• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi penelitian lebih lanjut dan dapat dijadikan referensi bagi kepustakaan terkait dengan kanker nasofaring.

2. Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini diharapakan mampu memberikan wawasan tentang kanker nasofaring kepada mahasiswa.

3. Bagi penulis, proses penulisan karya tulis ini dapat dijadikan langkah awal untuk melanjutkan proses pembelajaran tentang penulisan karya tulis ilmiah yang baik dan benar, serta meningkatkan pengetahuan dan wawasan penulis tentang kanker nasofaring

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI NASOFARING

Nasofaring adalah bagian posterior rongga nasal yang membuka kearah rongga nasal melalui dua naris internal atau koana (Sloane, 2004) Nasofaring dilapisi mukosa dan disebelah lateral dibatasi oleh lamina medialis processus pterygoidei, di superior oleh os sphenoideum, di anterior oleh koana dan vomer tengah, di posterior oleh clivus dan di inferior oleh palatum molle. Tuba eustasius bermuara ke arah posterolateral dan dikelilingi oleh suatu struktur kartilago.

Dibelakang tuba eustasius ada lekuk-lekuk mukosa yang disebut sebagai fossae rosen muller. Adenoid (tonsilla pharyngealis) menggantung dari fasae tersebut dan dinding posterosuperior kubah nasofaring (Khoa dkk, 2012).

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring(Netter et al. 2014)

Fossa Rosenmuller merupakan daerah yang paling sering terkena kanker nasofaring. Area ini berhubungan dengan beberapa organ penting yang menjadi tempat penyebaran tumor dan menentukan presentasi klinis serta prognosis.

Seperti tuba eustasius dibagian anterior, retropharyngeal dibagian posterior, Foramen laserum, foramen ovale dan spinosum didaerah superior.

Di bagian inferior terhubung dengan otot konstriktor superior dan di bagian lateral terhubung dengan otot tensor veli palatine.

1. Vaskularisasi nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksternal dan untuk vena melalui pleksus faring ke vena jugular internal. Inervasi dari nasofaring berasal dari cabang saraf kranial V2 (Maxillaris), IX (Glosofringeal) dan X (Vagus), serta saraf simpatik (Shah, 2001).

Kanker nasofaring dapat dengan mudah bermetastasis ke organ lain di sekitar nasofaring. Hal ini disebabkan karna nasofaring memiliki banyak jaringan limfatik dan saluran getah bening. Kelenjar getah bening tingkat pertama berada di parafaring dan retrofaring, dimana terdapat kelenjar getah bening yang berpasangan, yang dinamakan Rouviere node. Saluran ke daerah jugular dapat melalui kelenjar getah bening parafaring atau melalui saluran langsung.

Sedangkan di bagian segitiga posterior terdapat jalur langsung terpisah yang mengarah ke kelenjar getah bening di tulang belakang (Shah, 2001). Saluran selanjutnya dapat terjadi ke leher bagian kontralateral, ke bagian servikal, kemudian ke kelenjar getah bening di supraklavikula (Shah, 2001).

Gambar 2.2. Anatomi Kelenjar Getah Bening Kepala Leher (Shah JP. Atlas of Clinical Oncology Cancer of the Head and Neck. Hamilton, 2001)

7

2.2. HISTOLOGI NASOFARING

Lapisan mukosa terdiri dari epitel dan lamina propria. Kebanyakan literatur menggambarkan bahwa, secara keseluruhan, nasofaring terdiri dari 40% epitel pernapasan dan 60% epitel skuamosa berlapis. Epitel pernapasan yaitu epitel kolumnar bersilia, sebagian besar ditemukan di bagian posterior ke arah koana dan di atap dinding posterior. Di sisi lain, epitel skuamosa bertingkat mendominasi di bagian anterior, posterior, dan lateral dinding faring bagian bawah. Bagian yang tersisa dari nasofaring meliputi dinding posterior dan midnasofaring dinyatakan memiliki bentuk epitel kolumnar skuamosa bersilia yang kadang-kadang disebut intermediet epithelium. Epitel jenis ini biasanya banyak dijumpai di dekat persimpangan nasofaring dan orofaring.

Lamina propria mengandung banyak jaringan elastis. Submukosa berisi kelenjar tubuloalveolar bercabang sederhana yang biasanya seromucous (campuran) dan memproduksi musin. Ini sebagian besar ditemukan di dekat tabung pendengaran. Selain itu, submukosa mengandung jaringan limfatik.

Agregat nodul limfatik di dinding nasofaring posterosuperior membentuk tonsil faring. Lapisan otot terdiri dari otot rangka. Terakhir, fibrosa adalah lapisan tipis jaringan ikat berserat (Arjhun, 2013).

2.3. HISTOPATOLOGI

Berdasarkan WHO, Kanker nasofaring diklasifikasikan menjadi 3 kategori:

1. Keratinizing karsinoma sel skuamosa ( WHO tipe I), 2. Non-keratinizing karsinoma sel skuamosa (WHO tipe

II),

3. Karsinoma yang tidak terdiferilasi (WHO tipe III).

Pada daerah yang endemik, WHO tipe I dikaitkan dengan virus EB tetapi ini tidak berlaku untuk daerah yang non endemik dan penyalahgunaan tembakau serta EBVnya negative. Sedangkan di Asia Tenggara dan daerah yang memiliki angka kejadian kanker nasofaring yang tinggi WHO tipe III adalah bentuk yang paling lazim dan paling erat kaitannya dengan infeksi EBV (Yeh et al, 1997).

2.4. DEFINISI KANKER NASOFARING

Kanker merupakan suatu penyakit keganasan yang timbul akibat pertumbuhan sel tubuh yang tidak normal (Kemenkes RI, 2015). Kanker nasofaring adalah keganasan yang berada di faring tepatnya di bagian nasofaring yang terletak di atas tenggorokan dan di belakang hidung. Kanker jenis ini kebanyakan adalah tipe sel skuamosa (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2015)

2.5. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Penyebab pasti kanker kasofaring masih belum diketahui, namun gabungan dari beberapa faktor intrinsik dan ektrinsik diyakini sebagai penyebab. DNA virus pada kanker nasofaring telah mengungkapkan bahwa virus Epstein Barr (EBV) dapat menginfeksi sel epitel dan dikaitkan dengan transformasi mereka menjadi kanker. Faktor genetik dan lingkungan telah terlibat dalam perkembangan penyakit ini. Etiologi genetik telah dipertimbangkan karena tingkat penyakit yang lebih tinggi dalam kelompok etnis tertentu, pasien dengan kerabat tingkat pertama dengan penyakit ini, pasien dengan haplotipe A2 HLA, dan kelainan sitogenetik yang diidentifikasi dalam sampel tumor. Penyebab lingkungan harus dipertimbangkan karena distribusi geografis penyakit, distribusi usia bimodal, dan hubungan yang terlihat pada pasien yang mengonsumsi sejumlah besar makanan yang diawetkan atau ikan asin (Paulino, 2016).

2.5.1. Virus Epstein Barr

Virus Epstein-Barr (EBV) masuk dalam famili virus herpes yang menyebabkan mononukleosis akut dan salah satu faktor etiologi pada kanker nasofaring, kanker gaster dan limfoma akut (Munir, 2009). Pada serum penderita kanker nasofaring ditemukan antibodi dengan titer yang tinggi terhadap anti gen virus Epstein Barr, pada jaringan tumor nasofaring juga di temukan genom virus Epstein Barr yang berbentuk plasmid, serta di temukan DNA serta mRNA-EBV pada jaringan dan sel kanker nasofaring. Hal ini menjadi bukti bahwa virus Epstein Barr memiliki peran penting terhadap penyebab dari kanker nasofaring (Dewi, 2010).

9

Peningkatan titer antibodi virus Epstein Barr ini hanya di temukan pada kanker nasofaring dengan jenis WHO tipe 2 dan tidak di temukan dikeganasan kepala leher lainnya (Munir, 2009).

Tingginya infeksi virus Epstein Barr pada ras Cina sering dikaitkan dengan kebiasaan makan menggunakan sumpit karena virus Epstein Barr dapat menular melalui orofaring dengan kontak oral yang intim, atau melalui saliva yang tertinggal pada peralatan makan (Dewi, 2010).

2.5.2. Faktor genetik

Sekitar 5-10% penderita kanker nasofaring memiliki keluarga yang menderita kanker nasofaring ataupun keganasan pada organ lain. Insidensi kanker nasofaring di cina dan negara Asia Tenggara 10-50 kali lebih besar di banding negara lain nya (Dewi, 2010).

Human Leukocyte Agent (HLA) diduga kuat menjadi faktor terjadinya kanker nasofaring. HLA berbeda-beda di beberapa Negara, contohnya di Tunisia yaitu HLA-B13, Algeria HLA-A3, B5 dan B-15, Maroko HLA-B18. Benua Asia sendiri terutama negara Cina jenis HLA tersering yang menjadi penyebab karsinoma nasofaring ini yaitu HLA-A2 dan B46 (Rahman et al., 2015).

2.5.3. Faktor lingkungan

Gaya hidup yang buruk seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol dapat menjadi promotor terjadinya kanker nasofaring. Tingginya angka penderita Kanker Nasofaring di suatu daerah tertentu mengindikasikan adanya faktor atau bahan kimia tertentu di lingkungan yang dapat menginduksi terjadinya kanker nasofaring antara lain adat dan kebiasaan makan (diet habits) zat yang bersifat karsinogenik.

Lingkungan bertindak sebagai kofaktor atau promotor timbulnya kanker nasofaring (Ren ZF et al. 2010). Seorang perokok memiliki 30 % resiko lebih tinggi terkena kanker (Zeng et al. 2010). Sekitar 4000 senyawa kimia terkandung di dalam asap rokok dan sekitar 50 merupakan zat karsinogenik seperti polycyclic aromatic hydrocarbon (PAHs), nitrosamines, aromatic amine, aza-arenes, aldehydes, various organic compounds, inorganic compounds Enzyme (Nasution, 2008).

Dua per tiga dari kanker nasofaring tipe 1 di Negara Amerika Serikat disebabkan karena asap rokok. Hal ini disebabkan Karena merokok dapat menyebabkan peningkatan serum ant-EBV (Rahman et al., 2015). Menurut penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar, didapati 36 penderita karsinoma nasifaring tidak memiliki kebiasaan merokok, 20 orang memiliki kebiasan merokok lebih dari 30 bungkus dalam 1 tahun, dan 12 orang lagi memiliki riwayat merokok di bawah 30 bungkus dalam 1 tahun. (Maubere et al., 2014).

Selain merokok, ikan asin juga merupakan faktor risiko dari kanker nasofaring. Penelitian yang di lakukan berdasarkan data epidemiologi menunjukkan hubungan antara meningkatnya kejadian kanker nasofaring dengan konsumsi bahan makanan yang menggunakan garam sebagai bahan pengawetnya seperti ikan atau udang yang diasinkan (dry salted fish). Nitrosamin yang terkandung di dalam ikan asin merupakan promotor karsinogen.

Penelitian pada penduduk ras Cina di daerah pesisir Hongkong dan Malaysia ikan asin terbukti sebagai faktor risiko yang kuat terhadap kejadian kanker nasofaring. (Jia W et al. 2010).

2.6. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian kanker nasofaring berbeda-beda disetiap negara di dunia.

Pada tahun 2002 terdapat 80.000 kasus insiden kanker nasofaring didiagnosis di seluruh dunia dan perkiraan jumlah kematian melebihi 50.000 jiwa yang membuat kanker nasofaring menjadi kanker baru yang paling umum di dunia. Angka penderita kanker nasofaring paling banyak terdapat di negara cina bagian selatan, mencapai 50 kasus baru per 100.000 penduduk setiap tahun nya (Faiza, 2016). Di HongKong kanker nasofaring adalah keganasan keempat paling umum yang timbul pada lapisan epitel nasofaring (Ellen et al, 2006).

Di Indonesia, kanker nasofaring merupakan keganasan terbanyak keempat setelah kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru (Kemenkes, 2015).

Berdasarkan GLOBOCAN tahun 2012, 87.000 kasus baru kanker nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan

11

26.000 kasus baru pada perempuan) 51.000 kematian akibat kanker nasofaring (36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan) kanker nasofaring terutama ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien pria dan wanita adalah 2,18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun (Kemenkes, 2015).

Angka kejadian kanker nasofaring di Medan pada tahun 2000 adalah 4,3 per 100.000 penduduk (Adham et al, 2012). Di RSUP H. Adam Malik Medan, Provinsi Sumatera Utara, penderita kanker nasofaring ditemukan pada lima kelompok suku, dimana suku batak adalah yang terbanyak menderita kanker nasofaring, yaitu sebanyak 46.7% dari 30 kasus (Munir D, 2009). penelitin oleh Aprilia (2015) menyatakan bahwa Terdapat sebanyak 144 pasien karsinoma nasofaring yang memenuhi kriteria inklusi dari tanggal 1 Januari 2012-31 Desember 2014 di RSUPH Adam Malik Medan dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki- laki (76.4%), kelompok usia terbanyak adalah 40-49 tahun (34.0%), pekerjaan terbanyak adalah wiraswasta (27.1%), pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita karsinoma nasofaring (95.1%), suku terbanyak adalah batak (65.3%), pasien yang menkonsumsi ikan asin (54.9%), dan mempunyai riwayat merokok (66.7%) (Aprilia, 2015)

2.7. PATOGENESIS

Kanker nasofaring disebabkan oleh faktor lingkungan, faktor kimiawi dan faktor genetik yang saling mempengaruhi. Seperti halnya delesi pada kromosom 3p/9p yang berperan ditahap awal perkembangan kanker. Zat karsinogen dapat merangsang trasnformasi epitel normal menjadi epitel pra-kanker. Penemuan berikutnya menunjukkan bahwa infeksi laten virus Epstein Barr berperan dalam progresi lesi pra-kanker tingkat rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Virus Epstein Barr ini juga berperan dalam proses perkembangan kanker yang lebih lanjut.

Ekspresi protein penanda sel kanker (bcl-2 yang terdapat di dalam sel lesi prakanker tingkat tinggi dapat menghambat proses apoptosis. Perkembangan tahap awal dari Kanker Nasofaring cenderung di pengaruhi oleh faktor lingkungan yang menyebabkan perubahan gnetik seperti inaktivasi gen p16/p16 dan delesi kromosom 11q dan 14q (Hasselt et al, 1999).

2.8. MANIFESTASI KLINIS

Gejala awal kanker nasofaring dapat berupa epistaksis ringan dan sumbatan pada hidung, sehingga menyebabkan kanker nasofaring sulit untuk dideteksi secara dini akibat gejala belum timbul secara spesifik sementara tumor sudah tumbuh di bagian bawah mukosa (creeping tumor). Gangguan pada telinga juga sering dikeluhkan oleh penderita, ini disebabkan karena tempat asal kanker berada didekat muara tuba eustasius (fosa Rosen-Muller (Roezin et al, 2012).

Gejala selanjutnya dapat berupa diplopia, Jackson syndrome dan pembesaran kelenjar getah bening (Roezin et al, 2012). Menurut Data American Cancer Society pada tahun 2015, sekitar tiga dari empat orang dengan kanker nasofaring mengeluh adanya pembesaran atau adanya massa pada leher ketika pertama kali

2. Infeksi telinga berulang.

3. Sakit kepala.

4. Kesemutan.

5. Nyeri pada wajah.

6. Sulit membuka mulut.

7. Pandangan ganda atau kabur.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan pada pasien KNF di Rumah Sakit Umum Provinsi Dr. M. Djamil Padang, gejala tersering pasien KNF adalah perbesaran KGB leher sebesar 90,91%. Tanda klinis lainya adalah tuli sebesar 79,55%, diikuti dengan pembesaran KGB leher ke fossa supraklavikula dan cranial nerve palsy dengan persentase yang sama yaitu sebesar 29,55% (Faiza et al, 2016)

2.9. DIAGNOSIS

Untuk menegakan penyakit kanker nasofaring dapat di lakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Suraso, 2009).

13

2.9.1. Anamnesis

Pada anamnesis ditanyakan kepada penderita terkait keluhan awal dan keluhan yang sedang di alami. Pertanyaan berhubungan dengan karsinoma nasofaring yang seperti keluhan di daerah hidung, mata, leher dan telinga (Roezin et al., 2014).

2.9.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada kanker nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, antara lain :

1. Pemeriksaan secara tidak langsung dengan menggunakan rinoskopi posterior yaitu dengan melihat bayangan massa pada kaca laring kecil yang di masukan ke dalam nasofaring.

2. Pemeriksaan secara langsung dengan endoskopi atau nasofaringoskopi.

Alat ini terdiri dari berbagai sudut pencahayaan, biasanya dihubungkan dengan sumber cahaya dan monitor TV. Penggunaan alat ini dapat melalui hidung ataupun mulut. Nasofaringoskopi lebih akurat dibanding rinoskopi posterior, ini dikarenakan dengan menggunakan nasofaringoskopi pemeriksa dapat melihat lebih jelas bagian dalam nasofaring (Dewi, 2010) 2.9.3. Pemeriksaan penunjang

2.9.3.1 Radiologi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat sudah seberapa jauh penyebaran massa yang ada di nasofaring, sehingga dapat membantu menegakan prognosis dari penyakit tersebut (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2015).

Pemeriksaan radiologi dapat di lakukan dengan foto polos tengkorak, CTScan dan MRI. Melalu CT- Scan semua bagian ataupun benda di dalam nasofaring dapat terlihat jelas dan juga dapat menilai penyebaran ke kelenjar limfe. Magnetic Resonansi Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan tambahan dari CT- Scan. MRI dinilai lebih akurat untuk menegakan kanker nasofaring karena dapat membedakan jaringan lunak dengan cairan seperti invasi cairan ke sinusparanasal (King et al, 2010).

2.9.3.2. Pemeriksaan serologi

Pemeriksaan serologi bertujuan untuk mengetahui ada tidak nya antibodi terhadap virus Eipstein Barr seperti (Putri, 2011):

1. IgA anti EBV-VCA 2. IgA anti EBV-EA

3. Antibodi terhadap antigen membrane

4. Antibodi terhadap inti virus (Epstein Barr Nuclear Antigen/EBNA) 5. Antibodi terhadap EBV-Dnase

6. antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC)

Nilai sensitivitas dan spesifisitas antibodi terkait virus Eipstein Barr cukup tinggi dalam kanker nasofaring sehingga dapat digunakan untuk diagnosis kanker nasofaring. Sebagai contoh, antibodi IgA terhadap antigen capsid virus Eipstein Barr (VCA/IgA) memberikan sensitivitas dan spesifisitas hingga 90% dalam

diagnosis kanker nasofaring, dan beberapa indikator memiliki hasil yang lebih baik (Jiang et al, 2009). Selain itu, pemeriksaan antibodi terkait virus Eipstein Barr sederhana dan murah dan dapat dilakukan dibanyak unit perawatan

kesehatan primer. Pasien dengan kanker nasofaing tahap awal memiliki hasil pengobatan yang memuaskan, dengan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun hingga 94% yang secara signifikan berbeda dari pasien yang didiagnosis dengan kanker nasofaring stadium akhir (stadium III dan IV) , dengan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun lebih rendah dari 80% (Mao et al, 2009).

2.9.3.3. Biopsi

Diagnosis pasti kanker nasofaring ditegakkan melalui biopsi nasofaring.

Biopsi dapat dilakukan melali mulut atau hidung, biopsi menggunakan bantuan kateter nelaton untuk menarik palatum mole ke atas sehingga daerah nasofaring dapat terlihat di kaca laring atau nasofaringoskop.

2.10. STADIUM KANKER NASOFARING

American Joint Commite on Cancer (AJCC) tahun 2010 mengklasifikasikan stadium kanker sebagai berikut:

15

Tabel 2.1 Stadium Kanker Nasofaring (AJCC, 2010)

Tumor Primer (T) Definisi

TX

Tumor primer tidak dapat dinilai Tidak terdapat tumor primer Karsinoma in situ

Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal

Tumor dengan perluasan ke parafaringeal

Tumor melibatkan struktur tulang dari basis kranii dan atau sinus paranasal

Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau keterlibatan saraf kranial, hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa infratemporal / masticator space

KGB Regional (N) Definisi

NX

KGB regional tidak dapat dinilai

Tidak terdapat metastasis ke KGB regional

Metastasis unilateral di KGB, 6 cm atau kurang di atas fossa supraklavikula

Metastasis bilateral di KGB, 6 cm atau kurang dalam dimensi terbesar di atas fosa supraklavikula

Metastasis di KGB, ukuran > 6 cm Ukuran >6cm

Perluasan ke fosa supraklavikula

Metastasis (M) Jauh Definisi

MX M0 M1

Metastasis jauh tidak dapat dinilai Tidak terdapat metastasis jauh Terdapat metastasis jauh

Tidak seperti kanker kepala dan leher lainnya, Alih-alih pembedahan, radioterapi adalah pilihan utama pengobatan kanker nasofaring. Kanker nasofaring sangat radiosensitif dan radioterapi adalah tulang punggung perawatan untuk semua tahap kanker nasofaring tanpa metastasis jauh (William et al, 2010).

Pada kanker nasofaring yang masih terbatas penyebarannya (lokoregional), radioterapi merupakan pilihan terdepan untuk menjadi sarana pengobatannya.

Intensity-Modulated Radiation Therapy (IMRT) merupakan teknologi radioterapi yang memungkinkan untuk memberikan dosis radiasi konformal terhadap target melalui optimalisasi intensitas dari beberapa beam. IMRT mampu memberikan radioterapi conformal pada target yang tidak beraturan sehingga sangat bermanfaat pada tumor yang berada disekitar struktur vital seperti, batang otak dan medula spinalis (Wei et al, 2014).

Pemberian obat untuk gejala yang simptomatik juga dapat di berikan seperti:

1. Obat kumur yang mengandung antiseptik pada mukosa mulut yang nyeri.

2. Antimikotik pada tanda tanda moniliasis.

3. Anestesi local pada gejala nyeri menelan.

4. Dan terapi simptomatik untuk gejala nausea ataupun anoreksia.

2.12. DUKUNGAN NUTRISI

Pasien kanker nasofaring sering mengalami malnutrisi dan malnutrisi berat.

Angka kejadian kaheksia pada kanker nasofaring mencapai 67%. Dua hal tersebut dapat mempengaruhi respon terhadap kualitas hidup pasien. Selain itu pasien kanker nasofaring juga sering mengalami efek samping terapi antara lain:

1. Mukositis 2. Mual 3. Muntah 4. Xerostomia 5. Diare

Hal tersebut dapat menyebabkan stres metabolisme sehingga diperlukan tatalaksana nutrisi secara optimal. Bila kanker nasofaring terjadi pada anak anak, beberapa efek samping yang sering dialami antara lain:

1. Kehilangan nafsu makan 2. Perubahan indra perasa

3. Penurunan sistim kekebalan tubuh 4. Muntah

5. Diare

17

Yang dimana seringkali berakibat pada asupan mikro dan makronutrien yang di perlukan anak (Ledesma, 2010).

Beberapa contoh terapi nutrisi antara lain, suplemen serat, mouisturising spray untuk mukosa mulut dan hidrasi melalui oral ataupun intravena (Kemenkes, 2015).

2.13. EDUKASI DAN PENCEGAHAN

Pengobatan menggunakan radioterapi dan kemoterapi memiliki efek samping bagi tubuh, oleh sebab itu pasien harus diberi edukasi mengenai hal berikut:

1. Efek samping samping radiasi akut (xerostomia, gangguan menelan, nyeri pada mulut dan fibrosis).

2. Efek samping kemoterapi (mual, muntah, dsb).

3. Edukasi mengenai jumlah kebutuhan nutrisi.

4. Edukasi mengenai kemungkinan metastasis dan prognosis yang dapat timbul dari penyakit kanker nasofaring tersebut.

5. Edukasi mengenai jadwal kontrol rutin dan pola hidup yang sehat.

Untuk menekan angka insiden kanker nasofaring perlu dilakukan tindakan pencegahan seperti:

1. Menghindari perilaku merokok.

2. Mengurangi makan ikan asin.

3. Mengurangi makan makanan yang melalui proses pembakaran.

4. Melakukan vaksin virus Eipstein Barr di daerah penduduk berisiko.

5. Tes serologik sebagai tindakan deteksi dini kanker nasofaring

6. Melakukan penyuluhan tentang kanker nasofaring di masyarakat (Roezin et al, 2014).

2.14 FAKTOR RISIKO

Risiko terkait dengan faktor lingkungan menyatakan bahwa riwayat keluarga kanker nasofaring, ikan asin dan konsumsi daging yang diawetkan, kebiasaan merokok, dan paparan api dan pelarut kayu dalam kasus kanker nasofaring dan kontrol IgA +, ditambah hubungan antara faktor-faktor dan risiko kanker

nasofaring, disesuaikan untuk semua paparan lingkungan. Dalam analisis sederhana, konsumsi ikan asin dan daging yang diawetkan, paparan terhadap kebakaran memasak kayu, dan paparan pekerjaan terhadap pelarut adalah faktor risiko kanker nasofaring (OR = 1,58-3,53; p ≤ 0,002) (Guo et al, 2009).

Sampai saat ini, faktor-faktor risiko yang ditetapkan untuk kanker nasofaring tipe III termasuk etnis, jenis kelamin laki-laki, infeksi EBV, riwayat keluarga dengan kanker nasofaring, konsumsi tinggi ikan diawetkan garam, asupan rendah sayuran dan buah-buahan segar, merokok , dan beberapa human leukocyte antigen (HLA) kelas I. Di sisi lain, genotipe HLA lainnya dan riwayat infeksi mononukleosis (IM) dapat dikaitkan dengan penurunan risiko. Faktorfaktor risiko potensial lebih lanjut termasuk konsumsi tinggi makanan yang diawetkan lainnya, riwayat kondisi saluran pernapasan kronis, dan polimorfisme genetik dalam sitokrom P450 2E1 (CYP2E1), CYP2A6, glutathione S-transferase M1 (GSTM1) dan GSTT1. Faktor risiko yang tidak spesifik termasuk konsumsi jamu, paparan pekerjaan terhadap debu dan formaldehida, dan paparan nikel (Wu et al, 2018).

Yong et al, (2017) menyatakan bahwa merokok tembakau secara signifikan terkait dengan risiko NPC (perokok saat ini: OR = 4,50, 95% CI 2,617,78; mantan perokok: OR = 2,37, 95% CI 1,48-3,79), tetapi hubungan minum alkohol dengan risiko NPC tidak signifikan secara statistic (Yong et al, 2017).

2.15 FAKTOR DIET

Dari item makanan yang diperiksa, peserta yang mengonsumsi daging asin setidaknya sebulan sekali ditemukan memiliki risiko dua kali lipat untuk mengembangkan NPC dibandingkan dengan peserta yang tidak pernah atau jarang mengonsumsi daging asin (OR = 2,04, 95% CI 1,18-3,50). Selain daging asin, sayuran asin yang dikonsumsi setidaknya sekali seminggu juga ditemukan secara signifikan terkait dengan peningkatan risiko NPC (OR = 3,70, 95% CI 1,58-8,64) dibandingkan dengan sayuran asin yang jarang dikonsumsi. Kecenderungan peningkatan risiko NPC secara signifikan terkait dengan peningkatan frekuensi ikan asin, daging asin, dan konsumsi sayuran asin (P-trend = 0,033, 0,003, dan

<0,001, masing-masing) (Yong et al, 2017).

19

2.16. KERANGKA TEORI

Skema 2.1 Kerangka Teori

2.17. KERANGKA KONSEP

Sekma 2.2 Kerangka Konsep Tingkat Pengetahuan Mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Angkatan 2018 & 2019

- Baik - Cukup - Kurang Tingkat Pengetahuan

Baik

Kanker Nasfaring

Etiologi : - Virus EBV - Paparan zat

Karsinogenik - Faktor Ginetik

Faktor Risiko :

Faktor Risiko :

Dokumen terkait