• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMELDA MELVANI SITOMPUL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IMELDA MELVANI SITOMPUL"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN POLA MAKAN DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU TERHADAP SINDROM DISPEPSIA PADA MAHASISWA ANGKATAN 2019 DAN 2020 FAKULTAS

KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh:

IMELDA MELVANI SITOMPUL 180100009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

HUBUNGAN POLA MAKAN DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU TERHADAP SINDROM DISPEPSIA PADA MAHASISWA ANGKATAN 2019 DAN 2020 FAKULTAS

KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh:

IMELDA MELVANI SITOMPUL 180100009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)

i

(4)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Pola Makan dan Karakteristik Individu Terhadap Sindrom Dispepsia Pada Mahasiswa Angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara”. Penulisan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis dengan rendah hati mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2. Dr. dr. Imelda Rey, M. Ked (PD), Sp. PD-KGEH selaku dosen pembimbing yang dengan sabar membimbing, memberikan arahan dan masukan serta memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

3. Dr. Cut Putri Hazlianda, M. (Ked), D. V, Sp. D. V selaku ketua penguji dan dr. Siti Syarifah, M. Biomed selaku anggota penguji yang telah memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini bisa menjadi lebih baik.

4. Kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda D. Sitompul dan Ibunda J.

Manik. Terimakasih yang tidak terhingga atas kasih sayang, motivasi yang tiada henti diberikan kepada penulis serta iringan doa yang selalu menyertai setiap langkah kesuksesan dalam menyelesaikan pendidikan penulis.

5. Saudara penulis Alvian Rudin Sitompul dan Feri Alfredo Sitompul.

Terimakasih atas dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis, menjadi tempat berbagi keluh kesah, serta menjadi inspirasi bagi penulis untuk tidak patah semangat meraih cita-cita.

(5)

iii

6. Kepada seluruh keluarga besar Pak Tua, Mak Tua, Tulang, Nantulang, Abang, Kakak yang selalu mendukung, memberikan motivasi, dan selalu mendoakan yang terbaik kepada penulis.

7. Kepada penulis Imelda Melvani Sitompul yang selalu semangat, dan tidak pantang menyerah sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai dengan tepat waktu.

8. Seluruh staf pengajar dan civitas akademik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan selama perkuliahan hingga penyelesain pendidikan.

9. Teman-teman Fakultas Kedokteran angkatan 2018, terutama manusia- manusia kuat Mustika Hia, Sarah Hagaina Tarigan, Avelyna Ningsih Thesalonika Nainggolan, dan sejawat kepanitiaan Aurelia Ariska Tanjung, dan Chrystylin yang kusayangi. Terimakasih sudah menjadi sahabat yang selalu mendukung, memberikan motivasi, dan selalu mendengar keluh kesah penulis.

10. Untuk kakak dr. Elcia Melisa Dwisari Simatupang, dan abang Rasma Gunadi Sembiring, S. Ked. Terimakasih telah membantu penulis sejak awal penulisan skripsi, memberikan kritik dan saran, serta dukungan dalam penulisan skripsi.

11. Sahabat penulis Era Rejeki Simatupang sejak masa marguru, SMP, SMA hingga saat ini. Terimakasih telah menjadi sahabat, saudari yang selalu mendukung, dan menjadi tempat keluh kesah penulis.

12. Sahabat SMA penulis Ruth Mutiara Sitompul, Jesika Meida Nababan, Monika Sianturi, Julita Fransisca Hutagalung. Terimakasih untuk motivasi, dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis.

13. Kelompok kecil GASTER, Yiska Indira Tarigan, Grace Ventina Nainggolan, Agatha Sara Oktaviani Siregar, Anju Marlina Simanjuntak.

Terimakasih telah menjadi sahabat yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.

14. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi dan tidak dapat satu persatu penulis sebutkan.

(6)

iv

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan penyusunan skripsi ini.

Akhrinya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun dan bagi pembaca sekalian.

Medan, 17 November 2021

Imelda Melvani Sitompul

(7)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

ABSTRAK ... xii

ASBTRACT ... xiii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG ... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ... 3

1.3 TUJUAN PENELITIAN ... 3

1.3.1 Tujuan Umum... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 HIPOTESIS PENELITIAN... 4

1.5 MANFAAT PENELITIAN ... 5

1.5.1 Bagi Pendidikan... 5

1.5.2 Bagi Mahasiswa... 5

1.5.3 Bagi Peneliti Lainnya... 5

BAB II ... 6

TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1 DISPEPSIA ... 6

2.1.1 Pengertian ... 6

2.1.2 Epidemiologi ... 6

2.1.3 Etiologi ... 7

2.1.4 Klasifikasi ... 7

2.1.5 Patofisologi ... 8

2.1.6 Faktor Risiko ... 11

2.1.7 Gambaran Klinis ... 14

2.1.8 Diagnosis Banding ... 14

2.1.9 Diagnosis ... 15

2.1.10 Tatalaksana ... 19

(8)

vi

2.2 POLA MAKAN ... 22

2.3 KARAKTERISTIK INDIVIDU ... 24

2.4 MAHASISWA ... 25

2.5 KERANGKA TEORI ... 26

2.6 KERANGKA KONSEP ... 27

BAB III... 28

METODE PENELITIAN ... 28

3.1 RANCANGAN PENELITIAN ... 28

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN ... 28

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN ... 28

3.3.1 Populasi Penelitian ... 28

3.3.2 Sampel Penelitian ... 28

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA ... 30

3.4.1 Jenis Pengumpulan Data ... 30

3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data ... 31

3.5 METODE ANALISIS DATA ... 32

3.5.1 Teknik Pengolahan ... 32

3.5.2 Analisis Data ... 32

3.6 DEFINISI OPERASIONAL ... 33

BAB IV ... 35

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 35

4.2 Analisis Univariat ... 35

4.2.1 Karakteristik Individu ... 35

4.2.2 Keteraturan Makan ... 37

4.2.3 Makanan dan Minuman Iritatif... 37

4.2.4 Sindrom Dispepsia ... 38

4.3 Analisis Bivariat ... 38

4.3.1 Hubungan Jenis Kelamin dan Sindrom Dispepsia ... 38

4.3.2 Hubungan Usia dan Sindrom Dispepsia ... 39

4.3.3 Hubungan Tempat Tinggal dan Sindrom Dispepsia ... 39

4.3.4 Hubungan Penggunaan Obat OAINS dan Sindrom Dispepsia ... 40

4.3.5 Hubungan Keteraturan Makan dan Sindrom Dispepsia ... 40 4.3.6 Hubungan Makanan dan Minuman Iritatif dan Sindrom Dispepsia 41

(9)

vii

4.4 Pembahasan ... 41

4.4.1 Hubungan Jenis Kelamin dan Sindrom Dispepsia ... 41

4.4.2 Hubungan Usia dan Sindrom Dispepsia ... 42

4.4.3 Hubungan Tempat Tinggal dan Sindrom Dispepsia ... 43

4.4.4 Hubungan Penggunaan Obat OAINS dan Sindrom Dispepsia ... 44

4.4.5 Hubungan Keteraturan Makan dan Sindrom Dispepsia ... 45

4.4.6 Hubungan Makanan dan Minuman Iritatif dan Sindrom Dispepsia 45 BAB V ... 47

KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 KESIMPULAN ... 47

5.2 SARAN ... 48

5.2.1 Bagi Mahasiswa... 48

5.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya ... 48

5.2.3 Bagi Pelayanan Kesehatan ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

LAMPIRAN A. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 53

LAMPIRAN B. HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... 55

LAMPIRAN C. SURAT IZIN PENELITIAN ... 56

LAMPIRAN D. LEMBAR PERSETUJUAN KOMISI ETIK ... 57

LAMPIRAN E. LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN ... 58

LAMPIRAN F. LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN ... 59

LAMPIRAN G. KUESIONER PENELITIAN ... 60

LAMPIRAN H. DATA INDUK RESPONDEN ... 68

LAMPIRAN I. HASIL PENGOLAHAN DATA SPSS ... 74

(10)

viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Alur diagnosis dispepsia belum diinvestigasi ... 17 Gambar 2.2 Kerangka teori ... 26 Gambar 2.3 Kerangka konsep ... 27

(11)

ix

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Etiologi dispepsia ... 7

Tabel 2.2 Tes diagnostik Helicobacter pylori ... 18

Tabel 2.3 Tatalaksana infeksi Helicobacter pylori ... 20

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 33

Tabel 4.1 Distribusi responden angkatan 2019 dan 2020 ... 35

Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin ... 36

Tabel 4.3 Distribusi responden berdasarkan usia ... 36

Tabel 4.4 Distribusi responden berdasarkan tempat tinggal ... 36

Tabel 4.5 Distribusi responden berdasarkan penggunaan obat OAINS ... 37

Tabel 4.6 Distribusi responden berdasarkan keteraturan makan ... 37

Tabel 4.7 Distribusi responden berdasarkan makanan dan minuman iritatif ... 38

Tabel 4.8 Distribusi responden berdasarkan sindrom dispepsia ... 38

Tabel 4.9 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dan sindrom dispepsia ... 39

Tabel 4.10 Distribusi responden berdasarkan usia dan sindrom dispepsia ... 39

Tabel 4.11 Distribusi responden berdasarkan tempat tinggal dan sindrom dispepsia ... 40

Tabel 4.12 Distribusi responden berdasarkan penggunaan obat OAINS sindrom dispepsia ... 40

Tabel 4.13 Distribusi responden berdasarkan keteraturan makan dan sindrom dispepsia ... 41

Tabel 4.14 Distribusi responden berdasarkan makanan dan minuman iritatif dan sindrom dispepsia ... 41

(12)

x

DAFTAR SINGKATAN ACTH : Adrenocorticotrophic Hormone BSG : British Society of Gastroenterology CO2 : Carbon dioxide

COX : Cyclooxygenase

CRH : Corticotropin Releasing Hormone EGD : Esophagogastroduodenoscopy ELISA : Enzym Linked Immunosorbent Assay GERD : Gastroesophageal Reflux Disease

GNB : Guanine Nucleotide Binding Protein Subnit Beta HCL : Hydrochloric Acid

HpSA : Helicobacter pylori Stool Antigen HT : Hydroxytryptamine

LES : Lower Esophageal Sphincter NaHCO3 : Natrium Bikarbonat

NSAID : Non Streoid Anti Inflammatory Drugs OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid PCR : Polymerase Chain Reaction pH : Power of Hydrogen

PPI : Proton Pump Inhibitor PTM : Penyakit Tidak Menular

(13)

xi PUD : Peptic Ulcer Disease UBT : Urea Breath Test

WHO : World Health Organization

(14)

xii

ABSTRAK

Latar Belakang: Dispepsia merupakan kumpulan gejala seperti mual, muntah, kembung, rasa penuh setelah makan, sendawa, nyeri dan rasa terbakar di epigastrium. Sindrom dispepsia merupakan keluhan gastrointestinal yang sangat umum di semua kalangan termasuk mahasiswa dan kini menjadi kasus penyakit yang diprediksi akan meningkat setiap tahunnya. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan pola makan dan karakteristik individu terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa angkatan 2019 dan 2020 di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Metode:

Penelitian analitik cross sectional (potong lintang) menggunakan kuesioner yang telah divalidasi dengan teknik Stratified Random Sampling berjumlah 225 mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Hasil: Didapati 159(70,7%) orang mengalami sindrom dispepsia.

Proporsi tertinggi responden mengalami dispepsia adalah responden dengan jenis kelamin perempuan 102(45,3%) orang, usia 19 tahun 60(26,7%) orang, bertempat tinggal tidak bersama orang tua 114(50,7%) orang, menggunakan obat OAINS 115(51,1%) orang, tidak teratur makan 111(49,3%) orang, dan konsumsi makanan dan minuman iritatif 110(48,9%) orang. Berdasarkan hasil uji Chi Square terdapat hubungan antara jenis kelamin (p=0,000), tempat tinggal (p=0,000), penggunaan obat OAINS (p=0,000), keteraturan makan (p=0,000), dan makanan dan minuman iritatif (p=0,000) terhadap sindrom dispepsia dan berdasarkan hasil uji Pearson terdapat hubungan antara usia (p=0,000) terhadap sindrom dispepsia. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara pola makan dan karakteristik individu terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Kata kunci: Dispepsia, pola makan, karakteristik individu, mahasiswa.

(15)

xiii

ASBTRACT

Background: Dyspepsia is a collection of symptoms such as nausea, vomiting, bloating, fullness after eating, belching, pain and burning in the epigastrium. Dyspepsia syndrome is a gastrointestinal complaint that is very common in all circles, including students and is now a disease case that is predicted to increase every year. Objective: To determine the relationship between diet and individual characteristics of dyspepsia syndrome in 2019 and 2020 students at the Faculty of Medicine, University of North Sumatera. Method: This cross-sectional analytic (cross-sectional) using a questionnaire that has been validated with Stratified Random Sampling technique totaling 225 students Medical Faculty, University of North Sumatera. Result: It was found that 159(70,7%) people had dyspepsia syndrome. The highest proportion of respondents experiencing dyspepsia are female 102(45.3%) people, age 19 years 60 (26.7%) people, living not with parents 114 (50.7%) people, using NSAIDs 115(51,1%) people, eating irregularly 111(49,3%) people, and consume iritating food and drink 110(48,9%) people. Based on the results of the Chi Square test there was a relationship between gender (p = 0.000), place of residence (p = 0.000), use of NSAIDs (p=0,000), eating habits (p = 0.000), and food and irritating drinks (p=0.000) against dyspepsia syndrome and based on the result of the Pearson test, there was a relationship between age (p=0,000) against dyspepsia syndrome. Conclusion: There is a significant relationship between eating patterns and individual characteristics of dyspepsia syndrome in 2019 and 2020 students of the Faculty of Medicine, University of North Sumatra.

Keywords: Dyspepsia, diet, individual characteristic, student.

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit tidak menular hadir sebagai pembunuh utama sejak beberapa abad yang lalu (Herman et al, 2019). Pada tahun 2016, sekitar 71% penyebab kematian di dunia adalah penyakit tidak menular (PTM) yang membunuh 36 juta jiwa per tahun. Sekitar 80% kematian tersebut terjadi di negara berpenghasilan menengah dan rendah. 73% kematian saat ini disebabkan oleh penyakit tidak menular, 35% diantaranya karena penyakit jantung dan pembuluh darah, 12% oleh penyakit kanker, 6% oleh penyakit pernapasan kronis, 6% karena diabetes, dan 15%

disebabkan oleh penyakit tidak menular lainnya (data WHO, 2018).

Penyakit tidak menular menyerang orang dari semua umur, bagian terbesarnya adalah mereka yang berada dalam usia produktif (Rata, 2016). Penyakit tidak menular dengan angka kejadian yang masih tinggi yaitu dispepsia. Secara global terdapat sekitar 15-40% penderita dispepsia, dan setiap tahunnya gangguan ini mengenai 25% populasi dunia (Purnamasari, 2017). Di Asia, prevalensi dispepsia berkisar 8-30%. Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam praktik sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktik umum dan 60% pada praktik gastroenterologist. Dari data pustaka Negara Barat didapatkan angka prevalensi dispepsia berkisar 7-41%, namun hanya 10-20% yang mencari pertolongan medis dan sisanya mengobati diri sendiri dengan obat bebas yang beredar di luar pasaran. Angka insiden dispepsia mencapai 10%, dimana kasus baru yang datang pada pelayanan kesehatan lini pertama sebesar 5- 7% (Djojoningrat, 2014).

Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan banyaknya angka kejadian dispepsia di Kota Medan, antara lain, Siregar (2016) dalam hubungan depresi dan sindrom dispepsia pada pasien penderita yang diberi kemoterapi di RSUP Haji Adam Malik Medan, didapatkan hasil sebanyak 52 pasien menderita

(17)

2 dispepsia (61,2%), Damanik, VIP Santryawan (2017) dalam gambaran kejadian dispepsia pada pasien rematik yang mengonsumsi OAINS di RSUD Dr. Pirngadi Medan, didapati sebanyak 45 pasien (56,3%) menderita dispepsia dan 251 orang pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan EGD di Klinik Utama Nehemia periode Januari-Desember tahun 2018 (Sihite, Sastro M. W, 2019).

Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30%

orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Menurut Listyanti (2012), sesuai dengan tahap perkembangannya, mahasiswa berada dalam tahap dewasa awal. Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan tingginya angka dispepsia pada mahasiswa di Kota Medan, antara lain, Nasution et al., (2016) dalam hubungan pola makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara tahun 2015, sebanyak 64 mahasiwa mengalami kejadian sindrom dispepsia. Pakpahan (2016) dalam pola makan dan sindrom dispepsia pada anak kost di Lingkungan IX Kelurahan Medan Selayang, dengan populasi pada penelitian merupakan semua mahasiswa yang berstatus anak kost, sebanyak 51 (65,4%) mahasiswa menderita sindrom dispepsia.

Marbun (2018) dalam hubungan tingkat stres dengan sindroma dispepsia fungsional pada mahasiswa Universitas HKBP Nommensen tahun 2018, sebanyak 39 (39%) mahasiswa menderita dispepsia fungsional. Ridho (2019) dalam gambaran kejadian dispepsia fungsional pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, sebanyak 53 mahasiswa yang terdiagnosa dispepsia fungsional.

Sihombing (2021) dalam hubungan kejadian dispepsia fungsional dengan gangguan tidur pada mahasiswa FK USU didapati sebanyak 25 (33,8%) mahasiswa mengalami dispepsia fungsional.

Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang merupakan kumpulan beberapa gejala seperti rasa tidak nyaman pada saluran pencernaan bagian atas yang bisa dirasakan dalam waktu tertentu oleh seseorang terutama di bagian epigastrium (perut bagian atas), serta terdapat rasa mual, muntah, cepat kenyang, sendawa, perut kembung dan perut terasa penuh (Djojoningrat, 2014). Hal ini sejalan dengan penelitian Pakpahan (2016) pada 51

(18)

3 mahasiswa yang mengalami dispepsia disertai sakit/tidak enak di ulu hati/bagian perut (39,7%), rasa panas/terbakar yang nyaman/nyeri di dada (12,8%), cepat kenyang atau tidak sanggup menghabiskan makan dengan porsi normal/biasa (33,3%), dan mual (14,1%) selama tiga bulan terakhir.

Sindrom dispepsia merupakan keluhan gastrointestinal yang sangat umum di semua kalangan termasuk mahasiswa (Ikhsan et al, 2020). Data mengenai prevalensi dispepsia sangat beragam pada berbagai populasi dan dapat terjadi pada berbagai rentang umur, jenis kelamin, suku, kondisi sosio-ekonomi dan kini menjadi kasus penyakit yang diprediksi akan meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pola makan dan karakteristik individu pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah terdapat Hubungan Pola Makan dan Karakteristik Individu Terhadap Sindrom Dispepsia Pada Mahasiswa Angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara?”.

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara pola makan dan karakteristik individu terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran tentang karakteristik individu (jenis kelamin, usia, tempat tinggal, dan penggunaan obat OAINS) pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

(19)

4 2. Untuk mengetahui gambaran tentang pola makan (keteraturan makan, dan makanan dan minuman iritatif) pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

3. Untuk mengetahui gambaran tentang sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

4. Untuk mengetahui hubungan karakteristik individu (jenis kelamin, usia, tempat tinggal, dan penggunaan obat OAINS) terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

5. Untuk mengetahui hubungan pola makan (keteraturan makan, dan makanan dan minuman iritatif) terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

1.4 HIPOTESIS PENELITIAN

1. Terdapat hubungan antara jenis kelamin terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

2. Terdapat hubungan antara usia terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

3. Terdapat hubungan antara tempat tinggal terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

4. Terdapat hubungan antara penggunaan obat OAINS terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

5. Terdapat hubungan antara keteraturan makan terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

(20)

5 6. Terdapat hubungan antara makanan dan minuman iritatif terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan 2020.

1.5 MANFAAT PENELITIAN 1.5.1 Bagi Pendidikan

Sebagai sarana peningkatan ilmu pengetahuan mengenai pola makan, karakteristik individu, dan sindrom dispepsia serta hubungan antara pola makan dan karakteristik individu terhadap sindrom dispepsia.

1.5.2 Bagi Mahasiswa

Sebagai sumber pengetahuan dan referensi mengenai pola makan yang baik untuk mencegah terjadinya sindrom dispepsia.

1.5.3 Bagi Peneliti Lainnya

Sebagai salah satu sumber referensi untuk penelitian berikutnya yang berhubungan dengan pola makan, karakteristik individu, dan sindrom dispepsia serta hubungan antara pola makan dan karakteristik individu terhadap sindrom dispepsia.

(21)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DISPEPSIA

2.1.1 Pengertian

Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani, “dys” yang berarti jelek atau buruk dan “pepsia” yang berarti pencernaan. Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion atau kesulitan dalam mencerna (Djojoningrat, 2014). Istilah dispepsia mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 80-an. Dalam Konsensus Roma II tahun 2000, disepakati bahwa dispepsia merupakan rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas. Menurut Tarigan (2014), dispepsia merupakan suatu kumpulan gejala dari berbagai penyakit pada saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri pada ulu hati, sendawa, rasa seperti terbakar, rasa penuh pada ulu hati dan cepat merasa kenyang. British Society of Gastroenterology (BSG) mendefinisikan dispepsia sebagai sekelompok gejala yang mengingatkan dokter untuk mempertimbangkan penyakit pada saluran gastrointestinal bagian atas, dan menyatakan bahwa dispepsia itu sendiri bukanlah diagnosis (Purnamasari, 2017).

2.1.2 Epidemiologi

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) kasus dispepsia didunia mencapai 13-40% dari total populasi setiap tahun. Diperkirakan sekitar 15- 40% populasi di dunia memiliki keluhan dispepsia kronis atau berulang, sepertiganya merupakan dispepsia organik (struktural) (Purnamasari, 2017). Di Asia, prevalensi penderita dispepsia berkisar 8-30%. Dispepsia berada pada peringkat ke-10 dengan proporsi 1,5% untuk kategori 10 jenis penyakit terbesar pada pasien rawat jalan di seluruh rumah sakit di Indonesia (Suryanti, 2019).

Prevalensi pasien dispepsia Indonesia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi (Marcellus et al, 2014). Pada populasi umum didapatkan bahwa 15-30% orang

(22)

7 dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Data dispepsia di Kota Medan, terdapat 52 pasien di RSUP Haji Adam Malik Medan (Siregar, 2017), 45 pasien di RSUD Dr. Pirngadi Medan, dan 251 pasien yang menjalani pemeriksaan EGD di Klinik Utama Nehemia periode Januari-Desember tahun 2018 (Sihite, Sastro M.W, 2019).

2.1.3 Etiologi

Tabel 2.1 Etiologi dispepsia.

Etiologi Dispepsia Kelainan struktural pada esophagus

gastroduodenal

Ulkus peptikum, ulkus duodenum, esophagitis refluks, adenokarsinoma lambung, gastritis NSAID, keganasan.

Psikologis

Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat.

Penyakit Sistemik

Gastroparesis, diabetes melitus, penyakit gagal ginjal, penyakit tiroid, penyakit jantung

koroner/iskemik.

Obat-obatan Teofilin, antikolinergik, beta adrenergik, nitrat, calcium-channel blocker.

Non-organik atau fungsional Cokelat, makanan berlemak, kopi, alkohol, rokok (nikotin)

2.1.4 Klasifikasi 1. Dispepsia Organik

Pada dispepsia organik terdapat penyebab yang mendasari, seperti penyakit ulkus peptikum (PUD/Peptic Ulcer Disease), (GERD/Gastroesophageal Reflux Disease), kanker lambung, infeksi Helicobacter pylori, pankreatitis kronik, penyakit kandung empedu, malabsorpsi karbohidrat (laktosa, sorbitol, fruktosa), obat non-steroid anti-inflammatory drugs (NSAID), iskemia usus, atau tumor abdomen. Bila ada alarm symptoms seperti penurunan berat badan, timbulnya anemia, melena, muntah yang prominen, maka merupakan petunjuk awal akan kemungkinan adanya terjadi dispepsia penyebab organik yang membutuhkan dilakukannya pemeriksaan penunjang diagnostik secara lebih intensif seperti pemeriksaan endoskopi dan sebagainya (Bestari et al, 2020).

(23)

8 2. Dispepsia fungsional

Konsensus Roma III (tahun 2006), yang khusus membicarakan tentang kelainan gastrointestinal fungsional, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai:

a. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, rasa cepat kenyang, nyeri ulu hati/epigastrik dan rasa terbakar (hurtburn) di epigastrium.

b. Tidak adanya bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menjelaskan penyebab keluhan tersebut.

c. Keluhan-keluhan ini dapat terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan (Bestari et al, 2020).

Dalam usaha untuk mencoba kearah praktis pengobatan, dispepsia fungsional ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Dispepsia tipe seperti ulkus, dimana yang lebih dominan adalah nyeri epigastrik.

2. Dispepsia tipe seperti dismotilitas, dimana yang lebih dominan adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang.

3. Dispepsia tipe non-spesifik, dimana tidak ada keluhan yang dominan (Djojoningrat, 2015).

2.1.5 Patofisologi

Berbagai hipotesis mekanisme telah diajukan untuk menerangkan patogenesis terjadinya gangguan dispepsia. Proses patofisiologik yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah:

1. Peranan gangguan motilitas gastroduodenal

Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung dalam menerima makanan (impaired gastric accommodation), inkoordinasi antroduodenal, dan perlambatan pengosongan lambung. Gangguan

(24)

9 motilitas gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan begah setelah makan, yang dapat berupa distensi abdomen, kembung, dan rasa penuh (Marcellus et al, 2014). Pada 23% kasus menyebutkan bahwa pada sindrom dispepsia, terutama dispepsia fungsional, terjadi pengosongan lambung yang lebih lama dan berkorelasi dengan adanya keluhan mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati sedangkan pada 40% kasus lainnya ditemukan gangguan akomodasi lambung waktu makan yang berhubungan dengan rasa cepat kenyang dan penurunan berat badan (Djojoningrat, 2014).

2. Peranan hipersensitivitas viseral

Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal lambung bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia (Marcellus et al, 2014).

3. Peranan faktor psikososial

Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan tingkat keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas berperan pada terjadinya dispepsia fungsional (Marcellus et al, 2014).

Menurut Djojoningrat (2014), terdapat penurunan kontraklitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral.

4. Peranan asam lambung

Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia fungsional. Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam dari beberapa penelitian pasien dispepsia fungsional. Data penelitian mengenai sekresi asam lambung masih kurang, dan laporan di Asia masih kontroversial (Marcellus et al, 2014).

(25)

10 5. Peranan infeksi Helicobacter pylori

Prevalensi infeksi Helicobacter pylori pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39% sampai 87%. Hubungan infeksi Helicobacter pylori dengan ganggguan motilitas tidak konsisten namun eradikasi Helicobacter pylori memperbaiki gejala-gejala dispepsia fungsional (Marcellus et al, 2014).

6. Faktor dietetik

Pada kasus sindrom dispepsia terjadi perubahan pola makan, seperti hanya mampu porsi kecil dan intolerasi terhadap porsi besar, terutama makanan berlemak (Djojoningrat, 2014).

7. Ambang rasa persepsi

Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik dan nociceptor. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap disentri balon di gaster atau duodenum. Namun, mekanismenya masih belum dipahami. Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik didapatkan hasil bahwa 50% populasi dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau tidak nyaman diperut pada inflasi balon dengan volume yang lebih rendah dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi kontrol (Djojoningrat, 2015).

8. Disfungsi autonomi

Disfungsi persyarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang (Djojoningrat, 2015).

(26)

11 9. Aktivitas mioelektrik lambung

Adanya disaritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi berupa tachygastria, bradygastria pada lebih kurang 40% kasus dispepsia fungsional, tapi hal ini bersifat inkonsisten (Djojoningrat, 2015).

10. Hormonal

Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis dispepsia fungsional.

Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal (Djojoningrat, 2014).

2.1.6 Faktor Risiko

Banyak hal-hal yang menjadi faktor penyebab timbulnya dispepsia.

Faktor-faktor tersebut terbagi atas faktor internal dan eksternal.

a) Faktor Internal

Menurut Djojoningrat (2014), faktor internal yang dapat mempengaruhi timbulnya gejala dispepsia meliputi:

1) Faktor Jenis Kelamin

Beberapa penelitian menunjukkan perbandingan prevalensi penderita dispepsia wanita lebih banyak dari pada laki-laki yaitu sebesar 4:1 (Abdeljawad et al, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Suryanti (2019) dalam karakteristik penderita dispepsia pada kunjungan rawat jalan praktek pribadi Dr. Suryanti periode bulan Oktober-Desember 2018 menunjukkan sebanyak 27(58,7%) orang berjenis kelamin wanita dan 19(41,3%) orang berjenis kelamin pria. Menurut Djojoningrat (2009), bahwa faktor hormonal dapat dipertimbangkan menjadi faktor risiko. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.

(27)

12 2) Faktor Usia

Usia produktif lebih sering terkena penyakit karena adanya gangguan ketidakseimbangan metabolisme. Pertambahan usia sering kali mengakibatkan gangguan kesehatan tubuh, termasuk sistem pencernaan yang diantaranya diare, konstipasi, termasuk juga dispepsia.

3) Faktor Genetik

Terdapat single – nucleotide polymorphism pada alel 825T dari gen second messenger GNB3, yang turut mendukung adanya hipersensitifitas viseral yang pada akhirnya dapat memicu dispepsia fungsional.

4) Faktor Hormonal

Faktor hormonal dalam penyebab terjadinya dispepsia masih belum jelas diketahui dan membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Beberapa riset yang telah ada sebelumnya mengemukakan bahwa penurunan motilin dapat menyebabkan gangguan motilitas lambung dan duodenum, progesteron, estradiol dan prolaktin memiliki pengaruh terhadap kontraktilitas otot polos di lambung. Kolesistokinin dan sekretin diketahui juga memiliki pengaruh terhadap dispepsia fungsional (Djojoningrat, 2014).

5) Faktor Stres

Corticotropin releasing hormone (CRH) sebagai mediator utama dari respon stres pada brain-gut axis dapat meningkatkan permeabilitas usus sehingga memicu terjadinya dispepsia fungsional. Selain itu, serotonin dan serotonin transporter, yang membantu modulasi dari perasaan dan perilaku seperti ansietas dan depresi, dapat dihubungkan dengan fungsi otak-usus pada gangguan pencernaan fungsional.

b) Faktor Eksternal

Menurut Djojoningrat (2014), faktor eksternal yang dapat mempengaruhi timbulnya gejala dispepsia, yaitu:

(28)

13 1) Faktor Makanan

Makanan dengan porsi besar cenderung meningkatkan produksi asam lambung, memperlambat pengosongan lambung, dan meningkatkan risiko refluks.

Makanan tinggi lemak, coklat, dan lain-lain dapat menurunkan tekanan LES.

Lemak adalah perangsang paling kuat untuk menghambat motilitas lambung.

Lemak dicerna dan diserap lebih lambat dari pada nutrien lain. Pencernaan dan penyerapan lemak berlangsung hanya di dalam lumen usus halus. Oleh karena itu, ketika lemak sudah ada di duodenum, pengosongan lambung lebih lanjut ke dalam duodenum terhenti sampai usus halus selesai memproses lemak yang ada di dalamnya. Proses pencernaan ini membuat katup antara lambung dengan kerongkongan (lower esophageal sphincter/LES) melemah sehingga asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan.

Makan makanan pedas berlebihan akan merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus yang berkontraksi. Hal ini akan menimbulkan rasa panas dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Bila kebiasaan mengonsumsi makanan lebih dari satu kali dalam seminggu selama minimal enam bulan dibiarkan terus menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung.

Makanan asam juga dapat menjadi pemicu sindrom dispepsia. Sherwood (2011) mengatakan bahwa asam dapat memperlambat pengsosongan lambung.

Sebelum memasuki duodenum, kimus yang bersifat asam akan dinetralisasi oleh natrium bikarbonat (NaHCO3). Jika proses netralisasi belum selesai maka kimus asam akan berada di dalam lambung.

2) Faktor Minuman

Mekanisme minuman yang menyebabkan terjadinya dispepsia diakibatkan oleh pelenturan pada LES (katup antara lambung dan kerongkongan) yang menyebabkan terjadinya refluks atau berbaliknya asam lambung ke kerongkongan.

(29)

14 Beberapa minuman yang harus dihindari antara lain minuman berkarbonat, kopi caffeinated dan decaffeinated, teh, cokelat dan alkohol.

3) Faktor Obat-Obatan

Sejumlah obat yang dapat mempengaruhi gangguan epigastrium, mual, muntah dan nyeri di ulu hati. Misalnya golongan NSAID, seperti aspirin, ibuprofen, dan naproxen, steroid, teofilin, digitalis, dan antibiotik

2.1.7 Gambaran Klinis

Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/kualitasnya pada setiap pasien, maka banyak disarankan untuk mengklasifikasi dispepsia fungsional menjadi beberapa subgrup didasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.

a. Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia).

b. Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismolitas (dismolity like dyspepsia).

c. Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non-spesifik.

Perlu ditekankan bahwa pengelompokan tersebut hanya untuk mempermudah diperoleh gambaran klinis pasien yang kita hadapi serta pemilihan alternatif pengobatan awalnya.

2.1.8 Diagnosis Banding 1. Penyakit Saluran Cerna:

a) Saluran cerna atas: GERD, functional heartburn, mual idiopatik.

b) Saluran cerna bawah: irritable bowel syndrome.

(30)

15 2. Penyakit Non-Saluran Cerna:

a) Penyakit jantung seperti: iskemia, atrial fibrilasi.

b) Sindrom nyeri somatik: fibromyalgia, chronic fatigue syndrome, interstitial cystitis/ bladder pain syndrome, dan overactive bladder.

2.1.9 Diagnosis A. Diagnosis Dispepsia

Kriteria Diagnostik Roma III untuk Dispepsia Fungsional.

Dispepsia Fungsional

Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:

1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu 2. Rasa cepat kenyang

3. Nyeri epigastrium

4. Rasa terbakar di epigastrium

5. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran cerna bagian atas) yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.

Kriteria gejala dialami selama minimal 3 bulan, dengan lama gejala minimal 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria Diagnostik Roma III untuk Klasifikasi Dispepsia Fungsional Dispepsia Fungsional

a. Postprandial Distres Syndrome

Kriteria diagnostik tepenuhi bila 2 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.

2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.

(31)

16 Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala diatas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

b. Epigastric Pain Syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Nyeri/rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu.

2. Nyeri dirasakan berulang.

3. Tidak menjalar atau terlokalisasi didaerah perut atau dada selain daerah perut bagian atas/epigastrium.

4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin.

5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan sfingter oddi.

Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang:

1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal.

2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat puasa.

3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distress setelah makan.

(32)

17 Gambar 2.1 Alur diagnosis dispepsia belum diinvestigasi.

Evaluasi tanda bahaya pada pasien-pasien yang datang dengan keluhan dispepsia, antara lain:

Penurunan berat badan (unintended)

• Disfagia progresif

• Muntah rekuren atau persisten

• Perdarahan saluran cerna

• Anemia

• Demam

• Massa daerah abdomen bagian atas

• Riwayat keluarga kanker lambung

• Dispepsia awitan baru pada pasien >45 tahun

Apabila pasien datang dengan keluhan seperti di atas, maka harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi (Marcellus et al, 2014).

B. Diagnosis infeksi Helicobacter pylori

Tes diagnosis infeksi Helicobacter pylori dapat dilakukan secara langsung melalui endoskopi, yaitu rapid urease test, histologi, kultur dan PCR. Secara tidak langsung tanpa endoskopi, yaitu urea breath test, stool test, urine test, dan serologi.

Urea breath test saat ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan Helicobacter pylori, salah satu urea breath test yang ada antara lain CO2 breath analyzer. Syarat untuk melakukan pemeriksaan Helicobacter pylori, yaitu harus bebas antibiotik dan PPI (proton-pump inhibitor) selama 2 minggu. Terdapat

(33)

18 beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan, antara lain situasi klinis, prevalensi infeksi, prevalensi infeksi dalam populasi, probabilitas infeksi prates, perbedaan dalam performa tes, dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil tes, seperti penggunaan terapi antisekretorik dan antibiotik (Marcellus et al, 2014).

Tabel 2.2 Tes Diagnostik Helicobacter pylori.

Tes Sensitivitas Spesifisitas Keterangan Dengan Endoskopi

Rapid Urease

Test >98% 99%

•Cepat dan murah

•Sensitivitas pascaterapi berkurang

•Sampel diambil dari antrum

Histologi >95% >95%

•Deteksi meningkat dengan pewarnaan khusus (Warthin- Starry/hemaktoksilin-eosin/

Giemsa)

•Sampel diambil dari antrum dan korpus

Kultur

•Sangat spesifik, sensitivitas buruk bila media transportasi tidak tersedia

•Dibutuhkan pengalaman

•Mahal, sering tidak tersedia

•Sampel diambil dari antrum dan korpus

•Media yang digunakan antara lain Sparrow

PCR

•Sensitif dan spesifik

•Tidak terstandarisasi

•Sampel diambil dari antrum dan korpus

•Terhitung eksperimental Tanpa Endoskopi

Serologi ELISA 85-92% 79-83%

•Kurang akurat dan tidak menggambarkan infeksi aktif

•Prediktor infeksi yang handal di negara berkembang dengan prevalensi tinggi

• Tidak direkomendasikan setelah terapi

• Murah dan tersedia

(34)

19 C urea breath test

(UBT) misal: CO2 breath analyze

95% 96%

•Direkomendasikan untuk diagnosis Helicobacter pylori sebelum terapi

•Tes terpilih untuk konfirmasi eradikasi

•Pasien tidak boleh mengkonsumsi PPI dan antibiotik selama 2 minggu sebelum pemeriksaan dilakukan

•Ketersediaan bervariasi

Antigen Feses 95% 94%

Tidak sering digunakan meskipun sensitivitas dan spesifitas tinggi, sebelum dan sesudah terapi

Serologi finger-

stick

Sangat buruk dan tidak dapat menyamai serologi ELISA Antibodi di urin:

Saat ini urine test belum tersedia di Indonesia

•Rapid Urine Test 73,2-82% 78,6-90,7%

•Urine-based

ELISA 74,4-90% 68-81%

ELISA: enzyme-linked immunosorbent assay, PCR: polymerase chain reaction, PPI: proton-pump inhibitor.

2.1.10 Tatalaksana A. Medikamentosa

1. Dispepsia Organik

a. Gastroesophageal Reflux Disease/GERD

Terapi pilihan: PPI atau H2-Blocker dapat didukung dengan pemberian antasida, agonis 5-HT4 atau analog prostaglandin (sukralfat, misoprostol).

Tujuan: mengurangi jumlah asam lambung yang memasuki esophagus distal dengan cara menetralkan asam lambung, mengurangi produksi, dan meningkatkan pengosongan lambung ke duodenum, serta menghilangkan ketidaknyamanan akibat rasa terbakar.

(35)

20 b. Ulkus Peptikum terkait NSAID

Terapi: PPI

Tujuan: menghentikan penggunaan NSAID atau mengganti dengan anti nyeri inhibitor COX-2 selektif. Untuk ulkus peptikum berat dapat dengan infus kontinu PPI selama 72 jam agar pH lambung >6 (Punamasari, 2017).

c. Infeksi Helicobacter pylori

Tabel 2.3 Tatalaksana infeksi Helicobacter pylori.

Obat Dosis Durasi

Lini Pertama:

PPI 2×1

7-14 hari

Amoksisilin 1000 mg (2×1)

Klaritromisin 500 mg (2×1)

Di daerah yang diketahui resistensi klaritromisin >20%

PPI 2×1

7-14 hari Bismut subsalisilat 2×1 Tablet

Metronidazole 500 mg (3×1)

Tetrasiklin 250 mg (4×1)

Jika bismut tidak ada

PPI 2 × 1

7-14 hari

Amoksisilin 1000 mg (2×1)

Klaritromisin 500 mg (2×1)

Metronidazole 500 mg (3×1)

Lini kedua: golongan obat ini dipakai bila gagal dengan rejimen yang mengandung klaritromisin

PPI 2 × 1

7-14 hari Bismut subsalisilat 2×2 tablet

Metronidazole 500 mg (3×1)

Tetrasiklin 250 mg (4×1)

PPI 2 × 1

7-14 hari

Amoksisilin 1000 mg (2×1)

Levoflosasin 500 mg (2×1)

Lini ketiga: jika gagal dengan rejimen lini kedua. Bila memungkinkan, pilihan ditentukan berdasarkan uji resistensi dan/atau perubahan klinis

PPI 2 × 1

7-14 hari

Amoksisilin 1000 mg (2×1)

Levoflosasin 500 mg (2×1)

Rifabutin

Keterangan:

PPI yang digunakan antara lain: rabeprazole 20 mg, lanzoprazole 30 mg, omeprazole 20 mg, pantoprazole 40 mg, esomeprazole 40 mg.

(36)

21 Catatan: terapi sekuensial (dapat diberikan sebagai lini pertama apabila tidak ada data resistensi klaritromisin): PPI + amoxicilin selama 5 hari diikuti PPI + klaritromisin dan nitromidazole (tinidazole) selama 5 hari.

Pada daerah yang terdapat resistensi klaritromisin tinggi, disarankan untuk melakukan kultur dan tes resistensi atau melalui sampel endoskopi sebelum memberikan terapi. Tes molekular juga dapat dilakukan untuk mendeteksi Helicobacter pylori dan resistensi klaritromisin dan/atau fluorokuinolon secara langsung melalui biopsi lambung.

Setelah dilakukan terapi eradikasi, dilanjutkan pemeriksaan konfirmasi dengan menggunakan UBT atau Helicobacter pylori stool antigen monoclonal test.

Pemeriksaan dapat dilakukan dalam waktu paling tidak empat minggu setelah akhir dari terapi yang diberikan. Untuk HpSA, ada kemungkinan hasil false positive (Marcellus et al, 2014).

2. Dispepsia Fungsional

a. Subtipe nyeri (nyeri epigastrium)

Lini kertama: H2-Blocker, PPI. Obat lini pertama bertujuan untuk menekan asam lambung.

Lini kedua: prokinetik. Penggunaan obat lini kedua apabila obat pada lini pertama gagal.

b. Distress postprandial

Lini pertama: prokinetik, yaitu metoklopramid/domperidon (antagonis dopamine), acotiamide (inhibitor asetikolinesterase), cisapride (antagonis serotonin tipe 3/5HT3), tegaserod (agonis 5HT4).

Lini kedua: PPI.

Apabila untuk beberapa obat tersebut tidak berespon, maka dapat digunakan antidepresan trisiklik selama 8-12 minggu, yaitu: amitriptilin 50 mg/hari, nortriptilin 10 mg/hari, imipramin 50 mg/hari (Punamasari, 2017).

(37)

22 B. Terapi

1. Pendekatan Umum

Luasnya lingkup manajeman pada kasus dispepsia fungsional menggambarkan bahwa adanya ketidakpastian dalam patogenesisnya. Sekitar 45%

terdapat respon placebo sehingga mempersulit mencari regimen pengobatan yang lebih pasti. Penjelasan dan reassurance kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang dialami. Penegakan diagnosis klinik dan evaluasi terhadap penyakit serius atau fatal yang dapat mengancam dan latar belakang faktor biologis.

2. Dietetik

Memberi penjelasan untuk menghindari faktor pencetus serangan merupakan pegangan yang lebih bermanfaat. Faktor pencetus dapat berupa stres/kecemasan dan juga dari makanan. Makanan yang dapat memicu seperti makanan pedas, asam, tinggi lemak, dan kopi.

3. Psikoterapi

Dalam beberapa studi terbatas, behavioral terapi memperlihatkan manfaat pada kasus dispepsia fungsional.

2.2 POLA MAKAN

Pengertian makanan menurut Mardalena (2016), adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan unsur-unsur atau ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh, yang berguna bila dimasukkan ke dalam tubuh. Pola makan adalah kebiasaan makanan, cara orang atau sekelompok orang memilih pangan dan memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, budaya dan sosial (Harjatmo et al, 2017). Pola makan memberikan gambaran berupa informasi macam dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari oleh seseorang dan merupakan ciri khas suatu kelompok masyarakat tertentu (Sulistyoningsih, 2011). Pada suatu kelompok budaya, kebiasaan menciptakan pola

(38)

23 makan yang baik, tetapi tidak jarang menciptakan kebiasaan yang bertentangan dengan prinsip gizi (Harjatmo et al, 2017).

Menurut Almatsier (2011), pola makan yang baik terdiri dari makanan sumber energi, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur. Semua zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta perkembangan otak dan produktifitas kerja yang sebaiknya dimakan dalam jumlah cukup sesuai kebutuhan. Pola makan yang seimbang dan aman setiap hari berguna untuk mencapai dan mempertahankan status gizi dan kesehatan yang optimal.

 Komponen Pola Makan

Menurut Sulistyoningsih (2011), komponen pola makan terbagi atas tiga bagian, yaitu:

1. Jenis Makanan

Jenis makanan adalah variasi makanan yang terdiri dari makanan utama, lauk hewani dan nabati, sayur dan buah (Almatsier, 2011). Makanan berdasarkan jenisnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu makanan utama dan makanan selingan. Menurut Djaeni (2009), makanan utama merupakan makanan yang biasa dikonsumsi seseorang berupa makan pagi, makan siang, dan makan malam yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur buah, dan minuman. Sementara makan selingan adalah makanan ringan atau snack yang biasa dikonsumsi di sela-sela makan utama.

2. Frekuensi Makan

Frekuensi makan merupakan seringnya seseorang melakukan kegiatan makan dalam sehari yang terdiri atas makanan utama maupun makanan selingan.

Frekuensi makan orang Indonesia pada umumnya adalah tiga kali makan utama (nasi, lauk hewani, lauk nabati, buah dan sayur) dan dua kali makan selingan (camilan). Faktor frekuensi makan seseorang sangat berhubungan dengan pengisian dan pengosongan lambung. Pola makan yang tidak teratur akan meningkatkan asam

(39)

24 lambung, produksi HCL yang berlebihan dapat menyebabkan gesekan pada dinding lambung dan usus halus sehingga timbul nyeri epigastrium.

3. Jumlah Makanan

Jumlah atau porsi makanan merupakan suatu ukuran atau takaran yang dikonsumsi pada tiap kali makan. Untuk dapat menentukannya, digunakan rumus 20% untuk makan pagi, 15% untuk selingan pagi, 25% untuk makan siang, 15%

untuk selingan sore dan 25% untuk makan sore. Makanan pokok dapat disajikan satu jenis saja, namun tidak dapat disajikan hingga beberapa jenis. Lauk pauk dikonsumsi 3-4 porsi per harinya. Kebutuhan sayuran adalah 3-4 porsi setiap hari dengan jumlah sayur minimal 1 porsi atau 100gram setiap orang. Buah-buahan mempunyai padanan porsi yang berbeda karena sangat tergantung dengan gula dan lemak yang terkandung didalamnya. Kebutuhan buah dalam satu hari adalah 2-3 porsi, dengan demikian setiap kali waktu makan harus terdapat minimal satu porsi buah. Penggunaan gula, garam dan minyak harus dibatasi. Dalam pedoman gizi seimbang gula dapat dikonsumsi maksimal empat sendok makan (sdm) dalam satu hari atau setara dengan 50 gram. Anjuran penggunaan garam pada pengolahan makanan dalam satu hari sebanyak 5gram atau setara dengan satu sendok teh. Untuk penggunaan minyak dibatasi pada satu orang setiap hari setara dengan lima sendok makan.

2.3 KARAKTERISTIK INDIVIDU

Karakteristik individu terdiri atas dua kata, yaitu karakteristik dan individu. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008), karakteristik adalah mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu, dan individu didefinisikan orang seorang; pribadi orang (terpisah dari yang lain). Pengertian karakteristik menurut Boeree (2008), adalah ciri khas seseorang dalam meyakini, bertindak ataupun merasakan. Karakteristik menurut Notoatmodjo (2012) digolongkan ke dalam tiga kelompok yaitu:

1. Ciri-ciri demografi, yaitu jenis kelamin dan umur.

(40)

25 2. Struktur sosial, yaitu tingkat pendidikan, status pekerjaan, kesukaan atau ras, dan sebagainya.

3. Manfaat-manfaat kesehatan yaitu keyakinan bahwa pelayanan kesehatan dapat menolong proses penyembuhan penyakit.

2.4 MAHASISWA

Pengertian mahasiswa menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi adalah peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi. Kamus Bahasa Indonesia (2008), mahasiswa didefinisikan sebagai orang yang belajar (pelajar) di perguruan tinggi. Menurut Hartaji (2012), mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Dalam Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja oleh Yusuf (2012) dikatakan bahwa seorang mahasiswa dikategorikan pada tahap perkembangan yang usianya 18 sampai 25 tahun. Pada tahap ini dapat digolongkan masa remaja akhir sampai dewasa awal dan dilihat dari segi perkembanan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa ini ialah pamantapan pendirian hidup.

(41)

26 2.5 KERANGKA TEORI

Gambar 2.2 Kerangka teori.

Sindrom Dispepsia

Klasifikasi

Diagnosis Banding

1. Penyakit Saluran Pencernaan 2. Penyakit Non-Saluran Pencernaan Faktor Risiko

Internal

1. Jenis Kelamin 2. Usia

3. Genetik 4. Hormonal 5.Stres

Eksternal 1. Makanan 2. Minuman 3. Obat-Obatan 4. Lingkungan 1. Dispepsia Organik

2. Dipepsia Fungsional

Tatalaksana

1. Medikamentosa 2. Terapi

(42)

27 2.6 KERANGKA KONSEP

Gambar 2.3 Kerangka konsep.

Sindrom Dispepsia Karakteristik Individu

1. Jenis Kelamin 2. Usia

3. Tempat Tinggal

4. Penggunaan Obat OAINS Variabel Independen

Variabel Dependen

Gejala:

1. Rasa penuh 2. Rasa kembung 3. Rasa cepat kenyang 4. Mual

5. Sendawa

6. Nyeri epigastrium/Ulu hati 7. Rasa terbakar

8. Sakit perut Pola Makan

1. Keteraturan Makan

2. Makanan dan Minuman Iritatif

(43)

28 BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian analitik observasional dengan pendekatan studi cross sectional (studi potong lintang) yang merupakan studi penelitian yang mempelajari korelasi antara paparan atau faktor risiko (independen) dengan akibat atau efek (dependen), dengan pengumpulan data dilakukan bersamaan secara serentak dalam satu waktu antara faktor risiko dengan efeknya (point time approach) (Masturoh, 2018). Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan antara pola makan dan karakteristik individu terhadap sindrom dispepsia.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga September 2021.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh mahasiswa aktif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019 dan angkatan 2020 dengan total populasi sebanyak 515 orang.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah subset (bagian) populasi yang diteliti (Sastroasmoro, 2017).

Sampling atau teknik pengambilan sampel merupakan proses penyeleksian jumlah populasi untuk dapat mewakili populasi (Notoatmodjo, 2017). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah Stratified random sampling, dengan menggunakan rumus Slovin.

(44)

29

𝑛 = 𝑁 1 + 𝑁𝑒 ²

Keterangan:

N : Populasi

n : Besaran Sampel

e : Ketepatan absolut yang dikehendaki (5%) 𝑛 = 515

1 + 515 × ( 0,05 )² n = 225,13 = 225 orang

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka diperoleh jumlah responden sebanyak 225 orang.

Untuk menentukan besarnya subjek pada setiap kelas dilakukan dengan alokasi proporsional agar subjek yang diambil lebih proporsional dengan cara:

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑒𝑠𝑝𝑜𝑛𝑑𝑒𝑛

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 × 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙

Jumlah mahasiswa angkatan 2019 = 251 orang 225

515 × 251

= 109,66 = 110 orang

Jumlah mahasiswa angkatan 2020 = 264 orang 225

515 × 264

= 115,33 = 115 orang

(45)

30 Kriteria inklusi dalam penelitian adalah:

1. Mahasiswa yang terdaftar sebagai mahasiswa aktif Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan tahun 2019 dan tahun 2020 (minimal masa pembelajaran tiga bulan).

2. Mahasiswa yang pernah atau sedang mengalami salah satu gejala, seperti mual, muntah, kembung, nyeri pada ulu hati, sendawa, rasa seperti terbakar, rasa penuh pada ulu hati dan cepat merasa kenyang. Gejala terjadi dalam 3 bulan sebelum kuesioner dibagikan.

3. Mahasiswa yang bersedia menjadi responden dan telah menandatangani informed consent atau lembar persetujuan.

Kriteria ekslusi dalam penelitian adalah:

1. Pernah didiagnosa kelainan gastrointestinal.

2. Terdapat salah satu alarm sign, seperti penurunan berat badan>10%, disfagia progresif, muntah rekuren atau persisten, perdarahan saluran cerna, anemia, demam, massa daerah abdomen bagian atas, riwayat keluarga kanker lambung.

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA 3.4.1 Jenis Pengumpulan Data

Data adalah sesuatu yang belum mempunyai arti bagi penerimanya dan masih memerlukan adanya suatu pengolahan. Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitan ini adalah data primer. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti langsung dari sumber datanya dengan menggunakan angket (kuesioner) (Masturoh, 2018). Peneliti memberikan lembar informed consent melalui google formulir yang disebar melalui media sosial responden (line dan whatsapp). Responden yang telah mengisi kolom bersedia kemudian mengisi identitas responden selama 2 menit. Apabila responden sesuai dengan kriteria inklusi dan eklusi maka responden adalah sampel yang akan diteliti. Selanjutnya responden berpartisipasi dalam penelitian dan diminta untuk mengisi kuesioner

(46)

31 yang dikirim melalui google formulir yang disebar melalui media sosial responden (line dan whatsapp). Estimasi waktu yang diberikan kepada responden untuk mengisi kuesioner yang terdiri dari kuesioner keteraturan makan, kuesioner makanan dan minuman iritatif, dan kusioner sindrom dispepsia dengan total 26 pertanyaan selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya bias.

3.4.2 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner.

Kuesioner pola makan berdasarkan referensi penelitian sebelumnya yang sudah divalidasi, sementara kuesioner dispepsia merupakan suatu ketetapan berdasarkan kriteria Roma III. Kuesioner terdiri atas empat bagian, yaitu kuesioner identitas responden, kuesioner keteraturan makan, kuesioner makanan dan minuman iritatif, dan kuesioner dispepsia.

a. Kuesioner tentang identitas responden, terdiri atas nama, NIM (Nomor Induk Mahasiswa), jenis kelamin, usia, nomor telepon, tempat tinggal, riwayat kelainan gastrointestinal, gejala dispepsia, gejala alarm sign, penggunaan obat OAINS.

1. Jenis kelamin diberikan kode 1 untuk laki-laki dan 2 untuk perempuan.

2. Tempat tinggal reponden dalam waktu tiga bulan terakhir diberi kode 1 untuk tinggal bersama orang tua, dan kode 2 apabila tinggal tidak bersama orang tua.

3. Penggunaan obat OAINS diberi kode 1 apabila menggunakan obat OAINS dan kode 2 apabila tidak menggunakan obat OAINS.

b. Kuesioner tentang keteraturan makan, terdiri atas 11 pertanyaan dengan 4 pilihan dan menggunakan skala likert, a bernilai 3, b bernilai 2, c bernilai 1, dan d bernilai 0. Sehingga skor tertinggi untuk setiap pertanyaan adalah 3 dan skor terendah adalah 1. Skor total untuk seluruh pertanyaan adalah 33, untuk pola makan dinyatakan tidak teratur dengan skor 0-16 dan pola makan yang teratur dengan skor 17-33.

(47)

32 c. Kuesioner makanan dan minuman iritatif, terdiri atas 8 pertanyaan dengan 4 pilihan dan menggunakan skala likert, a bernilai 3, b bernilai 2, c bernilai 1, dan d bernilai 0. Sehingga skor tertinggi untuk setiap pertanyaan adalah 3 dan skor terendah adalah 1. Skor total untuk seluruh pertanyaan adalah 24, untuk makanan dan minuman dikatakan tidak iritatif dengan skor 0-11 dan untuk makanan dan minuman iritatif dengan skor 12-24.

d. Kuesioner Sindrom Dispepsia, terdiri atas 7 pertanyaan dengan pilihan jawaban

“ya” atau “tidak”. Apabila satu jawaban “ya”, maka hasilnya positif mengalami sindrom dispepsia dan apabila seluruh pertanyaan mendapat jawaban “tidak”, maka hasilnya tidak mengalami sindrom dispepsia.

3.5 METODE ANALISIS DATA 3.5.1 Teknik Pengolahan

a. Editing adalah pemeriksaan data yang telah dikumpulkan.

b. Coding adalah kegiatan merubah data dalam bentuk huruf menjadi data dalam bentuk angka/bilangan

c. Entry adalah pemasukan data ke dalam komputer yang telah diberi kode.

d. Cleaning Data adalah pengecekan kembali data yag sudah dientri.

e. Saving adalah data disimpan ke dalam komputer sebelum dianalisa.

f. Analisa data (Masturoh, 2018).

3.5.2 Analisis Data

a. Analisis Univariat

Jenis analisis ini digunakan untuk penelitian satu variabel. Ini dilakukan terhadap penelitian deskriptif, dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil penghitungan statistik tersebut nantinya merupakan dasar dari penghitungan selanjutnya.

(48)

33 b. Analisis Bivariat

Jenis analisis ini digunakan untuk melihat hubungan dua variabel. Kedua variabel tersebut merupakan variabel pokok, yaitu variabel pengaruh (bebas) dan variabel terpengaruh (tidak bebas). Uji statistik yang digunakan adalah chi square.

Uji chi square adalah uji statistik analitik komparatif untuk membandingkan dua variabel kategorik berupa proporsi yang tidak berpasangan.

𝑋2 = Σ(O − E)² 𝐸 Keterangan:

Σ = Chi-Square

O = Observed (nilai yang di observasi) E = Ekspektasi (nilai harapan)

Interpretasi hasil chi square:

a. Apabila p ≤ 0,05 berarti Ho ditolak, artinya ada hubungan yang bermakna.

b. Apabila p > 0,05 berarti Ho diterima, artinya tidak ada hubungan yang bermakna (Halim, 2020).

3.6 DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.1 Definisi operasional.

NO Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Hasil Ukur

1 Usia Waktu yang terlewat sejak

kelahiran Kuesioner Data Numerik Nominal

2 Jenis Kelamin

Perbedaan biologis antara

laki-laki dan perempuan. KTP 1. Laki-laki (1)

2. Perempuan (2) Nominal 3 Tempat

Tinggal

Tempat menetap mahasiswa angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

Kuesioner

1. Bersama orang tua(1) 2. Tidak bersama orang tua(2).

Nominal

4

Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS)

Terapi farmakologi untuk

mengatasi nyeri. Kuesioner

1. Menggunakan obat OAINS (1)

2. Tidak menggunakan obat OAINS (2)

Nominal

(49)

34 5 Pola Makan

Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari oleh mahasiswa angkatan 2019 dan 2020 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Kuesioner

1.Pola makan tidak teratur (0-16)

2. Pola makan teratur (17-33)

Nominal

6

Makanan dan Minuman Iritatif

Makanan dan minuman yang dapat mengiritasi lambung.

Kuesioner 1. Tidak iritatif (0-11)

2. Iritatif (12-24) Nominal

7 Sindrom Dispepsia

Suatu kumpulan gejala dari berbagai penyakit pada saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri pada ulu hati, sendawa, rasa seperti terbakar, rasa penuh pada ulu hati dan cepat merasa kenyang pada mahasiswa angkatan 2019 dan 2020 Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Kuesioner

Dinyatakan dispepsia apabila pernyataan “ya”

terdapat 1 atau lebih.

Dinyatakan tidak, apabila semua pernyataan terdapat

“tidak”.

Nominal

Gambar

Tabel 2.1 Etiologi dispepsia.
Tabel 2.2 Tes Diagnostik Helicobacter pylori.
Tabel 2.3 Tatalaksana infeksi Helicobacter pylori.
Gambar 2.2 Kerangka teori.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dispepsia fungsional dengan kualitas tidur di kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Universitas Sumatera Utara yang melakukan penelitian “ Hubungan Tingkat Dispepsia Fungsional dengan Tingkat Ansietas Menjelang Ujian pada Mahasiswa Fakultas

Dari hasil penelitian ini, populasi penelitian adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara angkatan 2019 yang berjumlah 203 orang.

“Pengaruh Konsumsi Fast Food Terhadap Lingkar Pinggang Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Angkatan 2018 Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara”

Hubungan antara Sindroma Dispepsia dengan Pola Makan dan Jenis Kelamin pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wancana Angkatan 2013.. ACG and

Gambaran Kecanduan Game Online Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2010, 2011, dan 2012.. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas

Pada penelitian ini terdapat hubungan antara jadwal makan dengan sindrom dispepsia pada mahasiswa Preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Wahid Hasyim dengan hasil p 0,003 sedangkan

Hubungan Pola Makan Dan Status Gizi Dengan Keteraturan Menstruasi Pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara Tahun 2017.. Prinsip Dasar Ilmu