• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sosial Budaya

Teori sosial sering diartikan sebagai usaha untuk mengerti hakikat masyarakat yang memerlukan landasan pengetahuan dasar tentang kehidupan manusia sebagai suatu sistem. Landasan ini dapat diperoleh dari ilmu sosial yang ruang lingkupnya manusia dalam konteks sosial (Sumaatmadja, 1986).

Selanjutnya budaya dimengerti sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi daya, yang berarti daya dari budi. Dalam penjelasannya harus dibedakan antara budaya dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Di sisi lain kebudayaan dipahami sebagai hasil dari cipta, karsa, dan rasa tersebut (Widagdho, 1993).

Shadily (1984) menjelaskan budaya sebagai norma-norma sosial, yakni sendi- sendi masyarakat yang berisi sanksi atau hukuman-hukumannya yang dijatuhkan oleh golongan bilamana peraturan yang dianggap baik untuk menjaga kebutuhan dan keselamatan masyarakat itu, dilanggar. Norma-norma itu mengenai kebiasaan- kebiasaan hidup, adat-istiadat atau tradisi-tradisi hidup yang dipakai turun-temurun.

Goodenough, 1971; Spradley, 1972; dan Geertz, 1973 mendefinisikan arti kebudayaan di mana kebudayaan merupakan suatu sistem pengetahuan, gagasan, dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan

pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat mereka berada (Sairin, 2002).

Menurut Anne (2008) Sosial budaya adalah segala hal yang dicipta oleh manusia dengan pemikiran dan budi nuraninya untuk kehidupan bermasyarakat atau manusia membuat sesuatu berdasar budi dan pikirannya yang diperuntukkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Selanjutnya bila dilihat kaitan lebih lanjut antara sosial budaya dengan permasalahan gizi masyarakat, perlu dipertimbangkan pendapat Pelto (1980) yang menjelaskan kebudayan sebagai sistem pengetahuan yang memungkinkan untuk melihat berbagai perubahan dan variasi pengetahuan yang terjadi dalam berbagai perubahan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Termasuk di dalamnya perubahan-perubahan gaya hidup atau perilaku jangka panjang sebagai konsekuensi langsung ataupun tidak langsung dari perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Perubahan gaya hidup pada gilirannya akan memengaruhi kebiasaan makan, baik secara kualitas maupun kuantitas (Pelto, 1980).

Berkaitan dengan pengaruh budaya terhadap asupan makan kepada keluarga, menarik untuk disimak pendapat Baliwati yang menyampaikan bahwa kegiatan ekonomi, sosial dan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, suatu negara atau suatu bangsa mempunyai pengaruh yang kuat dan kekal terhadap apa, kapan, dan bagaimana penduduk makan. Kebudayaan masyarakat dan kebiasaan pangan yang mengikutinya, berkembang sekitar arti pangan dan penggunaan yang cocok. Pola kebudayaan ini mempengaruhi orang dalam memilih pangan, jenis

pangan yang harus diproduksi, pengolahan, penyaluran dan penyajian (Baliwati, dkk, 2004).

Menurut Suhardjo (1986) faktor sosial budaya yang memengaruhi status gizi adalah pengetahuan, suku/etnis, pendidikan, distribusi makanan, pantangan makanan, dan jumlah anggota keluarga. Koentjaraningrat (1993) juga menjelaskan untuk melihat kondisi sosial seseorang maka perlu diperhatikan faktor pendidikan.

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan ranah yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku pencegahan terhadap kasus gizi pada anak Balita karena perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan cenderung tidak bersifat langgeng atau berlangsung lama (Notoatmodjo, 1993). Selanjutnya menurut Soekidjo pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan yang mencakup dalam ranah pengetahuan mempunyai enam tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know); tahu diartikan pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsang yang telah diterima. Oleh karena itu ”tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (comprehension); memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebut contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari. 3. Aplikasi (Application); penerapan diartikan sebagai kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu kondisi nyata (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan penggunaan metode, rumus, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis); analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Synthesis); sintesis menunjukkan pada kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation); evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat memengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi

lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (Berg, 1986).

Makin tinggi pendidikan, pengetahuan, keterampilan terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pula pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada demikian juga sebaliknya (Depkes, 2004). Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI (2007), bahwa seseorang dengan pendidikan rendahpun akan mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi tentang gizi.

Menurut Suhardjo (1986) suatu hal yang harus diperhatikan tentang pentingnya pengetahuan gizi didasarkan pada tiga kenyataan:

1. Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan. 2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu

menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi.

3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.

Pengetahuan seorang ibu mengenai gizi dan makanan seimbang sangat diperlukan karena memengaruhi pola pemberian makan pada anaknya. Seorang Ibu dapat memperoleh pengetahuan atau informasi lebih tentang gizi dari sarana kesehatan yang ada di sekitar tempat tinggalnya, melalui televisi, majalah, dan lain- lain. Semakin sering seorang ibu memperoleh informasi terkait dengan gizi ataupun

kesehatan maka akan semakin baik pengetahuan Ibu tersebut sehingga ia dapat mengatur pola konsumsi makan terhadap anaknya.

2. Pendidikan

Pengertian pendidikan meliputi beberapa hal, yakni :

a. Pendidikan merupakan aktivitas manusia dalam usahanya untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya.

b. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mengembangkan kepribadiannya dengan membina potensi-potensi pribadinya, baik jasmani maupun rohani dan berlangsung seusia hidup.

c. Pendidikan juga berarti sebagai lembaga yang bertanggungjawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi maupun sistem pendidikan tersebut. Dan hal ini tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai, cita-cita dan falsafah yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan.

d. Pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan pribadi dan kemampuan seseorang yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah. Pendidikan merupakan salah satu unsur penting yang dapat memengaruhi keadaan gizi karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki akan lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai (Berg, 1989).

Tingkat pendidikan dalam keluarga khususnya Ibu dapat menjadi faktor yang memengaruhi status gizi dalam keluarga. Semakin tinggi pendidikan orangtua maka

pengetahuannya akan gizi akan lebih baik dari yang berpendidikan rendah. Salah satu penyebab gizi kurang pada anak adalah kurangnya perhatian orang tua akan gizi anak. Hal ini disebabka karena pendidikan dan pengetahuan gizi ibu yang rendah. Pendidikan formal ibu akan memengaruhi tingkat pengetahuan gizi, semakin tinggi pendidikan ibu, maka semakin tinggi kemampuan untuk menyerap kemampuan praktis dan pendidikan formal terutama melalui media masa. Hal serupa juga dikatakan oleh Green, Roger yang menyatakan bahwa makin baik tingkat pendidikan ibu, maka naik pula keadaan gizi anaknya (Berg, 1986).

3. Distribusi Makanan

Menurut Khumaidi (1994) distribusi makanan sering kali dihubungkan dengan status yang terjalin antara anggota keluarga akan gizinya:

1. Anggota masyarakat pria yang lebih tua (senior) mendapatkan jumlah dan mutu susunan makanan yang lebih baik dari pada anak-anak kecil dan wanita- wanita muda.

2. Anak-anak laki-laki mendapatkan prioritas yang lebih tinggi dari pada anak- anak perempuan.

3. Cara menghidangkan atau pelayanan makanan disesuaikan pula dengan status, sehingga cara tertentu dapat memberikan penilaian terhadap suatu keadaan status tertentu yang menimbulkan suatu kegagalan dalam perbaikan gizi yang diinginkan.

Foster dan Anderson menjelaskan bahwa setiap kelompok masyarakat, betapapun sederhananya, memiliki sistem klasifikasi makanan yang didefinisikan

secara budaya. Setiap kebudayaan memiliki pengetahuan tentang bahan makanan yang dimakan, bagaimana makanan tersebut ditanam atau diolah, bagaimana mendapatkan makanan, bagaimana makanan tersebut disiapkan, dihidangkan, dan dimakan. Makanan bukan saja sumber gizi, lebih dari itu makanan memainkan beberapa peranan dalam berbagai aspek dalam kehidupan (Foster dan Anderson, 1986).

Dalam pengertian di atas para ahli tersebut mencatat beberapa peranan makanan yaitu makanan sebagai ungkapan ikatan sosial, makanan sebagai ungkapan dari kesetiakawanan kelompok, makanan dan stress dan simbolis makanan dalam bahasa. Masing-masning kebudayaan selalu memiliki suatu rangkaian aturan yang menjelaskan siapa yang menyiapkan dan menghidangkan makanan, untuk siapa, dimana satu kelompok atau individu makan bersama, dimana dan dalam kesempatan apa dan aturan makan, yang semuanya itu terpola secara budaya dan merupakan bagian cara-cara yang telah diterima dalam kehidupan setiap komunitas (Helman, 1984).

Ibu adalah orang yang menentukan dalam pengaturan pemberian makanan untuk keluarganya. Jika Ibu memiliki pendidikan dan pengetahuan yang baik maka ia akan memberikan makanan yang sama untuk seluruh anggota keluarganya tanpa mengesampingkan anaknya. Pendidikan yang baik tidak akan memengaruhi seorang ibu terhadap budaya pendistribusian makanan yaitu dengan mendahulukan kepala rumah tangga dan membelakangkan anaknya. Sehingga dengan demikian pola

konsumsi makan untuk anaknya dapat terkontrol dengan baik dan semua keluarga mendapat kebutuhan gizi yang sama.

4. Pantangan Makanan

Menurut Suhardjo, pantangan makanan adalah suatu sikap negatif yang lebih kuat terhadap penggunaan makanan atau makanan yang tidak dapat diterima (Suhardjo, 1986).

Dari sudut ilmu gizi, pantangan dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Kelompok pertama, termasuk haram menurut agama (Islam), pantangan jenis

ini jangan dipersoalkan lagi dan harus diterima tanpa perdebatan.

2. Kelompok kedua, pantangan pangan yang tidak berdasarkan agama (kepercayaan), jenis pantangan ini sebaiknya dihapuskan karena jelas merugikan kesehatan.

3. Kelompok ketiga, pantangan yang tidak jelas akibatnya terhadap kesehatan dan kondisi gizi, sebaiknya diteliti (observasi) terus melihat akibatnya dalam jangka panjang. Sebagai bahan memutuskan apakah benar tidak merugikan. Seorang individu akan memperoleh pelajaran kebudayaan mengenai makanan ini pada awalnya dalam sebuah keluarga, sebagai sebuah proses sosialisasi. Pengetahuan yang melekat akibat proses sosialisasi yang terjadi sejak bayi tersebut boleh jadi merupakan pengetahuan lokal atau indigenous knowledge, sebagai himpunan pengalaman yang disalurkan melalui informasi dari satu generasi ke generasi berikutnya (Mundy, 1995).

Sebagai contoh mengenai pantangan makanan menarik untuk dilihat penelitian Khomsan (2008) yang menyampaikan contoh kasus pantangan makanan di wilayah Bogor. Masyarakat wilayah Bogor masih ada yang percaya bahwa kepada bayi dan balita laki-laki tidak boleh diberikan pisang ambon karena bisa menyebabkan alat kelaminnya membengkak. Balita perempuan tidak dibolehkan memakan dubur ayam karena dikhawatirkan ketika mereka sudah menikah bisa diduakan suami. Sementara di Indramayu, makanan gurih yang diberikan kepada bayi dianggap membuat pertumbuhannya menjadi terhambat. Untuk balita perempuan, mereka dilarang untuk makan nanas dan timun. Selain itu balita perempuan dan laki-laki juga tidak boleh mengonsumsi ketan karena bisa menyebabkan anak menjadi cadel. Mereka menganggap bahwa tekstur ketan yang lengket menyebabkan anak tidak bisa menyebutkan aksara ‘r’ dengan benar.

Pantangan makanan sangat terkait dengan budaya dan tradisi adat istiadat masyarakat setempat. Tradisi atau adat ini sangat mempengaruhi pola pemberian makan kepada anak karena makanan-makanan yang biasa dipantangkan atau dilarang oleh budaya pada dasarnya memilki nilai gizi yang tinggi. Maka dari itu butuh peran seorang ibu dengan pengetahuan yang baik untuk mengatur pola konsumsi makan anak-anaknya.

5. Jumlah Anggota Keluarga

Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga yang miskin sangat rawan terhadap kurang gizi. Dari seluruh anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebagian memang demikian, sebab

seandainya jumlah anggota keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang lebih tua sering mengambil jatah makanan anak yang lebih muda. Dengan demikian anak-anak yang muda mungkin tidak mendapatkan cukup makanan.

Jumlah anggota keluarga dan banyaknya anak dalam keluarga akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pangan, jumlah anggota keluarga yang besar dibarengi dengan distribusi pangan yang tidak merata sehingga menyebabkan anak dalam keluarga mengalami kekurangan gizi (Suhardjo, 2003).

Dokumen terkait