• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2018 & 2019 TENTANG FAKTOR RISIKO KANKER NASOFARING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2018 & 2019 TENTANG FAKTOR RISIKO KANKER NASOFARING"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2018 & 2019 TENTANG FAKTOR

RISIKO KANKER NASOFARING

SKRIPSI

OLEH :

VICKY IRVAN RINALDI 170100098

PROGRAM PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

GAMBARAN TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2018 & 2019 TENTANG FAKTOR

RISIKO KANKER NASOFARING

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

VICKY IRVAN RINALDI 170100098

PROGRAM PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkat-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

“Gambaran Tingkat Pengetahuan Mahasiswa FK USU Angkatan 2018 dan 2019 Tentang Faktor Resiko Kanker Nasofaring” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar- besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K) selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Ashri Yudhistira, Sp. THT-KL (K) selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan, dan ilmu kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. dr. Fitriani Lumingga Nasution, Sp. PA selaku dosen ketua penguji yang telah memberikan petunjuk serta nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. Dr. dr. Andrina Yunita M. Rambe, Sp. THT- KL(K) selaku dosen anggota penguji yang telah memberikan petunjuk serta nasihat dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. dr. Dudy Aldiansyah, Sp.OG selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing selama masa studi.

7. Kedua orang tua penulis, Daud Maruarar Nababan dan Timse Tampubolon Amd.Keb yang senantiasa membesarkan penuh dengan kasih sayang, mendidik serta memberikan dukungan penuh kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan dan skripsi.

(5)

8. Kakak dan abang penulis, dr. Desi Cici Fitriyanti dan Rizki Fernando Batubara yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan dan skripsi

9. Saudara Adrian Joshua dan Eqonium Ares yang selalu bersedia membantu penulis dalam memperbaiki dan menyelesaikan skripsi.

10. Teman-teman penulis yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi konten maupun cara penulisannya. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap skirpsi ini dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangsih bagi bangsa dan Negara terutama dalam bidang pendidikan terkhususnya ilmu kedokteran.

Medan, 20 November 2020 Penulis,

Vicky Irvan Rinaldi 170100098

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iii

Daftar Gambar ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Skema ... viii

Daftar Singkatan ... ix

Abstrak ... x

Abstract ... xi

Daftar Singkatan ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Anatomi Nasofaring ... 5

2.2. Histologi Nasofaring ... 7

2.3. Histopatologi ... 7

2.4. Definisi Kanker Nasofaring ... 8

2.5. Etiologi dan Faktor Risiko ... 8

2.5.1. Virus Epstein Barr... 8

2.5.2. Faktor Genetik ... 9

2.5.3. Faktor Lingkungan ... 9

2.6. Epidemiologi ... 10

2.7. Patogenesis ... 11

2.8. Manifestasi Klinis ... 12

2.9. Diagnosis ... 12

2.9.1. Anamnesis ... 13

2.9.2. Pemeriksaan Fisik ... 13

2.9.3. Pemeriksaan Penunjang ... 13

2.9.3.1. Radiologi ... 13

2.9.3.2. Pemeriksaan Serologi ... 14

2.9.3.3. Biopsi ... 14

2.10. Stadium Kanker Nasofaring ... 14

2.11. Tatalaksana ... 15

2.12. Dukungan Nutrisi ... 16

2.13. Edukasi dan Pencegahan ... 17

(7)

2.14. Faktor Risiko ... 17

2.15. Faktor Diet ... 19

2.16. Kerangka Teori ... 19

2.17. Kerangka Konsep ... 19

BAB III. METODE PENELITIAN ... 20

3.1. Jenis Penelitian ... 20

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 20

3.3.1. Populasi Penelitian ... 20

3.3.2. Sampel Penelitian ... 20

3.3.3. Besar Sampel Penelitian ... 20

3.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ... 21

3.4.1. Kriteria Inklusi ... 21

3.4.2. Kriteria Eksklusi ... 21

3.5. Metode Pengumpulan dan Analisis Data ... 21

3.6. Definisi Operasional ... 22

BAB IV. METODE PENELITIAN ... 25

4.1. Hasil Penelitian ... 25

4.2. Pembahasan ... 27

BAB V. METODE PENELITIAN ... 25

5.1. Kesimpulan ... 30

5.2. Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31

LAMPIRAN ... 34

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring ... 5 Gambar 2.2. Anatomi Kelenjar Getah Bening Kepala Leher ... 6

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Stadium Kanker Nasofaring ... 15

Tabel 3.1. Definisi Operasional... 22

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia ... 25

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 25

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi .. 26

Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Angkatan .. 26

Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang Faktor Risiko Nasofaring ... 26

(10)

DAFTAR SKEMA

Halaman Skema 2.1. Kerangka Teori ... 19 Skema 2.2. Kerangka Konsep ... 19

(11)

DAFTAR SINGKATAN

AJCC : American Joint Committee on Cancer ADCC : Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity DNA : Deoxyriboucleic Acid

EBNA : Epstein Barr Nuclear Antigen HLA : Human Leukocyte Agent

IMRT : Intensity- Modulated Radiation Theraphy KGB : Kelenjar Getah bening

KNF : Kanker Nasofaring

MRI : Magnetic Resonansi Imaging TNM : T:Tumor, N:Nodes, M:Metastasis UI : Universitas Indonesia

VEB : Virus Epstein-Barr WHO

: World Health Organization

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 : Pernyataan Orisinalitas

Lampiran 3 : Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian Lampiran 4 : Persetujuan Subjek Penelitian

Lampiran 5 : Persetujuan Setelah Penjelasan Lampiran 6 : Kuesioner

Lampiran 7 : Keterangan dan Validasi Lampiran 8 : Izin Penelitian

Lampiran 9 : Ethical Clearance Lampiran 10 : Data Statistik SPSS

(13)

ABSTRAK

Kanker adalah salah satu penyebab kematian yang paling sering di dunia.

Kanker kepala leher adalah kanker-kanker yang tumbuh di bagian atas klavikula, kecuali kanker otak dan medula spinalis. Menurut American Cancer Society pada tahun 2015, kejadian kanker kepala leher pada tahun 2015 sekitar 67.550 kasus baru atau sekitar 4,07% dari total kasus baru kanker yang ada di Amerika, dari data tersebut sekitar 13.340 kematian yang terjadi atau sekitar 19,74% dari kasus baru yang ada. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2018 dan 2019 tentang Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Penelitian telah dilakukan pada bulan November 2020 pada 133 orang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dengan menggunakan google form.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik responden berdasarkan usia berusia 21-23 tahun sebanyak 79 orang (59,4%). Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin paling banyak adalah perempuan sebanyak 85 orang (64%). Karakteristik responden berdasarkan menyatakan bahwa mayoritas sumber informasi dari pembelajaran kampus sebanyak 55 orang (41%). Berdasarkan pengetahuan paling banyak dalam kategori cukup sebanyak 72 orang (54%).

Kata Kunci : Pengetahuan, faktor resiko, kanker nasofaring

(14)

ABSTRACT

Cancer is one of the most common causes of death in the world. Head and neck cancer are cancers that grow in the top of the clavicle, except for cancers of the brain, brain and spinal cord. According to the American Cancer Society in 2015, the incidence of head and neck cancer in 2015 was about 67,550 new cases or about 4.07% of the total new cancer cases in America, of which 13,340 deaths occurred or about 19.74% of the total. new existing cases. The purpose of this study was to determine the level of knowledge of students of the Faculty of Medicine, University of North Sumatra, batch 2018 and 2019 regarding the risk factors for nasopharyngeal carcinoma.

The research method used is descriptive. The study was conducted in November 2020 on 133 students of the Faculty of Medicine, University of North Sumatra using the google form.

The results showed that respondents based on age 21-23 years were 79 people (59.4%). Based on sex based on sex, the maximum number was 85 people (64%). Category of respondents based on the fact that the source of information from campus learning is 55 people (41%). Based on the knowledge, most were in the moderate category as many as 72 people (54%).

Keywords : Knowledge, risk factors, nasopharyngeal cancer

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Kanker adalah salah satu penyebab kematian yang paling sering di dunia.

Kanker kepala leher adalah kanker-kanker yang tumbuh di bagian atas klavikula, kecuali kanker otak dan medula spinalis. Menurut American Cancer Society pada tahun 2015, kejadian kanker kepala leher pada tahun 2015 sekitar 67.550 kasus baru atau sekitar 4,07% dari total kasus baru kanker yang ada di Amerika, dari data tersebut sekitar 13.340 kematian yang terjadi atau sekitar 19,74% dari kasus baru yang ada. Hampir 60% tumor ganas kepala leher merupakan kanker nasofaring (KNF), diikuti oleh tumor ganas sinonasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase rendah. Kanker nasofaring menduduki urutan keempat dari lima besar tumor ganas tubuh manusia setelah tumor ganas mulut rahim, payudara, dan paru (Roezin, 2014).

Di Indonesia kanker nasofaring menempati urutan ke-3 terbanyak setelah kanker serviks dan kanker payudara. (Indonesia Cancer Profile, 2015). Prevalensi kanker nasofaring Di Indonesia adalah 6,2 per 100.000 penduduk. Namun itu merupakan bagian kecil yang terdokumentasikan. Marlinda, mencatat bahwa kanker nasofaring adalah kanker kepala leher yang paling terjadi (28,4%) dengan rasio pria-wanita adalah 2-3:1, dan endemis pada populasi Jawa (Adham et al, 2012).

Angka kejadian kanker nasofaring di Medan pada tahun 2000 adalah 4,3 per 100.000 penduduk (Adham et al, 2012). Angka kejadian kanker nasofaring berbeda-beda berdasarkan letak geografis dan etnik serta hubungannya dengan virus Epstein-Barr (VEB). Angka kejadian kanker nasofaring akan meningkat pada usia 30 tahun dan mencapai angka tertinggi setelah umur 45-55 tahun (Rahman et al., 2015).

Insiden karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr . Selain itu faktor geografis, rasial,

(16)

jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya karsinoma nasofaring. Keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup juga menjadi salah satu faktor. Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatkan jumlah kasus karsinoma nasofaring (Erfinawati, 2014).

Kanker nasofaring disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya kanker nasofaring ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, dan asap kayu bakar. Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan karsinoma nasofaring (Erfinawati, 2014).

Banyak penelitian mengenai perangai dari virus Epstein Barr ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ganas ini, seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, lingkungan, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit (Erfinawati, 2014).

Pengetahuan merupakan salah satu hal yang sanga penting dalam menunjang dalam pembentukan sikap seseorang. Pengetahuan yang baik dapat menghasilkan sikap yang baik. Terdapat berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan salah satunya adalah pendidikan. Mahasiswa adalah individu yang sedang menempuh proses pembelajaran di perguruan tinggi. Status pendidikan tertinggi di Indonesia disandang oleh mahasiswa. Mahasiswa kedokteran adalah individu yang menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran selama kurun waktu lima setengah tahun yang terbagi dalam dua jenjang pendidikan, yaitu program

(17)

3

studi sarjana kedokteran atau tahap pre klinik dan program studi profesi dokter atau tahap klinik.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti terdorong untuk melakukan penelitian mengenai tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2018 dan 2019 tentang Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas maka didapati rumusan masalah bagaimanakah tingkat pengetahuan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2018 & 2019 tentang Faktor Resiko Kanker Nasofaring?

1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan umum

Tujuan utama pada penelitian ini tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2018 dan 2019 tentang Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus pada penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Mengetahui distribusi frekuensi usia mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2018 dan 2019.

2. Mengetahui distribusi frekuensi jenis kelamin mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2018 dan 2019.

3. Mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2018 dan 2019 tentang Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring.

(18)

1.4. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi penelitian lebih lanjut dan dapat dijadikan referensi bagi kepustakaan terkait dengan kanker nasofaring.

2. Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini diharapakan mampu memberikan wawasan tentang kanker nasofaring kepada mahasiswa.

3. Bagi penulis, proses penulisan karya tulis ini dapat dijadikan langkah awal untuk melanjutkan proses pembelajaran tentang penulisan karya tulis ilmiah yang baik dan benar, serta meningkatkan pengetahuan dan wawasan penulis tentang kanker nasofaring

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI NASOFARING

Nasofaring adalah bagian posterior rongga nasal yang membuka kearah rongga nasal melalui dua naris internal atau koana (Sloane, 2004) Nasofaring dilapisi mukosa dan disebelah lateral dibatasi oleh lamina medialis processus pterygoidei, di superior oleh os sphenoideum, di anterior oleh koana dan vomer tengah, di posterior oleh clivus dan di inferior oleh palatum molle. Tuba eustasius bermuara ke arah posterolateral dan dikelilingi oleh suatu struktur kartilago.

Dibelakang tuba eustasius ada lekuk-lekuk mukosa yang disebut sebagai fossae rosen muller. Adenoid (tonsilla pharyngealis) menggantung dari fasae tersebut dan dinding posterosuperior kubah nasofaring (Khoa dkk, 2012).

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring(Netter et al. 2014)

Fossa Rosenmuller merupakan daerah yang paling sering terkena kanker nasofaring. Area ini berhubungan dengan beberapa organ penting yang menjadi tempat penyebaran tumor dan menentukan presentasi klinis serta prognosis.

Seperti tuba eustasius dibagian anterior, retropharyngeal dibagian posterior, Foramen laserum, foramen ovale dan spinosum didaerah superior.

(20)

Di bagian inferior terhubung dengan otot konstriktor superior dan di bagian lateral terhubung dengan otot tensor veli palatine.

1. Vaskularisasi nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksternal dan untuk vena melalui pleksus faring ke vena jugular internal. Inervasi dari nasofaring berasal dari cabang saraf kranial V2 (Maxillaris), IX (Glosofringeal) dan X (Vagus), serta saraf simpatik (Shah, 2001).

Kanker nasofaring dapat dengan mudah bermetastasis ke organ lain di sekitar nasofaring. Hal ini disebabkan karna nasofaring memiliki banyak jaringan limfatik dan saluran getah bening. Kelenjar getah bening tingkat pertama berada di parafaring dan retrofaring, dimana terdapat kelenjar getah bening yang berpasangan, yang dinamakan Rouviere node. Saluran ke daerah jugular dapat melalui kelenjar getah bening parafaring atau melalui saluran langsung.

Sedangkan di bagian segitiga posterior terdapat jalur langsung terpisah yang mengarah ke kelenjar getah bening di tulang belakang (Shah, 2001). Saluran selanjutnya dapat terjadi ke leher bagian kontralateral, ke bagian servikal, kemudian ke kelenjar getah bening di supraklavikula (Shah, 2001).

Gambar 2.2. Anatomi Kelenjar Getah Bening Kepala Leher (Shah JP. Atlas of Clinical Oncology Cancer of the Head and Neck. Hamilton, 2001)

(21)

7

2.2. HISTOLOGI NASOFARING

Lapisan mukosa terdiri dari epitel dan lamina propria. Kebanyakan literatur menggambarkan bahwa, secara keseluruhan, nasofaring terdiri dari 40% epitel pernapasan dan 60% epitel skuamosa berlapis. Epitel pernapasan yaitu epitel kolumnar bersilia, sebagian besar ditemukan di bagian posterior ke arah koana dan di atap dinding posterior. Di sisi lain, epitel skuamosa bertingkat mendominasi di bagian anterior, posterior, dan lateral dinding faring bagian bawah. Bagian yang tersisa dari nasofaring meliputi dinding posterior dan midnasofaring dinyatakan memiliki bentuk epitel kolumnar skuamosa bersilia yang kadang-kadang disebut intermediet epithelium. Epitel jenis ini biasanya banyak dijumpai di dekat persimpangan nasofaring dan orofaring.

Lamina propria mengandung banyak jaringan elastis. Submukosa berisi kelenjar tubuloalveolar bercabang sederhana yang biasanya seromucous (campuran) dan memproduksi musin. Ini sebagian besar ditemukan di dekat tabung pendengaran. Selain itu, submukosa mengandung jaringan limfatik.

Agregat nodul limfatik di dinding nasofaring posterosuperior membentuk tonsil faring. Lapisan otot terdiri dari otot rangka. Terakhir, fibrosa adalah lapisan tipis jaringan ikat berserat (Arjhun, 2013).

2.3. HISTOPATOLOGI

Berdasarkan WHO, Kanker nasofaring diklasifikasikan menjadi 3 kategori:

1. Keratinizing karsinoma sel skuamosa ( WHO tipe I), 2. Non-keratinizing karsinoma sel skuamosa (WHO tipe

II),

3. Karsinoma yang tidak terdiferilasi (WHO tipe III).

Pada daerah yang endemik, WHO tipe I dikaitkan dengan virus EB tetapi ini tidak berlaku untuk daerah yang non endemik dan penyalahgunaan tembakau serta EBVnya negative. Sedangkan di Asia Tenggara dan daerah yang memiliki angka kejadian kanker nasofaring yang tinggi WHO tipe III adalah bentuk yang paling lazim dan paling erat kaitannya dengan infeksi EBV (Yeh et al, 1997).

(22)

2.4. DEFINISI KANKER NASOFARING

Kanker merupakan suatu penyakit keganasan yang timbul akibat pertumbuhan sel tubuh yang tidak normal (Kemenkes RI, 2015). Kanker nasofaring adalah keganasan yang berada di faring tepatnya di bagian nasofaring yang terletak di atas tenggorokan dan di belakang hidung. Kanker jenis ini kebanyakan adalah tipe sel skuamosa (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2015)

2.5. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Penyebab pasti kanker kasofaring masih belum diketahui, namun gabungan dari beberapa faktor intrinsik dan ektrinsik diyakini sebagai penyebab. DNA virus pada kanker nasofaring telah mengungkapkan bahwa virus Epstein Barr (EBV) dapat menginfeksi sel epitel dan dikaitkan dengan transformasi mereka menjadi kanker. Faktor genetik dan lingkungan telah terlibat dalam perkembangan penyakit ini. Etiologi genetik telah dipertimbangkan karena tingkat penyakit yang lebih tinggi dalam kelompok etnis tertentu, pasien dengan kerabat tingkat pertama dengan penyakit ini, pasien dengan haplotipe A2 HLA, dan kelainan sitogenetik yang diidentifikasi dalam sampel tumor. Penyebab lingkungan harus dipertimbangkan karena distribusi geografis penyakit, distribusi usia bimodal, dan hubungan yang terlihat pada pasien yang mengonsumsi sejumlah besar makanan yang diawetkan atau ikan asin (Paulino, 2016).

2.5.1. Virus Epstein Barr

Virus Epstein-Barr (EBV) masuk dalam famili virus herpes yang menyebabkan mononukleosis akut dan salah satu faktor etiologi pada kanker nasofaring, kanker gaster dan limfoma akut (Munir, 2009). Pada serum penderita kanker nasofaring ditemukan antibodi dengan titer yang tinggi terhadap anti gen virus Epstein Barr, pada jaringan tumor nasofaring juga di temukan genom virus Epstein Barr yang berbentuk plasmid, serta di temukan DNA serta mRNA-EBV pada jaringan dan sel kanker nasofaring. Hal ini menjadi bukti bahwa virus Epstein Barr memiliki peran penting terhadap penyebab dari kanker nasofaring (Dewi, 2010).

(23)

9

Peningkatan titer antibodi virus Epstein Barr ini hanya di temukan pada kanker nasofaring dengan jenis WHO tipe 2 dan tidak di temukan dikeganasan kepala leher lainnya (Munir, 2009).

Tingginya infeksi virus Epstein Barr pada ras Cina sering dikaitkan dengan kebiasaan makan menggunakan sumpit karena virus Epstein Barr dapat menular melalui orofaring dengan kontak oral yang intim, atau melalui saliva yang tertinggal pada peralatan makan (Dewi, 2010).

2.5.2. Faktor genetik

Sekitar 5-10% penderita kanker nasofaring memiliki keluarga yang menderita kanker nasofaring ataupun keganasan pada organ lain. Insidensi kanker nasofaring di cina dan negara Asia Tenggara 10-50 kali lebih besar di banding negara lain nya (Dewi, 2010).

Human Leukocyte Agent (HLA) diduga kuat menjadi faktor terjadinya kanker nasofaring. HLA berbeda-beda di beberapa Negara, contohnya di Tunisia yaitu HLA-B13, Algeria HLA-A3, B5 dan B-15, Maroko HLA-B18. Benua Asia sendiri terutama negara Cina jenis HLA tersering yang menjadi penyebab karsinoma nasofaring ini yaitu HLA-A2 dan B46 (Rahman et al., 2015).

2.5.3. Faktor lingkungan

Gaya hidup yang buruk seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol dapat menjadi promotor terjadinya kanker nasofaring. Tingginya angka penderita Kanker Nasofaring di suatu daerah tertentu mengindikasikan adanya faktor atau bahan kimia tertentu di lingkungan yang dapat menginduksi terjadinya kanker nasofaring antara lain adat dan kebiasaan makan (diet habits) zat yang bersifat karsinogenik.

Lingkungan bertindak sebagai kofaktor atau promotor timbulnya kanker nasofaring (Ren ZF et al. 2010). Seorang perokok memiliki 30 % resiko lebih tinggi terkena kanker (Zeng et al. 2010). Sekitar 4000 senyawa kimia terkandung di dalam asap rokok dan sekitar 50 merupakan zat karsinogenik seperti polycyclic aromatic hydrocarbon (PAHs), nitrosamines, aromatic amine, aza-arenes, aldehydes, various organic compounds, inorganic compounds Enzyme (Nasution, 2008).

(24)

Dua per tiga dari kanker nasofaring tipe 1 di Negara Amerika Serikat disebabkan karena asap rokok. Hal ini disebabkan Karena merokok dapat menyebabkan peningkatan serum ant-EBV (Rahman et al., 2015). Menurut penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar, didapati 36 penderita karsinoma nasifaring tidak memiliki kebiasaan merokok, 20 orang memiliki kebiasan merokok lebih dari 30 bungkus dalam 1 tahun, dan 12 orang lagi memiliki riwayat merokok di bawah 30 bungkus dalam 1 tahun. (Maubere et al., 2014).

Selain merokok, ikan asin juga merupakan faktor risiko dari kanker nasofaring. Penelitian yang di lakukan berdasarkan data epidemiologi menunjukkan hubungan antara meningkatnya kejadian kanker nasofaring dengan konsumsi bahan makanan yang menggunakan garam sebagai bahan pengawetnya seperti ikan atau udang yang diasinkan (dry salted fish). Nitrosamin yang terkandung di dalam ikan asin merupakan promotor karsinogen.

Penelitian pada penduduk ras Cina di daerah pesisir Hongkong dan Malaysia ikan asin terbukti sebagai faktor risiko yang kuat terhadap kejadian kanker nasofaring. (Jia W et al. 2010).

2.6. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian kanker nasofaring berbeda-beda disetiap negara di dunia.

Pada tahun 2002 terdapat 80.000 kasus insiden kanker nasofaring didiagnosis di seluruh dunia dan perkiraan jumlah kematian melebihi 50.000 jiwa yang membuat kanker nasofaring menjadi kanker baru yang paling umum di dunia. Angka penderita kanker nasofaring paling banyak terdapat di negara cina bagian selatan, mencapai 50 kasus baru per 100.000 penduduk setiap tahun nya (Faiza, 2016). Di HongKong kanker nasofaring adalah keganasan keempat paling umum yang timbul pada lapisan epitel nasofaring (Ellen et al, 2006).

Di Indonesia, kanker nasofaring merupakan keganasan terbanyak keempat setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru (Kemenkes, 2015).

Berdasarkan GLOBOCAN tahun 2012, 87.000 kasus baru kanker nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan

(25)

11

26.000 kasus baru pada perempuan) 51.000 kematian akibat kanker nasofaring (36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan) kanker nasofaring terutama ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun (Kemenkes, 2015).

Angka kejadian kanker nasofaring di Medan pada tahun 2000 adalah 4,3 per 100.000 penduduk (Adham et al, 2012). Di RSUP H. Adam Malik Medan, Provinsi Sumatera Utara, penderita kanker nasofaring ditemukan pada lima kelompok suku, dimana suku batak adalah yang terbanyak menderita kanker nasofaring, yaitu sebanyak 46.7% dari 30 kasus (Munir D, 2009). penelitin oleh Aprilia (2015) menyatakan bahwa Terdapat sebanyak 144 pasien karsinoma nasofaring yang memenuhi kriteria inklusi dari tanggal 1 Januari 2012-31 Desember 2014 di RSUPH Adam Malik Medan dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki- laki (76.4%), kelompok usia terbanyak adalah 40-49 tahun (34.0%), pekerjaan terbanyak adalah wiraswasta (27.1%), pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita karsinoma nasofaring (95.1%), suku terbanyak adalah batak (65.3%), pasien yang menkonsumsi ikan asin (54.9%), dan mempunyai riwayat merokok (66.7%) (Aprilia, 2015)

2.7. PATOGENESIS

Kanker nasofaring disebabkan oleh faktor lingkungan, faktor kimiawi dan faktor genetik yang saling mempengaruhi. Seperti halnya delesi pada kromosom 3p/9p yang berperan ditahap awal perkembangan kanker. Zat karsinogen dapat merangsang trasnformasi epitel normal menjadi epitel pra-kanker. Penemuan berikutnya menunjukkan bahwa infeksi laten virus Epstein Barr berperan dalam progresi lesi pra-kanker tingkat rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Virus Epstein Barr ini juga berperan dalam proses perkembangan kanker yang lebih lanjut.

Ekspresi protein penanda sel kanker (bcl-2 yang terdapat di dalam sel lesi prakanker tingkat tinggi dapat menghambat proses apoptosis. Perkembangan tahap awal dari Kanker Nasofaring cenderung di pengaruhi oleh faktor lingkungan yang menyebabkan perubahan gnetik seperti inaktivasi gen p16/p16 dan delesi kromosom 11q dan 14q (Hasselt et al, 1999).

(26)

2.8. MANIFESTASI KLINIS

Gejala awal kanker nasofaring dapat berupa epistaksis ringan dan sumbatan pada hidung, sehingga menyebabkan kanker nasofaring sulit untuk dideteksi secara dini akibat gejala belum timbul secara spesifik sementara tumor sudah tumbuh di bagian bawah mukosa (creeping tumor). Gangguan pada telinga juga sering dikeluhkan oleh penderita, ini disebabkan karena tempat asal kanker berada didekat muara tuba eustasius (fosa Rosen-Muller (Roezin et al, 2012).

Gejala selanjutnya dapat berupa diplopia, Jackson syndrome dan pembesaran kelenjar getah bening (Roezin et al, 2012). Menurut Data American Cancer Society pada tahun 2015, sekitar tiga dari empat orang dengan kanker nasofaring mengeluh adanya pembesaran atau adanya massa pada leher ketika pertama kali datang ke dokter.

Gejala klinis lain yang dapat timbul pada pasien kanker nasofaring sebagai berikut :

1. Tuli, tinnitus, rasa penuh pada telinga (biasanya hanya satu sisi telinga saja).

2. Infeksi telinga berulang.

3. Sakit kepala.

4. Kesemutan.

5. Nyeri pada wajah.

6. Sulit membuka mulut.

7. Pandangan ganda atau kabur.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada pasien KNF di Rumah Sakit Umum Provinsi Dr. M. Djamil Padang, gejala tersering pasien KNF adalah perbesaran KGB leher sebesar 90,91%. Tanda klinis lainya adalah tuli sebesar 79,55%, diikuti dengan pembesaran KGB leher ke fossa supraklavikula dan cranial nerve palsy dengan persentase yang sama yaitu sebesar 29,55% (Faiza et al, 2016)

2.9. DIAGNOSIS

Untuk menegakan penyakit kanker nasofaring dapat di lakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Suraso, 2009).

(27)

13

2.9.1. Anamnesis

Pada anamnesis ditanyakan kepada penderita terkait keluhan awal dan keluhan yang sedang di alami. Pertanyaan berhubungan dengan karsinoma nasofaring yang seperti keluhan di daerah hidung, mata, leher dan telinga (Roezin et al., 2014).

2.9.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada kanker nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, antara lain :

1. Pemeriksaan secara tidak langsung dengan menggunakan rinoskopi posterior yaitu dengan melihat bayangan massa pada kaca laring kecil yang di masukan ke dalam nasofaring.

2. Pemeriksaan secara langsung dengan endoskopi atau nasofaringoskopi.

Alat ini terdiri dari berbagai sudut pencahayaan, biasanya dihubungkan dengan sumber cahaya dan monitor TV. Penggunaan alat ini dapat melalui hidung ataupun mulut. Nasofaringoskopi lebih akurat dibanding rinoskopi posterior, ini dikarenakan dengan menggunakan nasofaringoskopi pemeriksa dapat melihat lebih jelas bagian dalam nasofaring (Dewi, 2010) 2.9.3. Pemeriksaan penunjang

2.9.3.1 Radiologi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat sudah seberapa jauh penyebaran massa yang ada di nasofaring, sehingga dapat membantu menegakan prognosis dari penyakit tersebut (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2015).

Pemeriksaan radiologi dapat di lakukan dengan foto polos tengkorak, CTScan dan MRI. Melalu CT- Scan semua bagian ataupun benda di dalam nasofaring dapat terlihat jelas dan juga dapat menilai penyebaran ke kelenjar limfe. Magnetic Resonansi Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan tambahan dari CT- Scan. MRI dinilai lebih akurat untuk menegakan kanker nasofaring karena dapat membedakan jaringan lunak dengan cairan seperti invasi cairan ke sinusparanasal (King et al, 2010).

(28)

2.9.3.2. Pemeriksaan serologi

Pemeriksaan serologi bertujuan untuk mengetahui ada tidak nya antibodi terhadap virus Eipstein Barr seperti (Putri, 2011):

1. IgA anti EBV-VCA 2. IgA anti EBV-EA

3. Antibodi terhadap antigen membrane

4. Antibodi terhadap inti virus (Epstein Barr Nuclear Antigen/EBNA) 5. Antibodi terhadap EBV-Dnase

6. antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC)

Nilai sensitivitas dan spesifisitas antibodi terkait virus Eipstein Barr cukup tinggi dalam kanker nasofaring sehingga dapat digunakan untuk diagnosis kanker nasofaring. Sebagai contoh, antibodi IgA terhadap antigen capsid virus Eipstein Barr (VCA/IgA) memberikan sensitivitas dan spesifisitas hingga 90% dalam

diagnosis kanker nasofaring, dan beberapa indikator memiliki hasil yang lebih baik (Jiang et al, 2009). Selain itu, pemeriksaan antibodi terkait virus Eipstein Barr sederhana dan murah dan dapat dilakukan dibanyak unit perawatan

kesehatan primer. Pasien dengan kanker nasofaing tahap awal memiliki hasil pengobatan yang memuaskan, dengan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun hingga 94% yang secara signifikan berbeda dari pasien yang didiagnosis dengan kanker nasofaring stadium akhir (stadium III dan IV) , dengan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun lebih rendah dari 80% (Mao et al, 2009).

2.9.3.3. Biopsi

Diagnosis pasti kanker nasofaring ditegakkan melalui biopsi nasofaring.

Biopsi dapat dilakukan melali mulut atau hidung, biopsi menggunakan bantuan kateter nelaton untuk menarik palatum mole ke atas sehingga daerah nasofaring dapat terlihat di kaca laring atau nasofaringoskop.

2.10. STADIUM KANKER NASOFARING

American Joint Commite on Cancer (AJCC) tahun 2010 mengklasifikasikan stadium kanker sebagai berikut:

(29)

15

Tabel 2.1 Stadium Kanker Nasofaring (AJCC, 2010)

Tumor Primer (T) Definisi

TX T0 TIS

T1 T2 T3 T4

Tumor primer tidak dapat dinilai Tidak terdapat tumor primer Karsinoma in situ

Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal

Tumor dengan perluasan ke parafaringeal

Tumor melibatkan struktur tulang dari basis kranii dan atau sinus paranasal

Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau keterlibatan saraf kranial, hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa infratemporal / masticator space

KGB Regional (N) Definisi

NX N0 N1 N2 N3 N3a N3b

KGB regional tidak dapat dinilai

Tidak terdapat metastasis ke KGB regional

Metastasis unilateral di KGB, 6 cm atau kurang di atas fossa supraklavikula

Metastasis bilateral di KGB, 6 cm atau kurang dalam dimensi terbesar di atas fosa supraklavikula

Metastasis di KGB, ukuran > 6 cm Ukuran >6cm

Perluasan ke fosa supraklavikula

Metastasis (M) Jauh Definisi

MX M0 M1

Metastasis jauh tidak dapat dinilai Tidak terdapat metastasis jauh Terdapat metastasis jauh

Stadium Tumor (T) KGB (N) Metastasis (M)

Stadium 0 Tis N0 M0

Stadium I T1 N0 M0

Stadium II T1

T2

N1 N0-N1

M0 M0

Stadium III T1-T2

T3

N2 N0-N2

M0 M0

Stadium IVa T4 N0-N2 M0

Stadium IVb T1-T4 N3 M0

Stadium IVc T1-T4 N1-N3 M1

2.11. TATALAKSANA

Tidak seperti kanker kepala dan leher lainnya, Alih-alih pembedahan, radioterapi adalah pilihan utama pengobatan kanker nasofaring. Kanker nasofaring sangat radiosensitif dan radioterapi adalah tulang punggung perawatan untuk semua tahap kanker nasofaring tanpa metastasis jauh (William et al, 2010).

(30)

Pada kanker nasofaring yang masih terbatas penyebarannya (lokoregional), radioterapi merupakan pilihan terdepan untuk menjadi sarana pengobatannya.

Intensity-Modulated Radiation Therapy (IMRT) merupakan teknologi radioterapi yang memungkinkan untuk memberikan dosis radiasi konformal terhadap target melalui optimalisasi intensitas dari beberapa beam. IMRT mampu memberikan radioterapi conformal pada target yang tidak beraturan sehingga sangat bermanfaat pada tumor yang berada disekitar struktur vital seperti, batang otak dan medula spinalis (Wei et al, 2014).

Pemberian obat untuk gejala yang simptomatik juga dapat di berikan seperti:

1. Obat kumur yang mengandung antiseptik pada mukosa mulut yang nyeri.

2. Antimikotik pada tanda tanda moniliasis.

3. Anestesi local pada gejala nyeri menelan.

4. Dan terapi simptomatik untuk gejala nausea ataupun anoreksia.

2.12. DUKUNGAN NUTRISI

Pasien kanker nasofaring sering mengalami malnutrisi dan malnutrisi berat.

Angka kejadian kaheksia pada kanker nasofaring mencapai 67%. Dua hal tersebut dapat mempengaruhi respon terhadap kualitas hidup pasien. Selain itu pasien kanker nasofaring juga sering mengalami efek samping terapi antara lain:

1. Mukositis 2. Mual 3. Muntah 4. Xerostomia 5. Diare

Hal tersebut dapat menyebabkan stres metabolisme sehingga diperlukan tatalaksana nutrisi secara optimal. Bila kanker nasofaring terjadi pada anak anak, beberapa efek samping yang sering dialami antara lain:

1. Kehilangan nafsu makan 2. Perubahan indra perasa

3. Penurunan sistim kekebalan tubuh 4. Muntah

5. Diare

(31)

17

Yang dimana seringkali berakibat pada asupan mikro dan makronutrien yang di perlukan anak (Ledesma, 2010).

Beberapa contoh terapi nutrisi antara lain, suplemen serat, mouisturising spray untuk mukosa mulut dan hidrasi melalui oral ataupun intravena (Kemenkes, 2015).

2.13. EDUKASI DAN PENCEGAHAN

Pengobatan menggunakan radioterapi dan kemoterapi memiliki efek samping bagi tubuh, oleh sebab itu pasien harus diberi edukasi mengenai hal berikut:

1. Efek samping samping radiasi akut (xerostomia, gangguan menelan, nyeri pada mulut dan fibrosis).

2. Efek samping kemoterapi (mual, muntah, dsb).

3. Edukasi mengenai jumlah kebutuhan nutrisi.

4. Edukasi mengenai kemungkinan metastasis dan prognosis yang dapat timbul dari penyakit kanker nasofaring tersebut.

5. Edukasi mengenai jadwal kontrol rutin dan pola hidup yang sehat.

Untuk menekan angka insiden kanker nasofaring perlu dilakukan tindakan pencegahan seperti:

1. Menghindari perilaku merokok.

2. Mengurangi makan ikan asin.

3. Mengurangi makan makanan yang melalui proses pembakaran.

4. Melakukan vaksin virus Eipstein Barr di daerah penduduk berisiko.

5. Tes serologik sebagai tindakan deteksi dini kanker nasofaring

6. Melakukan penyuluhan tentang kanker nasofaring di masyarakat (Roezin et al, 2014).

2.14 FAKTOR RISIKO

Risiko terkait dengan faktor lingkungan menyatakan bahwa riwayat keluarga kanker nasofaring, ikan asin dan konsumsi daging yang diawetkan, kebiasaan merokok, dan paparan api dan pelarut kayu dalam kasus kanker nasofaring dan kontrol IgA +, ditambah hubungan antara faktor-faktor dan risiko kanker

(32)

nasofaring, disesuaikan untuk semua paparan lingkungan. Dalam analisis sederhana, konsumsi ikan asin dan daging yang diawetkan, paparan terhadap kebakaran memasak kayu, dan paparan pekerjaan terhadap pelarut adalah faktor risiko kanker nasofaring (OR = 1,58-3,53; p ≤ 0,002) (Guo et al, 2009).

Sampai saat ini, faktor-faktor risiko yang ditetapkan untuk kanker nasofaring tipe III termasuk etnis, jenis kelamin laki-laki, infeksi EBV, riwayat keluarga dengan kanker nasofaring, konsumsi tinggi ikan diawetkan garam, asupan rendah sayuran dan buah-buahan segar, merokok , dan beberapa human leukocyte antigen (HLA) kelas I. Di sisi lain, genotipe HLA lainnya dan riwayat infeksi mononukleosis (IM) dapat dikaitkan dengan penurunan risiko. Faktorfaktor risiko potensial lebih lanjut termasuk konsumsi tinggi makanan yang diawetkan lainnya, riwayat kondisi saluran pernapasan kronis, dan polimorfisme genetik dalam sitokrom P450 2E1 (CYP2E1), CYP2A6, glutathione S-transferase M1 (GSTM1) dan GSTT1. Faktor risiko yang tidak spesifik termasuk konsumsi jamu, paparan pekerjaan terhadap debu dan formaldehida, dan paparan nikel (Wu et al, 2018).

Yong et al, (2017) menyatakan bahwa merokok tembakau secara signifikan terkait dengan risiko NPC (perokok saat ini: OR = 4,50, 95% CI 2,617,78; mantan perokok: OR = 2,37, 95% CI 1,48-3,79), tetapi hubungan minum alkohol dengan risiko NPC tidak signifikan secara statistic (Yong et al, 2017).

2.15 FAKTOR DIET

Dari item makanan yang diperiksa, peserta yang mengonsumsi daging asin setidaknya sebulan sekali ditemukan memiliki risiko dua kali lipat untuk mengembangkan NPC dibandingkan dengan peserta yang tidak pernah atau jarang mengonsumsi daging asin (OR = 2,04, 95% CI 1,18-3,50). Selain daging asin, sayuran asin yang dikonsumsi setidaknya sekali seminggu juga ditemukan secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko NPC (OR = 3,70, 95% CI 1,58-8,64) dibandingkan dengan sayuran asin yang jarang dikonsumsi. Kecenderungan peningkatan risiko NPC secara signifikan terkait dengan peningkatan frekuensi ikan asin, daging asin, dan konsumsi sayuran asin (P-trend = 0,033, 0,003, dan

<0,001, masing-masing) (Yong et al, 2017).

(33)

19

2.16. KERANGKA TEORI

Skema 2.1 Kerangka Teori

2.17. KERANGKA KONSEP

Sekma 2.2 Kerangka Konsep Tingkat Pengetahuan Mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Angkatan 2018 & 2019

- Baik - Cukup - Kurang Tingkat Pengetahuan

Baik

Kanker Nasfaring

Etiologi : - Virus EBV - Paparan zat

Karsinogenik - Faktor Ginetik

Faktor Risiko : - Riwayat Keluarga - Mengkonsumsi

ikan asin - Infeksi EBV - Merokok

Cukup Kurang

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian descriptive dengan desain cross sectional study. Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tentang faktor resiko dari kanker nasofaring. Pengumpulan data di lakukan dengan teknik angket kuisioner.

3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini di mulai dari penentuan judul pada bulan April tahun 2020 di lanjutkan dengan pengambilan dan pengolahan data pada bulan Oktober – November 2020. Penelitian di laksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.3. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1. Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara stambuk 2018 dan 2019.

3.3.2. Sampel penelitian

Sampel penelitian ini adalah mahasiswa fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara stambuk 2018 dan 2019 yang memenuhi kriteria inklusi penelitian.

3.3.3. Besar sampel penelitian

Besar sampel penelitian ini di hitung dengan menggunakan rumus sampel penelitian data deskriptif.

(35)

21

Berdasarkan rumus sampel di atas, maka jumlah sample minimum yang dibutuhkan untuk penelitian dibulatkan menjadi 133 orang.

Keterangan:

𝑛 = besar sampel N = jumlah populasi

e = batas toleransi kesalahan (error tolerance)

3.4. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI 3.4.1 Kriteria inklusi

a. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2018 dan 2019.

b. Mahasiswa yang masih aktif dalam perkuliahan c. Mahasiswa yang bersedia menjadi responden

3.4.2 Kriteria eksklusi

a. Mahasiswa yang tidak mengisi kuisioner dengan lengkap

b. Mahasiswa Fakultas Kedokteran yang telah mendapat pembelajaran blok onkologi

c. Mahasiswa yang sedang dalam keadaan sakit

3.5. METODE PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA

Data-data pada penelitian ini merupakan data jenis data primer yang dikumpulkan melalui kuisioner yang diisi secara langsung oleh responden.

Kuisioner yang diberikan dalam bentuk pilihan berganda (multiple choice) bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tentang faktor risiko kanker nasofaring.

Sebelum diberikan kepada responden, seluruh kuisioner terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitas untuk memastikan apakah kuisioner ini dapat menjadi nilai ukur dari apa yang hendak diukur peneliti dan merupakan kuisioner yang reliable atau tidak.

(36)

Responden yang dapat mengisi kuisioner adalah responden yang sudah mengisi dan menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Data yang di dapat dari responden kemudian dikelompokan berdasarkan variabel yang sudah ditentukan kemudian diolah dan dianalisis menggunakan aplikasi statistika di komputer (Statistic Package for Social Science (SPSS).

3.6. DEFINISI OPERASIONAL

Berikut ini defenisi operasional dari kerangka konsep yang telah disampaikan dalam bentuk tabel.

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Defenisi

Operasional

Cara Ukur

Alat Ukur Hasil Ukur Skala Pengukuran Pengetahu

an

Segala sesuatu yang diketahui oleh responden mengenai faktor resiko kanker nasofaring

Angket Kuesione r

1. Baik = skor : 76-100%

2. Cukup = skor : 56-75%

3. Kurang = skor

< 56%

Ordinal

Usia Jumlah tahun hidup responden

Angket Kuesione r

1. 17-20 tahun 2. 21-23 tahun 3. ≥24 tahun

Interval

Sumber Informasi

Sumber (media) yang digunakan responden untuk

mendapatkan informasi tentang faktor resiko kanker nasofaring

Angket Kuesione r

1. Pembelajaran di kampus 2. Media cetak 3. Tenaga

kesehatan 4. Media

elektronik 5. Keluarga 6. Teman 7. Lebih dari 1

sumber

Nominal

(37)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilakukan menggunakan google form yang diberikan melalui line dan media sosial. Penelitian dilakukan pada bulan November 2020 sampai dengan jumlah sampel sebanyak 133 orang. Hasil penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi (n) Persentase (%)

17-20 Tahun 50 37.6

21-23 Tahun 79 59,4

>24 Tahun 4 3

Total 133 100.0

Berdasarkan tabel 4.1 menyatakan bahwa mayoritas mahasiswa berusia 21-23 tahun sebanyak 79 orang (59,4%), berusia 17-20 tahun sebanyak 50 orang (37%) dan berusia >24 tahun sebanyak 4 orang (3%).

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 48 36.1

Perempuan 85 63.9

Total 133 100.0

Berdasarkan table 4.2 menyatakan bahwa mayoritas responden dalam kategori perempuan sebanyak 85 orang (64%) dan laki-laki sebanyak 48 orang (36%).

(38)

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi

Sumber Informasi Frekuensi (n) Persentase (%)

Pembelajaran Kampus 55 41.4

Media Cetak 35 26.3

Tenaga Kesehatan 29 21.8

Media Elektronik 3 2.3

Keluarga 4 3.0

Teman 7 5.3

Total 133 100.0

Berdasarkan tabel 4.3 menyatakan bahwa mayoritas sumber informasi dari pembelajaran kampus sebanyak 55 orang (41%), media cetak 35 orang (26%), tenagan kesehatan 29 orang (21%), media elektronik 3 orang (2%), keluarga 4 orang (3%), dari teman sebanyak 7 orang

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkatan Angkatan Angkatan Frekuensi (n) Persentase (%)

2018 48 36.1

2019 85 63.9

Total 133 100.0

Berdasarkan tabel 4.4 menyatakan bahwa mayoritas responden angkatan 2019 sebanyak 85 orang (64%) dan angkatan 2018 sebanyak 48 orang (36%).

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang Faktor Risiko Nasofaring

Pengetahuan Frekuensi (n) Persentase (%)

Baik 46 34.6

Cukup 72 54.1

Kurang 15 11.3

Total 133 100.0

Berdasarkan tabel 4.5 menyatakan bahwa mayoritas responden berpengetahuan cukup sebanyak 72 orang (54%), pengetahuan baik sebanyak 46 orang (34%) dan pengetahuan kurang sebanyak 15 orang (11%).

(39)

27

4.2 PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian didapati pengetahuan mahasiswa kedokteran mengenai faktor risiko nasofaring dalam kategori cukup. Menurut asumsi penulis hal ini menyatakan bahwa mahasiswa yang memiliki pengetahuan cukup lebih banyak, ini berarti mahasiswa masih banyak yang belum mengetahui tentang faktor risiko kanker nasofaring. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain: pendidikan, pekerjaan, media masa/informasi, social budaya dan ekonomi, lingkungan, pengalaman dan usia. Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu.

Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya. Beberapa faktor yang menyebabkan kanker nasofaring seperti asap rokok, mengkonsumsi ikan asin, asap kayu bakar dan debu kayu, dan faktor genetic merupakan penyebab kanker nasofaring.

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa (KSS) yang berasal dari sel epitel nasofaring. Keganasan ini dapat muncul dari berbagai tempat di nasofaring, tetapi lebih sering terdapat pada fossa Rosenmuller, yaitu ressesus yang terletak di medial dari krura medial tuba eustachius. Etiologi karsinoma nasofaring bersifat multifaktorial. faktor infeksi virus Epstein Barr sangat dominan untuk terjadinya karsinoma nasofaring.

Menurut Notoadmojo (2014) pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

(40)

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa paling banyak mahasiswa memiliki pengetahuan cukup mengenai faktor risiko nasofaring. Hal ini bisa disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan mengenai kanker nasofaring.

Sumber informasi yang cukup dan kurang, latar belakang budaya yang berbeda, pengalaman belum bertemu dengan pasien kanker nasofaring dapat mengakibatkan pengetahuan mahasiswa memiliki yang cukup dan kurang. Selain itu kurangnya mahasiswa memahami modul onkologi, tidak memperhatikan dosen memberikan materi mengenai faktor risiko kanker nasofaring dan tidak pernah masuk selama jam kuliah tersebut juga mempengaruhi pengetahuan mahasiswa mengenai faktor risiko kanker nasofaring.

Hasil penelitian pengetahuan pasien mahasiswa tentang faktor risiko kanker nasofaring menunjukkan bahwa pengetahuan mahasiswa baik sebanyak 34%.

Diketahui sebagian besar pasien paham bahwa faktor risiko nasofaring dikarenakan . faktor non viral seperti konsumsi ikan asin, kebiasaan merokok, pengawet makanan, asap kayu bakar, obat nyamuk bakar, infeksi saluran pernafasan atas berulang dan genetik dilaporkan berhubungan dengan kejadian karsinoma nasofaring. Penyebab kanker nasofaring sangat unik dan sulit untuk dijelaskan. Antibodi terhadap virus Epstein Barr ditemukan pada serum pasien kanker nasofaring.

Sebagian mahasiswa juga mendapatkan informasi mengenai kanker nasofaring tersebut dengan baik untuk diketahui sehingga mahasiswa paham bahwa faktor risiko yang harus dihindari agar terhindar dari penyakit kanker nasofaring.

Menurut peneliti, seseorang yang pernah mendapat informasi mengenai kanker nasofaring maka wawasannya akan lebih luas dan begitupun dengan pengetahuannya juga akan lebih baik serta pengalaman yang diperoleh semakin banyak, karena memperoleh berbagai informasi sesorang akan lebih mengerti, memahami dan mampu melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan serta menghindari tindakan yang dapat menyebabkan kanker nasofaring. Karena semakin sedikit informasi yang didapatkan maka kekampuan dalam berfikir akan semakin rendah dan pegalaman serta pengetahuan yang diperoleh akan semakin

(41)

29

sedikit. Sesuai dengan teori diatas semakin banyak informasi yang masuk, maka pengetahuan pengetahuan seseorang tersebut akan meningkat dan keampuan untuk menganalisis akan baik sehingga mampu menerpakan aplikasi yang sesuai dengan kejadian yang ada (Soedijarto, 2014).

(42)

BAB V KESIMPULAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :

1. Karakteristik responden berdasarkan usia berusia 21-23 tahun sebanyak 79 orang (59,4%)

2. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin paling banyak adalah perempuan sebanyak 85 orang (64%)

3. Karakteristik responden berdasarkan menyatakan bahwa mayoritas sumber informasi dari pembelajaran kampus sebanyak 55 orang (41%).

4. Berdasarkan pengetahuan paling banyak dalam kategori cukup sebanyak 72 orang (54%).

5.2 SARAN

Dalam hal ini untuk peneliti di masa yang akan datang diharapkan dapat memperluas cakupan atau meneliti tentang faktor pencetus terjadinya kanker nasofaring. Untuk responden diharapkan untuk lebih mempelajari lagi materi tentang faktor risiko kanker nasofaring. Dalam hal ini diharapkan responden untuk lebih aktif untuk menggali pengetahuan dan mencari sumbersumber lain yang dapat menambah pengetahuan seperti surat kabar, internet, buku, dan lain-lain.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, et al. 2012. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation. Chin J Cancer. 31(4):185–

96.

American Cancer Society. 2015. Nasopharyngeal Cancer. Atlanta: American Cancer Society.

Arnold C Paulino. 2016. Naspharyngeal Cancer , Emedicine Medscape Journal

Aprilia A. 2015. Faktor Pencetus Karsinoma Nasofaring DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN Periode 2012 - 2014. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara

Arjhun S joshi. 2013. Pharynx Anatomi, Medscape Journal.

Chan ATC ea. 2012. Nasopharyngeal cancer: EHNS-ESMO-ESTRO clinical pratice guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Ann. of Oncol.

2012; 23(Supplement 7).

Cao, S., Simons, M. and Qian, C., 2011. The prevalence and prevention of nasopharyngeal carcinoma in China. Chinese Journal of Cancer, 30(2), pp.114-119.

Edge, S. and Compton, C., 2020. The American Joint Committee On Cancer: The 7Th Edition Of The AJCC Cancer Staging Manual And The Future Of TNM.

Faiza, S., Rahman, S. and Asri, A., 2016. Karakteristik Klinis dan Patologis Karsinoma Nasofaring di Bagian THT-KL RSUP Dr.M.Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(1).

Inacare - Indonesian Cancer Profile 2015, Cancer Data & Statistic.

Jia, W., Luo, X., Feng, B., Ruan, H., Bei, J., Liu, W., Qin, H., Feng, Q., Chen, L., Yao, S. and Zeng, Y., 2010. Traditional Cantonese diet and nasopharyngeal carcinoma risk: a large-scale case-control study in Guangdong, China. BMC Cancer, 10(1).

Pusdatin.kemkes.go.id. 2020. Pusat Data Dan Informasi - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [online] Available at: <https://pusdatin.

kemkes.go.id/article/view/15090700004/situasi-penyakitkanker.html>

[Accessed 23 June 2020].

(44)

King, A., 2010. Magnetic resonance imaging staging of nasopharyngeal carcinoma in the head and neck. World Journal of Radiology, 2(5), p.159.

Ledesma N. Prostate cancer. In Marian M, Robert S, editors. 2010. Clinical nutrition for oncology.: Jones and Bartlett Publishers p. 245-259

Munir D. 2009. Karsinoma Nasofaring. Medan: USU press.

Mao YP, Li WF, Chen L, et al. 2009. A clinical verification of the Chinese 2008 staging system for nasopharyngeal carcinoma [J] Ai Zheng. 28(10):1022–

1028.

Nccn.org. 2020. NCCN Clinical Practice Guidelines In Oncology. [online]

Available at<http://www.nccn.org/professionals/ physician_gls/ Default.

aspx> [Accessed 23 June 2020].

Putri EB. 2011. Karakteristik Penderita Karsinoma Nasofaring Di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL FKUP/RSUP. DR. Hasan Sadikin Bandung Periode Tahun 2006-2010. Skripsi. Universitas Padjadjaran Fakultas Kedokteran, Bandung

Roezin A, Adham M. 2014. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorokan. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. hlm. 158–

63.

Rahman, S., Budiman, B. and Subroto, H., 2015. Faktor Risiko Non Viral Pada Karsinoma Nasofaring. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(3).

Surarso B. 2009. Tanda dan Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring. Surabaya: THT- KL Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo 2009.

The American Joint Committee on cancer: The 7th Edition of the AJCC Cancer Staging Manual And the Future of TN

Wei, W. and Kwong, D., 2011. Recurrent nasopharyngeal carcinoma: surgical salvage vs. additional chemoradiation. Current Opinion in Otolaryngology

& Head and Neck Surgery, 19(2), pp.82-86.

Wu L, Li , Pan L. 2018. Nasopharyngeal carcinoma: A review of current updates.

Exp Ther Med. 2018 Apr; 15(4): 3687–3692.

Yang, W., 2014. STELL & MARAN'S TEXTBOOK OF HEAD AND NECK SURGERY AND ONCOLOGY, 5th ednJ C Watkinson, R W Gilbert, eds

(45)

33

Hodder Educational, 2012 ISBN 978 0 34092 916 2 pp 1156 Price £195.

The Journal of Laryngology & Otology, 126(7), pp.761-762.

Yong et al. 2017. Associations of lifestyle and diet with the risk of nasopharyngeal carcinoma in Singapore: a case–control study. Chin J Cancer. 2017; 36: 3.

(46)

Lampiran 1 : Daftar Riwayat Hidup

Nama : Vicky Irvan Rinaldi

NIM : 170100098

Tempat/ Tanggal lahir : Pekanbaru / 16 Desember 1997

Agama : Kristen

Nama Ayah : Daud Maruarar Nababan Nama Ibu : Timse Tampubolon

Alamat : Jl. Dagang kecamatan Siak Hulu. Kabupaten Kampar Riwayat Pendidikan :

1. TK Santa Maria Pekanbaru, Riau 2003-2004 2. SD Santa Maria Pekanbaru, Riau 2004-2010 3. SMP Santa Maria Pekanbaru, Riau 2010-2013 4. SMA Santa Maria Pekanbaru, Riau 2013-2016 5. Fakultas Kedokteran USU 2017-sekarang Riwayat Organisasi :

1. Ketua UKM Futsal PEMA FK USU 2018 2. Anggota Minat dan Bakat PEMA FK USU 2018

Riwayat Kepanitiaan :

1. Wakit Ketua Aerosol FK USU 2018

2. Koordinator Transport Paskah FK USU 2019

3. Wakil Koordinator Sepakbola PORSENI FK USU 2019

4. Anggota Transport Pengabdian Masyarakat PEMA FK USU 2017 5. Anggota Seksi Acara Natal FK USU 2017

6. Anggota Transport Pengabdian Masyarakat PEMA FK USU 2018

7. Anggota Seksi Transport Bakti Sosial Kumpulan Mahasiswa Kristen USU 2018 8. Anggota Seksi Transport Pengabdian Masyarakat SCORA FK USU 2020 9. Anggota Seksi Transport Bakti Sosial Kumpulan Mahasiswa Kristen FK USU

2018

Riwayat Pelatihan :

1. PKKMB FK USU 2017 2. MMB FK USU 2017

3. Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa Lokal FK USU 2017

Referensi

Dokumen terkait

Sinyal audio yang masuk akan diproses menjadi sinyal digital yang kemudian akan diperkuat oleh transistor IGBT dan output-nya kembali di-filter menggunakan low

terdakwa bernama Ridwan telah melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan atau penganiayaan terhadap anak bernama Ragiel Satryo Prakoso (korban), yang

Berdasarkan hasil penelitian tingkat pengetahuan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2017 tentang jenis-jenis pemeriksaan radiologi pada

NIM NAMA MAHASISWA J/K NO.. NIM NAMA MAHASISWA

[r]

Di awal semester, mahasiswa mengisi KRS dan di akhir semester, mahasiswa mengisi kuesioner kinerja dosen untuk tiap-tiap dosen per mata kuliah, LPPM mengirimkan rekap

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat pengetahuan tentang faktor risiko DMT2 pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Dalam hal ini perlu dilakukan upaya untuk manyakinkan masyarakat tentang partisipasi dalam pembangunan yang sangat memerlukan adanya komunikasi antara pemerintah dengan