• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU TERHADAP UMAT ISLAM PERIODE 1985-1994

9. Bendera Islam di Senayan dan Munas Golkar 1993/1998

1.6. Kerangka Teori

1.6.6. Model – model Kepolitikan Orde Baru

Para ahli politik dan pengamat Indonesianis dari dalam maupun luar negeri mengidentifikasi perpolitikan Orde Baru kepada beberapa model. Model perpolitikan ini diharapkan dapat membantu usaha untuk mengenal secara mendetail konfigurasi politik hukum rezim Orde Baru serta implikasinya terhadap lembaga peradilan Islam di Indonesia, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa energi politik sangat berpengaruh terhadap hukum dan lembaganya. Oleh sebab itu, berikut ini di kemukakan model – model perpolitikan rezim pemerintahan Orde Baru berikut :

a. Paham Integralistik

Paham integralistik muncul pertama kali yaitu pada saat Prof. Mr. Dr. Soepomo mengajukan tiga pilihan yaitu paham individualisme, paham kolektivisme, dan paham integralistik tepatnya dalam pidato Sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Dalam paham integralistik, negara menjadi mutlak. Kedaulatan negara mengatasi kedaulatan rakyat. Dalam paham ini negara bersifat

totalitarianisme. Semua bagian dalam keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan dalam negara. Dalam negara, yang terpenting adalah “keseluruhan”, bukan “bagian-bagian”.37

Paham integralistik menolak pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah bebas seperti yang dianut liberalisme. Manusia tidak bebas sebab sejak lahirnya sudah terikat. Manusia, di samping sebagai makhluk individual juga dalam makhluk sosial. Artinya sebagai makhluk individual, manusia bisa berbuat apa saja, akan tetapi “kebebasan” itu di ikat oleh kepentingan umum lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Kepentingan umum (yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial) mengatasi kepentingan individual (yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk individual).38

Dalam hal ini oposisi dilarang dan kritik terbuka ditabukan karena sama dengan “mendupak air di dulang terpercik muka sendiri”. Pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat. Sedapat mungkin voting dihindarkan. Dalam sistem ini tidak di kenal tirani mayoritas atas minoritas.39

Dalam dua dekade sejak Orde Baru memulai program pembangunan, terdapat political will pemerintah untuk menyehatkan sistem birokrasi pemerintahan sehingga tercipta suatu birokrasi yang modern, efisien, dan efektif dalam rangka memelihara stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi. Tipe birokrasi ini mengikuti tipe ideal Max Weber.

b. Beamstenstaat

40

37

Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Grafiti, 1994, hal. 8-9,217-18.

38

Abdul Azis Thaba, Op.Cit, hal.54.

39

Ibid. hal. 55.

40

Dalam konteks demikian, Ruth T. Mc Vey41

Model kepolitikan ini berangkat dari pendekatan kultural, di antaranya dianut oleh Donald K. Emmerson

memperkenal model Beamstenstaat, yaitu model yang menunjukkan adanya persamaan gaya politik pemerintahan Orde Baru dengan gaya pemerintahan kolonial Belanda, terutama pada masa-masa akhir tahun 1930-an. Keduanya memperlihatkan ciri-ciri yang sama dalam hal tekanan terhadap administrasi daripada terhadap politik, keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi. Inilah bentuk ideal “negara pegawai” (Beamtenstaat), ketika negara menjadi mesin birokrasi yang efesien (the state as efficient bureaucratic machine).

c. Patrimonialisme Jawa

42

Dalam menjelaskan kepolitikan Orde Baru, hubungan yang bersifat patrimonialisme didasarkan pada budaya Jawa. Menurut model ini, terdapat , William L. Liddle, dan Harold Crouch. Sedangkan dari kalangan pakar Indonesia di antaranya karya Soemarsaid Martono, Yahya Muhaimin, Soedjatmoko, Fachry Ali, dan Sartono Kartodirjo.

Konsep patrimonialisme banyak dipakai oleh ilmuwan politik dan mencoba menjelaskan perkembangan politik di Eropa pada abad pertengahan hubungan yang bersifat patrimonialisme tersebut, ada pihak yang merupakan “penguasa” lain mengidentifikasi kepentingannya. Hubungan tersebut berlangsung dalam “pertukaran keuntungan” (advantage exchange) yng dijaga dengan rapi oleh kedua belah pihak.

41

Ruth T. Mc. Vey, “ The Beamstentaat in Indonesia”, dalamBennedict Anderson dan Audrey Kahin (eds ), Interpretating Indonesian Politics : Thirteen Contributions to Debate, Ithaca : Cornell Modern Indonesia Project, 1982, hlm.85 – 91.

42

Donald K. Emmerson, The Bureaucracy in Indonesia, Cambidge, Mass: Center for Internasional Studies, MIT, 1974, dan Donald K. Emmerson, Indonesia’s Elite Political Culture and Cultural

kontinuitas nilai-nilai politik yang berlangsung pada masa lalu (di rujuk pada kerajaan Mataram II) dengan nilai-nilai politik Orde Baru. Misalnya, nilai-nilai kekuasaan dalam paham kebudayaan Jawa yang menurut Anderson memenuhi empat sifat; konkret, homogen, tetap, dan tidak mempersoalkan legitimasi.43

Birokrasi Orde Baru, walaupun memperlihatkan ciri-ciri modern, tetap dipengaruhi nilai-nilai lama yang merupakan tradisi dan budaya politik masa lalu (Jawa), seperti karakteristik patrimonial. Jabatan dan keseluruhan hirarki birokrasi didasarkan atas hubungan personal atau hubungan “bapak-anak buah” (patron-client).

44

Berdasarkan asumsi di atas, menurut Richard Robinson pendekatan kultural menghasilakan dua proposisi45

1. Bahwa hakikat pemerintahan Orde Baru dapat dijelaskan melalui kerangka perspektif daya tahan/kelangsungan kebudayaan Jawa yang membentuk praktik politik para pejabat atau elite birokrasi tersebut; dan

:

2. Bahwa identitas dan struktur kelompok-kelompok politik dan hakikat konflik politik ditentukan oleh hubungan politik yang bersifat patrimonial yaitu stuktur-struktur patront-client yang bersifat pribadi dan tersusun secara vertikal.

d. Negara Otoriter Birokrasi Rente

Model kepolitikan ini diperkenalkan oleh Arief Budiman dalam bukunya tentang perbandingan antara pembangunan di Indonesia dengan pembangunan di Korea Selatan.46

43

Benedict Anderson, The Idea of Power in Javnese Culture”, dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia, Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1972, hal. 4-8.

44

Manuel Kaisiepo, Dari Kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara, Birokrasi dan Politik di Indoenesia, dalam Jurnal Ilmu Politik,no. 2 – 1987, hal.24

45

Ibid.

46

Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Clayton: Monash University,1990, hal.12.

bersifat otoriter, sangat mengandalkan birokrasi sebagai alat mencapai tujuan, membendung partisipasi masyarakat, melaksanakan pembangunan ekonomi dan politik secara top-domn (dari atas ke bawah), dan menggunakan ideologi teknokratis-birokratis.47

Dalam otoriter birokratik rente, kaum borjuis tidak terbentuk dalam negara karena mereka mendapat fasilitas melalui hubungan personal dengan penguasa. Jelasnya, para elite negara meminta imbalan, rente, atau ongkos sewa . para elite bertindak sebagai “rentenir” karena menyewakan jabatannya untuk kepentingan pengusaha, jabatan birokrasi bagi elite negara menjadi semacam “alat produksi” untuk melakukan akumulasi modal melalui sistem rente.48

Intinya, dalam negara OB rente yang muncul bukan kaum borjuis yang kuat akan tetapi yang muncul adalah kelompok pengusaha yang tergantung kepada fasilitas dan perlindungan negara.

49

Negara OB rente mulai tumbuh dan menguat di Indonesia ketika militer selalu menekankan stabilitas politik secara berlebihan pada permulaan tahun 1970-an.50

Model ini diperkenalkan oleh Olle Tornquist.

e. Negara Kapitalis rente (rent capitalism state) 51

Ia menekankan sifat “rente” dari modal kepolitikannya. Indonesia dan India adalah sebuah negara dengan pembangunan kapitalis tetapi menjadi rente karena digerogoti oleh perilaku dan kebijakan para pendukung rezim ini.52

47 Ibid., hal. 13-14. 48 Ibid., hal. 17 49 Ibid., hal. 18 50 Ibid., hal. 59 51

Olle Tornquist, “Rent Capitalsm, State, and Democracy, a Theorical Proposition”, dalam Arief Budiman (ed.), State and Civil Society in Indonesia, Clayton: Monash University, 1990, hal.29-50.

Dalam model ini sifat otonomi relatif, negara didasarkan pada rasionalitas ekonomi, yaitu bagaimana memperoleh keuntungan sebesar-besarnya (demand) dengan kerugian sekecil-kecilnya (suply). Rasionalitas ekonomi ini membenarkan negara berbuat apa saja, termasuk yang tidak demokratis. Pola-pola patronase, bapakisme, nepotisme, dan lain-lain tidak dipermasalahkan, termasuk ssitem proteksionisme, monopoli, dan pemberian fasilitas-fasilitas. Model negara kapitalis rente ini relatif otonom dan berhubungan dengan kaum borjuasi domestik dan internasional.53

Di dalam politik birokrasi terjadi persaingan antara lingkaran-lingkaran birokrat dan elite militer. Elite ini, terutama adalah Presiden. Legitimasi pemimpin dalam bureaucratic polity bukan berdasarkan otoritas tradisional (seperti penguasa tunggal), melainkan otoritas legal. Jackson mengakui bahwa terjadi konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden Soeharto, tetapi hal itu terjadi secara konstitusional (melalui Supersemar, tap-tap MPRS, dan pemilu) dan dalam beberapa hal dibatasi oleh kepentingan elite birokrasi dan militer.

f. Konsep politik birokratis (bureacracy polity)

Bureacratic polity adalah bentuk sistem politik dengan kekuasaan membuat keputusan terletak sepenuhnya di tangan para penguasa negara, terutama para perwira militr dan pejabat tinggi birokrasi. Tidak ada partisipasi masyarakat, yang ada hanya mobilisasi.

54

Menurut Lance Castles, ada tiga ciri masyarakat politik birokratik: (1) lembaga politik yang dominan adalah aparat birokrasi; (2) lembaga-lembaga politik lainnya, seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok

53

Ibid.

54

kepentingan lainnya lemah dan tidak mampu melakukan kontrol terhadap birokrasi; dan (3) massa di luar birokrasi secara politiskonomis adalah pasif.55

Meskipun adanya perbedaan dalam menafsirkan sumber utam ajaran Islam tersebut, pada umumnya umat Islam percaya bahwa Islam merupakan agama yang holistik, yang tidak hanya mengurusi hal – hal yang bersifat ukhrowi tetapi juga yang bersifat duniawi. Karena itu, Islam sering dianggap sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar sebuah agama yang mengurusi masalah – masalah peribatan.