• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU TERHADAP UMAT ISLAM PERIODE 1985-1994

1. RUU Pendidikan Nasional

RUU ini diajukan Pemerintah pada tanggal 23 Mei 1988 melalui Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Prof.Dr.Fuad Hasan. Masalah pendidikan nasional pernah menjadi bahan pembicaraan serius dalam SU MPR 1973 dan 1978. Pada SU MPR 1973, persoalan ini diambangkan.

Tidak dibicarakan lebih lanjut karena adanya pertentangan tajam antara FKP-yang mengusulkan penghapusan pendidikan agama di sekolah-sekolah-dan FPP yang justru mewajibkannya. Dalam SU MPR 1978, usulan FPP untuk memasukkan pendidikan agama sebagai pelajaran wajib di sekolah-sekolah dan lembaga psantren dalam GBHN gagal melalui voting di Komisi A.

RUU Pendidikan Nasional dibuat berdasarkan hasil rumusan KPPN (Komisi Perubahan Pendidikan Nasional) yang dibentuk dalam periode Mendikbud Daoed Joesoef.88

Pada mulanya, hasil rumusan KPPN disebut RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Sistem Pendidikan Nasional, kemudian oleh Prof.Fuad Hasan diubah menjadi RUU Pendidikan Nasional. Beberapa rumusan pasal yang semula dihapuskan, antara lain: gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan dalam satu atap (Depdikbud) dan Keberadaan Dewan Pendidikan Nasional (DPN) dihapus. KPPN dibentuk tahun 1978 dan di ketuai oleh Prof.Dr.Slamet Imam Santoso dengan Sekretaris I Dr.A.W.M.Pranarka.

88

Pokok-pokok Pembaharuan Pendidikan Nasional menurut Mendikbud Daoed Joesoef dapat dilihat dalam Panji Masyarakat, no. 152, 1 Agustus 1978, hal. 10-13. sedangkan komentar terhadapnya antara lain dikemukakan oleh Prof.Dr.Deliar Noer, Panji Masyarakat, no. 255, 15

Pada masa Daoed Joesoef, DPN memilik fungsi yang dominant, yaitu sebagai dapur pemikir yang dihuni banyak anggota CSIS. Ketuanya adalah Dr.A.W.M.Pranarka.

Pada mulanya RUU Pendidikan Nasional yang diajukan pemerintah berisi pasal-pasal yang merugikan kepentingan pendidikan Islam.

1. RUU ini tidak mengatur kewajiban penyelenggaraan pendidikan agama disekolah-sekolah sebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN 1983/1988 dan 1988/1993.

2. RUU PN ini tidak mengakui dasar kebebasan untuk mendirikan dan menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan swasta, termasuk lembaga-lembaga pendidikan keagamaan.

3. Adanya aturan tentang pidan maksimal satu tahun dan denda Rp.10 juta terhadap sekolah-sekolah swasta yang tidak memenuhi sumber belajarnya, seperti perpustakaan. Bagi sekolah-sekolah madrasah, yang umumnya belum berkembang, aturan ini sangat memberatkan.

4. Dalam RUU ini ada kalimat Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan dalam GBHN tertera kalimat, Beriman dan Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada yang menduga-duga, bahwa yang membuat RUU PN adalah “orang yang tidak beriman”.

5. RUU ini memberikan space yang terlalu besar kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah. Hal ini akan membuat pemerintah memperoleh kewenangan yang berlebihan untuk mengatur pendidikan nasional. Sebab bisa saja pemerintah melakukan

interpretasi baru terhadap pasal-pasal dalam RUU yang belum jelas dan operasional tersebut.

Reaksi pertama, seperti yang dicatat oleh Panji Masyarakat, disampaikan oleh Badan Kerja Sama Pondok Psantren (BKSPP) yang berkedudukan di Jawa Barat.89

1. Menolak RUU Pendidikan Nasional untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang.

Dalam pernyataannya tanggal 11 Juli 1988 mereka menyampaikan sikap :

2. Meminta kepada pemerintah untuk meninjau kembali dan

menyempurnakan RUU tersebut dengan memperhatikan aspirasi yang hidup di tengah masyarakat.

3. Mengimbau DPR untuk membahas secara mendalam dengan penuh tanggung jawab, dan kalau perlu mengambil inisiatif mengubah RUU PN, sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia yang sedang membangun. 4. Para Ulama, pemimpin lembaga pendidikan dakwah, ormas dan ahli

pendidikan, khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar mempelajari dan memperhatikan hal yang sangat menentukan nasib umat ini.

Reaksi berikut berasal dari para Ulama dan pimpinan Psantren yang tergabung dalam Yayasan Pondok Psantren Indonesia (YPPI) ketika melakukan dengar pendapat dengan FPP.90

89

Panji Masyarakat, 1-10 Agustus 1988, hal.49

Alasan penolakannya adalah bahwa RUU PN tidak megatur pendidikan agama dan RUU PN sama sekali tidak menyebut pesantren. Malalui lobyng-lobyng yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam, pasal-pasal yang memberatkan ini berhasil dihapus.

2.RUU Peradilan Agama

RUU Peradilan Agama berhasil disyahkan dalam DPR dan diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 1989. hal ini tidak terlepas dari upaya keras pemerintah melalui Menteri Agama untuk meyakinkan para pengkritik RUU PA tersebut.

Temasuk pula pernyataan Presiden Soeharto yang menjamin bahwa Piagam Jakarta tidak akan diberlakukan. Dengan berhasil diundangkannya RUU PA tersebut, maka beberapa kemajuan untuk kepentingan Islam dapat dicatat.

1. Peradilan Agama di Jawa dan Madura serta Kalimantan sebelah barat dan timur diutuhkan kembali kewenangannya untuk juga menangani pembagian warisan bagi umat Islam seperti halnya Peradilan Agama di wilayah Indonesia yang lain.

2. Keputusan Peradilan Agama sifatnya final, tidak perlu dikukuhkan lagi oleh Peradilan Umum. Eksekusi keputusannya dilakukan Peradilan Agama sendiri. Sehingga di Peradilan Agama diadakan jabatan juru sita.

3. Hakim-hakim Peradilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sehingga statusnya sama dengan hakim-hakim lainnya.

4. Jabatan Hakim, panitera, dan juru sita dalam Peradilan Agama hanya dapat di isi oleh orang-orang yang beragama Islam. Hal ini tentunya memberikan ketenangan psikologis.

Menurut Mentri Agama Munawir Sadjali, kedudukan peradilan Agama di negara Pancasila Indonesia, malah lebih kokoh dan lebih hormat dibandingkan dengan Peradilan Agama di ”negara-negaara Islam” lainnya. Atau dalam bahasa

Mentri Agama Munawir Sadjali sendiri, UUPA adalah lompatan besar. Dari segi perundang-undangan adalah lompatan seratus windu.91

Reaksi keras umat Islam ini, dapat dipahami, karena berhubungan dengan kecintaan umat kepada Rasul-Nya. Di sisi lain, pemerintah menanggapinya dengan cepat. TVRI langsung menayangkan permintaan maaf Arswendo

Upaya bapak Presiden Soeharto tahun 1985 membentuk proyek

komplikasi hukum Islam di Indonesia untuk menyeragamkan acuan hukum Islam untuk menjadi pegangan yang seragam bagi hakim-hakim agama di seluruh Indonesia. Tahun 1987, proyek ini berhasil menyusun tiga rancangan, yaitu mengenai perkawinan, mengenai pembagian warisan, dan mengenai pengelolaan benda-benda wakaf, infak, dan sedekah. Setelah disempurnakan, maka sesuai dengan intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1992 tertanggal 10 Juni 1991 secara resmi diperintahkan untuk mamasyarakatkannya sebagai komplikasi hukum.