• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh sosial Budaya terhadap Pola Makan Balita

Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa ada hubungan antara variabel pengetahuan dengan pola makan balita Bawah Garis Merah (p = 0,026 < α 0,05). Hal ini sesuai dengan penelitian Yusrizal (2008) yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan orangtua berhubungan dengan status gizi balita. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (1993) yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan ranah yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku pencegahan terhadap kasus gizi pada anak Balita karena perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan cenderung tidak bersifat langgeng atau berlangsung lama.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Ibu yang berpengetahuan baik ada sebesar 55% (11 orang) menerapkan pola makan pada kategori sedang. Hal ini sesuai dengan tingkat pendidikan Ibu dimana paling banyak berada pada tingkat pendidikan menengah yaitu 21 orang. Pengetahuan mendukung seseorang untuk bertindak, karena pengetahuan memengaruhi perilaku seseorang. Pengetahuan mendukung seorang Ibu dalam merawat dan mengasuh anaknya, termasuk pemberian makan pada anak sehingga akan berdampak pada kondisi gizi anak. Pengetahuan yang baik di dukung oleh tingkat pendidikan yang baik, walaupun budaya dan tradisi yang ada di masyarakat juga dapat memengaruhi pemberian pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM).

Kehidupan di lingkungan tempat tinggal dapat memengaruhi pengetahuan ibu dalam pemberian makanan pada balita. Budaya yang ada di masyarakat dapat memengaruhi pemberian makanan pada anak, tetapi dengan adanya pengetahuan Ibu mengenai gizi, maka Ibu dapat memilih budaya mana yang dapat diterapkan dan yang tidak dapat diterapkan dalam pemberian makanan pada anaknya.

Hasil uji statistik Chi Square untuk pendidikan menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM) dengan nilai signifikansi (p= 0,005 < α 0,05). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Astuti (2002) yang menyatakan bahwa pendidikan ibu dan bapak di pedesaan berpengaruh terhadap status gizi balita. Begitu juga dengan penelitian Hidayat (2005) yang menyatakan bahwa pendidikan Ibu berpengaruh terhadap status gizi balita. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Berg (1989) yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu unsur penting yang dapat memengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki akan lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai. Dari seluruh Ibu, 48,8% berada pada kategori pendidikan tingkat menengah (SLTA) yaitu 21 orang dan dasar (SD dan SLTP) yaitu 18 orang.

Tingkat pendidikan dalam keluarga khususnya ibu dapat menjadi faktor yang memengaruhi status gizi dalam keluarga. Semakin tinggi pendidikan orangtua maka pengetahuannya akan gizi akan lebih baik dari yang berpendidikan rendah. Salah satu penyebab gizi kurang pada anak adalah kurangnya perhatian orang tua akan gizi

anak. Hal ini disebabkan karena pendidikan dan pengetahuan gizi ibu yang rendah. Pendidikan formal ibu akan memengaruhi tingkat pengetahuan gizi, semakin tinggi pendidikan ibu, maka semakin tinggi kemampuan untuk menyerap kemampuan praktis dan pendidikan formal terutama melalui masa media. Hal serupa juga dikatakan oleh Green, Roger yang menyatakan bahwa makin baik tingkat pendidikan ibu, maka naik pula keadaan gizi anaknya (Berg, 1986).

Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara distribusi makanan dengan pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM) dimana nilai signifikansi (p= 0,428 > α 0,05). Dari 43 Ibu, 31 menyatakan tidak ada prioritas dalam mendistribusikan makanan sehingga tidak berpengaruh terhadap pola makan balita. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat Khumaidi (1994) yang menyatakan bahwa distribusi makanan sering kali dihubungkan dengan status yang terjalin antara anggota keluarga, hal ini terkait dengan anggota keluarga mana yang diprioritaskan untuk mendapatkan makanan, terlebih jika dihubungkan dengan budaya di masyarakat, pria yang lebih tua (senior) mendapatkan jumlah dan mutu susunan makanan yang lebih baik dari pada anak- anak kecil dan wanita-wanita muda.

Hasil penelitian diketahui bahwa masyarakat di Kecamatan Montasik (72,1%) memberikan pembagian makanan secara merata pada anggota keluarganya baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Makanan yang dimasak Ibu setiap harinya didistribusikan ke semua anggota keluarga, orang tua dan anak mendapatkan lauk pauk dan sayur dengan frekuensi makan 3x sehari, hanya saja porsinya disesuaikan

dengan bobot tubuh dan usia. Untuk balitanya pada dasarnya mendapatkan jenis makanan yang sama, walaupun ada sayur akan tetapi anak hanya diberi nasi dengan lauk pauk saja, tidak dibiasakan oleh Ibu untuk mengkonsumsi sayur karena sibuknya Ibu bekerja sehingga Ibu berfikir sudah cukup dengan hanya memberikan lauk pauk saja. Anak hanya sebatas diberi makan tanpa mempertimbangkan mutu gizi dalam makanannya, sehingga ketika dianjurkan untuk memberikan sayur, balitanya tidak mau memakannya karena sudah terbiasa atau dibiasakan tidak mengkonsumsi sayur. Hal inilah yang menyebabkan balita kekurangan zat gizi yang berasal dari sayuran.

Jika dilihat dari hasil food frequency terlihat bahwa pemberian sayur-sayuran pada balita sangat jarang frekuensinya, ditambah lagi pemberian makanan tambahan seperti roti, biskuit, dan lain-lain juga jarang. Jadi pada dasarnya bukan karena ada prioritas pemberian makanan yang diberikan Ibu yang menyebabkan anak BGM tetapi karena pekerjaan dan pengetahuan Ibu yang kurang.

Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pantangan makanan dengan pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM) dimana nilai signifikansi (p= 0,369 > α 0,05), hal ini disebabkan karena tidak ada makanan yang dipantangkan atau dilarang Ibu untuk diberikan kepada balita. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat Suhardjo (1986) yang menyatakan bahwa budaya memengaruhi pemberian makanan sehingga berpengaruh terhadap pola makan. Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khomsan (2008), yaitu masyarakat wilayah Bogor masih ada yang percaya

bahwa kepada bayi dan balita laki-laki tidak boleh diberikan pisang ambon karena bisa menyebabkan alat kelaminnya membengkak. Balita perempuan tidak dibolehkan memakan dubur ayam karena dikhawatirkan ketika mereka sudah menikah bisa diduakan suami.

Pada penelitian ini 86% Ibu menyatakan tidak ada makanan yang dipantangkan untuk diberikan pada balitanya, 14% lainnya menyatakan ada pantangan yaitu melarang balitanya memakan makanan seperti coklat, es, hanya demi alasan kesehatan semata bukan karena budaya dan tradisi masyarakat sekitar.

Selanjutnya variabel terakhir dari sosial budaya adalah jumlah anggota keluarga. Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga dengan pola makan balita Bawah Garis Merah (BGM) dimana nilai signifikansi (p= 0,256 > α 0,05). Dari 43 Ibu, paling banyak memiliki jumlah anggota keluarga dengan kategori sedang, yaitu 48,8% (3-4 orang dalam satu keluarga). Sementara yang memiliki jumlah anggota keluarga dengan kategori banyak (> 5 orang) ada 32,6% sehingga dengan demikian jumlah anggota keluarga dari hasil penelitian ini tidak berpengaruh terhadap pola makan balita. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat Suhardjo (2003) yang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga dan banyaknya anak dalam keluarga akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pangan, jumlah anggota keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi pangan yang tidak merata sehingga menyebabkan anak dalam keluarga mengalami kekurangan gizi.

Selanjutnya bila dilihat kaitan lebih lanjut antara sosial budaya dengan permasalahan gizi masyarakat, Pelto (1980) menjelaskan kebudayan sebagai sistem pengetahuan yang memungkinkan untuk melihat berbagai perubahan dan variasi pengetahuan yang terjadi dalam berbagai perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya perubahan-perubahan gaya hidup atau perilaku jangka panjang sebagai konsekuensi langsung atau pun tidak langsung dari perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Perubahan gaya hidup pada gilirannya akan mempengaruhi kebiasaan makan, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Menurut Baliwati (2004), Kegiatan ekonomi, sosial dan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, suatu negara atau suatu bangsa mempunyai pengaruh yang kuat dan kekal terhadap apa, kapan, dan bagaimana penduduk makan. Kebudayaan masyarakat dan kebiasaan pangan yang mengikutinya, berkembang sekitar arti pangan dan penggunaan yang cocok. Pola kebudayaan ini memengaruhi orang dalam memilih pangan, jenis pangan yang harus diproduksi, pengolahan, penyaluran dan penyajian. Sedangkan menurut Suhardjo (1986) faktor sosial budaya yang memengaruhi status gizi adalah pengetahuan, pendidikan, distribusi makanan, pantangan makanan dan jumlah anggota keluarga.

5.2. Pengaruh Ekonomi terhadap Pola Makan Balita Bawah Garis Merah

Dokumen terkait