DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Arief, Islam demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gusdur danAmien Rais, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1996
Abrar, Ahmad Zaini, Beberapa Aspek dari Pembangunan Orde Baru, Solo: Ramadhani, 1990
Ali, Fachry dan Bahtiar Efendy, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan,1986
Ali, Fachry , PPP, Merosotnya Aliran dalam Partai Persatuan Pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1988
Ali, Fachry, “ Merosotnya Aliran dalam PPP.” Prisma, Desember 1981.
Benda, H.J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj.YIIS, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980
Boland, B.J,Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: Grafiti Press, 1985
Budiardjo, Miriam, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982
Cahyono, Heru, Peranan Ulama dalam Golkar, Jakarta: Grafiti Press, 1985
Efendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam : Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, Jakarta: Galang Press, 2000
Effendy, Bahtiar,” Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik di Indonesia,” Prisma, 1995
Halim, Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005
Haris, Syamsuddin, PPP dan Politik Orde Baru, Jakarta: Grassindo, 1991
Iqbal, Muhammad dan Azhari Akmal Tarigan, Syariat Islam di Indonesia: Aktualisasi ajaran Islam dalam dimensi Ekonomi, Politik dan Hukum, Jakarta: Misaka Galiza, 2004
Kacung Marijan, Quo Vadis NU ?, Jakarta: Erlangga, 1992
Krissantono,”Ali Moertopo di atas Panggung Poltik Orde Baru,” Prisma, Edisi Khusus 20 Tahun Prisma, 1991
Mardjono, Hartono, Politik Indonesia 1996 – 2003, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Sadjali, Munawir, Wawasan Perjuangan Muslim Indonesia, Makalah disampaikan pada hari jadi HMI ke-43 di Yogyakarta, 4 Februari 1990.
Qadir Djailani, Abdul, Musuh-musuh Melakukan Offensif, Jakarta: Masyarakat Pelajar Press, 1987
Romli, Lili, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai – Partai Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Runua, Nung (ed), Dinamika Politik Indonesia : Dari Pemilu 1992 hingga Kabinet Pembangunan, Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1994
Sadjali, Munawir, Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, 1997
Slamet Effendy Yusuf, Mohammad Ichwan Sjam dan Masdar Farid Mas’udi, Dinamika Kaum Santri, Menyusuri Jejak & Pergolakan Internal NU, Jakarta: Rajawali, 1983
Surbkti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grassindo, 1993
Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer : Studi tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES, 1992
Syamsuddin, M.Din, Islam dan Politik era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001
Syamsuddin, Nazaruddin, Ikatan Golkar di Laut Islam, Forum Keadilan, Nomor 15, 12 November 1992.
Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Umaidi Radi, Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi tentang Politik Islam di Tingkat Nasional, Jakarta: Integrita Press, 1984
Van Bruinessen, Martin, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar & LKiS, 1995
Harian dan Surat Kabar
Editor, 10 Oktober 1992, 16 februari 1991, 2 Februari 1991, 10 Oktober 1992
Forum Keadilan, 17 Maret 1994, 28 Oktober 1993
Kompas, 22 Agustus 1988
Media Dakwah, September 1994
Merdeka, 10 Desember 1990
Panji Masyarakat, 1-10 Agustus 1988, 1-11 Februari 1994, 21-30 Desember 1990
Suara Karya, 10 Desember 1990
PROPOSAL PENELITIAN
NEGARA ORDE BARU DAN PENGENDALIAN POLITIK ISLAM
( STUDI TERHADAP HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU
TERHADAP UMAT ISLAM PERIODE 1985 – 1994 )
O
L
E
H
USNI HASIBUAN
020906035
Dosen Pembimbing : Drs. Warjio. SS. MA
Dosen Pembaca : Drs. Indra Kesuma Nst, S. IP. M.Si
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
Daftar Isi………...…………. ... i
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 7
1.3.Tujuan Penelitian ... 7
1.4.Manfaat Penelitian ... 8
1.5.Batasan Masalah ... 8
1.6.Kerangka Teoritis ... 9
1.6.1. Islam ... 11
1.6.2. Pemikiran Politik Islam ... 16
1.6.3. Negara ... 19
1.6.4. Negara Orde Baru ... 21
1.6.5. Model – Model Kepolitikan Orde Baru ... 25
1.6.6. Relasai agama dan Islam dalam Islam ... 31
1.7.Metodologi Penelitian ... 35
1.7.1 Metode Penelitian ... 35
1.7.2. Jenis Penelitian ... 36
1.7.3. Teknik Pengumpulan Data ... 36
1.7.4. Analisa Data ... 36
BAB II. FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA HUBUNGAN AKOMODATIF
ORDE BARU DENGAN UMAT ISLAM 1985-1994
2.1.Munculnya Gerakan Pemikiran Baru Islam ... 38
2.1.1. Reformulasi dasar-dasar Keagamaan ... 39
2.1.2. Mendefinisikan ulang cita-cita politik Islam ... 41
2.1.3. Meninjau kembali Strategi politik Islam ... 43
2.2. Kemerosotan Pengaruh Politik Partai Islam ... 45
2.3. Kemerosotan Pengaruh Politik “ Kelompok Tanah Abang “dan dinamika elite Islam di Golkar ... 58
BAB III. ANALISIS HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU TERHADAP UMAT ISLAM PERIODE 1985 – 1994 3.1. RUU Pendidikan Nasional ... 67
3.2. RUU Peradilan Agama ... 70
3.3. Kasus Monitor... 71
3.4. Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila ... 73
3.5. Pengiriman 1000 Da’i untuk daerah-daerah terpencil dan lahan transmigran / SKB tentang pengumpulan zakat/ Pelayanan zakat / Pelayanan Haji/ Penayangan Pelajaran Bahasa Arab di TVRI / Silaturrahi ke UII... 74
3.6. Bank Muamalat Indonesia ( BMI ) ... 77
3.7. Semaraknya Media Islam ... 78
3.8. Lahirnya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia ( ICMI ) ... 78
BAB IV. KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan ... 84
BAB II
FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU DENGAN UMAT ISLAM 1985 - 1994
1. Munculnya Gerakan Pemikiran Baru Islam
Dinamika umat Islam dalam hubungannya dengan Orde Baru pada awal
dasawarsa 1970-an yang tetap diwarnai dengan ketegangan dan konfrontasi telah
menempatkan posisi kaum muslimin menjadi marginal dalam proses politik Orde
Baru, dibanding kelompok lain yang lebih sedikit kuantitasnya. Betapa banyak
harga yang harus dibayar umat Islam selama periode konfrontasi itu. Hasil yang
diperoleh sama sekali tidak sepadan dengan energi yang dikeluarkan.
Berbagai strategi pengedepanan artikulasi “Partai Islam” dan “oposisi”
kurun waktu itu justru makin menempatkan umat Islam dipinggiran papan
percaturan politik Orde Baru. Indikasi paling riil semakin merosotnya posisi
politik umat Islam bias dilihat dari hampir tidak adanya jabatan strategis Negara
yang dipegang oleh tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang “Gerakan Islam”.
Sementara, konsep-konsep kebijakan yang dihasilkan negara juga banyak yang
tidak mangakomodasi aspirasi kaum muslimin.
Keadaan tersebut membawa konsekwensi psikologis-bahkan sebagai
beban karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim-terhadap para
pemimpin Islam Indonesia, terutama kalangan intelektual generasi baru yang
mulai menggeliat pada awal dekade 1970-an.
Pandangan ini memunculkan suatu gerakan apa yang disebut dengan
“Pemikiran Baru Islam” dikalangan intelektual muda Islam pada 1970-an, yang
pada zaman Orde Baru. Gerakan pemikiran baru itu tidak saja membicarakan
posisi umat Islam dalam kancah politik Orde Baru, tetapi juga membicarakan
tentang Tuhan, manusia dan berbagai persoalan kemasyarakatan, terutama yang
berhubungan dengan persoalan politik umat Islam serta bagaimana melakukan
terobosan-terobosan untuk mengembalikan daya gerak psikologis umat Islam.69
Dalam perkembangan selanjutnya, “Pemikiran Baru’ (Intelektualisme
Baru), menurut Bachtiar Effendy, membawa tiga implikasi: (1) mereformulasikan
dasar-dasar keagamaan/teologis politik; (2) mendefinisikan ulang cita-cita politik
Islam; (3) meninjau kembali strategi politik Islam.
70
1. Reformulasi dasar-dasar Keagamaan/Teologis politik Islam
Pada pembicaraan sebelumnya, telah disebutkan bahwa persoalan dasar
yang dihadapi politik umat Islam dalam hubungannya dengan negara adalah
adanya kesulitan untuk membangun sintesis yang memungkinkan diantara
keduanya.faktor utama yang menyebabkan kemandegan politik ini adalah
keinginan para pemikir dan aktivis politik Islam untuk membangun hubungan
Isalm dan negara secara legalistic dan formalistik.
Sikap semacam ini dasar keagamaannya, yang merujuk pada pemahaman
tertentu atas doktrin, bahwa Islam itu pada dasarnya bersifat holistic. Termasuk
didalamnya pemahaman bahwa Islam memberikan konsep yang jelas dan baku
tentang negara atau sistem pemerintahan. Bahkan, ada pihak yang berpendapat
bahwa negara adalah bagian integral agama-sebuah pandangan politik-keagamaan
yang merujuk pada proposisi: inna al Islam ad-din wa ad- dawlah, bahwa Islam
69
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Jakarta: Mizan, 1986, hlm.122-123.
70
itu agama dan negara. Karenanya, dari sudut pandang teologis semacam ini,
adalah wajar jika Islam dijadikan dasar ideologi negara.
Generasi baru pemikir dan aktivis muslim juga percaya pada sifat Islam yang
holistik itu. Tetapi, mereka menolak pendapat bahwa Islam memberikan suatu
kehidupan yang detail dan baku. Sifat holistic Islam hanya meliputi nilai-nilai
moral yang berperan sebagai petunjuk umum bagi kehidupan. Begitu pula, kaitan
Islam dan negara atau sistem pemerintahan hanya didasarkan prinsip-prinsip etis,
bukan konsepsi baku.
Mereka tidak menemukan indikasi kuat bahwa Islam memberikan aturan baku
dalam hubungannya dengan negara dan pemerintahan. Bahkan istilah “negara”
pun tidak ada dalam Al Qur’an. Bagi mereka, persoalan “negara” merupakan
produk pemikiran politik sebagai counter terhadap kolonialisme
barat.71
Dalam pandangan mereka, Islam tidak mewajibkan umatnya untuk
membentuk suatu negara. Sebaliknya, mereka cendrung percaya bahwa Islam
lebih mementingkan terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang baik, yaitu
masyarakat yang merefleksikan subtansi ajaran Islam seperti prinsip keadilan,
egalitarianisme, partisipasi, musyawarah, dan lainnya. Sejauh mekanisme tatanan
kemasyarakatan (dan negara) diatur dengan prinsip-prinsip dasar seperti itu, yang
menurut Robert N. Bellah cirri-ciri itu terdapat pada negara kota Muhammad di Kesimpulan ini mereka dapatkan setelah melakukan kajian-kajian intensif
atas doktrin Islam maupun diskursus politik Islam dalam sejarah klasik (Al
Mawardi, Ibnu Thaimiyah), maupun kontemporer (Ali Abdul Raziq, Abu Al-A’la
Al Maududi, Sayyid Qutb, dan sebagainya).
71
Madinah, maka cukuplah untuk dikatakan bahwa itu sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam.
Atas dasar pemikiran demikian, mereka tidak memiliki persoalan teologis
dalam hubugannya dengan konstruk negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Kenyataan bahwa nilai-nilai yang ada dalam Pancasila sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam, cukuplah bagi mereka untuk berpendapat, bahwa Indonesia adalah
negara yang memperhatikan nilai-nilai keagamaan (religious state), tanpa harus
menjadi “negara-agama” atau”negara-teokratis” (theocratic state).
2. Mendefinisikan ulang cita-cita politik Islam.
Dilihat dari perspektif keagamaan, sebenarnya tidak ada perbedaan
esensial antara pemikir dan aktivis politik Islam terdahulu dan yang muncul pada
dekade 1970-an dan berikutnya. Sebanding dengan situasi keagamaan yang
melingkup i kaum calvinis, dimana diskursus ekonomi mereka dipengaruhi oleh
doktrin beruf,72 Keterlibatan politik umat Islam juga dilandasi oleh semangan
ajaran Islam, seperti amar ma’ruf nahi munkar. Perumusan cita-cita politik
mereka tampaknya dipengaruhi oleh konsepsi ajaran tentang baldatun tayyibatun
wa rabbun ghaffur- sebuah negeri yang makmur dibawah ampunan Ilahi. Dalam
konteks demikian, dapatlah dikatakan bahwa para pemikir dan aktivis politik
Islam itu sebenarnya Qur’anic centerd- bergerak berdasarkan pemahaman mereka
terhadap Al Qur’an. Hal ini dalam pengertian, bahwa ide dan praktik politik
mereka, setidak-tidaknya ada hubungannya dengan nilai-nilai Islam.73
Tapi, pada soal implementasi cita-cita dasar ini, dua generasi pemikir dan
aktivis Islam itu berdoa. Kecendrungan skriptualistik generasi lama telah
72
mendorong mereka untuk menegakkan sebuah cita-cita ketika hubungan antara
Islam dan negara bersifat formulatistik dan legalistic. Cita-cita ini ditandai dengan
keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar ideologi negara. Tampaknya
bagi mereka, ide tentang “negara yang damai dibawah ampunan Ilahi” tak akan
dapat diciptakan dalam kontruksi negara yang secara forma tidak berdasarkan
Islam sebagai ideologinya.
Sebaliknya, sebagimana telah diisyaratkan dimuka, generasi pemikir dan
aktivis Islam baru lebih cendrung pada pendekatan yang subtansialistik atas
doktrin-doktrin kemasyarakatan Islam. Dengan lebih menekankan pada substansi,
mereka menolak cita-cita politik Islam yang bersifat legalistik dan formalistic.
Karena itu, mereka tidak berkeinginan untuk menegakkan “Negara Islam”.
Bahkan, mereka menolak gagasan tentang Islam sebagai dasar negara. Perhatian
utama mereka adalah tebentuknya sebuah sistem social politik yang
merefleksikan, atau sesuai dengan, nilai-nilai Islam.
Karena prinsip-prinsip etis politik Islam berbicara tentang keadialan (adl),
masyawarah (syura), persamaan (musawah), maka bentuk sistem kenegaraan yang
secara subtansif mencerminkan nilai-nilai Islam adalah demokrasi. Untuk itu,
perumusan ulang cita-cita politik Islam berujung pada (1) terbentuknya
mekanisme politik yang sifatnya egaliter dan demokratis; dan (2) berlakunya
proses-proses ekonomi yang lebih kurang equitable.
Kenyataan bahwa jalan untuk menuju Indonesia yang demokratis dan egaliter
masih panjang, hal itu harus dilihat sebagai sesuatu yang memprihatinkan seluruh
bangsa Indonesia. Karena watak cita-cita politik Islam yang universal itu,
bangsa. Dengan demikian, cita-cita untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi
hendaknya dilakukan dengan kerangka sistem politik yang ada.74
3. Meninjau kembali strategi politik umat Islam
Strategi politik Islam di masa lalu ditandai oleh dua karakter utama: (1)
politik partisan, dan(2) parlemen sebagai satu-satunya medan perjuangan. Yang
pertama berkaitan erat dengan adanya pengelompokan Islam sebagai kategori
kekuatan-kekuatan politik ( Masyumi, NU, PSII, Perti).
Dalam konteks pengelompokan seperti itu, terdapat kejelasan peran dan
kelembagaan politik Islam. Tetapi karena tajamnya polarisasi ideology di antara
partai politik yang ada ketika itu, pendekatan politik partisan ini menimbulkan
persoalan bagi Islam sebagai entitas keagamaan. Karenanya, konsep umat Islam
sering tidak jelas. Pengakuan atas keIslaman seseorang tidaklah didasarkan atas
kenyataan bahwa ia adalah seorang Islam, tetapi lebih didasarkan atas
hubungannya dengan organisasi social-politik Islam serta ide-ide yang
dikembangkannya. Karena sifatnya yang reduksionis ini, cita-cita politik Islam
menjadi milik organisasi social-politik Islam, bukan masyarakat Islam secara
keseluruhan.
Yang kedua merujuk kepada kenyataan bahwa pendekatan politik Islam
bersifat monolitik. Hal ini dalam pengertian bahwa cita-cita politik Islam lebih
banyak di perjuangkan lewat parlemen. Sementara sarana-sarana lain, yang
mungkin secara makropolitik lebih strategis, kurang diperhatikan. Karenanya,
dapat dipahami jika kegiatan-kegiatan NU dan Muhammadiyah yang sifatnya
“non politik” tidak mempunyai makna politik yang strategis.
74
Strategi politik Islam yang dikembangkan oleh generasi baru Muslim sekarang
ini lebih bersifat inklusif, integrative, dan diversifikatif. Sementara tetap
berpegang pada prinsip baldatun tayyibatun wa rabbun ghaffur dan amar ma’ruf
nahi munkar, mereka tidak mengartikulasikannya dalam konteks subjektivisme
ideologis dan simbolis, tetapi merumuskannya dalam kerangka cita-cita
masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kalau buku Aspirasi Umat Islam
Indonesia bisa dijadikan rujukan, dapat dikatakan bahwa agenda mereka meliputi
soal-soal besar, termasuk demokratisasi, toleransi politik dan agama,
egalitarianisme social-ekonomi dan partisipasi politik.
Sementara itu, mereka juga tidak menganggap parlemen sebagai instrumen
utama untuk menyalurkan aspirasi politik umat Islam. Kendatipun sifatnya yang
“non politik”, organisasi semacam NU, Muhammadiyah, MUI, dan sejumlah
lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya yang dikembangkan oleh generasi
baru pemikiru dan aktivis Islam dianggap mempunyai makna strategis untuk
mengembangkan cita-cita politik Islam.
Kalaupun harus melalui jalur partai, organisasi politik Islam seperti PPP tidak
merupakan satu-satunya pilihan. Karena sifat dari politik Islam yang lebih inklusif
dan integrative, GOLKAR dan PDI pun dianggap potensial untuk
memperjuangkan kepentingan Islam. Bahkan, ada kecendrungan pada sebagian
besar pemikir dan aktivis Islam untuk menyalurakan aspirasi sosial-politiknya
melalui GOLKAR.
Ini semua menunjukkan adanya sebuah transformasi yang cukup berarti dalam
pemikiran dan praktik politik Islam. Semua itu, baik pada tataran dasar-dasr
menghadirkan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara
(politik). Dalam konteks yang lebih empiric, intelektualisme dan aktivisme baru
ini dikembangkan untuk menghadirkan sebuah Islam politik yang lebih inklusif
dan integrative dalam hubungannya dengan kontruk negara Indonesia yang ada.
2. Kemerosotan Pengaruh Politik Partai Islam
Berbagai sikap keras perlawanan kalangan Islam terutama PPP pada
Pemilu dan terutama aksi walk-out-nya pada SU MPR 1978 semakin memancing
kemarahan rezim Orde Baru terhadap para pemimpin politik Islam. Dalam
menanggapi perilaku “oposisi” PPP itu, Jendral Ali Moertopo dengan geram
menyatakan pada pers: “Bahwa sikap Fraksi PPP di dalam MPR sebagai orang
yang mau tenggelam dan setengah gila”.75
Beberapa waktu kemudian, Presiden Soeharto dalam sebuah pidato
mengecam semua kelompok di Tanah Air yang tampak memusuhi Pancasila dan
justru berpegang teguh kepada ideologi-ideologi saingannya, seperti komunisme,
marhaenisme atau agama dan dia mangancam menerjunkan ABRI untuk memukul
mereka. Tindakan ini jelas dialamatkan kepada tindakan walk-out PPP, terutama
unsur NU, sebagai peringatan bahwa tidak akan ada lagi toleransi untuk
perlawanan terhadap ideologi resmi.
76
Kelanjutan dari ketidaksukaan rezim terhadap “Partai Islam” itu ialah
intervensi untuk melumpuhkan PPP dari dalam secara intensif. Tindakan konkret
awalnya adalah penggeseran Ketua Umum PPP, Mintaredja, yang “didubeskan”,
75
Abdul Qadir Djailani, Musuh-musuh Melakukan Offensif, Jakarta: Masyarakat Pelajar Press, 1987, hal..325.
76
diganti dengan Djailani Naro (“Jhon Naro”), yang diatur rapi melalui manipulasi
politik yang dijalankan Ali Moertopo.
Bahkan tanpa ada undangan rapat pengurus, apalagi Muktamar, Naro
mengumumkan dirinya sebagai ketua baru Naro nampaknya membawa misi
penguasa untuk membungkam kalau tidak dikatakan menyingkirkan, politisi
Islam PPP yang terlalu kritis terhadap rezim Orde Baru. Sebagai orang titipan, Ali
Moertopo dan bekas anggota FKP pada 1968, Naro menjadi sumber penting
kemelut dan ketegangan internal PPP yang memang telah cukup rentan akibat
“fusi separo badan”.
Tindakan rezim Orde Baru untuk menekan PPP, terutama unsur NU
sebagai elemen “garis oposisi”, bukan hanya itu saja, jaringan NU di
daerah-daerah juga mengalami tekanan keras dari penguasa militer dan sipil dari tingkat
pusat hinggan birokarasi lokal yang curiga dan marah. Para usahawan yang
merupakan soko guru terpenting sebagian besar cabang NU sangat merasakan
tekanan tersebut. Para usahawan yang dianggap berafiliasi dengan NU tidak hanya
dibuntu jalur kontrak bisnisnya dari pemerintah, bahkan urusan-urusan bisnis
swasta mereka pun sering diintervensi. Para usahawan yang sumula cukup
terwakili dalam kepengurusan di berbagai cabang-cabang NU itu, karena tekanan
beruntun terhadap mereka, terpaksa mulai bersikap moderat, atau bahkan menarik
diri sama sekali dari aktivitas politik paraktis.
Rekayasa suprastruktur lebih lanjut untuk menggeser kelompok berhaluan
oposisi di PPP adalah dengan mem-back-up faksi akomodasionis atau oportunis
untuk menguasai sumber-sumber kekuasaan di Parlemen dan kepengurusan Partai.
merebut posisi Ketua Komisi di DPR-RI yang semestinya merupakan jatah NU.
Perebutan jatah kursi Komisi dari tangan NU dari perolehan 13 Ketua Komisi FPP
di DPR-RI. Dari 13 Komis jatah FPP itu, alokasi antar unsur dibagi dengan rasio
NU:MI:SI:Perti=7:4:1:1.
Sesuai dengan kesepakatan fraksi-fraksi di DPR, alokasi ketua komisi
untuk unsur Nu adalah di Komisi I, VII, VIII. Kemudian muncuk kesepakatan
pada 1978, NU meminjamkan posisi Ketua Komisi VII (Bidang Perdagangan,
Keuangan dan Bank Sentral)77
Merasa mendapat angin dari pemerintah, faksi MI meningkatkan
ambisinya untuk merebut ketua komisi lain yang berada dalam kendali unsur NU.
Lagi-lagi unsur NU kalah sehingga beberapa posisi ketua komisi lainnya ikut
terserabot unsur lain yang mendapat dukungan dari FKP dan FABRI. Akibat yang semula di pegang Rahmat Muljomuseno
(NU) kepada Sudarji (MI), dengan syarat harus dikembalikan setahaun kemudian,
setelah batas waktu peminjaman habis, ternyata MI masih minta perpanjangan
satu tahun lagi. Di sini NU masih menunjukkan jiwa besarnya denag menyetujui
pemintaan perpanjangan unsur MI. Namun kebesaran jiwa unsur NU ternyata
membuat faksi MI lupa daratan. Sampai batas waktu perpanjangan terakhir unsur
MI justru bersikeras mencengkram jabatan Ketua Komisi yang basah itu.
Kali ini NU habis kesabarannya, sehingga menjelang persidangan DPR
1980/1981 menjadi pergesekan terbuka antara NU dan MI. Untuk menentukan
siapa yang berhak memimpin Komisi VII akhirnya diputuskan melalui voting.
Dalam proses pemungutan suara itu faksi NU kalah, karena MI didukung oleh
penyerobotan kursi-kursi yang seharusnya milik NU itu, perbandingan unsur
dalam FPP yang memegang jabatan ketua komisi pun berubah dengan
menyusutnya posisi dan meningkatnya posisi MI.
Rasio jatah kursi ketua komisi bergeser, yang semula 7 banding 4 antara
NU dan MI berubah menjadi 5 berbanding 6. secara distribusinya sebagai
berikut:NU: 5, MI: 6, SI: 1 dan Perti: 1. keadaan itu semakin mengecewakan para
tokoh NU, karena sebelum penyerobotan jatah kursi ketua komisi tersebut mereka
juga telah meras a ”dikhianati” dalam pembagian kursi DPR hasil Pemilu 1977.
Dalam distribusi ini seharusnya mengacu pada ”konsensus 1975” yang
mendasarkan pembagian kursi dalam PPP dengan perimbangan hasil yang
diperoleh empat Partai Islam pada Pemilu 1971.
Tetapi kenyataanya yang terjadi penambahan lima kursi PPP dalam
Pemilu 1977 hanya dinikmati unsur-unsur minoritas dalam partai ( MI, Perti,dan
SI ), sedangkan kursi dari NU justru merosot dari 58 menjadi 56. Anehnya, setiap
MI merebut posisi-posisi yang dipegang oleh NU, para politisinya selalu
mengklaim sebagai kelompok mayoritas di PPP karena sebagai penerus Masyumi-
partai besar Islam pada 1955. Padahal hampir seluruh pendiri dan aktivis
Masyumi seperti M. Natsir sampai Lukman Harun ( Tokoh Parmusi ) berkali-kali
membantah bahwa MI merupakan pewaris Masyumi.
Berbagai ketimpangan distribusi sumber-sumber kekuasaan dan
kekecewaan dalam tubuh PPP diatas semakin menyulut pertikaian internal lebih
besar, tatkala terjadi proses penyusunan daftar calon DPR untuk Pemilu 1982. MI
menyangkut distribusi nama calon yang handak disusun. Unsur MI mengharapkan
dikuranginya jatah NU yang semula 56 kursi menjadi49.
Keinginan ini ditolak unsur NU yang menghendaki komposisi daftar calon
tetap seperti semula. Sikap unsur NU itu didasarkan oleh keputusan Munas Alim
Ulama Nu di Kaliurang yang memberikan amanat kepada PBNU untuk
mempertahankan jiwa konsensus Munas PPP 1975 serta kekuatan massa riil NU
sebagai kontributor surar terbesar bagi PPP dibandingkan unsur lain.
Sikap teguh NU untuk berpegang pada konsesus 1975 dan agresifitas
kelompok Naro(MI) membuat proses penyusunan Daftar Calon Sementara (DCS)
anggota DPR 1982 menjadi alot dan panas. Dari pernyataan dan sepak terjang
Naro dan Sudarji dalam upaya mengeliminasi tokoh-tokoh dari unsur NU nampak
tak diragukan lagi, keduanya membawa “pesan sponsor” untuk menjegal
orang-orang yang berpotensi menjadi “oposan” pemerintah. Dengan arogan Sudardji
berkata bahwa ia tak menghendaki satu pun dari unsur NU masuk daftar caleg
DPR PPP. Sudardji berusaha memojokkan Nu, bahwa anggota NU tempo hari
sudah melakukan walk-out, mendukung Petisi 50 dan ikut menandatangani angket
mengenai Pertamina. Juga dengan sensasionalnya dikatakan, bila jumlah 50
anggota NU masih dicalonkan maka kehidupan Orde Baru menjadi terancam.78
Dengan terlontarnya ucapan-ucapan kasar diatas bisa diduga kalau
penyusunan caleg PPP sedang meluncur ke jalan buntu. Rapat-rapat pertemuan
penyusunan daftar calon seolah-olah hanya menjadi arena saling menggebrak,
hingga batas akhir penyerahan pada 27 September 1981 belum ada kata
kesepakatan di antara mereka, meski tak kurang dari 22 kali rapat telah dilakukan.
78
Lembaga Pemilihan Umum (LPU) memberikan perpanjangan waktu pada PPP
untuk menyerahkan susunan daftar calon hingga 27 Oktober 1981. hingga batas
ahir perpanjangan waktu itupun tetap mengalami jalan buntu karena
masing-masing pihak ngotot untuk berpegang pada pendiriannya.
J.Naro dengan sekutu-sekutunya dekatnya kemudian mengambil jalan
pintas dengan cara sepihak menyerahkan daftar calon anggota DPR kepada
Mendagri selaku Ketua LPU. Dalam daftar calon versi kelompok Naro tersebut
porsi NU mengalami pengurangan drastic disbanding Pemilu sebelumnya. Hal ini
tentu saja menjengkelkan para tokoh NU, apalagi urutan daftar nama yang
dikehendaki NU diaduk-aduk sedemikian rupa, sehingga tokoh-tokoh utama yang
dijagokan NU tidak mungkin jadi.
Mereka yang dijadikan kartu mati oleh J.Naro umumnya sangat vocal
dalam menyikapi Orde Baru seperti Yusuf Hasyim, Syaifuddin Zuhri dan Imron
Rosyadi. Daftar calon sementara yang diserahkan secara sepihak oleh J. Naro
tenyata deterima dan dianggap syah oleh Mendagri ( Ketua LPU dan PPI ).
Kendati keputusan untuk menerima urutan calon itu diprotes oleh kalangan NU,
Idham Chalid sendiri nyaris tak bisa berbuat banyak, meski telah dilakukan upaya
membuat daftar calon tandingan.
Karena tidak puas dengan penaganan sengketa intern partai tersebut dan
merasa PPP tak bisa diharapkan lagi menjadi alat perjuangan, pada 19 Februari
1981 KH. Syaifuddin Zuhri menyerahkan jabatan Ketua DPP PPP kepada
Presiden Partai (Idham Chalid).
Mengomentari pengunduran diri KH.Syaifuddin Zuhri, wakil Sekjend NU,
formal pertama dilingkungan NU untuk melepaskan organisasi sosial
keagamaamitu dari kaitan organisasi dengan PPP. Ini tentu memiliki implikasi
sendiri bagi perkembangan politik jangka panajang di Tanah Air kita. Lebih jauh
dari itu, Presiden partai Dr. KH. Idham Chalid mengancam akan juga
mengundurkan diri jika tidak terdapat penyelesaian intern PPP.79
Begitu menyakitkan kekisruhan PPP menjelang Pemilu 1982, sehingga
pengurus Syuriah PB NU merasa perlu secara khusus membahas berbagai
kerugian yang diderita NU itu. Dalam pertemuan tersebut Syuriah PB NU
memutuskan akan mempertimbangkan kedudukan NU di PPP apabila azas
musyawarah, solidaritas intern dan prinsip-prinsip organisasi (PPP) tetap tidak
ditegakkan.
Rentetan
kejadian yang merugikan kalangan NU tersebut tak kurang menimbulkan
perdebatan panas tentang kegunaan ikut serta dalam politik parlementer.
80
Dampak dari gejolak internal yang tak terselesaikan diatas terasa sekali
pengaruhnya dalam penampilan PPP masa kampanye dan Pemilu 1982.
kesemarakan kampanye PPP mulai agai memudar, banyak para pemimpin politik
muslim yang semula menyatakan dukungannya dalam kampanye Pemilu 1977
kini menolak memberikan dukungan. Mereka antara lain M. Natsir, Nurcholish
Madjid, Kasman Singodimedjo dan sebagainya. Polemik dan perang
statemen-terkadang disertai caci-maki-yang tersebar di media massa yang menyertai
kemelut PPP itu memperlihatkan betapa parahnya keretakan yang terjadi sehingga
mulai menimbulkan krisis kepercayaan sebagai partai Islam. Dengan susah payah
79
Umaidi Radi, Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi tentang Politik Islam di Tingkat Nasional, Jakarta:Integrita Press, 1984, hlm.169.
80
akhirnya PPP dalam Pemilu 1982 itu memperoleh 94 kursi, yang berarti
mengalami penurunan 5 kursi dibandingkan Pemilu 1977.
”Penggembosan” dan Upaya Penetrasi Elit NU ke dalam ”Partai Orde Baru”
Sebagai realisasi dari keputusan kembali ke khittah 1926, yang berarti NU
tidak lagi terikat dengan organisasi politik manapun, PB-NU mengeluarkan SK
No.1./PB NU/1-1985 tentang larangan bagi pengurus harian Nu memiliki
rangkapan jabatan sebagai pengurus harian partai politik/organisasi sosial politik
manapun. Rupanya materi keputusan itu dianggap penting sehingga pada 26
Oktober 1985, PB NU kembali menegaskan pelarangan rangkap jabatan dengan
SK 72/A.-II/04-d/XI/85 danNO.92/1986.
Intruksi semacam itu tentu dirasakan sebagai suatu hal yang kurang
mengenakkan bagi sebagian pemimpin-pemimpin di daerah-daerah, karena
banyak pengurus NU di daerah-daerah kebanyakan juga juga menjabat sebagai
pengurus PPP. Di hadapkan pilihan seperti itu, sebagian dari mereka mematuhi
intruksi itu dengan menanggalkan jabatannya di PPP, namun ada juga yang
menolak.
Bila prinsip netralitas NU terhadap partai-partai politik sebagai
konsekuensi kembali ke khittah ’26 benar-benar dijalankan seperti keluarnya
intruksi di atas, mau dikamanakan massa NU yang besar dan relatif kohesif itu?
Menjelang di selenggarakannya kampanye Pemilu 1987, jawaban terhadap
pertanyaan itu, mulai menampakkan kejelasan.
Para pemimpin NU, termasuk Abdurrahman Wahid, semakin terlihat aktif
mereka membawa pesan sederhana, warga NU tidak lagi wajib memilih PPP,
tidak haram mencoblos GOLKAR dan PDI. Tetapi dalam peyampaian mereka
memiliki titik tekan berbed-beda . yang itu tergantung pada yang melatar
belakanginya. Bagi para tokoh NU yang semula di PPP kemudian disingkirkan
Naro, seperti Yusuf Hasyim, Mahbub Junaidi dan seterusnya, pesan-pesan yang
disampaikan sarat dengan muatan sentimen PPP.
Bagi mereka yang merasa akan mendapatkan keuntungan bila suara NU
berpindah de Golkar, namun tidak pernah terlibat langsung konflik dengan Naro,
umumnya melakukan persuasi lebih halus agar massa NU mengalihkan suaranya
ke partai pemerintah. Namun disamping tokoh-tokoh yang menggunakan khittah
dengan muatan-muatan kepentingan itu, banyak tokoh-tokoh NU yang
melakukannya dengan tulus demi kebaikan organisasi. Upaya-upaya tokoh NU
agar warganya melakukan meninggalkan dukungannya pada PPP dalam Pemilu,
1987 itulah yang kemudian diistilahkan ”penggembosan”.
Gerakan penggembosan yang nampaknya secara diam-diam menjadi
policy kepemipinan Abdurahman Wahid menjadi sangat efektif karena diperburuk
oleh perkataan-perkataan provokatif J.Naro sendiri yang menjelek-jelekkan NU.
Di berbagai kesempatan, Naro mengatakan bahwa mereka yang meninggalkan
partai sebagai ”telur busuk” yang jumlahnya tak lebih dari 200 orang.
Dalam pidatonya yang sangat kasar dihadapan masa pendukung PPP
Bandung, Naro berujar ”Biar saja ” telur-telur busuk” itu keluar dari partai.
Terlalu lama dalam keranjang (PPP) yang baik ini, malah akan merusakkan
telur-telur yang masih bagus. Pernyataan-pernyataan vulgar semacam itu tentu semakin
digunakan untuk mengempiskan suara PPP adalah isu azas tunggal yang berari
PPP tidak lagi bisa mengklaim sebagai partai Islam.
Adalah para tokoh-tokoh NU berpengaruh seperti KH. Fuad
Hasyim(Cirebon), KH.Hamid Baid howi ( Lasem), KH.Syafi’i Sulaiman, KH.
Shobib Bisri, KH. Yusuf Hasyim, H. Saiful Mujab dan H. Mahbub Junaedi yang
paling aktif berkeliling ke daerah - daerah untuk melakukan pengembosan. Para
tokoh - tokoh tersebut biasanya menggunakan acara - acara ceramah keagamaan
(pengajian )sebagai ajang penggembosan sehingga kadang sulit dibedakan apakah
itu acara pengajian atau penggembosa. Semakin mendekati Pemilu para tokoh NU
terlihat semakin intensif menggerogoti PPP sehingga di Jawa Timur saja tak
kurang dari 900 pengajian.
Yang dimuati pesan pemboikotan pada PPP. Mereka baik secara
terang-terangan atau implisit, membujuk warga NU untuk memilih Golkar.
Sekurang-kurangnya para tokoh NU dalam materi-materi ceramahnya menegaskan
berulang-ulang garis batas NU dan PPP dibandingkan dua OPP yang lain terutama
Golkar.
Rentang waktu masa kampanye, Abdurrahman Wahid mengisi acara-acara
pengajian di Golkar. Di Surabaya, Gus dur memberikan ceramah di DPD Golkar
Jawa Timur, ketika pada hari yang sama PPP juga menggelar kampanye. Dalam
konteks acara yang sama, Gus Dur berbicara dalam acar Isra’ Mi’raj di Gedung
DPP Golkar di Jakarta. Dalam pada itu, Abdurrahman Wahid pada Harlah NU
ke-61 di Surabaya, dihadapan sekitar 10.000 warga Nahdliyah mensinyalir adanya
pertentangan. Gus Dur dalam acara itu berkali-kali menyatakan bahwa NU secara
kelembagaan telah meninggalkan politik praktis.
Gus Dur juga aktif melakukan kontak-kontak loby dengan pimpinan
Golkar, yang bisa ditafsirkan sebagai suatu konsesi politik dijanjikan akan
diberikan oleh Golkar kepada pemimpin NU itu bila berhasil mengkonversikan
pengikutnya ke Golkar berhasil. Atas dasar itu, dalam retropeksi, H. Abdurrahman
Wahid sering kali dianggap bertanggung jawab dalam gerakan penggembosan ini.
Pengkritik yang paling vokal terhadap aksi penggembosan itu adalah KH.
Syansuri Badawi, seorang guru senior di Tebu Ireng dan calon PPP di DPR.
Dalam sebuah serangan yang tersebar terhadap Abdurrahman Wahid dan
pendukungnya, dia mengatakan bahwa sebagai umat Islam, warga NU tidak
punya pilihan kucuali memberikan suaranya kepada partai Islam, PPP.
Martin Van Bruissen menyatakan, umat Islam luar NU yang taat, termasuk
banyak diantaranya yang memandang rendah kepemimpinan Naro, melontarkan
cemooh yang bertubi-tubi kepada Abdurrahman Wahid karena dipandang
menghianati kepentingan Islam. Apapun tuduhan yang diajukan pada
Abdurrahman Wahid, gerakan penggembosan ini nampaknya merupakan langkah
lanjut ”pembaru muda” untuk melakukan ”eksperimen politik strategi akomodasi
berprinsip” dengan negara.
Betapapun usaha-usaha yang membendung gelombang penggembosan
telah dilakukan PPP, termasuk tokoh NU yang masih berada di Partai itu, upaya
itu sia-sia belaka. Selebaran-selebaran yang beredar di kalangan NU sangat
merugikan PPP. Demikian halnya dengan kajian-kajian keagamaan yang
Derasnya gelombang penggembosan yang dilakukan tokoh NU menjelang
Pemilu keempat Orde Baru itu benar-benar membuat kelabakan para aktivis PPP.
Dilaporkan banyak DPC PPP mengeluhkan sulitnya mencari saksi pemungutan
suara dan Panwaslakcam. Kampanye-kampanye partai berlambang bintang
tersebut juga sepi dari pengunjung.
Sebagian pemimping NU Jawa Timur, menurut Martin Van Bruissen,
malah terlihat berlebihan dalam menyerang PPP, sehingga memunculkan berbagai
ketegangan sosial di beberapa tempat. Suatu hal yang dianggap melebihi proporsi
yang diharapkan pemerintah. Oleh karena itu, Laksusda ( aparat militer ) yang
elitnya kebetulan terlibat dengan rivalitas dengan pimpinan Golkar segera
mengeluarkan larangan berceramah beberapa tokoh NU. Meskipun kumudian
Ditsospol mencabut kembali ”pencekalan” terhadap tokoh NU yang
”menghantam” PPP melalui ceramah-ceramahnya.
Alasan yang dipakai dalam ”penggiringan” massa NU ke ”Partai Orde
Baru” antara lain adalah, meningkatakan sarana-sarana ibadah umat Islam berkat
bantuan pemerintah. Suatu Bathsul-Masail yang diadakan di pondok-pondok
psantren si – DIY Yogyakarta berkesimpulan:
” Apabila pertimbangan-pertimbangan di atas diterapkan dengan kritis dan tidak emosional, Golkar lah yang pantas dipilih dalam Pemilu, sebab keculi telah membawa manfaat bangsa dan umat Islam Indonesia, kita juga lebih dapat mengamalkan taat kepada Ulil Amri dan dapat lebih dekat lagi dengan... jadi memilih Golkar adalah pilihan yang tepat...Kami yakin, dengan menitipkan aspirasi melalui Golkar, di samping kita ikut menjaga kewibawaan Ulama, juga pamasyarakatan ajaran Ahlussunnah wal jamaah akan lebih dapat teralisir.81
81
Koalisi de facto NU dengan bekas ”musuh besarnya” Golkar, sebagaimana
telah diketengahkan diatas, menghasilkan suatu perolehan suara yang
mengejutkan dalam Pemilu 1987. Golkar mengalami lonjakan suara yang cukup
besar, dari 66,34% pada Pemilu 1982 menjadi 72,99% pada Pemilu 1987.
sementara PPP hanya memperoleh 15,96% yang berarti mengalami penurunan
11,82% dibanding Pemilu sebelumnya. Di daerah-daerah kantong NU, PPP
mengalami kemerosotan suara yang besar, sebaliknya perolehan suara Golkar
menggelembung.
Sebagai konsesi atas penyeberangan massa NU ke Golkar dalam Pemilu
1987, H. Abdurrahman Wahid dan Saiful Mujab (Mantan Politisi PPP)
memperoleh kursi MPR – RI dari FKP. Beberapa tokoh NU lain, yang menjadi
anggota MPR yang ditunjuk pemerintah adalah KH.Imron Hamzah ( mantan
anggota DPR dari PPP ) dan HM. Syah manaf ( Mantan fungsionaris PPP DKI
Jakarta ). Lebih jauh lagi, dalam SU MPR itu, Abdurrahman Wahid melakuakan
lompatan akamodasi politik yang ”spektakuler”, dengan kesediaannya menyetujui
status aliran kepercayaan dalam GBHN sebagimana yang dikehendaki oleh
kelompok kebathinan Golkar. Langkah ini jelas sangat berlawanan dengan sikap
politik para Ulama dan pemimpin NU yang dalam SU MPR 1978 melakukan walk
out atas kedudukan aliran kepercayaan dalam GBHN.
Namun usaha NU untuk memasukkan pesantren ke dalam GBHN tidak
berhasil karena kurang mendapat dukungan fraksi-fraksi pemerintah. Tetapi, yang
terpenting dari kehadiran pimpinan NU di MPR mewakili FKP dan kesediaannya
dalam menyetujui keberadaan aliran kepercayaan dalam GBHN itu adalah makna
Bila periode dua dasawarsa pertama Orde Baru organisasi Islam terbesar
ini berada dalam garda depan kekuatan politik Islam yang ”oposan” terhadap
negara, pada awal kepemimpinan Abdurrahman Wahid justru berubah sikap
menjadi affirmatif terhadap eksesntuasi politik negara Orde Baru.
3. Kemerosotan Power Politik “Kelompok Tanah Abang” dan Dinamika Elit Islam di GOLKAR
Dalam upaya mencipatakan dapur politik (Kitchen kabinet) lembaga
kepresidenan, Soeharto mangangkat orang-orang kepercayaannya kedalam Spri
(Staf Pribadi). Spri yang terbentuk tak lama setelah tersusun kabinet Ampera,
beranggotakan enam perwira AD yang telah lama memiliki kedekatan dengan
Soeharto dan dua tim penasehat sipil untuk urusan politik dan ekonomi. Dalam
perkembangannya, Spri mengangkat lagi enam orang perwira.
Keseluruhan para perwira yang masuk kedalam Spri tersebut menjadi dua
belas, dengan penugasan yang telah digariskan oleh Soeharto.82
Sedangkan munculnya Ali Moertopo sebagai pembantu politik terpercaya
Soeharto disebabkan keduanya telah menjalin hubungan akrab semenjak di Divisi
Diponegoro, kemudian dalam pembentukan Tjuduad-Kostrad.
Dalam Spri ini,
Ali Moertopo dan Sudjono Humardani merupakan orang yang paling
berpengaruh. Bahkan karena kedekatan hubungannya dengan Soeharto, banyak
beredar desas-desus bahwa Sudjono merupakan penasehat sprituil (dukun politik)
Soeharto.
83
82
Fachry Ali, “ Merosotnya Aliran dalam PPP.” Prisma, Desember 1981,hal.245.
83
Krissantono,”Ali Moertopo di atas Panggung Poltik Orde Baru,” Prisma, Edisi Khusus 20 Tahun Prisma, 1991, hal.139.
Ketika menjadi
bawahan Soeharto, terutama pada Asintel Operasi Khusus (Opsus), Ali Moertopo
Daftar keberhasilan Ali Moertopo bisa dilihat pada suksesnya
penyelesaian damai konfrontasi dengan Malaysia dan kampanye memenangkan
penentuan pendapat rakyat di Irian Barat 1969. Bahkan Jendral Nasution
menengarai, tatkala masa transisi yang penuh ketidakpastian pos usaha kup
G-30-S 1965, Ali Moertopolah yang tekadang menjadi sandaran pemikiran strategi
politik yang harus ditempuh Soeharto.
Dengan berbagai reputasi Ali Moertopo tadi, tak mengherankan bila dia
dengan keterampilan politiknya berhasil membuktikan diri sebagai seorang
pembantu Soeharto yang sangat diperlukan. Karena itu, bisa dipahami bila
kemudian Ali Moertopo mendapat tugas langsung dari Soeharto untuk melakukan
conditioning (penggalangan) dalam pengamanan kepentingan politik negara Orde
Baru, termasuk menjawab tantangan Pemilu yang harus segera dilaksanakan.
Penundaan penyelenggaraan Pemilu telah memberikan waktu lebih banyak
bagi para petinggi AD untuk melakukan reorganisasi dalam sekber Golkar.
Kepengurusan DPP Golkar hasil reorganisasi tersebut telah menunjukkan
meningkatnya pengaruh Ali Moertopo di dalam sekber Golkar sebagaimana
diperlihatkan dengan munculnya kino baru dalam Golkar yang diisi kaum
intelektual dan politisi yang sangat dekat Ali Moertopo.84
Ada tiga kelompok cendikiawan dan politisi di sekitar Ali Moertopo.
Kelompok pertama terdiri dari Lim Bian Kie ( Yusuf Wanandi ), Lim Bian Khoen Kino baru sekber
Golkar yang diberi nama Kino Karya Pembangunan hampir secara keseluruhan
diisi intelektual dan politisi yang memiliki latar belakang kultural Jawa abangan,
Katolik dan Sosialis.
84
( Sofyan Wanandi ), Harry Tjan Silalahi dan Moerdopo. Mereka telah lama
menjalin hubungan yang terdekat dengan Ali Moertopo, di mana Lim Bian Kie
menjadi asistennya sejak tahun 1967. mereka tampil sejak Gestapu dengan rasa
khawatir akan kejayaan Islam, mereka memiliki rasa khawatir bila gerak laju
pemimpin politik Islam tidak dikendalikan dan rehabilitasi organisasi-organisasi
Muslim dibiarkan akan merusak keseimbangan antara kekuatan-kekuatan secular
dan Muslim.
Kelompok kedua disebut sebagai Gadjah Mada Group. Pada 1996
sama-sama tidak memberikan rasa simpatinya terhadap partai-partai Muslim dan secular
dan berusaha agara seluruh partai politik dilarang sehingga pemerintahan
Indonesia dapat diberi bentuk baru. Orang-orangnya yaitu Sumiskum, Sulistyo,
Sugiharto, Soekarno dan Soeroso, mereka dikenal bersifat anti Presiden Soekarno
dan memusuhi aspirasi-aspirasi Islam.
Kelompok ketiga adalah kelompok Bandung dengan tokohnya Rachman
Tolleng dan Midian Sirait. Mereka bekerja sama dengan sponsor-sponsor dari
kalangan militer untuk memperlihatkan bahwa modernisasi Indonesia bergantung
pada ABRI.
Keberhasilan Ali Moertopo merekrut kelompok-kelompok intelektual dan
mantan aktivis-aktivis di atas merupakan salah satu sumber kekuatan politik yang
penting baginya sebagai politicl player idi pentas nasional. Sumber kekuatan
politik lain yang menjadi sumber keberhasilan Ali Moertopo untuk menjadi actor
politik yang sangat berpengaruh pada awal Orde Baru adalah kemahiran siasat
politiknya yang diperoleh dari penempaan perjalanan panjang dan berliku-liku
Karir militer Ali Moertopo merangkak dari bawah sebagai prajurit tiga
hingga karirnya terus menanjak sampai kemudian secara intens menggeluti dunia
intelijen terutama seksi intelijen Kostrad yang disebut Operasi Khusus ( Opsus ).
Setelah Jendral Soeharto memegang kekuasaan, selain ditugaskan sebagai Aspri,
dia tetap dipercaya mengelola jaringan intelijen Opsus Kostrad tersebut. Dengan
menggunakan Opsus sebagai basisnya, Ali Moertopo membangun Bapilu ( Badan
Pengendali Pemilu ), sebuah organisasi krusial untuk menghadapi Pemilu 1971.
Pada tahun 1971 kelompok Ali Moertopo mendirikan sebuah think-thank
yang diberi nama Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS) untuk
mempromosikan kepentingan – kepentingannya. Lembaga yang dipimpin oleh Ali
Moertopo dan Sudjono Humardani dan Daud Yoesoef kemudian populer disebut
sebagai kelompok Tanah Abang. Dalam perjalanannya, kelompok Tanah Abang
tak hanya sekedar sebagai tangki pemikir melainkan telah bergerak sebagai
kelompok kepentingan politik terlalu jauh, sehingga orang-orangnya banyak
menduduki posisi strategis di GOLKAR dan pemerintahan. Untuk menunjukkan
betapa besarnya ambisi kelompok Tanah Abang ini, perlu dicatat bahwa didalam
GOLKAR pernah mendesakkan gagasan untuk menjadikan kelompok Tanah
Abang ini sebagai “Kabinet Bayangan”, dimana anggota kabinet bayangan ini
anrara lain terdiri dari Daud Yoesoef dan Panglaykim.
Meskipun rencana tersebut gagal karena mendapat tantangan keras dari
berbagai pihak, kelompok CSIS telah banyak berhasil membentuk visi
kebijaksanaan negara pada dua dekade pertama kekuasaan rezim Orde Baru.
Sudjono Humardani dalam mempengaruhi policy process selain karena personal
linkages-nya juga barangkali kemampuannya dalam mengelola informasi.
Adalah tidak mengherankan jika kemudian kebijaksanaan politik awal
pemerintah Orde Baru banyak dirasakan menyayat hati kaum muslimin, karena
kelompok Ali Moertopo yang memegang kendali begitu besar dalam pendekatan
kepada umat Islam berintikan tokoh-tokoh yang tidak Islami bahkan cenderung
hendak memusuhi umat Islam. Dalam pikiran kelompok Ali Moertopo, Islam
merupakan potensi yang sangat membahayakan apabila diberi kesempatan. Ada
kecendrungan memandang Islam identik dengan “ Darul Islam”, sehingga ia
cendrung menghancurkan Islam.85
Menurut Richard Tanter,86
85
Affan Gaffar, “ Partai Politik, Elite dan Massa dalam Pembangunan Nasional,” dalam Ahmad Zaini Abar, Beberapa Aspek dari Pembangunan Orde Baru (Solo: Ramadhani, 1990) hal.22.
86
Harian KAMI, 4 Oktober 1973, sebagaimana dikutip Heru Cahyono.op.cit., hal.130-131.
dalam kurun decade 1970-an pemerintah Orde
Baru, agen-agen intelijen yang berada dalam pengaruh Ali Moertopo
menempatakan posisi kelompok Islam sebagai sasaran utama dari rangkaian
operasi intelijen mereka. Agen intelijen tersebut banyak menanamkan sumber
untuk penetrasi (penyusupan) dan manipulasi terhadap kelompok Islam militant
atau radikal, provokasi menjadi alat yang menonjol dalam operasi yang
dijalankan.
Metode operasi intelijen yang dijalankan Opsus biasanya dengan jalan
intervensi pada rapat-rapat atau musyawarah partai dan kemudian memanipulasi
konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan
yang pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong kepemimpinan yang
Dalam usaha memenuhi ambisi politiknya, Ali Moertopo tak segan-segan
menggunakan cara-cara inkonvensional, antara lain, seperti dikatakan Soemitro,
Ali Moertopo menghimpun dan membina unsur bekas DI/TII, PRRI dan unsur
parpol peniggalan Orde Lama yang bisa dipergunakan untuk alat manuver
politiknya.
Sementara itu dalam komposisi kepengurusan Munas III GOLKAR,
pengaruh dan peranan politik kelompok CSIS yang merupakan kubu Ali
Moertopo mulai merosot. Jika dalam kepengurusan Golkar 1978 orang-orang dari
“Tanah Abang” banyak memegang posisi kunci seperti Sekretari Jendral, wakil
ketua dan sebagainya, maka produk kepengurusan Munas Golkar 1983, kelompok
Tanah Abang hanya terwakili dua orang. Dan itu pun jabatan yang kurang
memiliki bobot politis. Kedua orang dari CSIS itu masing-masing, Drs.
Moerdopo, menjadi wakil ketua dibidang kesenian dan kebudayaan dan Yusuf
Wanandi, sebagai wakil ketua bidang Hubungan Luar Negeri DPP Golkar periode
1983-1988.
Kemerosotan politik kubu Ali Moertopo sangat terkait dengan
kesenjangan politik Ali Moertopo dengan Soeharto. Ada dua hal yang
menyebabkan gap Ali Moertopo dengan Soeharto yang menyebabkan
termarginalisasinya kubu Ali Moertopo dalam percaturan politik nasional dan di
DPP GOLKAR, khususnya dalam kurun waktu itu.
Pertama, pada dekade 1970-an Ali Moertopo telah dapat mengerahkan
sumber-sumber kekuasaannya sendiri yang dapat menggerogoti kekuasaan
Soeharto. Kedua, kenyataan yang mendasari krisis politik bulan January 1974
Soemitro. Selain kedua faktor itu, Soeharto secara jelas ingin mendemonstrasikan
supremasi politiknya atas Ali Moertopo dan Sudjono Humardani serta kaki
tangannya di “Tanah Abang”. Berangkat dari kenyataan diatas, Presiden Soeharto
di penghujung dekade 1970-an hingga berlanjut dasawarsa1980-an secara
perlahan-lahan mulai menyusutkan peranan politik Ali Moertopo dan
sekutu-sekutunya.
Sejak itu Soeharto menoleh kepada Sudharmono yang berhasil mengelola
sekretariat negara menjadi “Super birokrasi”. Sebagai orang yang sukses
mereorganisasikan kantor kepresidenan, Sudharmono yang terlihat tidak memiliki
ambisi politik yang mengkhawatirkan telah membuktikan sebagai pembantu
Presiden Soeharto yang cakap dan diperlukan.
Dengan demikian tak mengherankan bila dalam Munas GOLKAR III
Soeharto merekomendasikan Sudharmono sebagai Ketua Umum GOLKAR
Periode 1983-1988. Golkar dibawah kepemimpinan Sudharmono, selain berhasil
mengkonsolidasikan dirinya lebih solid, juga secara intensif melakukan
pendekatan dengan ormas-ormas Islam. Kepemimpinan Sudharmono relatif
berhasil menjaga Otonomi Golkar dari intervensi lebih jauh dari pimpinan ABRI.
Dia juga mampu mengatasi peranan yang dimainkan oleh Ali Moertopo dan
Sudjono Humardani, serta berhasil menetralisi KINO dalam tubuh GOLKAR.87
Pendekatan Golkar yang dipelopori Sudarmono terhadap kelompok Islam
menemukan momentum yang tepat dengan terjadinya “kemenangan” kalangan
pemimpin ormas-ormas Islam terkemuka yang lebih akomodasionis terhadap
politik negara sikitar pertengahan dekade 1980-an. Dalam kepengurusan
87
Sudharmono ini, Golkar banyak menampung “pembelotan” dari tokoh-tokoh
muslim yang semula berada dibarisan PPP.
Selain mobilisasi massa NU ke GOLKAR, Ridwan Saidi, mantan tokoh
HMI di PPP yang dikecewakan oleh Nario, dalam Pemilu 1987 juga menyatakan
“pembelotannya” ke Golkar. Dalam SU MPR 1988. Golkar menunjuk Saiful
Mujab, mantan tokoh PPP, manjadi salah satu wakil Golkar di MPR, selain juga
Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid yang menjadi Badan Pekerja MPR
dari Fraksi Golkar. Untuk menunjukkan perubahan yang lebih simpatik
kepemimpinan Golkar dibawah Sudharmono dibanding Ali Moertopo dalam
hubungannya dengan masyarakat politik Muslim dinyatakan secara lugas oleh
Eky Syahruddin:
“Sewaktu Golkar dibawah supervisi CSIS, suasananya anti-Islam, seolah Islam terpojokkan. Sewaktu Dharmono memimpin Golkar, beliau merangkul kalangan Islam. Nah, suasananya mulai berbeda.”
Terlepas dari adanya sedikit akses politik internal Golkar akibat penghijauan
itu, perestasi Sudharmono yang gemilang dengan keberhasilan Golkar menyedot
lebih dari 70% suara dalam Pemilu 1987 telah meningkatkan kredibilitas
politik-nya di tingkat nasional dan sekaligus menambah kepercayaan Presiden Soeharto.
Dalam konteks semacam itu, maka menjelang pemilihan wakil presiden dalam SU
MPR 1988, Sudharmono memilik peringkat tertinggi dalam bursa pencalonan
Wapres yang beredar dimasyarakat.
Tidak seperti SU MPR sebelumnya, Presiden Soeharto dalam SU MPR
1988 kali ini tidak mengumumkan nama calon wakilnya. Tetapi Presiden
Soeharto mengajukan kriteria calon wakil Presiden yang secara implisit dia
resmi mengajukan mengumumkan pengajuan Sudharmono sebagi calon Wakil
Presiden. Namun berbagai peristiwa menyertai proses pemilihan wakil Presiden
yaitu Sudharmono, dimana “faksi Benny” yang merupakan orang kuat dalam
jajaran Angkatan Darat memperlihatkan keberatannya dengan pengajuan
Sudharmono sebagai Wakil Presiden. Benny Moerdani dengan segala daya upaya
berusaha untuk menjegal naiknya Sudharmono yang pada ahirnya membuatnya
berhadapan dengan Soeharto yang segera melucuti basis-basis kekuatan
politiknya di militer.
Munas ketiga Golkar yang berlangsung pada Oktober 1983 juga telah
menandai awal era baru peranan politik elit Islam di dalam tubuh partai negara
Orde Baru. Tampilnya Akbar Tanjung sebagai kandidat Sekjend yang nota bene
memiliki hubungan genealogis dengan kalangan gerakan Islam tentunya memiliki
makna kultural yang penting bagi Golkar dan kalangan Islam pada khususnya.
Hal ini ditambah lagi dengan naiknya dua mantan aktivis HMI menduduki
jabatan Departemen Cendikiawan dan Tani/Nelayan di DPP GOLKAR yaitu Prof.
BAB III
ANALISIS HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU TERHADAP UMAT ISLAM PERIODE 1985-1994
1. RUU Pendidikan Nasional
RUU ini diajukan Pemerintah pada tanggal 23 Mei 1988 melalui Mentri
Pendidikan dan Kebudayaan Prof.Dr.Fuad Hasan. Masalah pendidikan nasional
pernah menjadi bahan pembicaraan serius dalam SU MPR 1973 dan 1978. Pada
SU MPR 1973, persoalan ini diambangkan.
Tidak dibicarakan lebih lanjut karena adanya pertentangan tajam antara
FKP-yang mengusulkan penghapusan pendidikan agama di sekolah-sekolah-dan
FPP yang justru mewajibkannya. Dalam SU MPR 1978, usulan FPP untuk
memasukkan pendidikan agama sebagai pelajaran wajib di sekolah-sekolah dan
lembaga psantren dalam GBHN gagal melalui voting di Komisi A.
RUU Pendidikan Nasional dibuat berdasarkan hasil rumusan KPPN
(Komisi Perubahan Pendidikan Nasional) yang dibentuk dalam periode
Mendikbud Daoed Joesoef.88
Pada mulanya, hasil rumusan KPPN disebut RUU tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Sistem Pendidikan Nasional, kemudian oleh Prof.Fuad Hasan
diubah menjadi RUU Pendidikan Nasional. Beberapa rumusan pasal yang semula
dihapuskan, antara lain: gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan dalam satu
atap (Depdikbud) dan Keberadaan Dewan Pendidikan Nasional (DPN) dihapus. KPPN dibentuk tahun 1978 dan di ketuai oleh
Prof.Dr.Slamet Imam Santoso dengan Sekretaris I Dr.A.W.M.Pranarka.
88
Pada masa Daoed Joesoef, DPN memilik fungsi yang dominant, yaitu sebagai
dapur pemikir yang dihuni banyak anggota CSIS. Ketuanya adalah
Dr.A.W.M.Pranarka.
Pada mulanya RUU Pendidikan Nasional yang diajukan pemerintah berisi
pasal-pasal yang merugikan kepentingan pendidikan Islam.
1. RUU ini tidak mengatur kewajiban penyelenggaraan pendidikan
agama disekolah-sekolah sebagaimana yang diamanatkan dalam
GBHN 1983/1988 dan 1988/1993.
2. RUU PN ini tidak mengakui dasar kebebasan untuk mendirikan dan
menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan swasta, termasuk
lembaga-lembaga pendidikan keagamaan.
3. Adanya aturan tentang pidan maksimal satu tahun dan denda Rp.10
juta terhadap sekolah-sekolah swasta yang tidak memenuhi sumber
belajarnya, seperti perpustakaan. Bagi sekolah-sekolah madrasah, yang
umumnya belum berkembang, aturan ini sangat memberatkan.
4. Dalam RUU ini ada kalimat Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sedangkan dalam GBHN tertera kalimat, Beriman dan Bertakwa
Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada yang menduga-duga, bahwa yang
membuat RUU PN adalah “orang yang tidak beriman”.
5. RUU ini memberikan space yang terlalu besar kepada pemerintah
untuk membuat Peraturan Pemerintah. Hal ini akan membuat
pemerintah memperoleh kewenangan yang berlebihan untuk mengatur
interpretasi baru terhadap pasal-pasal dalam RUU yang belum jelas
dan operasional tersebut.
Reaksi pertama, seperti yang dicatat oleh Panji Masyarakat, disampaikan
oleh Badan Kerja Sama Pondok Psantren (BKSPP) yang berkedudukan di Jawa
Barat.89
1. Menolak RUU Pendidikan Nasional untuk ditetapkan menjadi
Undang-Undang.
Dalam pernyataannya tanggal 11 Juli 1988 mereka menyampaikan sikap :
2. Meminta kepada pemerintah untuk meninjau kembali dan
menyempurnakan RUU tersebut dengan memperhatikan aspirasi yang
hidup di tengah masyarakat.
3. Mengimbau DPR untuk membahas secara mendalam dengan penuh
tanggung jawab, dan kalau perlu mengambil inisiatif mengubah RUU PN,
sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia yang sedang membangun.
4. Para Ulama, pemimpin lembaga pendidikan dakwah, ormas dan ahli
pendidikan, khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar mempelajari
dan memperhatikan hal yang sangat menentukan nasib umat ini.
Reaksi berikut berasal dari para Ulama dan pimpinan Psantren yang
tergabung dalam Yayasan Pondok Psantren Indonesia (YPPI) ketika melakukan
dengar pendapat dengan FPP.90
89
Panji Masyarakat, 1-10 Agustus 1988, hal.49
Alasan penolakannya adalah bahwa RUU PN
tidak megatur pendidikan agama dan RUU PN sama sekali tidak menyebut
pesantren. Malalui lobyng-lobyng yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam,
2.RUU Peradilan Agama
RUU Peradilan Agama berhasil disyahkan dalam DPR dan diundangkan
menjadi Undang-Undang Nomor 1989. hal ini tidak terlepas dari upaya keras
pemerintah melalui Menteri Agama untuk meyakinkan para pengkritik RUU PA
tersebut.
Temasuk pula pernyataan Presiden Soeharto yang menjamin bahwa
Piagam Jakarta tidak akan diberlakukan. Dengan berhasil diundangkannya RUU
PA tersebut, maka beberapa kemajuan untuk kepentingan Islam dapat dicatat.
1. Peradilan Agama di Jawa dan Madura serta Kalimantan sebelah barat dan
timur diutuhkan kembali kewenangannya untuk juga menangani pembagian
warisan bagi umat Islam seperti halnya Peradilan Agama di wilayah
Indonesia yang lain.
2. Keputusan Peradilan Agama sifatnya final, tidak perlu dikukuhkan lagi oleh
Peradilan Umum. Eksekusi keputusannya dilakukan Peradilan Agama
sendiri. Sehingga di Peradilan Agama diadakan jabatan juru sita.
3. Hakim-hakim Peradilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Sehingga statusnya sama dengan hakim-hakim lainnya.
4. Jabatan Hakim, panitera, dan juru sita dalam Peradilan Agama hanya dapat
di isi oleh orang-orang yang beragama Islam. Hal ini tentunya memberikan
ketenangan psikologis.
Menurut Mentri Agama Munawir Sadjali, kedudukan peradilan Agama di
negara Pancasila Indonesia, malah lebih kokoh dan lebih hormat dibandingkan
Mentri Agama Munawir Sadjali sendiri, UUPA adalah lompatan besar. Dari segi
perundang-undangan adalah lompatan seratus windu.91
Reaksi keras umat Islam ini, dapat dipahami, karena berhubungan dengan
kecintaan umat kepada Rasul-Nya. Di sisi lain, pemerintah menanggapinya
dengan cepat. TVRI langsung menayangkan permintaan maaf Arswendo
Upaya bapak Presiden Soeharto tahun 1985 membentuk proyek
komplikasi hukum Islam di Indonesia untuk menyeragamkan acuan hukum Islam
untuk menjadi pegangan yang seragam bagi hakim-hakim agama di seluruh
Indonesia. Tahun 1987, proyek ini berhasil menyusun tiga rancangan, yaitu
mengenai perkawinan, mengenai pembagian warisan, dan mengenai pengelolaan
benda-benda wakaf, infak, dan sedekah. Setelah disempurnakan, maka sesuai
dengan intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1992 tertanggal 10 Juni 1991 secara
resmi diperintahkan untuk mamasyarakatkannya sebagai komplikasi hukum.
3. Kasus Monitor dan berbagai isu lainnya.
Bermula dari hasil angket asal-asalan yang dilakukan Tabloid Monitor,
edisi 13 Oktober 1990. Dalam artikel yang berjudul,” Ini dia 50 Tokoh Yang
Dikagumi Pembaca Kita,” nama Nabi Muhammad saw. Berada diperingkat 11
dibawah Arswendo sendiri yang berada diperingkat 10.
Artikel tersebut segera saja menimbulkan reaksi keras umat Islam. Sehari
setelah pemuatan artikel tersebut, sekelompok Mahasiwa dan Pelajar mendatangi
kantor Monitor untuk memprotes. Sejak saat itu muncul protes dimana-mana.
Melalui pernyataan ormas-ormas Islam, tokoh-tokoh Islam, ceramah dan khutbah
Atmowiloto, pemimpin redaksi, pembuat angket, dan penulis artikel yang
menghebohkan tersebut. Departemen Penerangan memberikan peringatan keras
kepada Monitor, dan kemudian menyusul pembredelan melalui SK Menpen No.
162/ Kep / Menpen / 1990 yang membatalkan SIUPP Monitor sejak tanggal 23
Okktober 1990.
Tidak cuma sampai disini, Ketua PWI DKI Jaya Masdun Pranoto
mencoret keanggotaan Arswendo di PWI, serta mencabut rekomendasi yang
diberikan PWI kepadanya untuk menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Monitor.
Selain itu, ia dipecat dari jabata Wakil Direktur Kelompok Majalah dan Tabloid
PT. Gramedia. Tanggal 26 Oktober 1990, Arswendo resmi menjadi tahanan Polda
Metro Jaya.92
“Keranjingan” massa Islam untuk selalu tanggap memberikan reaksi ats
persoalan-persoalan yang menyangkut moral ( Islam). Setelah “keberhasilan”
menghapus SDSB,
93
Sementara itu, isu-isu dunia Islam banyak ditangani dan di koordinasikan
oleh Komite Nasional Indonesia Untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI). Komite
ini dibentuk pada tahun 1990 atas saran Moh. Natsir sebagai dukungan terhadap
gerakan intifada Paslestina. Pembentukannya dibidani oleh K.H.Abdul Rosyid, H.
Husein Umar, Zulfahmi Marjohan, K.H. Hhalil Ridwan, dan H.A. Sumargono.
Mereka adalah Ulama-ulama terkenal yang dikenal ikhlas dan tawaddhu, tanpa
ambisi kekuasaan, sehingga memilik jaringan luas kepada ormas-ormas Islam. berkali-kali massa kembali turun ke jalan.sebut saja: kasus
Bapindo, solidaritas Bosnia, tragedi Waduk Nipah, masalah Palestina, dan
pornografi.
92
Editor, 2 Februari 1991, hal. 40-42
93
Elite kekuasaan membiarkan akivitas mereka karena isu-isu yang diangkatnya
bersifat internasional yang sesuai dengan garis kebijaksanaan pemerintah.94
Jumlah ini menjadi bagian dari jumlah masjid di seluruh Indonesia pada
ahir Repelita IV (1988/1989) berjumlah 548.959 buah. Tahun 1992/1993
bertambah menjadi 587.435 buah. Sementara itu pengadaan kitab suci Al Qur’an
4. Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila
Yayasan ini didirikan oleh Presiden Soeharto pada bulan Feburari 1982
bersama para pejabat negara yang beragama Islam. Tujuannya adalah
memperbanyak rumah ibadah yang jumlahnya dirasakan masih sangat kurang,
terutama untuk golongan masyarakat yang tidak mampu. Dana Yayasan Amal
Bakti Muslim Pancasila (YABMP) berasal dari sumbangan instansi pemerintah,
badan swasta, amal jariah, dan ibadah. Di instansi pemerintah, sumbangan ditarik
dari kalangan pegawai negeri dan anggota-anggota ABRI yang muslim.
Masjid bantuan YABMP mudah dikenali karena memilik ciri khas.
Atapnya Joglo bersusun tiga, rancangan Presiden Soeharto. Di atas atap terdapat
hiasan bintang segi lima – yang menandakan Pancasila – dengan hiasan kaligrafi
Arab ” Allah ” dan ” Muhammad ” di atasnya.
Arsitektur bangunan kokoh dan megah, dengan harga antara 120 juta dan
140 juta per masjid. Masjid seperti ini tersebar di seluruh pelosok Nusantara
sampai dengan tahun 199, jumlahnya 439 masjid. Dan pada tahun 1994 sudah
mencapai 634 masjid, tersebar di 206 kabupaten dan kotamadya. Masjid-masjid
ini mampu menampung 377 ribu jamaah, sedangkan dana yang dikeluarkan
pun terus bertambah dari tahun ketahun. Jika pada tahun 1988/1990 diadakan
192.000 buah kitab suci Al Qur’an, maka pada tahun 1992/1993 melonjak tiga
kali lebih, menjadi 622.557 buah.
5. Pengiriman 1.000 Dai untuk daerah-daerah Terpencil dan Lahan Transmigran /SKB tentang Pengumpulan Zakat/ Pelayanan Haji/ Penayangan Pelajaran Bahasa Arab di TVRI/ Silaturrahmi ke UII.
Bekerja sama dengan MUI, YABMP, dan Yayasan Dharmais yang juga
dipimpin Ny.Tien Soeharto berhasil menyukseskan ” Program Seribu Dai ” tahun
1989-1990.95
1. Para Da’i diperlukan seperti transmigran lainnya. Yang biaya
kepindahannya ke daerah tujuan, ditanggung.
Menyadari sebagian besar Transmigrasi adalah umat Islam yang
perlu memperoleh siraman rohani Islam, dikirimkan 1.000 Dai ke daerah-daerah
terpencil dan lahan transmigran. MUI mempersiapkan trainingnya, sedangkan
YABMP dan Yayasan Dharmais menyiapkan dananya. Ketentuan-ketentuannya
diatur sebagai berikut:
2. Sebelum diberangkatkan ke daerah-daerah transmigran, para da’i di tatar
dahulu beserta keluarganya selama satu bulan atas biaya Yayasan
Dharmais.
3. Selama tiga tahun, para da’i mendapatkan bantuan sebesar Rp.100.000,00
setiap bulan dari Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila dan diberi alat
transportasi sepeda.
95
Berbagai inisiatif Pak Harto tersebut mendapatkan sambutan hangat dari
kalangan Islam. Dengan kedatangan para da’i tersebut diharapkan mereka
menjalankan ibadah agamanya dengan baik.
Selanjutnya keluar Surat Keputusan Bersama Tentang Zakat. SKB Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pengumpulan zakat.96
Dananya berasal dari bantuan Presiden Soeharto selaku Ketua YABMP
Rp.2 Milyar, dana yang tersedia Rp.3,5 Milyar, ditambah APBD setiap daerah
serta bantuan suka rela kaum muslimin, terutama dari Ikatan Persaudaraan Haji Pemerintah semakin meningkatkan pelayanan jamaah haji, yang dari tahun
ke tahun terus bertambah. Pelayanan itu antara lain dengan rehabilitasi dan
penambahan asrama haji di empat tempat embarkasi: (1) Asrama Haji Pondok
Gede, Jakarta , dengan biaya Rp.565 juta; (2) Asrama Haji Juanda, Surabaya,
dengan biaya Rp.117 juta; (3) Asrama Haji Ujung Pandang dengan biaya Rp.291
juta; dan (4) Asrama Haji Polonia Medan, dengan biaya Rp. 100 juta.
Kemudian dilanjutkan dengan pembangunan Asrama Haji di Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Yogyakarta, Jawa Tengah, NTB, dan
perluasan asrama haji yang telah ada di Kalimantan Tengah.
Selain itu, atas terjadinya musibah terowongan Mina, telah disampaikan
santunan kepada para keluarga korban. Presiden Soeharto lalu memprakarsai
pembangunan empat rumah sakit Islam di empat daerah embarkasi untuk
mengenang musibah Mina yang berlokasi di Ujung Pandang, Medan, Jakarta, dan
Indonesia. Keempat rumah sakit Islam ” Haji” ini pembukaannya dilakukan
sendiri oleh Presiden.
Perhatian Presiden tidak berhenti sampai disini. Ia kemudian mengusulkan
kepada pemerintah Arab Saudi untuk membangun satu terowongan tambahan di
samping Terowongan Al – Muaisim, Mina. Terowongan yang di maksud saat ini
sudah didirikan, terlepas dari apakah hal itu karena adanya imbauan Presiden atau
bukan.
Penayangan pelajaran Bahasa Arab di TVRI juga mulai dilaksanakan.
Sebelumnya, sudah banyak usulan untuk menayangkan pelajaran Bahasa Arab di
TVRI. Penayangannya baru dimulai bulan November 1990. semula dua kali
seminggu, kemudian dikurangi seminggu sekali.
Kesediaan Pak Harto untuk bersilaturrahmi ke Universitas Islam Indonesia
(UII) Yogyakarta dapat dicatat tersendiri, mengingat UII adalah Universitas Islam
Pertama di Indonesia. Dalam acara dies natalinya yang ke-50, tanggal 15
Desember 1993, Presiden Soeharto hadir, didampingi oleh Mensesneg
Moerdiono, Menag Munawir Sadjali, dan Gubernur DIY.97
Tragedi Nipah yang meletus bulan Oktober 1993 segera menimbulkan
reaksi keras kalangan Ulama Madura khususnya, warga NU dan umat Islam di
Jawa Timur pada umumnya. Sejak mencul protes tersebut, pemerintah dan ABRI
segera mengambil sikap akomodatif. Para Ulama diajak berbincang dan bahkan Selanjutnya Pak Harto ikut pula membuka Rabithatul Ma’ahid Islamiyah
(RMI) IV di Pesantren Asshidiqiyah, RMI merupakan perkumpulan pesantren
yang berada di bawah naungan payung NU.
97
ABRI mengambil sikap tegas dengan menarik anggotanya yang terlibat dalam
kasus tersebut.98
6. Bank Muamalat Indonesia ( BMI )