• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemerosotan Power Politik “Kelompok Tanah Abang” dan Dinamika Elit Islam di GOLKAR

Dalam upaya mencipatakan dapur politik (Kitchen kabinet) lembaga kepresidenan, Soeharto mangangkat orang-orang kepercayaannya kedalam Spri (Staf Pribadi). Spri yang terbentuk tak lama setelah tersusun kabinet Ampera, beranggotakan enam perwira AD yang telah lama memiliki kedekatan dengan Soeharto dan dua tim penasehat sipil untuk urusan politik dan ekonomi. Dalam perkembangannya, Spri mengangkat lagi enam orang perwira.

Keseluruhan para perwira yang masuk kedalam Spri tersebut menjadi dua belas, dengan penugasan yang telah digariskan oleh Soeharto.82

Sedangkan munculnya Ali Moertopo sebagai pembantu politik terpercaya Soeharto disebabkan keduanya telah menjalin hubungan akrab semenjak di Divisi Diponegoro, kemudian dalam pembentukan Tjuduad-Kostrad.

Dalam Spri ini, Ali Moertopo dan Sudjono Humardani merupakan orang yang paling berpengaruh. Bahkan karena kedekatan hubungannya dengan Soeharto, banyak beredar desas-desus bahwa Sudjono merupakan penasehat sprituil (dukun politik) Soeharto.

83

82

Fachry Ali, “ Merosotnya Aliran dalam PPP.” Prisma, Desember 1981,hal.245.

83

Krissantono,”Ali Moertopo di atas Panggung Poltik Orde Baru,” Prisma, Edisi Khusus 20 Tahun Prisma, 1991, hal.139.

Ketika menjadi bawahan Soeharto, terutama pada Asintel Operasi Khusus (Opsus), Ali Moertopo telah banyak menunjukkan reputasi yang cemerlang.

Daftar keberhasilan Ali Moertopo bisa dilihat pada suksesnya penyelesaian damai konfrontasi dengan Malaysia dan kampanye memenangkan penentuan pendapat rakyat di Irian Barat 1969. Bahkan Jendral Nasution menengarai, tatkala masa transisi yang penuh ketidakpastian pos usaha kup G-30-S 1965, Ali Moertopolah yang tekadang menjadi sandaran pemikiran strategi politik yang harus ditempuh Soeharto.

Dengan berbagai reputasi Ali Moertopo tadi, tak mengherankan bila dia dengan keterampilan politiknya berhasil membuktikan diri sebagai seorang pembantu Soeharto yang sangat diperlukan. Karena itu, bisa dipahami bila kemudian Ali Moertopo mendapat tugas langsung dari Soeharto untuk melakukan conditioning (penggalangan) dalam pengamanan kepentingan politik negara Orde Baru, termasuk menjawab tantangan Pemilu yang harus segera dilaksanakan.

Penundaan penyelenggaraan Pemilu telah memberikan waktu lebih banyak bagi para petinggi AD untuk melakukan reorganisasi dalam sekber Golkar. Kepengurusan DPP Golkar hasil reorganisasi tersebut telah menunjukkan meningkatnya pengaruh Ali Moertopo di dalam sekber Golkar sebagaimana diperlihatkan dengan munculnya kino baru dalam Golkar yang diisi kaum intelektual dan politisi yang sangat dekat Ali Moertopo.84

Ada tiga kelompok cendikiawan dan politisi di sekitar Ali Moertopo. Kelompok pertama terdiri dari Lim Bian Kie ( Yusuf Wanandi ), Lim Bian Khoen

Kino baru sekber Golkar yang diberi nama Kino Karya Pembangunan hampir secara keseluruhan diisi intelektual dan politisi yang memiliki latar belakang kultural Jawa abangan, Katolik dan Sosialis.

84

( Sofyan Wanandi ), Harry Tjan Silalahi dan Moerdopo. Mereka telah lama menjalin hubungan yang terdekat dengan Ali Moertopo, di mana Lim Bian Kie menjadi asistennya sejak tahun 1967. mereka tampil sejak Gestapu dengan rasa khawatir akan kejayaan Islam, mereka memiliki rasa khawatir bila gerak laju pemimpin politik Islam tidak dikendalikan dan rehabilitasi organisasi-organisasi Muslim dibiarkan akan merusak keseimbangan antara kekuatan-kekuatan secular dan Muslim.

Kelompok kedua disebut sebagai Gadjah Mada Group. Pada 1996 sama-sama tidak memberikan rasa simpatinya terhadap partai-partai Muslim dan secular dan berusaha agara seluruh partai politik dilarang sehingga pemerintahan Indonesia dapat diberi bentuk baru. Orang-orangnya yaitu Sumiskum, Sulistyo, Sugiharto, Soekarno dan Soeroso, mereka dikenal bersifat anti Presiden Soekarno dan memusuhi aspirasi-aspirasi Islam.

Kelompok ketiga adalah kelompok Bandung dengan tokohnya Rachman Tolleng dan Midian Sirait. Mereka bekerja sama dengan sponsor-sponsor dari kalangan militer untuk memperlihatkan bahwa modernisasi Indonesia bergantung pada ABRI.

Keberhasilan Ali Moertopo merekrut kelompok-kelompok intelektual dan mantan aktivis-aktivis di atas merupakan salah satu sumber kekuatan politik yang penting baginya sebagai politicl player idi pentas nasional. Sumber kekuatan politik lain yang menjadi sumber keberhasilan Ali Moertopo untuk menjadi actor politik yang sangat berpengaruh pada awal Orde Baru adalah kemahiran siasat politiknya yang diperoleh dari penempaan perjalanan panjang dan berliku-liku sebagai prajurit militer.

Karir militer Ali Moertopo merangkak dari bawah sebagai prajurit tiga hingga karirnya terus menanjak sampai kemudian secara intens menggeluti dunia intelijen terutama seksi intelijen Kostrad yang disebut Operasi Khusus ( Opsus ). Setelah Jendral Soeharto memegang kekuasaan, selain ditugaskan sebagai Aspri, dia tetap dipercaya mengelola jaringan intelijen Opsus Kostrad tersebut. Dengan menggunakan Opsus sebagai basisnya, Ali Moertopo membangun Bapilu ( Badan Pengendali Pemilu ), sebuah organisasi krusial untuk menghadapi Pemilu 1971.

Pada tahun 1971 kelompok Ali Moertopo mendirikan sebuah think-thank yang diberi nama Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS) untuk mempromosikan kepentingan – kepentingannya. Lembaga yang dipimpin oleh Ali Moertopo dan Sudjono Humardani dan Daud Yoesoef kemudian populer disebut sebagai kelompok Tanah Abang. Dalam perjalanannya, kelompok Tanah Abang tak hanya sekedar sebagai tangki pemikir melainkan telah bergerak sebagai kelompok kepentingan politik terlalu jauh, sehingga orang-orangnya banyak menduduki posisi strategis di GOLKAR dan pemerintahan. Untuk menunjukkan betapa besarnya ambisi kelompok Tanah Abang ini, perlu dicatat bahwa didalam GOLKAR pernah mendesakkan gagasan untuk menjadikan kelompok Tanah Abang ini sebagai “Kabinet Bayangan”, dimana anggota kabinet bayangan ini anrara lain terdiri dari Daud Yoesoef dan Panglaykim.

Meskipun rencana tersebut gagal karena mendapat tantangan keras dari berbagai pihak, kelompok CSIS telah banyak berhasil membentuk visi kebijaksanaan negara pada dua dekade pertama kekuasaan rezim Orde Baru. Keberhasilan lembaga yang dibawah pengaruh patronase Ali Moertopo dan

Sudjono Humardani dalam mempengaruhi policy process selain karena personal linkages-nya juga barangkali kemampuannya dalam mengelola informasi.

Adalah tidak mengherankan jika kemudian kebijaksanaan politik awal pemerintah Orde Baru banyak dirasakan menyayat hati kaum muslimin, karena kelompok Ali Moertopo yang memegang kendali begitu besar dalam pendekatan kepada umat Islam berintikan tokoh-tokoh yang tidak Islami bahkan cenderung hendak memusuhi umat Islam. Dalam pikiran kelompok Ali Moertopo, Islam merupakan potensi yang sangat membahayakan apabila diberi kesempatan. Ada kecendrungan memandang Islam identik dengan “ Darul Islam”, sehingga ia cendrung menghancurkan Islam.85

Menurut Richard Tanter,86

85

Affan Gaffar, “ Partai Politik, Elite dan Massa dalam Pembangunan Nasional,” dalam Ahmad Zaini Abar, Beberapa Aspek dari Pembangunan Orde Baru (Solo: Ramadhani, 1990) hal.22.

86

Harian KAMI, 4 Oktober 1973, sebagaimana dikutip Heru Cahyono.op.cit., hal.130-131.

dalam kurun decade 1970-an pemerintah Orde Baru, agen-agen intelijen yang berada dalam pengaruh Ali Moertopo menempatakan posisi kelompok Islam sebagai sasaran utama dari rangkaian operasi intelijen mereka. Agen intelijen tersebut banyak menanamkan sumber untuk penetrasi (penyusupan) dan manipulasi terhadap kelompok Islam militant atau radikal, provokasi menjadi alat yang menonjol dalam operasi yang dijalankan.

Metode operasi intelijen yang dijalankan Opsus biasanya dengan jalan intervensi pada rapat-rapat atau musyawarah partai dan kemudian memanipulasi konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan yang pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong kepemimpinan yang akomodatif dengan pemerintah.

Dalam usaha memenuhi ambisi politiknya, Ali Moertopo tak segan-segan menggunakan cara-cara inkonvensional, antara lain, seperti dikatakan Soemitro, Ali Moertopo menghimpun dan membina unsur bekas DI/TII, PRRI dan unsur parpol peniggalan Orde Lama yang bisa dipergunakan untuk alat manuver politiknya.

Sementara itu dalam komposisi kepengurusan Munas III GOLKAR, pengaruh dan peranan politik kelompok CSIS yang merupakan kubu Ali Moertopo mulai merosot. Jika dalam kepengurusan Golkar 1978 orang-orang dari “Tanah Abang” banyak memegang posisi kunci seperti Sekretari Jendral, wakil ketua dan sebagainya, maka produk kepengurusan Munas Golkar 1983, kelompok Tanah Abang hanya terwakili dua orang. Dan itu pun jabatan yang kurang memiliki bobot politis. Kedua orang dari CSIS itu masing-masing, Drs. Moerdopo, menjadi wakil ketua dibidang kesenian dan kebudayaan dan Yusuf Wanandi, sebagai wakil ketua bidang Hubungan Luar Negeri DPP Golkar periode 1983-1988.

Kemerosotan politik kubu Ali Moertopo sangat terkait dengan kesenjangan politik Ali Moertopo dengan Soeharto. Ada dua hal yang menyebabkan gap Ali Moertopo dengan Soeharto yang menyebabkan termarginalisasinya kubu Ali Moertopo dalam percaturan politik nasional dan di DPP GOLKAR, khususnya dalam kurun waktu itu.

Pertama, pada dekade 1970-an Ali Moertopo telah dapat mengerahkan sumber-sumber kekuasaannya sendiri yang dapat menggerogoti kekuasaan Soeharto. Kedua, kenyataan yang mendasari krisis politik bulan January 1974 (Peristiwa Malari) adalah persaingan antara Ali Moertopo dengan Jendral

Soemitro. Selain kedua faktor itu, Soeharto secara jelas ingin mendemonstrasikan supremasi politiknya atas Ali Moertopo dan Sudjono Humardani serta kaki tangannya di “Tanah Abang”. Berangkat dari kenyataan diatas, Presiden Soeharto di penghujung dekade 1970-an hingga berlanjut dasawarsa1980-an secara perlahan-lahan mulai menyusutkan peranan politik Ali Moertopo dan sekutu-sekutunya.

Sejak itu Soeharto menoleh kepada Sudharmono yang berhasil mengelola sekretariat negara menjadi “Super birokrasi”. Sebagai orang yang sukses mereorganisasikan kantor kepresidenan, Sudharmono yang terlihat tidak memiliki ambisi politik yang mengkhawatirkan telah membuktikan sebagai pembantu Presiden Soeharto yang cakap dan diperlukan.

Dengan demikian tak mengherankan bila dalam Munas GOLKAR III Soeharto merekomendasikan Sudharmono sebagai Ketua Umum GOLKAR Periode 1983-1988. Golkar dibawah kepemimpinan Sudharmono, selain berhasil mengkonsolidasikan dirinya lebih solid, juga secara intensif melakukan pendekatan dengan ormas-ormas Islam. Kepemimpinan Sudharmono relatif berhasil menjaga Otonomi Golkar dari intervensi lebih jauh dari pimpinan ABRI. Dia juga mampu mengatasi peranan yang dimainkan oleh Ali Moertopo dan Sudjono Humardani, serta berhasil menetralisi KINO dalam tubuh GOLKAR.87

Pendekatan Golkar yang dipelopori Sudarmono terhadap kelompok Islam menemukan momentum yang tepat dengan terjadinya “kemenangan” kalangan pemimpin ormas-ormas Islam terkemuka yang lebih akomodasionis terhadap politik negara sikitar pertengahan dekade 1980-an. Dalam kepengurusan

87

Nazaruddin Syamsuddin,” Ikatan Golkar di Laut Islam,” Forum Keadilan, Nomor 15, 12 November 1992.

Sudharmono ini, Golkar banyak menampung “pembelotan” dari tokoh-tokoh muslim yang semula berada dibarisan PPP.

Selain mobilisasi massa NU ke GOLKAR, Ridwan Saidi, mantan tokoh HMI di PPP yang dikecewakan oleh Nario, dalam Pemilu 1987 juga menyatakan “pembelotannya” ke Golkar. Dalam SU MPR 1988. Golkar menunjuk Saiful Mujab, mantan tokoh PPP, manjadi salah satu wakil Golkar di MPR, selain juga Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid yang menjadi Badan Pekerja MPR dari Fraksi Golkar. Untuk menunjukkan perubahan yang lebih simpatik kepemimpinan Golkar dibawah Sudharmono dibanding Ali Moertopo dalam hubungannya dengan masyarakat politik Muslim dinyatakan secara lugas oleh Eky Syahruddin:

“Sewaktu Golkar dibawah supervisi CSIS, suasananya anti-Islam, seolah Islam terpojokkan. Sewaktu Dharmono memimpin Golkar, beliau merangkul kalangan Islam. Nah, suasananya mulai berbeda.”

Terlepas dari adanya sedikit akses politik internal Golkar akibat penghijauan itu, perestasi Sudharmono yang gemilang dengan keberhasilan Golkar menyedot lebih dari 70% suara dalam Pemilu 1987 telah meningkatkan kredibilitas politik-nya di tingkat nasional dan sekaligus menambah kepercayaan Presiden Soeharto. Dalam konteks semacam itu, maka menjelang pemilihan wakil presiden dalam SU MPR 1988, Sudharmono memilik peringkat tertinggi dalam bursa pencalonan Wapres yang beredar dimasyarakat.

Tidak seperti SU MPR sebelumnya, Presiden Soeharto dalam SU MPR 1988 kali ini tidak mengumumkan nama calon wakilnya. Tetapi Presiden Soeharto mengajukan kriteria calon wakil Presiden yang secara implisit dia menginginkan Sudharmono sebagai pendampingnya. Selanjutnya Golkar secara

resmi mengajukan mengumumkan pengajuan Sudharmono sebagi calon Wakil Presiden. Namun berbagai peristiwa menyertai proses pemilihan wakil Presiden yaitu Sudharmono, dimana “faksi Benny” yang merupakan orang kuat dalam jajaran Angkatan Darat memperlihatkan keberatannya dengan pengajuan Sudharmono sebagai Wakil Presiden. Benny Moerdani dengan segala daya upaya berusaha untuk menjegal naiknya Sudharmono yang pada ahirnya membuatnya berhadapan dengan Soeharto yang segera melucuti basis-basis kekuatan politiknya di militer.

Munas ketiga Golkar yang berlangsung pada Oktober 1983 juga telah menandai awal era baru peranan politik elit Islam di dalam tubuh partai negara Orde Baru. Tampilnya Akbar Tanjung sebagai kandidat Sekjend yang nota bene memiliki hubungan genealogis dengan kalangan gerakan Islam tentunya memiliki makna kultural yang penting bagi Golkar dan kalangan Islam pada khususnya. Hal ini ditambah lagi dengan naiknya dua mantan aktivis HMI menduduki jabatan Departemen Cendikiawan dan Tani/Nelayan di DPP GOLKAR yaitu Prof. Dr. Ibrahim Hasan dan Ir. Usman Hasan.

BAB III

ANALISIS HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU TERHADAP