• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Pola Makan

Pola makan merupakan praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh Ibu/pengasuh kepada anak yang berkaitan dengan pemberian makanan. Pemberian makanan pada anak diperlukan untuk memperoleh kebutuhan zat gizi yang cukup untuk kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan sesudah sakit, aktivitas, pertumbuhan dan perkembangan. Secara fisiologik, makan merupakan suatu bentuk pemenuhan atau pemuasan rasa lapar. Untuk seorang anak, makan dapat dijadikan media untuk mendidik anak supaya dapat menerima, menyukai dan memilih makanan yang baik (Santoso, 1995).

Menurut Hong dalam Kardjati (1985) yang dikutip oleh Santoso (2004), mengemukankan bahwa, pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk satu kelompok masyarakat tertentu.

Praktek-praktek pengasuhan pemberian makan terhadap anak terdiri dari: 1. Pemberian makanan yang sesuai umur anak:

- Jenis makanan yang diberikan - Frekuensi makan dalam sehari

2. Kepekaan Ibu mengetahui saat anak makan yaitu waktu makan 3. Upaya menumbuhkan nafsu makan anak:

Cara memberikan makan sebaiknya dengan membujuk anak sehingga menumbuhkan nafsu makan anak

4. Menciptakan situasi makan yang baik, hangat dan nyaman (Engel et. Al, 1997). Jenis makanan dan frekuensi makan anak harus disesuaikan dengan umur anak (Depkes RI, 2005), yaitu:

- Umur 12-23 bulan : - ASI/PASI sesuai keinginan anak

- Nasi lembek 3x sehari, ditambah telur/ ayam/ ikan/ tempe/ tahu/daging sapi/ wortel/ bayam/ kacang hijau/ santan/ minyak

- Makanan selingan 2x sehari diantara waktu makan seperti bubur kacang hijau, biscuit, nagasari dan sebagainya. - Sari buah

- Umur 24-35 : - Makanan yang biasa dimakan oleh keluarga 3x sehari yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur, buah

- Umur 36-59 bulan : - Pemberian makanan sama dengan anak umur 24-35 bulan yaitu 3x sehari terdiri dari nasi,lauk pauk, sayur, buah. Nafsu makan anak dipengaruhi oleh rasa lapar dan emosi (Santoso, 1995). Maka, pemberian makan pada anak sebaiknya pada saat anak lapar sehingga ia dapat menikmatinya, tidak perlu dengan membuat jadwal makan yang terlalu kaku (terlalu disiplin terhadap waktu), karena mungkin saja bila kita memaksakan anak makan pada jam yang telah ditentukan, anak belum merasa lapar sehingga dia tidak mempunyai napsu untuk makan. Mungkin juga pada saat jam makan yang ditentukan anak masih merasa lelah setelah bermain, sebaiknya biarkan anak beristirahat terlebih dahulu.

Memberi makan pada anak harus dengan kesabaran dan ketekunan, sebaiknya menggunakan cara-cara tertentu seperti dengan membujuk anak. Jangan memaksa anak bila dipaksa akan menimbulkan emosi pada anak sehingga anak menjadi kehilangan nafsu makan (Pudjiadi, 2005).

Sikap ibu/pengasuh yang hangat, ramah menciptakan suasana yang nyaman, tenang mengungkapkan kasih sayang dengan senyuman dan pelukan, dapat menimbulkan napsu makan anak (Hurlock, 1991).

Pola asuh makan sangat menentukan status gizi anak. Ibu yang dapat membimbing anak tentang cara makan yang sehat dan bergizi akan meningkatkan gizi anak (Anwar, 2000). Sebaliknya pola asuh makan yang tidak memadai dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi pada anak (UNICEF, 1999, Kurniawan, et.al, 2001).

2.3.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pola Pemberian Makan 1. Pengetahuan Gizi Ibu

Bila pengetahuan tentang bahan makanan yang bergizi masih kurang maka pemberian makanan untuk keluarga bisa dipilih bahan-bahan yang hanya dapat mengenyangkan perut saja tanpa memikirkan apakah bahan makanan itu bergizi atau tidak, sehingga kebutuhan energi dan zat gizi masyarakat dan anggota keluarga tidak tercukupi. Menurut Soehardjo (1989), bila ibu rumah tangga memiliki pengetahuan gizi yang baik ia akan mampu untuk memilih makanan-makanan yang bergizi untuk dikonsumsi.

2. Pendidikan Ibu

Peranan ibu sangat penting dalam penyediaan makanan bagi anak balitanya, pengetahun yang diperoleh baik formal maupun non formal sangat menentukan untuk ditetapkan dalam hal pemilihan dan penentuan jenis makanan yang dikonsumsi oleh balita dan anggota keluarga lainnya.

Pendidikan gizi Ibu bertujuan untuk meningkatkan penggunaan sumber daya makanan yang tersedia. Dari hal tersebut dapat diasumsikann bahwa tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada balita relatif tinggi bila pendidikan Ibu tinggi (Depkes RI, 2000).

3. Pendapatan Keluarga

Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Tetapi perlu disadari bahwa pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada susunan makanan. Tingkat pendapatan juga ikut menentukan jenis

pangan yang akan dibeli dengan tambahan uang tersebut. Orang miskin membelanjakan sebagian pendapatan tambahan tersebut untuk makanan, sedangkan orang kaya jauh lebih rendah. Semakin tinggi pendapatan semakin besar pula persentase dari pendapatan tersebut dipergunakan untuk membeli buah, sayur mayur dan berbagai jenis bahan pangan lain (Berg, A & Sajogyo, 1986).

2.3.2. Pola Makan Sehat Anak

Peran Ibu untuk menanamkan kebiasaan pola makan sehat pada anak di usia dini sangatlah penting. Berikut adalah 10 tips untuk membentuk pola makan sehat pada anak (Akhmadi, 2009):

1. Peranan Ibu untuk menentukan “Apa yang akan dimakan” anak sangat penting. Tingkatkan pengetahuan tentang kebutuhan gizi balita, jenis, makanan, susunan menu yang kreatif serta ciptakan suasana yang menyenangkan di saat makan. 2. Jangan langsung pasrah atau menyerah saat disajikan makanan, anak berkata,

“aku tidak menyukainya”. Penelitian membuktikan bahwa untuk menawari anak makanan baru, diperlukan 10 kesempatan pada saat yang berbeda dan baru berhasil. Moto “Coba dan Coba lagi” harus selalu diterapkan.

3. Perkenalkan rasa baru kepada anak secara rutin. Mulai dari dalam kandungan dengan mengkonsumsi makanan ibu hamil, ASI dan makanan padat.

4. Jadilah teladan, panutan, dan idola yang baik bagi Si Kecil. Sajikan dan makanlah berbagai macam makanan. Biarkan anak melihat ibu dan anggota

keluarga lain menikmati makanan. Dudukanlah Si Kecil di samping Anda dan biarkan dia bereaksi.

5. Perkuat sikap positif makan anak dengan cara memberikan komentar positif setiap kali anak Anda mengkonsumsi makanan yang sehat dan mencoba makan dengan benar.

6. Manfaatkan selera makan Si Kecil. Kembangkan selera makannya dan berikan makanan sesuai waktu yang dia inginkan dan tentu saja berikan pada saat Si Kecil lapar.

7. Lingkungan dan suasana makan harus tenang dan bebas emosi.

o Jangan melarang dan memaksakan makanan tertentu karena sikap seperti itu akan berdampak negatif terhadap pola makan anak.

o Jangan terlalu dan selalu menekankan masalah makanan.

o Izinkan Si Kecil untuk sekali-kali mengkonsumsi minuman dan makanan yang disukainya, dengan catatan: setelah semua makanan sehat dan baik dikonsumsinya.

8. Ubahlah letak penyimpanan makanan.

o Makanan sehat disimpan di tempat yang mudah terlihat dan dijangkau.

o Simpan makanan kudapan ditempat yang tersembunyi sehingga Ibu bisa memantau jenis dan jumlah yang dimakan oleh anak.

9. Tetap santai, tenang dan konsisten dan jangan menyerah pada tuntutan anak dan emosi mereka.

10.Tumbuhkan rasa bangga dan ucapkan selamat pada diri sendiri karena sudah berhasil memerankan tugas dengan baik untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan cerdas, kunci keberhasilan di masa depan.

2.3.3.Sosial Budaya dengan Pola Makan

Pola konsumsi makan merupakan hasil budaya masyarakat yang bersangkutan, dan mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan kondisi lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat. Pola konsumsi ini diajarkan dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi mendatang (Sediaoetama, 2006). Keterangan ini juga didukung oleh pendapat Simatupang dan Ariani (1997) yang menjelaskan faktor yang berperan dalam pembentukan pola konsumsi adalah kebiasaan (sosio budaya) dan selera.

Salah satu kaitan pola makan dengan sosial budaya adalah tabu makanan yang ditentukan menurut adat istiadat tradisional. Kebiasaan demikian tentu sangat erat hubungannya dengan kepercayaan. Tabu makanan ini ada yang dapat merugikan terhadap pemeliharaan bahan makanan yang dikonsumsi. Dengan adanya tabu ini, maka makanan yang dikonsumsi menjadi terbatas, walaupun tidak berakibat fatal, hanya bersifat merugikan saja. Alasan dari tabu ini terkadang tidak rasional dan tidak dapat diterangkan secara ilmiah.

Terkait dengan permasalahan tabu makanan, segala jenis tabu atau pantangan yang ada selalu berdasarkan pada dua hal, yakni agama dan kepercayaan. Pantangan

itu sendiri dapat diartikan sebagai larangan atau sesuatu yang tidak benar dilakukan (Suhardjo, 1989).

Pantangan atau tabu yang tidak berdasar agama/kepercayaan dapat dikategorikan sebagai:

a. Tabu yang jelas merugikan kondisi gizi dan kesehatan, sebaiknya diusahakan untuk mengurangi, bahkan kalau bisa dapat menghapusnya.

b. Tabu yang memang menguntungkan keadaan gizi dan kesehatan, diusahakan untuk memperkuat dan melestarikannya.

c. Tabu yang jelas pengaruhnya bagi kondisi gizi dan kesehatan dapat dibiarkan, diusahakan untuk memperkuatnya dan melestarikannya (Nurlinda, 2004).

Banyak sekali penemuan para peneliti yang menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Berbagai budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan atau makanan. Misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi dengan alasan-alasan tertentu, sementara itu ada pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi ekonomi maupun sosial karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada suatu perayaan yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan.

Di sisi yang lain, kebiasaan makan juga memiliki hubungan dengan hampir semua agama, walaupun berlainan dari agama satu dengan agama lainnya.

Kebanyakan kelompok agama juga mempunyai peraturan tertentu terhadap makanan. Pada mulanya, mereka mengembangkan sebagai prasangka terhadap beberapa bahaya yang berhubungan dengan pangan yang kini dipantang atau karena faktor lain. Apapun alasannya, jenis pangan tertentu tidak dapat diterima anggota suatu kelompok beragama (Suhardjo, 2005).

2.4.Balita

Menurut Irianto dan Waluyo (2004), balita adalah kelompok usia 1-5 tahun. Notoatmodjo (1996), menjelaskan balita merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat gizi (Kurang Kalori Protein), dan jumlahnya dalam populasi besar. Beberapa kondisi atau anggapan yang menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain sebagai berikut:

1. Anak balita baru berada dalam masa transisi dari makanan bayi ke makanan orang dewasa.

2. Biasanya anak balita ini sudah mempunyai adik, atau Ibunya sudah bekerja penuh sehingga perhatian Ibu sudah berkurang.

3. Anak balita sudah mulai main tanah, dan sudah dapat main diluar rumahnya, sehingga lebih terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi yang memungkinkan untuk terinfeksi dengan berbagai macam penyakit.

4. Anak balita belum dapat mengurus dirinya sendiri, termasuk dalam memilih makanan. Di pihak lain Ibunya sudah begitu tidak memperhatikan lagi

makanan anak balita, karena dianggap sudah dapat makan sendiri (Notoatmodjo, 1996).

2.4.1. Balita Bawah Garis Merah

Balita Bawah Garis Merah (BGM) adalah balita yang ditimbang berat badannya berada pada garis merah atau di bawah garis merah pada KMS. Balita BGM tidak selalu berarti menderita gizi buruk. Akan tetapi, itu dapat menjadi indikator awal bahwa balita tersebut mengalami masalah gizi (Depkes, 2004).

Kartu Menuju Sehat (KMS) merupakan suatu alat yang digunakan untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan balita, bukan untuk menilai status gizi balita. Itulah sebabnya balita BGM dikatakan belum berarti menderita gizi buruk. Hal ini dikarenakan KMS diisi atas indikator BB/U, bukan TB/U. Berat badan merupakan ukuran yang sensitif yang sangat dipengaruhi oleh perubahan status gizi. Sedangkan tinggi badan anak tidak dipengaruhi oleh status gizi anak. Seorang anak dikatakan tidak normal bila diukur berdasarkan BB/U. Namun, apabila diukur berdasarkan TB/U belum tentu anak tersebut tidak normal. Itulah sebabnya status gizi balita tidak dapat dxitentukan hanya berdasarkan pengukuran BB/U.

Seorang balita BGM dapat disebabkan oleh karena pola asuh anak yang tidak baik dan sosial ekonomi keluarga yang rendah. Apabila balita BGM diberikan perhatian yang lebih dan diberikan asupan gizi yang baik, balita tersebut tidak akan mngalami gizi kurang maupun gizi buruk.

2.5. Landasan Teori

Menurut Engel et al, pola asuh adalah kemampuan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial dari anak yang sedang tumbuh dalam anggota keluarga. Pola asuh juga merupakan cara orang tua dalam mendidik anak dan membesarkan anak yang dipengaruhi oleh banyak faktor budaya, agama, kebiasaan, dan kepercayaan serta kepribadian orang tua. Salah satu yang menjadi bagian dari pola asuh adalah pemberian ASI dan makanan pendamping anak (Sunarti, 2004).

Seorang Ibu memegang peranan penting dalam pengasuhan anaknya khususnya dalam menentukan pola makan bagi anaknya. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pola makan anak. Sajogya, dkk (1994) menyatakan pendapatan yang rendah menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Rendahnya pendapatan mungkin disebabkan karena menganggur atau karena susahnya memperoleh lapangan kerja. Berlainan dengan faktor pendapatan ternyata ada penduduk atau masyarakat yang berpendapatan cukup dan lebih dari cukup (baik di kota maupun di desa, seperti petani pemilik tanah, penggarap dan sebagainya) dalam penyediaan makanan keluarga banyak yang tidak memanfaatkan bahan makanan yang bergizi, hal ini disebabkan oleh faktor lain. Faktor yang lainnya yaitu kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Besarnya keluarga juga termasuk salah satu faktor yang memengaruhi status gizi balita, dimana jumlah pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya

setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga besar tersebut. Selain itu pantangan makan juga termasuk didalamnya, dimana sikap yang tidak menyukai suatu makanan tertentu untuk dikonsumsi, hal ini juga dapat menjadi kendala dalam memperbaiki pola pemberian makanan terhadap anggota keluarga dengan makanan yang bergizi.

Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa gizi masyarakat bukan hanya menyangkut aspek kesehatan saja, melainkan aspek-aspek terkait yang lain, seperti ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, kependudukan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, penanganan atau perbaikan gizi sebagai upaya terapi tidak hanya diarahkan kepada gangguan gizi atau kesehatan saja, melainkan juga ke arah bidang-bidang yang lain.

Selanjutnya Notoatmodjo (2005), juga menjelaskan keadaan sosial ekonomi merupakan aspek sosial budaya yang sangat mempengaruhi status kesehatan dan juga berpengaruh pada pola penyakit bahkan juga berpengaruh pada kematian, misalnya obesitas lebih banyak ditemukan pada golongan masyarakat yang berstatus ekonomi tinggi dan sebaliknya kasus malnutrisi lebih banyak ditemukan di kalangan masyarakat yang berstatus ekonomi rendah.

Suhardjo (1986) menjelaskan bahwa untuk melihat kondisi sosial budaya seseorang terkait dengan masalah gizi maka perlu diperhatikan beberapa faktor yakni pengetahuan, suku/etnis, distribusi makanan dan pantangan makanan. Selanjutnya Supariasa (2002), mejelaskan faktor sosial ekonomi sebagai keseluruhan data sosial ekonomi yang meliputi keadaan penduduk, keadaan keluarga, pendidikan, perumahan, dapur, penyimpanan makanan, sumber air, kakus, pekerjaan, pendapatan,

keluarga, kekayaan, pengeluaran dan harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim. Dalimunthe (1995) menyampaikan kehidupan sosial ekonomi adalah suatu kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang menggunakan indikator pendidikan, pekerjaan dan penghasilan sebagai tolak ukur.

Semua masalah diatas pada hakekatnya dapat bersumber pada ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial bangsa dan negara. Untuk lebih singkatnya dapat digambarkan daya tahan tubuh balita dalam konteks sosial, politik dan budaya berikut (Soekirman, 2000):

Dampak

Penyebab Langsung

Penyebab Tidak langsung

Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan

Pokok masalah Di masyarakat

Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan

Akar Masalah (Nasional)

Gambar 2.1 Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF (1998) The State of the world’s Children 1998. Oxford Univ.Press) Kekurangan Gizi Anak Tidak Cukup Persediaan pangan

Sanitasi dan Air Bersih/Pelayana

n Kesehatan Dasar Tidak d i

Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan

Sumberdaya masyarakat

Krisis Ekonomi, Politik dan Sosial Makan

Tidak Seimbang Penyakit Infeksi

Pola Asuh Anak Tidak

2.6. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep di atas, diketahui bahwa variabel independen yaitu sosial budaya dan ekonomi. Sosial budaya meliputi pengetahuan, pendidikan, distribusi makanan, pantangan makanan dan jumlah anggota keluarga, sedangkan ekonomi meliputi pekerjaan dan penghasilan. Variabel dependen yaitu pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM). Sosial budaya dan ekonomi dapat memengaruhi pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM).

Sosial Budaya: 1. Pengetahuan Ibu 2. Pendidikan Ibu 3. Distribusi Makanan 4. Pantangan Makanan 5. Jumlah Anggota Keluarga Ekonomi: 1. Pekerjaan Ibu 2. Penghasilan Keluarga

Pola Makan Balita Bawah Garis Merah

1. Jenis Makanan 2. Frekuensi Makan

Dokumen terkait