• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU TERHADAP UMAT ISLAM PERIODE 1985-1994

9. Bendera Islam di Senayan dan Munas Golkar 1993/1998

1.6. Kerangka Teori

1.6.1. Hubungan akomodatif

Terminologi akomodatif yang menjadi salah satu kata kunci dalam penelitian ini, dipergunakan dalam dua arti: menunjuk pada suatu keadaan dan menunjuk pada suatu proses.

12

Tujuan dari akomodasi antara lain untuk mengurangi pertentangan antara orang perorang atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. Akomodasi seperti itu bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa antara Akomodasi sebenarnya juga merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tersebut kehilangan kepribadiannya.

11

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2001, hal.39

kedua pendapat tersebut, agar menghasilkan suatu pola yang baru.13 Gillin dan Gillin menguraikan cukup banyak hasil dari suatu proses akomodasi antaranya adalah perubahan-perubahan dalam kedudukan. Sesungguhnya akomodasi menyebabkan suatu penetapan yang baru dari kedudukan orang perorang dan kelompok-kelompok manusia. Pertentangan-pertentangan menyebabkan kedudukan-kedudukan tersebut goyah, dan suatu akomasi akan mengukuhkan kembali kedudukan-kedudukan tersebut.14

Akomodasi sebagai suatu proses dapat pula berbentuk compromise, pihak-pihak yang bertikai mengurai tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap untuk dapat melaksanakan compromise berarti bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan mengerti keadaan pihak lainnya, dan juga sebaliknya.15

13

Ibid., hal. 64.

14

Gillin dan Gillin, Cultural Sociology, a revision of an introduction to sociology,” dalam Ibid., hal. 64.

15

Sukanto, Op.Cit., hal. 65.

Hubungan akomodatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan yang lebih menekankan pada tujuan untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorang atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham agar menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat tersebut dan menghasilkan suatu pola yang baru.

Hubungan akomodatif dalam penelitian ini juga dimaksudkan pada hubungan dimana antara pihak-pihak yang bertikai mengurangi tuntutan-tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap ini berarti bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan mengerti keadaan pihak lainnya.

1.6.2. Islam

Secara etimologis, kata Islam berasal dari bahasa Arab dari bentuk verba salima, yang berarti: (1) he was/become safe, he escaped; (2) he was/become free from evils of any kind, rom trial or affliction, from the affair, free from fault, defect, imperfection, blemish or vice. Bentuk keempat verba adalah aslama, yang berarti: (1) He resigned or submitted himself; (2) he was/became resigned or submissive. Dari kata aslama itu duturunkan kata Islam, yang berarti: The act of resignation to God. Terdapat pengertian yaitu ia menundukkan dirinya atau ia masuk ke dalam kedamaian.

Prof. Bernard Lewis, seorang orientalis terkenal, setiap kali memulai pembicaraannya tentang Islam, lebih dulu mengimbau untuk bersepakat tentang apa yang dimaksud dengan Islam. Menurut Lewis, paling tidak ada tiga penjelasan mengenai pengertian Islam16

1. Islam adalah wahyu dan teladan Nabi Muhammad saw. Yang dikodifikasi menjadi Al – Qur’an dan hadists. Kedua sumber ajaran ini tidak pernah berubah. Yang berubah adalah penafsiran terhadapnya.

.

2. Islam yang diceritakan dalam Ilmu Kalam ( terutama ilmu tauhid, aqaid, dan usuluddin,), ilmu fiqih, dan tasawuf.

3. Islam historis, yaitu Islam yang diwujudkan dalam peradaban dan kebudayaan yang dikembangkan oleh para penganutnya dalam arti luas,

termasuk peradaban dan kebudayaan yang diwarisi oleh Islam walaupun bukan karya kaum muslimin.

Pengertian Islam sebagai sikap pasrah kepada Allah SWT menjadikan agama Islam, menurut Al Qur’an, sudah ada sebelum Nabi Muhammad saw. Ketika nabi Adam diutus kedunia, agama Islamlah yang dibawanya. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia malalui perantaraan Rasul pilihan – Nya, Nabi Muhammad saw. Ajaran ini bukan sama sekali baru tetapi merupakan kelanjutan dan penyempurnaan agama – agama yang dibawa Rasul sebelumnya.17

Agama Islam tidak identik dengan Nabi Muhammad saw. Sebab

Muhammad adalah manusia biasa seperti manusia lainnya, yang terpilih sebagai Nabi dan Rasul. Dengan tugas menyampaikan ajaran – ajaran – Nya kepada seluruh umat manusia. Islam bersumberkan Sang Khaliq, Allah SWT. Dengan demikian, menamakan Islam dengan Mohammadism adalah suatu kekeliruan. Walaupun demikian, memahami riwayat kehidupan Nabi Muhammad saw adalah suatu keharusan sebab salah satu sumber hukum Islam adalah Sunnah Rasulullah yang berupa sikap, perkataan, dan perbuatan beliau di sampingAl – Qur’an dan ijma Ulama. Salain itu, keduduka n Rasulullah dimata umat Islam sangat sentral. Beliau adalah panutan dan contoh teladan yang harus di ikuti. Bahkan, ahlak Rasulullah itu sendiri adalah Al Qur’an.18

Sebagaimana disebutkan, Islam manolak sekularisme sebab ajaran Islam mencakup seluruh bidang kehidupan manusia. Termasuk bidang kenegaraan. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara urusan agama dan urusan politik.

17

Ibid., hal. 39.

18

Pengertiannya, politik sebagai suatu kegiatan harus dilakukan dalam kerangka nilai Islam.19

“ Masalah politik dan pentadbiran negara adalah termasuk dalam urusan keduniaan yang bersifat umum. Panduan Al Qur’ an juga al – Sunnah bersifat umum. Oleh yang demikian permasalahan politik termasuk dalam urusan ijtihad umat Islam.Tujuan ulama atau cendikiawan Islam I alah berusaha secara terus – menerus menjadikan dasar.Al – Qur’an itu menjadi sistem yang akan konkrit supaya dapat di terjemahkan dan pentadbiran negara dsepanjang zaman. “

Namun demikian, Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah tidak membatasi pengaturan kenegaraan tersebut secara kaku. Hal tersebut diserahkan kepada umat – Nya malalui ijtihad. Islam bukan ideologi tapi dapat menjadi ideologi. Akan tetapi, apabila yang terhi ini terjadi, maka terjadi pula “ penyempitan “ Islam. Karena sebagai sistem nilai etik yang seharusnya mendasari semua bangunan struktur, setelah menjadi ideologi berubah fungsi hanya sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan. Islam yang menjadi ideologi akan mereduksi Islam sederajat dengan karya filsafat manusia.

Islam pun jangan dijadikan pesaing ideologi sebab akan menempatkannya sebagai “ petarung “ , siapa yang menang akan menguasai, dan siapa yang kalah akan tersingkir. Sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Faisal, cendikiawan Muslim Malaysia :

20

Inilah yang telah dilakukan oleh empat khalifah sesudah Rasulullah. Sehingga walaupun mereka tetap dalam rangka mengamalkan ajaran Islam, pengorganisasian pemerintahannya berbeda – beda satu sama lain. Pemilihan empat khalifah saja melalui mekanisme yang berbeda – beda. Munawir Sadjali berpendapat, Islam tidak mempunyai preferensi terhadap sistem politik yang

19

Abd.ar–Rahman Abd. al–Khaliq, “Islam dan Politik, Jakarta: Pustaka Hidayah”, 1987. hal.13. Juga Prof. Dr. T.M. Ash shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1991), hal.56

20

mapan. Islam tidak mempunyai sistem politik, dan hanya memilik seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan pedoman penyelenggaraan negara. Di dalam Al Qur’an, lanjut mantan menteri agama ini, tidak terdapat pembahasan tentang sistem politik. Begitu pula ketika Nabi wafat, beliau tidak memberikan petunjuk mengenai penggantinya dan bagaimana cara memilihnya. Tidak ada dalil, baik qathi’ dan zhanni yang memerintahkan untuk mendirikan negara Islam.

Selama ini, teori negara dalam sejarah Islam bisa muncul dari tiga jurusan: 1. Bersumber pada teori khilafah yang dipraktekkan sesudah Rasulullah

wafat, terutama biasanya dirujuk pada masa Khulafaur Rasyidin. 2. Bersumber pada teori imamah dalam paham Islam Syi’ah

3. Bersumber pada teori imarah atau pemerintahan. 21

Namun demikian perlu dipertegas bahwa Al Qur’andan Sunnah Rasulullah hanya memberikan prinsip – prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berbagai upaya ijtihad yang dilakukan sesudahnya untuk membentuk “ negara Islam “ ternyata lebih banyak gagal dari pada berhasil. Sebab dalam realitanya, negara yang dibentuk atas nama Islam tersebut, oleh rezim yang bersangkutan digunakan sebagai legitimasi untuk menggenggam kekuasaan secara absolut. Itulah yang terjadi dalam rezim yang menamakan dirinya “Negara Islam” Peringatan Affan Gaffar sebagaimana yang telah dikutip pendapat Dr. Abdelwahab setelah ia melakukan penelitian terhadap beberapa “negara Islam” :

“…kita harus berkesimpulan, bahwa konsep negara Islam harus ditinggalkan sama sekali….. Kita harus meninggalkan ilusi tentang melenium tabg dijanjikan oleh pembaharu negara utopia, yang menghadirkan orang saleh

21

dan suci secara ajaib untuk mengembalikan zaman keemasan yang sudah lama hilang. “22

Sebuah seminar yang membahas topik pemikiran politik Islam yang diadakan pada tahun 198223

1. Dalam rangka menyusun teori politik Islam, yang ditekankan bukanlah struktur “ negara Islam “, malainkan substruktur dan tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda – beda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin sehingga berubah – ubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya menyangkut prinsip - prinsip bernegara secara Islami.

menyimpulkan :

2. Tercapai kesepakatan bahwa demokrasi , merupakan jiwa sistem pemerintahan Islam meskipun mereka sepakat untuk menolak asumsi filosofis “ Demokrasi Barat “.

Islam sebagai konsep kekuatan politik dalam studi ini menunjuk pada kekuatan politik yang meletakkan paradigma orientasi politiknya pada prinsip-prinsip Islam. Dalam diskursus politik Indonesia, penyebutan kekuatan politik Islam, umumnya, selain dengan sebutan kekuatan politik santri juga disebut umat Islam atau gerakan Islam. Repersentasi kekuatan politik Islam di arena politik pun juga memiliki bentuk bermacam-macam, kadang-kadang menjelmakan dirinya

22

Dr.Abdelwahab El–Affendi, ”Masyarakat Tak Bernegara, Kritik Teori Politik Islam”, Yogyakarta : LKIS, 1994.

23

Seminar tersebut diadakan pada tanggal 6 – 8 September 1982 di India, AS. Dengan topik “ Islamic Political Thought and Institutions “. Dihadiri oleh para cendikiawan muslim terkenal dari seluruh dunia, diantaranya Fazlur Rahmanm Fathi Osman, Jacid Iqbal, Ahmad Moussavi, Khalif M. Ishaque, Jamilah Jidmoud, dan A.A.Sachedina. Makalah yang dipresentasikan dalam seminar tersebut dihimpun dan diterbitkan dalam bentuk buku. Dalam edisi bahasa Indonesia, periksa Mumtaz Ahmad ( ed .), Masalah – masalah Teori Politik Islam ( Bandung : Mizan,1993 ). Dikutip

berupa partai politik , ormas Islam atau tak jarang menampilkan sosok tokoh personal yang memiliki kharisme yang kuat.