BAB III.............................................................................................................. 28
4.2 Analisis Univariat
4.2.3 Makanan dan Minuman Iritatif
Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh hasil jumlah konsumsi makanan dan minuman iritatif 117(52%) orang, dan jumlah konsumsi makanan dan minuman tidak iritatif 108(48%) orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 225 responden distribusi terbanyak yaitu konsumsi makanan dan minuman iritatif.
38 Tabel 4.7 Distribusi responden berdasarkan makanan dan minuman iritatif pada mahasiswa
angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Makanan dan Minuman Iritatif
Jumlah (%)
Total Angkatan 2019 Angkatan 2020
Iritatif 48 (21,3%) 69 (30,7%) 117 (52%) Tidak Iritatif 62 (27,6%) 46 (20,4%) 108 (48%) Total 110 (48,9%) 115(51,1%) 225 (100%) 4.2.4 Sindrom Dispepsia
Berdasarkan tabel 4.8 diperoleh hasil yaitu jumlah mengalami sindrom dispepsia 159(70,7%) orang dan jumlah tidak mengalami sindrom dispepsia 66(29,3%) orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi terbanyak dari 225 responden mengalami sindrom dispepsia.
Tabel 4.8 Distribusi responden berdasarkan sindrom dispepsia pada mahasiswa angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Sindrom Dispepsia Jumlah (%)
Total Angkatan 2019 Angkatan 2020
Ya 82 (36,4%) 77 (34,2%) 159 (70,7%)
Tidak 28 (12,4%) 38 (16,9%) 66 (29,3%)
Total 110 (48,9%) 115 (51,1%) 225 (100%) 4.3 Analisis Bivariat
4.3.1 Hubungan Jenis Kelamin dan Sindrom Dispepsia
Berdasarkan tabel 4.9 diperoleh hasil yaitu jumlah laki-laki mengalami sindrom dispepsia 57(25,3%) orang, dan jumlah laki-laki tidak mengalami sindrom dispepsia 42(18,7%) orang. Jumlah perempuan mengalami sindrom dispepsia 102(45,3%) orang, dan jumlah perempuan tidak mengalami sindrom dispepsia 24(10,7%) orang. Dari hasil penelitian diperoleh jumlah perempuan lebih banyak mengalami sindrom dispepsia. Hasil analisa statistik menggunakan uji korelasi Chi-Square diperoleh hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan sindrom dispepsia. (p<0,05)
39 Tabel 4.9 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dan sindrom dispepsia pada mahasiswa
angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Jenis Kelamin
4.3.2 Hubungan Usia dan Sindrom Dispepsia
Berdasarkan tabel 4.10 diperoleh hasil yaitu jumlah usia 17 tahun 2(0,9%) orang, jumlah usia 18 tahun 30(13,3%) orang, jumlah usia 19 tahun 60(26,7%) orang, jumlah usia 20 tahun 55(24,4%) orang, dan jumlah usia 21 tahun 14(6,2%) orang mengalami sindrom dispepsia. Dari hasil penelitian diperoleh frekuensi usia terbanyak mengalami sindrom dispepsia adalah 19 tahun. Hasil analisa statistik menggunakan uji korelasi Pearson diperoleh hubungan bermakna antara usia dengan sindrom dispepsia. (p < 0,05)
Tabel 4.10 Distribusi responden berdasarkan usia dan sindrom dispepsia pada mahasiswa angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Usia
4.3.3 Hubungan Tempat Tinggal dan Sindrom Dispepsia
Berdasarkan tabel 4.11 diperoleh hasil yaitu jumlah tinggal bersama orangtua yang mengalami sindrom dispepsia sebanyak 45(20%) orang dan jumlah tinggal tidak bersama orangtua yang mengalami sindrom dispepsia sebanyak 114(50,7%) orang. Dari hasil penelitian diperoleh responden yang tinggal tidak bersama orang tua lebih banyak mengalami sindrom dispepsia. Hasil analisa
40 statistik menggunakan uji korelasi Chi-Square diperoleh hubungan bermakna antara tempat tinggal dengan sindrom dispepsia. (p < 0,05)
Tabel 4.11 Distribusi responden berdasarkan tempat tinggal dan sindrom dispepsia pada mahasiswa angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Tempat Tinggal
4.3.4 Hubungan Penggunaan Obat OAINSdan Sindrom Dispepsia
Berdasarkan tabel 4.12 diperoleh hasil yaitu jumlah menggunakan obat OAINS yang mengalami sindrom dispepsia sebanyak 115(51,1%) orang, dan jumlah tidak menggunakan obat OAINS yang mengalami sindrom dispepsia sebanyak 44(19,6%) orang. Dari hasil penelitian diperoleh responden yang menggunakan obat OAINS lebih banyak mengalami sindrom dispepsia. Hasil analisa statistik menggunakan uji korelasi Chi-Square diperoleh hubungan bermakna antara penggunaan obat OAINS dengan sindrom dispepsia. (p < 0,05)
Tabel 4.12 Distribusi responden berdasarkan penggunaan obat OAINS dan sindrom dispepsia pada mahasiswa angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penggunaan Obat OAINS
4.3.5 Hubungan Keteraturan Makan dan Sindrom Dispepsia
Berdasarkan tabel 4.13 diperoleh hasil yaitu jumlah teratur makan yang mengalami sindrom dispepsia sebanyak 48(21,3%) orang, dan jumlah tidak teratur makan yang mengalami sindrom dispepsia sebanyak 111(49,3%) orang. Dari hasil penelitian diperoleh responden yang tidak teratur makan lebih banyak mengalami sindrom dispepsia. Hasil analisa statistik menggunakan uji korelasi Chi-Square
41 diperoleh hubungan bermakna antara keteraturan makan dengan sindrom dispepsia.
(p < 0,05)
Tabel 4.13 Distribusi responden berdasarkan keteraturan makan dan sindrom dispepsia pada mahasiswa angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Keteraturan Makan
4.3.6 Hubungan Makanan dan Minuman Iritatif dan Sindrom Dispepsia Berdasarkan tabel 4.14 diperoleh hasil yaitu jumlah konsumsi makanan dan minuman iritatif yang mengalami sindrom dispepsia sebanyak 110(48,9%) orang, dan jumlah konsumsi makanan dan minuman tidak iritatif yang mengalami sindrom dispepsia sebanyak 49(21,8%) orang. Dari hasil penelitian diperoleh responden dengan makanan dan minuman iritatif lebih banyak mengalami sindrom dispepsia. Hasil analisa statistik menggunakan uji korelasi Chi-Square diperoleh hubungan bermakna antara makanan dan minuman iritatif dengan sindrom dispepsia. (p < 0,05)
Tabel 4.14 Distribusi responden berdasarkan makanan dan minuman iritatif dan sindrom dispepsia pada mahasiswa angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Makanan dan Minuman Iritatif
Sindrom Dispepsia
4.4.1 Hubungan Jenis Kelamin dan Sindrom Dispepsia
Penelitian hubungan antara jenis kelamin dan sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020 diperoleh hasil yaitu jumlah perempuan lebih banyak mengalami sindrom dispepsia dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
42 dilakukan oleh Tiana (2017) pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wancana, dan Irfan (2019) pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta bahwa jumlah perempuan dengan sindrom dispepsia lebih banyak dari jumlah laki-laki. Penelitian lain dilakukan oleh Bestari (2020), Wibawani (2021), dan Giringan (2021) pada pelayanan kesehatan tingkat pertama dengan jumlah perempuan mengalami sindrom dispepsia lebih banyak dari laki-laki. Adanya gambaran diri (body image) yang salah terhadap perempuan seperti ketakutan akan perubahan bentuk tubuh mengakibatkan perempuan sering kali melakukan pola diet yang salah. Perilaku tersebut sangat berbahaya dan berisiko untuk mengalami penyakit yang berhubungan dengan gangguan pada sistem pencernaan. Kim (2014) mengemukakan bahwa perempuan secara signifikan menjadi faktor risiko dari sindrom disepsia dikarenakan adanya perbedaan hormon seks yang mempengaruhi kerja motilitas lambung dan sensitivitas viseral. Hormon wanita diperkirakan mengubah waktu pengosongan lambung menjadi lebih panjang dan persepsi nyeri viseral mungkin dipengaruhi oleh perubahan siklus pada hormon seks wanita. Hal ini sejalan dengan Djojoningrat (2009) yang mengatakan bahwa dalam beberapa percobaan, hormon progesteron, estradiol, dan prolaktin dapat mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
4.4.2 Hubungan Usia dan Sindrom Dispepsia
Penelitian hubungan antara usia dan sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020 diperoleh hasil yaitu frekuensi usia terbanyak mengalami sindrom dispepsia adalah 19 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Irfan (2019) pada mahasiswa Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan frekuensi usia terbanyak adalah 19 tahun. Penelitian lain dilakukan oleh Nasution (2016) pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Universitas Sumatera Utara dengan hasil mayoritas mahasiswa usia 18-19 tahun. Usia 19 tahun termasuk dalam usia remaja yang telah ditetapkan oleh World Health Organization (WHO). Kategori usia dalam hal ini termasuk pelajar dan mahasiswa. Mahasiswa dengan kesibukan dan aktivitas
43 perkuliahan yang padat sering dikaitkan dengan tingginya angka kejadian dispepsia. Mulai dari kegiatan akademik, tugas kuliah yang banyak, jadwal perkuliahan yang padat dan aktivitas mahasiswa yang lain dibidang non-akademik seperti kegiatan organisasi atau kepanitiaan. Kepadatan aktivitas ini akan berdampak pada pola makan. Mahasiswa mempunyai kebiasaan untuk menunda makan dan bahkan lupa untuk makan. Kebiasaan tersebut akan berdampak terhadap kesehatan terutama menimbulkan kejadian dispepsia pada mahasiswa (Rizky et al, 2015). Faktor lain yang menyebabkan dispepsia pada remaja sekolah usia 12-19 tahun yaitu keadaan stres (Phavichitr et al, 2012). Stres pada usia sekolah mengarah ke bidang akademik dan dinilai memberikan dampak negatif pada kesehatan (Zaralidis, 2015). Kondisi ini diduga terjadi karena adanya interaksi faktor psikis dengan gangguan saluran cerna atau melalui mekanisme brain-gut-axis (Zubir, 2002). Corticotropin releasing factor sebagai mediator utama dari respon stress disekresikan oleh hipotalamus dan selanjutnya menstimulasi kelenjar hipofisis untuk mengeluarkan adrenocorticotrophic hormone (ACTH) yang menyebabkan keluarnya kortisol dari kelenjar adrenal. Kortisol tersebut akan merangsang lambung untuk meningkatkan sekresi asam lambung dan menghambat prostaglandin sebagai agen proteksi lambung. Terpaparnya lambung oleh asam lambung mengakibatkan kerusakan pada mukosa lambung. Apabila keadaan ini berlangsung secara terus menerus akan mengakibatkan luka pada dinding lambung (Darwin, 2017).
4.4.3 Hubungan Tempat Tinggal dan Sindrom Dispepsia
Penelitian hubungan antara tempat tinggal dengan sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020 diperoleh hasil yaitu responden yang tinggal tidak bersama orang tua lebih banyak mengalami sindrom dispepsia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Listiawati (2016) pada mahasiswa yang tinggal di asrama rusunawa Universitas Muhammadiyah Semarang, Wahyudi (2018) pada remaja akhir (18-21 tahun) di asrama putra papua Kota Malang, Ajjah (2020) pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, dan Hidayah (2020) pada siswa asrama dan
44 non asrama di SMK Kesehatan Samarinda. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut didapati kecenderungan yang tinggal tidak bersama orang tua mengalami sindrom dispepsia. Berdasarkan observasi sederhana yang dilakukan Hartati (2014) dikatakan bahwa banyak faktor yang dapat menyebabkan mahasiswa yang tinggal tidak bersama orang tua untuk terkena sindrom dispepsia, seperti kepadatan aktivitas diakibatkan kurangnya manajemen waktu sehingga kurang memperhatikan makanan. Wawancara yang dilakukan oleh Lestari (2016) terhadap 6 dari mahasiswi yang tinggal di asrama mengatakan sering mengalami sakit perut hingga ke ulu hati, pusing dan muntah. Selain itu, terdapat kebiasaan sering telat makan, frekuensi makan 1-2 kali dalam sehari dengan porsi makan yang sedikit dan kurang bergizi. Hal ini dikarenakan jadwal kuliah yang padat dan banyak kegiatan kampus lainnya serta masalah terhadap keuangan.
4.4.4 Hubungan Penggunaan Obat OAINS dan Sindrom Dispepsia
Penelitian hubungan antara penggunaan obat OAINS dengan sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020 diperoleh hasil yaitu jumlah dengan penggunaan OAINS lebih banyak mengalami sindrom dispepsia. Hal ini sejalan dengan Hutapea (2017) pada pengguna OAINS di RSUP Haji Adam Malik Medan, Damanik (2017) pada pasien rematik yang mengonsumsi OAINS di RSUD Dr. Pirngadi Medan, dan Triani (2020) pada pasien artritis dengan hasil penelitian yang menggunakan obat OAINS lebih banyak mengalami sindrom dispepsia daripada yang tidak menggunakan obat OAINS. Penggunaan OAINS memiliki efek samping terhadap saluran pencernaan. Efek samping tersebut disebabkan oleh penghambatan enzim COX sehingga sintesis prostaglandin (senyawa gastroprotektor) terhambat. Efek dari OAINS dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Efek langsung disebabkan karena beberapa OAINS bersifat asam lemah sehingga saat berada dalam lambung yang bersifat asam akan berbentuk partikel yang tidak terionisasi dan akan berdifusi ke dalam sel epitel mukosa lalu terperangkap disana. Akibatnya, terjadi kerusakan pada sel dan menyebabkan penurunan pertahan pada mukosa lambung. Efek tidak langsung diakibatkan inhibisi sistemik terhadap pelindung
45 mukosa gaster melalui penghambatan aktivitas COX pada mukosa lambung. Pada tahap ini, OAINS berperan dalam menghambat enzim COX yang mempunyai dua isoform yaitu COX1 (enzim utama mengatur produksi prostaglandin) dan COX 2 sehingga proteksi lambung menurun (Lelo, 2004).
4.4.5 Hubungan Keteraturan Makan dan Sindrom Dispepsia
Penelitian hubungan antara keteraturan makan dengan sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020 diperoleh hasil yaitu jumlah yang tidak teratur makan lebih banyak mengalami sindrom dispepsia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tiana (2017) pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wancana, dan Irfan (2019) pada mahasiswa Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan jumlah terbanyak mengalami sindrom dispepsia memiliki pola makan yang tidak teratur. Penelitian lain yang dilakukan pada pelayanan tingkat pertama di puskesmas dan rumah sakit oleh Sumarni (2019), Bestari (2020) dan Wijaya (2020) diperoleh hasil jumlah yang tidak teratur makan lebih banyak mengalami sindrom dispepsia. Keteraturan makan terdiri atas frekuensi makan, jumlah makan dan jeda makan. Kebiasaan makan yang tidak teratur menyebabkan pemasukan makanan dalam perut menjadi berkurang sehingga lambung menjadi kosong. Kondisi lambung kosong menyebabkan erosi pada lambung yang diakibatkan adanya gesekan antara dinding-dinding lambung.
Apabila hal ini berlangsung terus-menerus maka produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung sehingga timbul gastritis dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Kemudian menimbulkan keluhan berupa rasa perih, mual dan dapat menimbulkan rasa panas terbakar atau dikenal dengan sindrom dispepsia (Nadesul, 2005).
4.4.6 Hubungan Makanan dan Minuman Iritatif dan Sindrom Dispepsia Penelitian hubungan antara makanan dan minuman iritatif dengan sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020 diperoleh hasil yaitu jumlah yang mengonsumsi makanan
46 dan minuman iritatif lebih banyak mengalami sindrom dispepsia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2016) pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan Irfan (2019) mahasiswa pre klinik Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan jumlah yang mengonsumsi makanan dan minuman iritatif lebih banyak mengalami sindrom dispepsia. Penelitian lain yang dilakukan pada pelayanan tingkat pertama di puskesmas dan rumah sakit dilakukan oleh Wiyaja (2020), dan Wibawani (2021) dengan jumlah yang mengonsumsi makanan dan minuman iritatif lebih banyak mengalami sindrom dispepsia. Harahap (2009), makanan dan minuman iritatif seperti makanan asam, pedas, minuman alkohol, dll merupakan makanan yang dapat merangsang organ pencernaan dan secara langsung dapat merusak dinding lambung. Selain itu makanan dan minuman iritatif dapat merangsang peningkatan motilitas atau peristaltik organ pencernaan sehingga dapat memicu timbulnya radang hingga luka pada dinding organ pencernaan. Teori lain mengatakan bahwa beberapa jenis makanan seperti makanan berminyak dan berlemak menyebabkan sindrom dispepsia. Jenis makanan ini dapat menghambat pencernaan dan menimbulkan peningkatan tekanan di lambung yang mengakibatkan katup antara lambung dengan kerongkongan (Lower Esophageal Sphincter/LES) menjadi lemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan (Berdanier, 2008).
47 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis data yang diperoleh dari kuesioner dengan subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas angkatan 2019 dan 2020, dapat disimpulkan bahwa:
1. Gambaran karakteristik mahasiswa yakni jumlah jenis kelamin laki-laki 99(44%) orang dan jumlah jenis kelamin perempuan 126(56%) orang. Jumlah usia 17 tahun 2(0,9%) orang, jumlah usia 18 tahun 45(20%) orang, jumlah usia 19 tahun 98(43,6%) orang, jumlah usia 20 tahun 66(29,3%) orang, dan jumlah usia 21 tahun 14(6,2%) orang. Jumlah tempat tinggal bersama orang tua 105(46,7%) orang, dan jumlah tempat tinggal tidak bersama orang tua 120(53,3%) orang. Jumlah menggunakan obat OAINS 118(52,4%) orang dan jumlah tidak menggunakan obat OAINS sebanyak 107(47,6%) orang.
2. Gambaran pola makan mahasiswa yakni jumlah teratur makan 85(37,8%) orang dan jumlah tidak teratur makan 140(62,2%) orang. Jumlah konsumsi makanan dan minuman iritatif 117(52%) orang, dan jumlah konsumsi makanan dan minuman tidak iritatif 108(48%) orang.
3. Gambaran sindrom dispepsia pada mahasiswa yakni sebanyak 159(70,7%) orang mengalami sindrom dispepsia dan sebanyak 66(29,3%) orang tidak mengalami sindrom dispepsia.
4. Terdapat hubungan karakteristik individu (jenis kelamin, usia, tempat tinggal, dan penggunaan obat OAINS) terhadap sindrom dispepsia.
5. Terdapat hubungan pola makan (keteraturan makan, dan makanan dan minuman iritatif) terhadap sindrom dispepsia.
48 5.2 SARAN
5.2.1 Bagi Mahasiswa
Diharapkan untuk makan tepat waktu, hindari konsumsi makanan dan minuman yang bersifat iritatif.
5.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya
Memaparkan lebih banyak lagi faktor yang berhubungan dengan kejadian sindrom dispepsia, misalnya faktor genetik, faktor hormonal, faktor stres, faktor merokok, dan tipe diet yang dikonsumsi (diet tinggi garam, diet tinggi karbohidrat, dsb).
5.2.3 Bagi Pelayanan Kesehatan
Mengadakan program penyuluhan kesehatan bagi masyarakat khususnya mahasiswa terkait sindrom dispepsia, faktor pencetus dispepsia dan pencegahan terhadap dispepsia.
49 DAFTAR PUSTAKA
Ajjah, B., Mamfaluti, T., & Putra, T. 2020, ‘Hubungan Pola Makan dengan Terjadinya Gastroesophageal Reflux (GERD), Journal of Nutrition College, vol. 9, no. 3.
Astri, Dewi. 2017, ‘Hubungan Pola Makan dan Karakteristik Indivdu Terhadap Sindrom Dispepsia Pada Mahasiswa Angkatan 2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin’, Universitas Hasanuddin [Online],
diakses pada 20 Maret 2021, tersedia di:
http://digilib.unhas.ac.id/opac/detail-opac?id=37546.
Berdanier, C.D., Dwyer, J., dan Feldman, E.B., 2008, Handbook of Nutrition and Food Second Edition, CRC Press, USA.
Boeree, G. 2008, Dasar-Dasar Psikologi, Prismasophie, Yogyakarta.
Bestari, I., Rizal, F., & Lubis, S. 2020, ‘Hubungan Pola Makan terhadap Kejadian Dispepsia di RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh’, Kandidat: Jurnal Riset dan Inovasi Pendidikan, vol.2, no.1, pp.66-73.
Chang, L. 2006, From Rome to Los Angeles: The Rome III Criteria for The Functional GI Disorders. Medscape Gastroenterlogy.
Damanik, S. 2017, ‘Gambaran Dispepsia Pada Pasien Rematik yang Mengkonsumsi OAINS di RSUD Dr. Pirngadi Medan’, Universitas HKBP Nommensen [Online], diakses pada 4 April 2021, tersedia di:
https://repository.uhn.ac.id/handle/123456 789/1357.
Darwin E, Murni AW, Nurdin AE. The Effect of psychological stress on mucosal IL-6 and Helicobacter pylori activity in functional dyspepsia.
2017;49(2):99–104.
Departemen Pendidikan Indonesia, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta.
Giringan, F., Prihanto, A., Ambar, E. 2021, ‘Karakteristik Penderita Dispepsia di Instalansi Rawat Inap Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum di Daerah dr.
H. Chasan Boesoirie’, Kieraha Medical Journal, vol. 3, no.1.
Halim, Andreas L. 2020, Perbandingan Dua Proporsi Uji Chi Square X², Perpustakaan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, [Online], diakses pada 25 April 2021, tersedia di: http://perpustakaanrsmcicendo.com /2020/07/03/perbandingan-dua-proporsi-uji-chi-square/.
Harahap, Y. 2009, ‘Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat inap di RS Martha Friska Medan Tahun 2007’, Universitas Sumatera Utara.
Herman, M., & Syaffitri, N. 2019, ‘Inventarisasi Tanaman Obat Tradisional untuk Penderita Diabetes Melitus dan Hipertensi di Desa Minang Kecamatan Bambang Kabupaten Mamasa’, Jurnal Farmasi Sandi Karsa, vol.5, no.1, pp.26.
Hidayah, AN., Rahmah, Y., & Hasanah, N. 2020, ‘Perbedaan Tingkat Stres, Keteraturan Makan dan Kejadian Sindrom Dispepsia Pada Siswa Asrama dan Non Asrama di SMK Kesehatan Samarinda, Health Science Journal, vol. 2, no.1.
Ikhsan, M., Murni, A., & Rustam, E. 2020, ‘Hubungan Depresi, Ansietas, dan Stres dengan Kejadian Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Tahun Pertama di
50 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sebelum dan Sesudah Ujian Blok’, Jurnal Kesehatan Andalas, vol.9, no.1s.
Irfan, W. 2019, ‘Hubungan Pola Makan dan Sindrom Dispepsia Pada Mahasiswa Pre Klinik Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta’, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, [Online], diakses pada 19 September 2021, tersedia di: https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/
handle/ 123456789/49123.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019, Buku Pedoman Manajemen, Jakarta.
Lestari, EP., Wiyono, J., & Candrawati, E. 2016, ‘Pola Makan Salah Penyebab Gastritis Pada Remaja’, Nursing News, vol. 1, no. 2.
Lelo, A., Rangkuty, Z., & Juli, S. 2004, ‘Penggunaan Anti-Inflamasi Non Steroid yang Rasional Pada Penanggulangan Nyeri Rematik’, Universitas Sumatera Utara, [Repository].
Listiawati, I. 2016, ‘Gambaran Status Nutrisi Mahasiswa yang Tinggal di Rusunawa Universitas Muhammadiyah Semarang’, Universitas Muhammadiyah Semarang, [Online], diakses pada 9 September 2021, tersedia di: https://repository.unimus.ac.id/71/.
Marbun, A. N. 2018, ‘Hubungan Tingkat Stres dengan Sindroma Dispepsia Fungsional pada Mahasiswa Universitas HKBP Nommensen’, Universitas HKBP Nommensen, [Online], diakses pada 4 April 2021, tersedia di:
https://repository.uhn.ac.id/handle/123456789/946.
Marliyana, Andora, N., & Atikah, N. 2020, ‘Hubungan Pola Makan dan Stres dengan Kejadian Dispepsia di Puskesmas Blambangan Kecamatan Blambangan Pagar Kabupaten Lampung Utara Tahun 2018’, Jurnal Ilmu Keperawatan Indonesia, vol.1, no.1.
Masturoh, I., & Anggita, N. 2018, Metodologi Penelitian Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Monks, FJ. 2007. Psikologi Perkembangan. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Muthia, R. 2018, ‘Perbedaan Gejala Klinis antara Dispepsia Organik dan Dispepsia Fungsional di RSUP Dr. M. Djamil Padang’, Universitas Andalas, [Online], diakses pada 27 Maret 2021, tersedia di: https://www.google.com/url?sa = t&source=web&rct=j&url=http://scholar.unand.ac.id/32704/&ved=2ahUK EwjFrpS-z77wAhXIlEsFHXe3B8sQFjAAegQIBBAC&usg=AOvVaw1n OSHd-HOUt_rH9NTmma9.
Nadesul. 2005, ‘Sakit Lambung, Bagaimana Terjadinya’, [terhubung berkala], http://www.kompas.com
Nasution, N. 2016, ‘Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Tahun 2015’, Universitas Sumatera Utara, [Online], diakses pada 3 April 2021, tersedia di: https://jurnal.usu.ac.id/index.php/gkre/article/
view/12364.
Nugroho, R., Safri, & Nurchayati, S. 2018, ‘Gambaran Karakteristik Pasien dengan Sindrom Dispepsia di Puskesmas Rumbai’, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Keperawatan, vol.5, no.2, pp.823-828.
51 Notoatmodjo, S. 2012, Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta,
Jakarta.
Notoatmodjo, S. 2017, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
Pakpahan, Mei. 2016, ‘Pola Makan dan Sindroma Dispepsia Pada Anak Kost di Lingkungan IX Kelurahan Medan Selayang I’, Universitas Sumatera Utara, [Online], diakses pada 30 Maret 2021, tersedia di: http://repository.usu.ac.
id/handle/123456789/58812?show=full.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2014, Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid, [Online], diakses pada 28 September 2021, tersedia di:
http://reumatologi.or.id/var/rekomendasi.
Phavichitr N, Koosiriwichian K, Tantibhaedhyangkul R. Prevalence and risk factors of dyspepsia in Thai schoolchildren. J Med Assoc Thai.
2012;95(Suppl 5):42–7
Purnamasari, L. 2017, ‘Faktor Risiko, Klasifikasi dan Terapi Sindrom Dispepsia’, Cermin Dunia Kedokteran, vol.44, no.12.
Putri, R., Ernalia, Y., & Bebasari, E. 2015, ‘Gambaran Sindroma Dispepsia Fungsional Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2014’, Jurnal Online Mahasiswa FK, vol.2, no.2.
Rata, K. 2016, Perawatan Luka Akut dan Kronik Diabetik Gangren Menghindari Amputasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Ridho, M. 2019, ‘Gambaran Kejadian Dispepsia Fungsional pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara’, Universitas Islam Sumatera Utara, [Online], diakses pada 4 April 2021, tersedia di:
http://repository.uisu.ac.id/handle/123456789/319.
Sandu, S., & Ali, S. 2015, Dasar Metodologi Penelitian, Literasi Media Publishing, Yogyakarta.
Sastroasmoro, S. & Ismael, S. 2016, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, 5thedn, Sagung Seto, Jakarta.
Setiati, S. 2017, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 6th edn, Jakarta: FK UI.
Sihite, S. 2019, ‘Karakteristik Penderita Dispepsia yang Menjalani Esophagogastroduodenoscopy di Klinik Utama Nehemia Medan tahun 2018’, Universitas HKBP Nommensen, [Online], diakses pada 4 April 2021, tersedia di: https://repository.uhn.ac.id/ handle/123456789/2622.
Sihite, S. 2019, ‘Karakteristik Penderita Dispepsia yang Menjalani Esophagogastroduodenoscopy di Klinik Utama Nehemia Medan tahun 2018’, Universitas HKBP Nommensen, [Online], diakses pada 4 April 2021, tersedia di: https://repository.uhn.ac.id/ handle/123456789/2622.