PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI KELUARGA TERHADAP POLA MAKAN BALITA BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI
KECAMATAN MONTASIK KABUPATEN ACEH BESAR
TESIS
OLEH: YULIA SARI 097032138/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
THE INFLUENCE OF FAMILY’S SOCIO-CULTURE AND ECONOMY ON THE EATING PATTERN OF LOW WEIGHT CHILDREN UNDER FIVE
YEARS OLD IN MONTASIK SUBDISTRICT ACEH BESAR DISTRICT
T H E S I S
By
YULIA SARI 097032138/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI KELUARGA TERHADAP POLA MAKAN BALITA BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI
KECAMATAN MONTASIK KABUPATEN ACEH BESAR
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh YULIA SARI 097032138/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN
EKONOMI KELUARGA TERHADAP POLA MAKAN BALITA BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI KECAMATAN MONTASIK KABUPATEN ACEH BESAR
Nama Mahasiswa : Yulia Sari Nomor Induk Mahasiswa : 097032138
Program studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) (
Ketua Anggota
Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.Si)
Telah diuji
Pada Tanggal: 12 Desember 2011
____________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Badaruddin, M.Si
PERNYATAAN
PENGARUH SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI KELUARGA TERHADAP POLA MAKAN BALITA BAWAH GARIS MERAH (BGM) DI
KECAMATAN MONTASIK KABUPATEN ACEH BESAR
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orangn lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, Desember 2011
ABSTRAK
Aceh Besar merupakan salah satu Kabupaten Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki angka yang cukup besar terhadap permasalahan gizi balita. Dari 23 kecamatan terdapat 897 balita dengan timbangan di bawah garis merah (BGM) dan 35 balita dengan gizi buruk. Kecamatan Montasik merupakan salah satu daerah administratif kecamatan yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Aceh Besar yang memiliki kasus balita Bawah Garis Merah (BGM) paling tinggi. Dari 1.661 balita yang ada, terdapat 43 keluarga yang memiliki balita dengan berat badan di Bawah Garis Merah (BGM).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sosial budaya dan ekonomi keluarga terhadap pola makan pada balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar. Jenis penelitian adalah Survey Explanatory. Penelitian dilakukan di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar. Sampel adalah seluruh ibu yang memiliki balita dengan timbangan di Bawah Garis Merah yaitu berjumlah 43 orang. Analisis data menggunakan uji regresi liniear berganda pada taraf kepercayaan 95% (α < 0,05).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh antara pengetahuan, pendidikan, dan pekerjaan terhadap pola makan balita bawah garis merah. Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap pola makan balita bawah garis merah adalah pekerjaan.
Disarankan kepada pihak Puskesmas Montasik agar mengaktifkan petugas gizi dan kader untuk melakukan kunjungan ke rumah-rumah balita BGM untuk langsung memberikan penyuluhan kepada orangtua balita tersebut mengenai pola makan balita yang sesuai umur.
ABSTRACT
Aceh Besar is one of the districts in Nanggroe Aceh Darussalam with a quite big number of nutritional problems in children under five years old. In the 23 Subdistricts, there are 897 low weight children under five years old and 35 with malnutrition. Montasik Subdistrict is one of the administrative subdistricts under the District Government of Aceh Besar with the highest number of cases of low weight children under five years. Of 1.661 children under five years old, there are 43 families with low weight children under five years old.
The purpose of this survey explanatory study conducted in Montasik Subdistrict, Aceh Besar District was to analyze the influence of family’s socio-culture and economy on the eating pattern of low weight children under five years old in Montasik Subdistrict, Aceh Besar District. The sample for this study were the mother of 43 low weight children under five years. The data obtained were analyzed through multiple linear regression test at level of confidence 95% (α <0.05).
The result of this study showed that there were influence between knowledge, education, and occupation on the eating pattern of low weight children under five years old. Occupation was the most dominant variable influencing on the eating pattern of low weight children under five years old.
The management of Montasik health centre is suggested to activate the nutritionists and cadres to pay a door-to-door visit to the homes with low weight children under five years old to directly provide extension about an appropriate food for the children under five years old to the children’s parents.
Keywords: Culture, Economy, Eating Pattern, Children
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa,
atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
tesis ini dengan judul “ Pengaruh Sosial Budaya dan Ekonomi Keluarga terhadap Pola Makan Balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar”.
Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari dukungan, bimbingan, dan
bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini izinkan penulis untuk
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku
Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan
pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan Minat Studi
Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, serta seluruh jajarannya
yang telah memberikan bimbingan dan dorongan selama penulis mengikuti
3. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dalam penulisan
tesis ini dan sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan
waktu dan pikiran dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam memberikan
bimbingan sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
4. Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes, Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes, Dr. Ir.
Evawany Aritonang, M.Si Sebagai komisi penguji tesis yang telah banyak
memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
5. Para dosen di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
6. Kepala Puskesmas Montasik beserta staf yang telah banyak membantu
peneliti.
7. Kedua orangtua, suami tercinta, anak-anak tersayang, yang telah memberikan
dukungan dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini.
8. Rekan-rekan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah banyak memberikan bantuan moril dan materil selama mengikuti
pendidikan, penelitian, dan penulisan tesis.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan dan
diucapkan terima kasih.
Medan, Desember 2011
RIWAYAT HIDUP
Yulia Sari, lahir pada tanggal 14 Juli 1973 di Banda Aceh, anak kedua dari
delapan bersaudara dari pasangan Ayahanda Drs.Syamsul Bahri dan Ibunda Limpah
Ani.
Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di SD 30
Banda Aceh, selesai Tahun 1985, sekolah menengah pertama di SLTPN 6 Banda
Aceh, selesai Tahun 1988,Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Depkes RI di Banda
Aceh, selesai Tahun 1991, D-I Kebidanan Depkes RI Banda Aceh, selesai Tahun
1992, D-III Kebidanan Poltekkes Medan, selesai tahun 2001, D-IV Poltekkes Medan,
selesai Tahun 2008.
Penulis bekerja sebagai pegawai negeri Puskesmas Kota Cot Glie, Kabupaten
Aceh Besar, tahun 1992 sampai sekarang.
Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan
DAFTAR ISI
2.2. Ekonomi dan Ketersediaan Pangan ... 21
2.3. Pola Makan ... 24
3.4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 41
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 43
3.6. Metode Pengukuran ... 46
3.7. Metode Analisis Data ... 48
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50
4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 50
4.2. Analisis Univariat ... 52
4.3. Analisis Bivariat ... 59
4.4. Analisis Multivariat ... 63
BAB 5. PEMBAHASAN ... 66
5.1. Pengaruh sosial Budaya terhadap Pola Makan Balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik ... 66
5.2. Pengaruh Ekonomi terhadap Pola Makan Balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik ... 72
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76
6.1. Kesimpulan ... 76
6.2. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 78
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1 Aspek Pengukuran Variabel ... 47
4.1 Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Montasik Tahun 2010 ... 51
4.2 Jumlah Tenaga Kesehatan di Kecamatan Montasik Tahun 2010 ... 52
4.3 Distribusi Pengatahuan Responden di Kecamatan Montasik Tahun 2011 ... 53
4.4 Distribusi Pendidikan Responden di Kecamatan Montasik Tahun 2011 ... 53
4.5 Distribusi Pendistribusian Makanan di Kecamatan Montasik Tahun 2011 ... 54
4.6 Distribusi Pantangan Makanan di Kecamatan Montasik Tahun 2011 ... 54
4.7 Distribusi Jumlah Anggota Keluarga Responden di Kecamatan Montasik Tahun 2011 ... 55
4.8 Distribusi Pekerjaan Responden di Kecamatan Montasik Tahun 2011 ... 55
4.9 Distribusi Penghasilan Keluarga di Kecamatan Montasik Tahun 2011 ... 56
4.10 Distribusi Jenis Makanan di Kecamatan Montasik Tahun 2011 ... 56
4.11 Distribusi Frekuensi Makan di Kecamatan Montasik Tahun 2011 ... 57
4.12 Distribusi Pola Makan Balita di Kecamatan Montasik Tahun 2011 ... 59
4.14 Tabulasi Silang antara Pekerjaan dan Penghasilan terhadap Pola Makan Balita Bawah Garis Merah di Kecamatan Montasik Tahun 2011 ... 62
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF (1998) The State of The World’s Children 1998. Oxford Univ.Press)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Kuesioner Penelitian ... 83
2 Formulir Food Frequency ... 90
3 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 91
4 Hasil Univariat ... 96
5 Hasil Bivariat ... 98
6 Hasil Multivariat ... 104
ABSTRAK
Aceh Besar merupakan salah satu Kabupaten Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki angka yang cukup besar terhadap permasalahan gizi balita. Dari 23 kecamatan terdapat 897 balita dengan timbangan di bawah garis merah (BGM) dan 35 balita dengan gizi buruk. Kecamatan Montasik merupakan salah satu daerah administratif kecamatan yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Aceh Besar yang memiliki kasus balita Bawah Garis Merah (BGM) paling tinggi. Dari 1.661 balita yang ada, terdapat 43 keluarga yang memiliki balita dengan berat badan di Bawah Garis Merah (BGM).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sosial budaya dan ekonomi keluarga terhadap pola makan pada balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar. Jenis penelitian adalah Survey Explanatory. Penelitian dilakukan di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar. Sampel adalah seluruh ibu yang memiliki balita dengan timbangan di Bawah Garis Merah yaitu berjumlah 43 orang. Analisis data menggunakan uji regresi liniear berganda pada taraf kepercayaan 95% (α < 0,05).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh antara pengetahuan, pendidikan, dan pekerjaan terhadap pola makan balita bawah garis merah. Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap pola makan balita bawah garis merah adalah pekerjaan.
Disarankan kepada pihak Puskesmas Montasik agar mengaktifkan petugas gizi dan kader untuk melakukan kunjungan ke rumah-rumah balita BGM untuk langsung memberikan penyuluhan kepada orangtua balita tersebut mengenai pola makan balita yang sesuai umur.
ABSTRACT
Aceh Besar is one of the districts in Nanggroe Aceh Darussalam with a quite big number of nutritional problems in children under five years old. In the 23 Subdistricts, there are 897 low weight children under five years old and 35 with malnutrition. Montasik Subdistrict is one of the administrative subdistricts under the District Government of Aceh Besar with the highest number of cases of low weight children under five years. Of 1.661 children under five years old, there are 43 families with low weight children under five years old.
The purpose of this survey explanatory study conducted in Montasik Subdistrict, Aceh Besar District was to analyze the influence of family’s socio-culture and economy on the eating pattern of low weight children under five years old in Montasik Subdistrict, Aceh Besar District. The sample for this study were the mother of 43 low weight children under five years. The data obtained were analyzed through multiple linear regression test at level of confidence 95% (α <0.05).
The result of this study showed that there were influence between knowledge, education, and occupation on the eating pattern of low weight children under five years old. Occupation was the most dominant variable influencing on the eating pattern of low weight children under five years old.
The management of Montasik health centre is suggested to activate the nutritionists and cadres to pay a door-to-door visit to the homes with low weight children under five years old to directly provide extension about an appropriate food for the children under five years old to the children’s parents.
Keywords: Culture, Economy, Eating Pattern, Children
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan pada saat ini lebih banyak menempatkan masyarakat sebagai
subjek sekaligus objek pada pembangunan tersebut. Hal ini tercermin dalam sasaran
pembangunan Indonesia yakni terciptanya kualitas hidup dengan mewujudkan
masyarakat Indonesia yang seutuhnya melalui upaya pembangunan menuju sumber
daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif. Keterangan ini juga
dijelaskan dalam indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas sumber daya
manusia yaitu Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Indeks
(HDI). Pada Tahun 2005 United Nations Development Population menempatkan Indonesia pada urutan ke 110 dari 174 negara di Dunia. Hal ini menunjukkan bahwa
pembangunan di Indonesia belum sepenuhnya mampu meningkatkan kualitas hidup
sumber daya manusia (United Nations Development Population, 2008).
Azwar (2004) menjelaskan rendahnya HDI diantaranya disebabkan oleh
karena rendahnya status gizi dan status kesehatan masyarakat. Termasuk didalamnya
kondisi gizi yang buruk pada bayi dan Balita yang mengakibatkan lebih separuh
kematian pada anak dan bayi.
Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di
Indonesia. Kekurangan gizi belum dapat diselesaikan, prevalensi masalah gizi lebih
dan obesitas mulai meningkat khususnya pada kelompok sosial ekonomi menengah
masalah gizi ganda. Hal ini sangat merisaukan karena mengancam kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan di masa mendatang. Diperkirakan
masih terdapat sekitar 1,7 juta balita terancam gizi buruk yang keberadaannya
tersebar di pelosok-pelosok Indonesia. Jumlah balita di Indonesia menurut data
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tahun 2007 mencapai
17,2% dengan laju pertumbuhan penduduk 2,7% per tahun. United Nations Children’s Fund (UNICEF) melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar
dengan perkiraan sebanyak 7,7 juta balita (Depkes RI, 2007).
Data Susenas tahun 2005, angka prevalensi gizi kurang anak balita 28%,
dan di antara angka tersebut 8,8 % menderita gizi buruk. Pada tahun 2008 angka
tersebut berkurang menjadi 13,0 %. Walau prevalensi gizi kurang menurun namun
anak yang stunting (pendek) masih cukup tinggi 36,8% yang berarti pernah
menderita kekurangan gizi. Sedangkan Prevalensi gizi buruk 5,4 % (Depkes, 2010).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas ) 2007, secara nasional
Selanjutnya data Departemen Kesehatan RI tahun 2010 menunjukkan
penurunan dari tahun 2007 dengan prevalensi gizi buruk 5,4% menjadi 4,9% pada prevalensi
kekurangan gizi pada anak balita adalah sebesar 18,4% terdiri dari gizi kurang 13,0
% dan gizi buruk 5,4 %. Sementara itu Riskesdas 2010, gizi kurang tidak mengalami
perubahan dan gizi buruk mengalami peningkatan dengan prevalensi gizi kurang
balita sebesar 13% dan gizi buruk 5,9%. Untuk Provinsi Nanggro Aceh Darussalam
tahun 2010, sementara prevalensi gizi kurang tidak mengalami perubahan, masih
13%. Sementara untuk Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, prevalensi gizi kurang
24% (Depkes, 2010).
Masyarakat harus mengerti bahwa anak mereka membutuhkan makanan
dengan cukup zat gizi demi masa depan mereka sehingga anak tersebut tidak terkena
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan gizi. Kelompok anak balita merupakan
kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat. Anak balita
merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi
(Sediaoetama, 2006).
Kondisi gizi salah di Indonesia yang terbanyak termasuk berat badan di
bawah garis merah kebanyakan disebabkan oleh konsumsi pangan yang tidak
mencukupi kebutuhan badan. Kondisi gizi salah terutama diderita oleh anak-anak
yang sedang tumbuh dengan pesat yaitu kelompok balita (bawah lima tahun) dimana
prevalensinya pada anak balita masing tinggi + 30-40%. Kebanyakan penyakit gizi
ditandai dengan berat badan di bawah garis merah pada masa bayi dan anak ditandai
2 sindrom yaitu kwashiorkor dan marasmus (Hardjoprakoso, 1986).
Menurut Suhardjo (1986), klasifikasi keadaan berat badan balita di bawah
garis merah yang paling sederhana dan umum dipakai adalah ukuran berat menurut
umur yang kemudian dibandingkan terhadap ukuran baku, karena berat badan anak
merupakan indikator yang baik bagi penentuan status gizinya. Khususnya untuk
mereka yang berumur di bawah lima tahun, dimana keadaan seperti ini disebabkan
latar belakang sosial budaya keluarga dilihat dari pantangan makanan, distribusi
makanan, keadaan fisiologi, sehingga faktor-faktor tersebut ikut menentukan
besarnya presentase balita dengan berat badan di bawah garis merah.
Kartu Menuju Sehat (KMS) dapat digunakan untuk memantau pertumbuhan
balita. Pada KMS terdapat garis yang berwarna merah. Apabila balita tersebut berada
di bawah garis merah menunujukkan bahwa anak tersebut memiliki masalah gizi dan
perlu mendapatkan perhatian yang lebih. Seorang balita yang berada di bawah garis
merah (BGM) pada KMS belum tentu menderita gizi buruk. KMS tidak dapat
dipakai untuk mengukur status gizi balita.
Pola asuh berperan penting dalam menentukan status gizi balita. Apabila pola
asuh anak kurang, dapat memengaruhi tumbuh kembang anak terutama pola asuh
makan. Begitu juga terhadap balita BGM. Bila balita BGM tidak mendapatkan
perhatian khusus dari keluarga,asupan makanannya tidak mencukupi maka dapat
mengakibatkan status gizi balita tersebut semakin menurun (Soekirman, 2000).
Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa gizi masyarakat bukan hanya
menyangkut aspek kesehatan saja, melainkan aspek-aspek terkait yang lain, seperti
ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, kependudukan, dan sebagainya. Oleh sebab itu,
penanganan atau perbaikan gizi sebagai upaya terapi tidak hanya diarahkan kepada
gangguan gizi atau kesehatan saja, melainkan juga ke arah bidang-bidang yang lain.
Pola makan merupakan praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh
ibu/pengasuh kepada anak yang berkaitan dengan pemberian makanan. Pemberian
untuk kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan sesudah sakit, aktivitas,
pertumbuhan dan perkembangan. Secara fisiologik, makan merupakan suatu bentuk
pemenuhan atau pemuasan rasa lapar. Untuk seorang anak, makan dapat dijadikan
media untuk mendidik anak supaya dapat menerima, menyukai dan memilih
makanan yang baik (Santoso Ranti, 1995).
Di Indonesia pola makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya,
unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat
yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya padahal
kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi.
Aspek budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia berkembang sesuai dengan
keadaan lingkungan,agama, adat dan kebiasaan masyarakat. Sampai saat ini aspek
budaya sangat memengaruhi perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia
(Suhardjo, 2003).
Kegiatan budaya suatu keluarga pada kelompok masyarakat mempunyai
pengaruh yang kuat dan lestari terhadap apa, kapan, dan bagaimana penduduk
makan. Kebanyakan tidak hanya menentukan jenis pangan saja, tetapi untuk siapa
dan dalam keadaan bagaimana pangan tersebut dimakan (suhardjo, 2005).
Setiap budaya mempunyai nilai-nilai tertentu terhadap pangan yang ada.
Misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat
dianggap tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu, sementara itu ada
pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi sosial karena mempunyai peranan
agama atau kepercayaan. Pada masyarakat jawa barat masih terdapat pantangan
bahan makanan, yang sebenarnya bahan makanan tersebut mengandung nilai gizi
yang tinggi. Seperti contohnya anak balita dilarang makan ikan dengan anggapan
akan cacingan, dan juga dilarang makan telur karena akan timbul bisulan. Tabu yang
demikian tidak rasional, namun anggapan demikian diwariskan dari
generasi-generasi secara turun temurun. Di Aceh, air susu ibu dianggap kurang memadai
sebagai makanan bayi sehingga biasanya bayi diberi makan pisang wak yang telah
dilumatkan kemudian disulang ke mulut bayi. Setelah berumur tiga bulan, bayi diberi
pisang ditambah dengan nasi yang telah digiling halus diatas piring yang terbuat dari
tanah liat kemudian disulangkan kepada bayi sambil bayi dibaringkan diatas lonjoran
kaki pengasuh. Setelah umur delapan bulan bayi diberi makanan yang sama jenisnya
dengan makanan orang dewasa (Alfian, 1997).
Banyak budaya yang kadang kala merugikan kesehatan masyarakat,
contohnya pada beberapa kasus yang terjadi yang pernah dijumpai. Sebagai salah
satu akibat serius dari kepercayaan yaitu penyakit mata karena defisiensi vitamin A
yang prevalensinya cukup tinggi, keadaan ini timbul akibat larangan anak-anak untuk
mengkonsumsi papaya dan sayuran hijau karena pangan tersebut dianggap bersifat
dingin, padahal bahan makanan tersebut tersedia cukup banyak dan murah harganya.
Kepercayaan seseorang terhadap hal tersebut tergantung dari kuatnya kepercayaan
yang diturunkan oleh nenek moyangnya dan pengalaman yang dimiliki.
Berbagai aspek budaya yang berlaku pada kelompok masyarakat
yang negatif. Dampak negatif berupa masukan zat gizi yang tidak sesuai dengan
kebutuhan tubuh serta kualitas konsumsi yang juga masih tergolong rendah
(Suhardjo, 1989).
Notoatmodjo (2005), juga menjelaskan keadaan sosial ekonomi merupakan
aspek sosial budaya yang sangat memengaruhi status kesehatan dan juga
berpengaruh pada pola penyakit bahkan juga berpengaruh pada kematian, misalnya
obesitas lebih banyak ditemukan pada golongan masyarakat yang berstatus ekonomi
tinggi dan sebaliknya kasus malnutrisi lebih banyak ditemukan di kalangan
masyarakat yang berstatus ekonomi rendah.
Distribusi pangan banyak ditentukan oleh masyarakat-masyarakat menurut
taraf ekonominya. Golongan masyarakat dengan ekonomi kuat mempunyai
kebiasaan makan yang cenderung dengan konsumsi rata-rata melebihi angka
kecukupannya. Sebaliknya masyarakat dengan ekonomi lemah, justru pada
umumnya produsen pangan mereka mempunyai kebiasaan makan yang memberikan
nilai gizi di bawah kecukupan jumlah maupun mutunya (Khumaidi, 1994).
Beberapa penemuan peneliti menyatakan bahwa faktor budaya sangat
berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara.
Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan penduduk yang terkadang
bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi (Suhardjo, 1989).
Penelitian Taruna (2002) di Kabupaten Kampar Propinsi Riau menyebutkan
ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi keluarga dengan terjadinya
Sumatera Barat menjelaskan ada hubungan yang bermakna antara pendapatan per
kapita dengan status gizi Balita. Selanjutnya penelitian Astuti (2002) di Pedesaan
Propinsi jawa Tengah menyebutkan faktor pendidikan Ibu dan Bapak berpengaruh
terhadap status gizi Balita. Penelitian Hidayat (2005) tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi Balita di Indonesia pada tahun 2005 juga menyebutkan
pendidikan ibu berpengaruh signifikan terhadap status gizi Balita terutama di
perkotaan. Kemudian penelitian Yusrizal (2008) di wilayah pesisir Kabupaten
Bireuen Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan bahwa tingkat pengetahuan orang
tua berpengaruh terhadap status gizi Balita. Penelitian Sri Murni (2007) menyatakan
bahwa pola makan anak balita pada keluarga dengan ekonomi tinggi lebih baik
dibandingkan dengan keluarga miskin (ekonomi rendah) terutama dalam hal jenis,
jumlah dan frekuensi makanan. Dari beberapa penelitian tersebut dapat dilihat faktor
sosial budaya dan ekonomi berpengaruh terhadap status gizi Balita.
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai salah satu Propinsi Indonesia
sampai saat ini juga masih menghadapi permasalahan terkait status gizi Balita.
Berdasarkan profil kesehatan Propinsi NAD tahun 2009 diketahui bahwa dari 23
kabupaten di NAD dengan jumlah balita sebanyak 185.698 orang, terdapat 20.717
balita dengan prevalensi 11,6% yang mengalami gizi kurang (Profil Kesehatan
Nanggroe Aceh Darussalam, 2009). Sementara itu, data yang ada di Aceh Besar
menyebutkan dari 23 kecamatan terdapat 897 balita dengan timbangan di bawah
garis merah (BGM) dan 35 balita dengan gizi buruk (Profil Kesehatan Kabupaten
Kecamatan Montasik merupakan salah satu daerah administratif kecamatan
yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Aceh Besar. Sampai saat ini Kecamatan
Montasik masih memiliki permasalahan terkait status gizi Balita yaitu dari 1.661
Balita yang ada ternyata terdapat 43 keluarga yang memiliki Balita dengan berat
badan di Bawah Garis Merah (BGM) (Laporan Puskesmas Montasik, 2011).
Beranjak dari uraian diatas maka dianggap perlu dilakukan penelitian
mengenai pengaruh sosial budaya dan ekonomi keluarga terhadap pola makan balita
Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh sosial budaya dan ekonomi keluarga
terhadap pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM) di Kecamatan Montasik
Kabupaten Aceh Besar.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sosial
budaya dan ekonomi keluarga terhadap pola makan balita Bawah Garis Merah
(BGM) di Kecamatan Montasik Kabupaten Aceh Besar.
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh sosial budaya dan ekonomi keluarga terhadap pola makan
1.5. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Pemerintah Kabupaten Aceh
Besar terkait dengan program penanggulangan masalah gizi Balita di Aceh
Besar.
2. Sebagai referensi untuk dapat memberikan informasi, tentang program
pendidikan gizi kepada masyarakat khususnya ibu-ibu untuk memperhatikan
status gizi balitanya.
3. Diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan pengaruh sosial budaya dan ekonomi keluarga terhadap pola makan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sosial Budaya
Teori sosial sering diartikan sebagai usaha untuk mengerti hakikat
masyarakat yang memerlukan landasan pengetahuan dasar tentang kehidupan
manusia sebagai suatu sistem. Landasan ini dapat diperoleh dari ilmu sosial yang
ruang lingkupnya manusia dalam konteks sosial (Sumaatmadja, 1986).
Selanjutnya budaya dimengerti sebagai suatu perkembangan dari kata
majemuk budi daya, yang berarti daya dari budi. Dalam penjelasannya harus
dibedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang
berupa cipta, karsa, dan rasa. Di sisi lain kebudayaan dipahami sebagai hasil dari
cipta, karsa, dan rasa tersebut (Widagdho, 1993).
Shadily (1984) menjelaskan budaya sebagai norma-norma sosial, yakni
sendi-sendi masyarakat yang berisi sanksi atau hukuman-hukumannya yang dijatuhkan
oleh golongan bilamana peraturan yang dianggap baik untuk menjaga kebutuhan dan
keselamatan masyarakat itu, dilanggar. Norma-norma itu mengenai
kebiasaan-kebiasaan hidup, adat-istiadat atau tradisi-tradisi hidup yang dipakai turun-temurun.
Goodenough, 1971; Spradley, 1972; dan Geertz, 1973 mendefinisikan arti
kebudayaan di mana kebudayaan merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan, dan
pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam
lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada (Sairin, 2002).
Menurut Anne (2008) Sosial budaya adalah segala hal yang dicipta oleh
manusia dengan pemikiran dan budi nuraninya untuk kehidupan bermasyarakat atau
manusia membuat sesuatu berdasar budi dan pikirannya yang diperuntukkan dalam
kehidupan bermasyarakat.
Selanjutnya bila dilihat kaitan lebih lanjut antara sosial budaya dengan
permasalahan gizi masyarakat, perlu dipertimbangkan pendapat Pelto (1980) yang
menjelaskan kebudayan sebagai sistem pengetahuan yang memungkinkan untuk
melihat berbagai perubahan dan variasi pengetahuan yang terjadi dalam berbagai
perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya
perubahan-perubahan gaya hidup atau perilaku jangka panjang sebagai konsekuensi
langsung ataupun tidak langsung dari perubahan sosial, budaya dan ekonomi
masyarakat. Perubahan gaya hidup pada gilirannya akan memengaruhi kebiasaan
makan, baik secara kualitas maupun kuantitas (Pelto, 1980).
Berkaitan dengan pengaruh budaya terhadap asupan makan kepada keluarga,
menarik untuk disimak pendapat Baliwati yang menyampaikan bahwa kegiatan
ekonomi, sosial dan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, suatu
negara atau suatu bangsa mempunyai pengaruh yang kuat dan kekal terhadap apa,
kapan, dan bagaimana penduduk makan. Kebudayaan masyarakat dan kebiasaan
pangan yang mengikutinya, berkembang sekitar arti pangan dan penggunaan yang
pangan yang harus diproduksi, pengolahan, penyaluran dan penyajian (Baliwati, dkk,
2004).
Menurut Suhardjo (1986) faktor sosial budaya yang memengaruhi status gizi
adalah pengetahuan, suku/etnis, pendidikan, distribusi makanan, pantangan makanan,
dan jumlah anggota keluarga. Koentjaraningrat (1993) juga menjelaskan untuk
melihat kondisi sosial seseorang maka perlu diperhatikan faktor pendidikan.
1. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan ranah yang sangat penting bagi terbentuknya
perilaku pencegahan terhadap kasus gizi pada anak Balita karena perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan cenderung tidak bersifat langgeng atau berlangsung lama
(Notoatmodjo, 1993). Selanjutnya menurut Soekidjo pengetahuan adalah merupakan
hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu
obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan yang mencakup dalam ranah pengetahuan mempunyai enam
tingkatan, yaitu:
1. Tahu (know); tahu diartikan pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsang yang telah diterima. Oleh karena itu ”tahu” ini adalah merupakan
2. Memahami (comprehension); memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham
terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebut contoh,
menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application); penerapan diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu kondisi nyata (sebenarnya).
Aplikasi disini dapat diartikan penggunaan metode, rumus, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis); analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu
struktur tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
5. Sintesis (Synthesis); sintesis menunjukkan pada kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru
dari formulasi-formulasi yang ada.
6. Evaluasi (Evaluation); evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.
Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting
yang dapat memengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat pendidikan yang lebih
lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi
tentang gizi yang memadai (Berg, 1986).
Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat kemungkinan
makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pula pengasuhan anak,
dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada demikian
juga sebaliknya (Depkes, 2004). Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan
Masyarakat FKM UI (2007), bahwa seseorang dengan pendidikan rendahpun akan
mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut
rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi.
Menurut Suhardjo (1986) suatu hal yang harus diperhatikan tentang
pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan:
1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu
menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang
optimal, pemeliharaan dan energi.
3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat
belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.
Pengetahuan seorang ibu mengenai gizi dan makanan seimbang sangat
diperlukan karena memengaruhi pola pemberian makan pada anaknya. Seorang Ibu
dapat memperoleh pengetahuan atau informasi lebih tentang gizi dari sarana
kesehatan yang ada di sekitar tempat tinggalnya, melalui televisi, majalah, dan
kesehatan maka akan semakin baik pengetahuan Ibu tersebut sehingga ia dapat
mengatur pola konsumsi makan terhadap anaknya.
2. Pendidikan
Pengertian pendidikan meliputi beberapa hal, yakni :
a. Pendidikan merupakan aktivitas manusia dalam usahanya untuk
menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya.
b. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mengembangkan
kepribadiannya dengan membina potensi-potensi pribadinya, baik jasmani
maupun rohani dan berlangsung seusia hidup.
c. Pendidikan juga berarti sebagai lembaga yang bertanggungjawab menetapkan
cita-cita (tujuan) pendidikan, isi maupun sistem pendidikan tersebut. Dan hal
ini tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai, cita-cita dan
falsafah yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.
d. Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan pribadi dan
kemampuan seseorang yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah.
Pendidikan merupakan salah satu unsur penting yang dapat memengaruhi
keadaan gizi karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan
pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki akan lebih baik. Sering
masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang
memadai (Berg, 1989).
Tingkat pendidikan dalam keluarga khususnya Ibu dapat menjadi faktor yang
pengetahuannya akan gizi akan lebih baik dari yang berpendidikan rendah. Salah
satu penyebab gizi kurang pada anak adalah kurangnya perhatian orang tua akan gizi
anak. Hal ini disebabka karena pendidikan dan pengetahuan gizi ibu yang rendah.
Pendidikan formal ibu akan memengaruhi tingkat pengetahuan gizi, semakin tinggi
pendidikan ibu, maka semakin tinggi kemampuan untuk menyerap kemampuan
praktis dan pendidikan formal terutama melalui media masa. Hal serupa juga
dikatakan oleh Green, Roger yang menyatakan bahwa makin baik tingkat pendidikan
ibu, maka naik pula keadaan gizi anaknya (Berg, 1986).
3. Distribusi Makanan
Menurut Khumaidi (1994) distribusi makanan sering kali dihubungkan
dengan status yang terjalin antara anggota keluarga akan gizinya:
1. Anggota masyarakat pria yang lebih tua (senior) mendapatkan jumlah dan
mutu susunan makanan yang lebih baik dari pada anak-anak kecil dan
wanita-wanita muda.
2. Anak-anak laki-laki mendapatkan prioritas yang lebih tinggi dari pada
anak-anak perempuan.
3. Cara menghidangkan atau pelayanan makanan disesuaikan pula dengan
status, sehingga cara tertentu dapat memberikan penilaian terhadap suatu
keadaan status tertentu yang menimbulkan suatu kegagalan dalam perbaikan
gizi yang diinginkan.
Foster dan Anderson menjelaskan bahwa setiap kelompok masyarakat,
secara budaya. Setiap kebudayaan memiliki pengetahuan tentang bahan makanan
yang dimakan, bagaimana makanan tersebut ditanam atau diolah, bagaimana
mendapatkan makanan, bagaimana makanan tersebut disiapkan, dihidangkan, dan
dimakan. Makanan bukan saja sumber gizi, lebih dari itu makanan memainkan
beberapa peranan dalam berbagai aspek dalam kehidupan (Foster dan Anderson,
1986).
Dalam pengertian di atas para ahli tersebut mencatat beberapa peranan
makanan yaitu makanan sebagai ungkapan ikatan sosial, makanan sebagai ungkapan
dari kesetiakawanan kelompok, makanan dan stress dan simbolis makanan dalam
bahasa. Masing-masning kebudayaan selalu memiliki suatu rangkaian aturan yang
menjelaskan siapa yang menyiapkan dan menghidangkan makanan, untuk siapa,
dimana satu kelompok atau individu makan bersama, dimana dan dalam kesempatan
apa dan aturan makan, yang semuanya itu terpola secara budaya dan merupakan
bagian cara-cara yang telah diterima dalam kehidupan setiap komunitas (Helman,
1984).
Ibu adalah orang yang menentukan dalam pengaturan pemberian makanan
untuk keluarganya. Jika Ibu memiliki pendidikan dan pengetahuan yang baik maka ia
akan memberikan makanan yang sama untuk seluruh anggota keluarganya tanpa
mengesampingkan anaknya. Pendidikan yang baik tidak akan memengaruhi seorang
ibu terhadap budaya pendistribusian makanan yaitu dengan mendahulukan kepala
konsumsi makan untuk anaknya dapat terkontrol dengan baik dan semua keluarga
mendapat kebutuhan gizi yang sama.
4. Pantangan Makanan
Menurut Suhardjo, pantangan makanan adalah suatu sikap negatif yang lebih
kuat terhadap penggunaan makanan atau makanan yang tidak dapat diterima
(Suhardjo, 1986).
Dari sudut ilmu gizi, pantangan dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Kelompok pertama, termasuk haram menurut agama (Islam), pantangan jenis
ini jangan dipersoalkan lagi dan harus diterima tanpa perdebatan.
2. Kelompok kedua, pantangan pangan yang tidak berdasarkan agama
(kepercayaan), jenis pantangan ini sebaiknya dihapuskan karena jelas
merugikan kesehatan.
3. Kelompok ketiga, pantangan yang tidak jelas akibatnya terhadap kesehatan
dan kondisi gizi, sebaiknya diteliti (observasi) terus melihat akibatnya dalam
jangka panjang. Sebagai bahan memutuskan apakah benar tidak merugikan.
Seorang individu akan memperoleh pelajaran kebudayaan mengenai makanan
ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi.
Pengetahuan yang melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi sejak bayi tersebut
boleh jadi merupakan pengetahuan lokal atau indigenous knowledge, sebagai himpunan pengalaman yang disalurkan melalui informasi dari satu generasi ke
Sebagai contoh mengenai pantangan makanan menarik untuk dilihat
penelitian Khomsan (2008) yang menyampaikan contoh kasus pantangan makanan di
wilayah Bogor. Masyarakat wilayah Bogor masih ada yang percaya bahwa kepada
bayi dan balita laki-laki tidak boleh diberikan pisang ambon karena bisa
menyebabkan alat kelaminnya membengkak. Balita perempuan tidak dibolehkan
memakan dubur ayam karena dikhawatirkan ketika mereka sudah menikah bisa
diduakan suami. Sementara di Indramayu, makanan gurih yang diberikan kepada
bayi dianggap membuat pertumbuhannya menjadi terhambat. Untuk balita
perempuan, mereka dilarang untuk makan nanas dan timun. Selain itu balita
perempuan dan laki-laki juga tidak boleh mengonsumsi ketan karena bisa
menyebabkan anak menjadi cadel. Mereka menganggap bahwa tekstur ketan yang
lengket menyebabkan anak tidak bisa menyebutkan aksara ‘r’ dengan benar.
Pantangan makanan sangat terkait dengan budaya dan tradisi adat istiadat
masyarakat setempat. Tradisi atau adat ini sangat mempengaruhi pola pemberian
makan kepada anak karena makanan-makanan yang biasa dipantangkan atau dilarang
oleh budaya pada dasarnya memilki nilai gizi yang tinggi. Maka dari itu butuh peran
seorang ibu dengan pengetahuan yang baik untuk mengatur pola konsumsi makan
anak-anaknya.
5. Jumlah Anggota Keluarga
Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga yang miskin sangat rawan
terhadap kurang gizi. Dari seluruh anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya
seandainya jumlah anggota keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak
berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang lebih tua
sering mengambil jatah makanan anak yang lebih muda. Dengan demikian anak-anak
yang muda mungkin tidak mendapatkan cukup makanan.
Jumlah anggota keluarga dan banyaknya anak dalam keluarga akan
berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pangan, jumlah anggota keluarga yang besar
dibarengi dengan distribusi pangan yang tidak merata sehingga menyebabkan anak
dalam keluarga mengalami kekurangan gizi (Suhardjo, 2003).
2.2. Ekonomi dan Ketersediaan Pangan
Ekonomi adalah sistem aktivitas manusia yang berhubungan dengan
produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang dan jasa atau dengan kata lain
usaha yang dilakukan manusia dalam rangka memenugi kebutuhan hidupnya (Anne,
2008).
Supariasa (2002), mejelaskan faktor sosial ekonomi sebagai keseluruhan data
sosial ekonomi yang meliputi keadaan penduduk, keadaan keluarga, pendidikan,
perumahan, dapur, penyimpanan makanan, sumber air, kakus, pekerjaan, pendapatan,
keluarga, kekayaan, pengeluaran dan harga makanan yang tergantung pada pasar dan
variasi musim.
Sementara Dalimunthe (1995) menyampaikan kehidupan sosial ekonomi
adalah suatu kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang menggunakan indikator
Untuk keadaan ekonomi keluarga sebenarnya relatif mudah diukur dan
berpengaruh besar pada konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin. Hal ini
disebabkan karena penduduk golongan miskin menggunakan sebagian besar
pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan. Dua perubahan ekonomi yang
cukup dominan sebagai determinan konsumsi pangan adalah pendapatan keluarga
dan harga (baik harga pangan maupun harga komoditas kebutuhan dasar) (Baliwati,
2006).
Terkait dengan permasalahan gizi, faktor ekonomi sangat erat kaitannya
dengan ketersediaan makanan. Ketersediaan makanan adalah suatu kondisi dalam
penyediaan makanan yang mencakup makanan dan minuman tersebut berasal apakah
dari tanaman, ternak atau ikan bagi rumah tangga dalam kurun waktu tertentu.
Ketersediaan makanan dalam rumah tangga dipengaruhi antara lain oleh tingkat
pendapatan (Baliwati dan Roosita, 2004).
Ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap
individu yang mempunyai akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun
ekonomi disebut oleh Soetrisno (1998) sebagai ketahanan pangan.
Menurut Koentjaraningrat (1993) ada beberapa faktor sosial ekonomi yang
memengaruhi status gizi balita, yaitu pekerjaan dan penghasilan.
1.Pekerjaan
Pekerjaan adalah kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa untuk dijual
seseorang sesuai dengan nilai sosial yang berlaku. Untuk lebih jelasnya pengertian
pekerjaan mencakup beberapa hal, yakni :
a. Pekerjaan sebagai sarana memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan perorangan.
b. Pekerjaan sebagai sumber pendapatan.
c. Bagi masyarakat dan perorangan sebagai imbalan atas pengorbanan
energinya.
d. Pekerjaan sebagai sumber memperoleh pengakuan status sosial, harga diri
dan penghargaan dari masyarakat sebagai imbalan atas peranan dan
prestasinya.
e. Pekerjaan merupakan sumber penghidupan yang layak dan sumber
martabatnya, adalah kewajiban dan haknya sebagai warga Negara dan
manusia makhluk Tuhan (Sagir, 1992)
Ibu-ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki waktu yang cukup
bagi anak-anak dan keluarga (Berg, 1986). Dalam hal ini ibu mempunyai peran
ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan wanita pekerja. Walaupun demikian ibu
dituntut tanggung jawabnya kepada suami dan anak-anaknya, khususnya memelihara
anak (Singarimbun, 1988). Keadaan yang demikian dapat memengaruhi keadaan gizi
keluarga khususnya anak balita dan usia sekolah. Ibu-ibu yang bekerja tidak
mempunyai cukup waktu untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan
kebutuhan dan kecukupan serta kurang perhatian dan pengasuhan kepada anak (Berg,
2. Penghasilan
Menurut Berg (1986), penghasilan merupakan faktor yang paling menentukan
kuantitas dan kualitas makanan. Ada hubungan erat antara penghasilan dan gizi yang
didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari penghasilan yang meningkat bagi
perbaikan kesehatan dan masalah keluarga lainnya. Penghasilan berkaitan dengan
keadaan gizi hampir umum terhadap semua tingkat pertambahan penghasilan.
Penghasilan keluarga juga memengaruhi ketahanan pangan keluarga. Ketahanan
pangan yang tidak memadai pada keluarga dapat mengakibatkan gizi kurang.
2.3. Pola Makan
Pola makan merupakan praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh
Ibu/pengasuh kepada anak yang berkaitan dengan pemberian makanan. Pemberian
makanan pada anak diperlukan untuk memperoleh kebutuhan zat gizi yang cukup
untuk kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan sesudah sakit, aktivitas,
pertumbuhan dan perkembangan. Secara fisiologik, makan merupakan suatu bentuk
pemenuhan atau pemuasan rasa lapar. Untuk seorang anak, makan dapat dijadikan
media untuk mendidik anak supaya dapat menerima, menyukai dan memilih
makanan yang baik (Santoso, 1995).
Menurut Hong dalam Kardjati (1985) yang dikutip oleh Santoso (2004),
mengemukankan bahwa, pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan
gambaran mengenai macam dan jumlah makanan yang dimakan tiap hari oleh satu
Praktek-praktek pengasuhan pemberian makan terhadap anak terdiri dari:
1. Pemberian makanan yang sesuai umur anak:
- Jenis makanan yang diberikan
- Frekuensi makan dalam sehari
2. Kepekaan Ibu mengetahui saat anak makan yaitu waktu makan
3. Upaya menumbuhkan nafsu makan anak:
Cara memberikan makan sebaiknya dengan membujuk anak sehingga
menumbuhkan nafsu makan anak
4. Menciptakan situasi makan yang baik, hangat dan nyaman (Engel et. Al, 1997).
Jenis makanan dan frekuensi makan anak harus disesuaikan dengan umur
anak (Depkes RI, 2005), yaitu:
- Umur 12-23 bulan : - ASI/PASI sesuai keinginan anak
- Nasi lembek 3x sehari, ditambah telur/ ayam/ ikan/ tempe/
tahu/daging sapi/ wortel/ bayam/ kacang hijau/ santan/
minyak
- Makanan selingan 2x sehari diantara waktu makan seperti
bubur kacang hijau, biscuit, nagasari dan sebagainya.
- Sari buah
- Umur 24-35 : - Makanan yang biasa dimakan oleh keluarga 3x sehari yang
terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur, buah
- Umur 36-59 bulan : - Pemberian makanan sama dengan anak umur 24-35 bulan
yaitu 3x sehari terdiri dari nasi,lauk pauk, sayur, buah.
Nafsu makan anak dipengaruhi oleh rasa lapar dan emosi (Santoso, 1995).
Maka, pemberian makan pada anak sebaiknya pada saat anak lapar sehingga ia dapat
menikmatinya, tidak perlu dengan membuat jadwal makan yang terlalu kaku (terlalu
disiplin terhadap waktu), karena mungkin saja bila kita memaksakan anak makan
pada jam yang telah ditentukan, anak belum merasa lapar sehingga dia tidak
mempunyai napsu untuk makan. Mungkin juga pada saat jam makan yang ditentukan
anak masih merasa lelah setelah bermain, sebaiknya biarkan anak beristirahat
terlebih dahulu.
Memberi makan pada anak harus dengan kesabaran dan ketekunan, sebaiknya
menggunakan cara-cara tertentu seperti dengan membujuk anak. Jangan memaksa
anak bila dipaksa akan menimbulkan emosi pada anak sehingga anak menjadi
kehilangan nafsu makan (Pudjiadi, 2005).
Sikap ibu/pengasuh yang hangat, ramah menciptakan suasana yang nyaman,
tenang mengungkapkan kasih sayang dengan senyuman dan pelukan, dapat
menimbulkan napsu makan anak (Hurlock, 1991).
Pola asuh makan sangat menentukan status gizi anak. Ibu yang dapat
membimbing anak tentang cara makan yang sehat dan bergizi akan meningkatkan
gizi anak (Anwar, 2000). Sebaliknya pola asuh makan yang tidak memadai dapat
menyebabkan terjadinya malnutrisi pada anak (UNICEF, 1999, Kurniawan, et.al,
2.3.1. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pola Pemberian Makan 1. Pengetahuan Gizi Ibu
Bila pengetahuan tentang bahan makanan yang bergizi masih kurang maka
pemberian makanan untuk keluarga bisa dipilih bahan-bahan yang hanya dapat
mengenyangkan perut saja tanpa memikirkan apakah bahan makanan itu bergizi atau
tidak, sehingga kebutuhan energi dan zat gizi masyarakat dan anggota keluarga tidak
tercukupi. Menurut Soehardjo (1989), bila ibu rumah tangga memiliki pengetahuan
gizi yang baik ia akan mampu untuk memilih makanan-makanan yang bergizi untuk
dikonsumsi.
2. Pendidikan Ibu
Peranan ibu sangat penting dalam penyediaan makanan bagi anak balitanya,
pengetahun yang diperoleh baik formal maupun non formal sangat menentukan
untuk ditetapkan dalam hal pemilihan dan penentuan jenis makanan yang dikonsumsi
oleh balita dan anggota keluarga lainnya.
Pendidikan gizi Ibu bertujuan untuk meningkatkan penggunaan sumber daya
makanan yang tersedia. Dari hal tersebut dapat diasumsikann bahwa tingkat
kecukupan energi dan zat gizi pada balita relatif tinggi bila pendidikan Ibu tinggi
(Depkes RI, 2000).
3. Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan
kuantitas makanan. Tetapi perlu disadari bahwa pendapatan tidak selalu membawa
pangan yang akan dibeli dengan tambahan uang tersebut. Orang miskin
membelanjakan sebagian pendapatan tambahan tersebut untuk makanan, sedangkan
orang kaya jauh lebih rendah. Semakin tinggi pendapatan semakin besar pula
persentase dari pendapatan tersebut dipergunakan untuk membeli buah, sayur mayur
dan berbagai jenis bahan pangan lain (Berg, A & Sajogyo, 1986).
2.3.2. Pola Makan Sehat Anak
Peran Ibu untuk menanamkan kebiasaan pola makan sehat pada anak di usia
dini sangatlah penting. Berikut adalah 10 tips untuk membentuk pola makan sehat
pada anak (Akhmadi, 2009):
1. Peranan Ibu untuk menentukan “Apa yang akan dimakan” anak sangat penting.
Tingkatkan pengetahuan tentang kebutuhan gizi balita, jenis, makanan, susunan
menu yang kreatif serta ciptakan suasana yang menyenangkan di saat makan.
2. Jangan langsung pasrah atau menyerah saat disajikan makanan, anak berkata,
“aku tidak menyukainya”. Penelitian membuktikan bahwa untuk menawari anak
makanan baru, diperlukan 10 kesempatan pada saat yang berbeda dan baru
berhasil. Moto “Coba dan Coba lagi” harus selalu diterapkan.
3. Perkenalkan rasa baru kepada anak secara rutin. Mulai dari dalam kandungan
dengan mengkonsumsi makanan ibu hamil, ASI dan makanan padat.
4. Jadilah teladan, panutan, dan idola yang baik bagi Si Kecil. Sajikan dan
keluarga lain menikmati makanan. Dudukanlah Si Kecil di samping Anda dan
biarkan dia bereaksi.
5. Perkuat sikap positif makan anak dengan cara memberikan komentar positif
setiap kali anak Anda mengkonsumsi makanan yang sehat dan mencoba makan
dengan benar.
6. Manfaatkan selera makan Si Kecil. Kembangkan selera makannya dan berikan
makanan sesuai waktu yang dia inginkan dan tentu saja berikan pada saat Si
Kecil lapar.
7. Lingkungan dan suasana makan harus tenang dan bebas emosi.
o Jangan melarang dan memaksakan makanan tertentu karena sikap seperti itu
akan berdampak negatif terhadap pola makan anak.
o Jangan terlalu dan selalu menekankan masalah makanan.
o Izinkan Si Kecil untuk sekali-kali mengkonsumsi minuman dan makanan
yang disukainya, dengan catatan: setelah semua makanan sehat dan baik
dikonsumsinya.
8. Ubahlah letak penyimpanan makanan.
o Makanan sehat disimpan di tempat yang mudah terlihat dan dijangkau.
o Simpan makanan kudapan ditempat yang tersembunyi sehingga Ibu bisa
memantau jenis dan jumlah yang dimakan oleh anak.
9. Tetap santai, tenang dan konsisten dan jangan menyerah pada tuntutan anak dan
10.Tumbuhkan rasa bangga dan ucapkan selamat pada diri sendiri karena sudah
berhasil memerankan tugas dengan baik untuk membentuk sumber daya manusia
yang berkualitas dan cerdas, kunci keberhasilan di masa depan.
2.3.3.Sosial Budaya dengan Pola Makan
Pola konsumsi makan merupakan hasil budaya masyarakat yang
bersangkutan, dan mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan kondisi
lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat. Pola konsumsi ini diajarkan
dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi mendatang (Sediaoetama, 2006). Keterangan ini juga didukung oleh pendapat
Simatupang dan Ariani (1997) yang menjelaskan faktor yang berperan dalam
pembentukan pola konsumsi adalah kebiasaan (sosio budaya) dan selera.
Salah satu kaitan pola makan dengan sosial budaya adalah tabu makanan
yang ditentukan menurut adat istiadat tradisional. Kebiasaan demikian tentu sangat
erat hubungannya dengan kepercayaan. Tabu makanan ini ada yang dapat merugikan
terhadap pemeliharaan bahan makanan yang dikonsumsi. Dengan adanya tabu ini,
maka makanan yang dikonsumsi menjadi terbatas, walaupun tidak berakibat fatal,
hanya bersifat merugikan saja. Alasan dari tabu ini terkadang tidak rasional dan tidak
dapat diterangkan secara ilmiah.
Terkait dengan permasalahan tabu makanan, segala jenis tabu atau pantangan
itu sendiri dapat diartikan sebagai larangan atau sesuatu yang tidak benar dilakukan
(Suhardjo, 1989).
Pantangan atau tabu yang tidak berdasar agama/kepercayaan dapat
dikategorikan sebagai:
a. Tabu yang jelas merugikan kondisi gizi dan kesehatan, sebaiknya diusahakan
untuk mengurangi, bahkan kalau bisa dapat menghapusnya.
b. Tabu yang memang menguntungkan keadaan gizi dan kesehatan, diusahakan
untuk memperkuat dan melestarikannya.
c. Tabu yang jelas pengaruhnya bagi kondisi gizi dan kesehatan dapat dibiarkan,
diusahakan untuk memperkuatnya dan melestarikannya (Nurlinda, 2004).
Banyak sekali penemuan para peneliti yang menyatakan bahwa faktor budaya
sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan
negara. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk
yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Berbagai budaya
memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap pangan atau makanan.
Misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat
dianggap tabu untuk dikonsumsi dengan alasan-alasan tertentu, sementara itu ada
pangan yang dinilai sangat tinggi baik dari segi ekonomi maupun sosial karena
mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada suatu perayaan
yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan.
Di sisi yang lain, kebiasaan makan juga memiliki hubungan dengan hampir
Kebanyakan kelompok agama juga mempunyai peraturan tertentu terhadap makanan.
Pada mulanya, mereka mengembangkan sebagai prasangka terhadap beberapa
bahaya yang berhubungan dengan pangan yang kini dipantang atau karena faktor
lain. Apapun alasannya, jenis pangan tertentu tidak dapat diterima anggota suatu
kelompok beragama (Suhardjo, 2005).
2.4.Balita
Menurut Irianto dan Waluyo (2004), balita adalah kelompok usia 1-5 tahun.
Notoatmodjo (1996), menjelaskan balita merupakan kelompok umur yang paling
menderita akibat gizi (Kurang Kalori Protein), dan jumlahnya dalam populasi besar.
Beberapa kondisi atau anggapan yang menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan
rawan kesehatan antara lain sebagai berikut:
1. Anak balita baru berada dalam masa transisi dari makanan bayi ke makanan
orang dewasa.
2. Biasanya anak balita ini sudah mempunyai adik, atau Ibunya sudah bekerja
penuh sehingga perhatian Ibu sudah berkurang.
3. Anak balita sudah mulai main tanah, dan sudah dapat main diluar rumahnya,
sehingga lebih terpapar dengan lingkungan yang kotor dan kondisi yang
memungkinkan untuk terinfeksi dengan berbagai macam penyakit.
4. Anak balita belum dapat mengurus dirinya sendiri, termasuk dalam memilih
makanan anak balita, karena dianggap sudah dapat makan sendiri
(Notoatmodjo, 1996).
2.4.1. Balita Bawah Garis Merah
Balita Bawah Garis Merah (BGM) adalah balita yang ditimbang berat
badannya berada pada garis merah atau di bawah garis merah pada KMS. Balita
BGM tidak selalu berarti menderita gizi buruk. Akan tetapi, itu dapat menjadi
indikator awal bahwa balita tersebut mengalami masalah gizi (Depkes, 2004).
Kartu Menuju Sehat (KMS) merupakan suatu alat yang digunakan untuk
memantau pertumbuhan dan perkembangan balita, bukan untuk menilai status gizi
balita. Itulah sebabnya balita BGM dikatakan belum berarti menderita gizi buruk.
Hal ini dikarenakan KMS diisi atas indikator BB/U, bukan TB/U. Berat badan
merupakan ukuran yang sensitif yang sangat dipengaruhi oleh perubahan status gizi.
Sedangkan tinggi badan anak tidak dipengaruhi oleh status gizi anak. Seorang anak
dikatakan tidak normal bila diukur berdasarkan BB/U. Namun, apabila diukur
berdasarkan TB/U belum tentu anak tersebut tidak normal. Itulah sebabnya status
gizi balita tidak dapat dxitentukan hanya berdasarkan pengukuran BB/U.
Seorang balita BGM dapat disebabkan oleh karena pola asuh anak yang tidak
baik dan sosial ekonomi keluarga yang rendah. Apabila balita BGM diberikan
perhatian yang lebih dan diberikan asupan gizi yang baik, balita tersebut tidak akan
mngalami gizi kurang maupun gizi buruk.
2.5. Landasan Teori
Menurut Engel et al, pola asuh adalah kemampuan masyarakat untuk
menyediakan waktu, perhatian dan dukungan dalam memenuhi kebutuhan fisik,
mental, dan sosial dari anak yang sedang tumbuh dalam anggota keluarga. Pola asuh
juga merupakan cara orang tua dalam mendidik anak dan membesarkan anak yang
dipengaruhi oleh banyak faktor budaya, agama, kebiasaan, dan kepercayaan serta
kepribadian orang tua. Salah satu yang menjadi bagian dari pola asuh adalah
pemberian ASI dan makanan pendamping anak (Sunarti, 2004).
Seorang Ibu memegang peranan penting dalam pengasuhan anaknya
khususnya dalam menentukan pola makan bagi anaknya. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi pola makan anak. Sajogya, dkk (1994) menyatakan pendapatan yang
rendah menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang
diperlukan. Rendahnya pendapatan mungkin disebabkan karena menganggur atau
karena susahnya memperoleh lapangan kerja. Berlainan dengan faktor pendapatan
ternyata ada penduduk atau masyarakat yang berpendapatan cukup dan lebih dari
cukup (baik di kota maupun di desa, seperti petani pemilik tanah, penggarap dan
sebagainya) dalam penyediaan makanan keluarga banyak yang tidak memanfaatkan
bahan makanan yang bergizi, hal ini disebabkan oleh faktor lain. Faktor yang lainnya
yaitu kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan
informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Besarnya keluarga juga termasuk
salah satu faktor yang memengaruhi status gizi balita, dimana jumlah pangan yang
setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi
pada keluarga besar tersebut. Selain itu pantangan makan juga termasuk didalamnya,
dimana sikap yang tidak menyukai suatu makanan tertentu untuk dikonsumsi, hal ini
juga dapat menjadi kendala dalam memperbaiki pola pemberian makanan terhadap
anggota keluarga dengan makanan yang bergizi.
Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa gizi masyarakat bukan hanya
menyangkut aspek kesehatan saja, melainkan aspek-aspek terkait yang lain, seperti
ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, kependudukan, dan sebagainya. Oleh sebab itu,
penanganan atau perbaikan gizi sebagai upaya terapi tidak hanya diarahkan kepada
gangguan gizi atau kesehatan saja, melainkan juga ke arah bidang-bidang yang lain.
Selanjutnya Notoatmodjo (2005), juga menjelaskan keadaan sosial ekonomi
merupakan aspek sosial budaya yang sangat mempengaruhi status kesehatan dan
juga berpengaruh pada pola penyakit bahkan juga berpengaruh pada kematian,
misalnya obesitas lebih banyak ditemukan pada golongan masyarakat yang berstatus
ekonomi tinggi dan sebaliknya kasus malnutrisi lebih banyak ditemukan di kalangan
masyarakat yang berstatus ekonomi rendah.
Suhardjo (1986) menjelaskan bahwa untuk melihat kondisi sosial budaya
seseorang terkait dengan masalah gizi maka perlu diperhatikan beberapa faktor yakni
pengetahuan, suku/etnis, distribusi makanan dan pantangan makanan. Selanjutnya
Supariasa (2002), mejelaskan faktor sosial ekonomi sebagai keseluruhan data sosial
ekonomi yang meliputi keadaan penduduk, keadaan keluarga, pendidikan,
keluarga, kekayaan, pengeluaran dan harga makanan yang tergantung pada pasar dan
variasi musim. Dalimunthe (1995) menyampaikan kehidupan sosial ekonomi adalah
suatu kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang menggunakan indikator
pendidikan, pekerjaan dan penghasilan sebagai tolak ukur.
Semua masalah diatas pada hakekatnya dapat bersumber pada ketidakstabilan
ekonomi, politik, dan sosial bangsa dan negara. Untuk lebih singkatnya dapat
digambarkan daya tahan tubuh balita dalam konteks sosial, politik dan budaya
Dampak
Penyebab Langsung
Penyebab Tidak langsung
Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan
Pokok masalah Di masyarakat
Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan
Akar Masalah (Nasional)
Gambar 2.1 Penyebab Gizi Kurang (disesuaikan dari bagan UNICEF (1998) The State of the world’s Children 1998. Oxford Univ.Press)
2.6. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep di atas, diketahui bahwa variabel independen
yaitu sosial budaya dan ekonomi. Sosial budaya meliputi pengetahuan, pendidikan,
distribusi makanan, pantangan makanan dan jumlah anggota keluarga, sedangkan
ekonomi meliputi pekerjaan dan penghasilan. Variabel dependen yaitu pola makan
balita Bawah Garis Merah (BGM). Sosial budaya dan ekonomi dapat memengaruhi
pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM).
Sosial Budaya:
1. Pengetahuan Ibu 2. Pendidikan Ibu 3. Distribusi
Makanan 4. Pantangan
Makanan
5. Jumlah Anggota Keluarga
Ekonomi:
1. Pekerjaan Ibu 2. Penghasilan
Keluarga
Pola Makan Balita Bawah Garis Merah