensi peradilan yang tercipta dari adanya sistem pengawasan terhadap Hakim Konstitusi tersebut. Komponen dari sistem pengawasan yang berperan untuk menjabarkan hal ini adalah pada objek pengawasan terhadap Hakim Konstitusi yaitu Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor

Agar tercipta independensi peradilan yang substansial tersebut maka pengawasan sangat dibutuhkan eksistensinya kepada Hakim sebagai penyandang kekuasaan yudikatif. Upaya Hukum tersebut diatur dalam Peraturan Sistem Pengawasan terhadap Hakim Konstitusi yang diatur dalam PMK No. 2/2013 tentang Dewan Etik Hakim Konstitusi dan PMK No. 1/2013 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Dari dua instrumen hukum ini diberikan kewenangan kepada Subjek yang mengawasi Hakim Konstitusi yaitu Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi.

121

09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama).

Inilah peran penting dari adanya Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi lebih lanjut terhadap Independensi Hakim Konstitusi, menurut beliau yaitu untuk mencegah munculnya penyalagunaan wewenang dan kekuasaaan, perbuatan asusila, pelanggaran hukum, dan bentuk-bentuk misconduct lainya. 122

Pembentukan dari Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang mengatur individu dari masing-masing Hakim Konstitusi, menurut Ahmad Fadlil hal tersebut merupakan instrumen dan sekaligus tolak ukur yang harus terimplementasikan di dalam pelaksanaan tugas yudisialnya maupun diluar itu.

Ketika seorang Hakim Konstitusi sudah sesuai melaksanakan fungsi dari Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang telah dirumuskan maka dengan sendirinya Independensi Peradilan “bebas dari” intervensi (Independensi Struktural) dan “bebas untuk”menjalankan kewenanganya (Independensi Fungsional) akan tercipta.

123

Kemerdekaan personal adalah kemerdekaan yang dikaitkan dengan keberadaan dari individu hakim itu sendiri. Sedangkan kemerdekaan substantif adalah kebebasan yang berkaitan dengan isi dari putusan yang akan dilakukanya. Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi inilah yang jika dikaitkan dengan pengertian kekuasan kehakiman yang merdeka menurut Richard D. Aldrich yaitu : kemerdekaan personal (personal independent) dan kemedekaan substatif (substantive independent).

122

Ansyahrul. Loc. Cit. hlm 212.

123

124

Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dapat menjaga Independensi Personal karena mengatur bagaimana Etika dan Perilaku dari setiap individu Hakim Konstitusi seidealnya sehingga Hakim dapat memiliki kebebasan dari berbagai intervensi yang mempengaruhi putusanya dan tercapailah independensi substantif dari Hakim Konstitusi. Untuk itulah menurut Saldi Isra Independensi Hakim yang tidak dapat disentuh hanyalah Independensi dalam memutus perkara (Substantive Independence) maka yang dapat dan harus disentuh melalui pengaturan adalah Etika dan Perilaku dari Hakim Konstitusi agar menjamin Keadilan Substantif125

Sesuai pandangan lain dari Salman meninjau Independensi Peradilan yaitu terbagi menjadi dalam tataran Normatif Independensi yaitu terkait dengan apakah norma-norma hukum memberikan perlindungan terhadap Independensi Struktural dan Fungsional dari lembaga peradilan dan dalam tataran Budaya Independesi yaitu terkait dengan sikap dan perilaku institusi, termasuk perilaku apaturnya (hakim) dalam menjalankan Indepedensi Struktural dan Independensi Fungsionalnya.

126

124

Efik Yusdiansyah, Loc.. Cit. hlm. 33.

125

Saldi Isra, “Putusan Mahkamah Konstitusi No 005/PUU-IV/2006 (Isi, Implikasi, dan Masa Depan Komisi Yudisial)” [diakses 3 Maret 2014]

126

Salman Luthan, Loc. Cit. hlm. 317.

Pada akhirnya, harapan dari seluruh Pengaturan Sistem Pengawasan terhadap Hakim Konstitusi tersebut bukan hanya adanya independensi normatif dengan fomalisasi produk hukum Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi tetapi juga harus dapat membentuk budaya independesi dengan terinternalisasinya nilai-nilai dalam peraturan tersebut kedalam sikap dan perilaku aparaturnya yaitu Hakim Konstitusi.

C. Perspektif Akuntabilitas Peradilan terhadap Sistem Pengawasan Hakim

Dokumen terkait