• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAMPUKAH PETANI MEMBERI MAKAN DUNIA?

Dalam dokumen Unduhan – PPPM Now (Halaman 104-116)

Ciptaningrat Larastiti

1

1 Alumnus Pascasarjana Antropologi Budaya Universi- tas Gadjah Mada dan penerjemah The Art of Farming: Chayanovian Manifesto

Diterima: 21 September 2015 Direview: 2 Oktober 2015 Disetujui: 20 Oktober 2015

Perdebatan mengenai masalah agraria abad 21 dipicu sebuah pertanyaan menggelitik, “mampu- kah petani memberi makan dunia?” Di mata Jan Douwe van der Ploeg, pertanyaan ini menghadir- kan kembali polemik masalah agraria yang berlangsung lebih dari satu abad. Masalah agraria Abad 20 berawal dari pertanyaan, “Bagaimana transisi agraria berkontribusi (atau sebaliknya) terhadap akumulasi industrialisasi?” (Bernstein 2006, 451). Kala itu terjadi perpecahan hebat anta- ra tradisi keilmuan Lenin dan Chayanov dalam melihat dinamika kelas sosial kaum tani di tengah moda produksi kapitalistik yang sedang berkem-

bang. Di dalam Development of Capitlism in Rusia,

Lenin melihat bahwa pembangunan kapitalisme pertanian akan menghasilkan diferensiasi kelas di perdesaan menjadi kelas petani kapitalis dan buruh tani (Bernstein 2009, 56). Sementara posisi

Chayanov, seperti disebut berulang kali dalam The

Art of Farming, mengamini bahwa pertanian perdesaan memang diperas untuk memberi akumulasi kapital bagi industri-industri di perkotaan. Di sisi lain, alih-alih diatur langsung oleh kapitalisme, unit usaha tani juga menyimpan otonomi yang dipengaruhi oleh seperangkat keseimbangan untuk melanjutkan reproduksi pertanian (hal. 05).

Keyakinan normatif dari tradisi Chayanovian

inilah yang ingin dikembangkan Jan Douwe van der Ploeg. Menurutnya, perjuangan petani untuk melanjutkan keterampilan bertani harus didukung sebuah gerakan yang memberi ruang otonomi dalam menaksir keseimbangan. Berbagai ragam keseimbangan yang nanti dijelaskan menjadi kunci bagi intensif ikasi produksi pertanian. Dengan demikian, peluang petani untuk bangkit dan memberi makan dunia terbuka. Di mata Chayanovian, pertanian petani mampu memasuki tempat di mana pertanian kapitalis tidak bisa dan tetap mampu melanjutkan produksinya sekalipun tak menghasilkan keuntungan (hal. 118). Didalam menguatkan teorinya, Jan Douwe van der Ploeg menyajikan berbagai contoh tentang kebangkitan kaum tani di Cina pasca rejim tanah kolektif oleh negara (hal. 31), di Brazil karena eksodus kaum miskin yang disebabkan oleh rejim diktator militer ke desa (hal. 12), Guinea Bissau dengan konsep lumbung dan pertukaran pangan (hal. 27-29) dan Eropa dengan aliran teknologi mesin-mesin pertanian (hal. 30).

Menurut The Art of Farming, ketimpangan

sosial di perdesaan terjadi karena kemampuan petani untuk menaksir keseimbangan unit usaha tani dihalang-halangi oleh kekuatan negara ataupun pasar. Intervensi pembangunan yang didorong kekuatan pasar dan negara justru menyebabkan persoalan kemiskinan perdesaan semakin kompleks. Dukungan terhadap sumber daya eksternal seperti mekanisasi pertanian, di sisi

lain, justru menambah pengeluaran petani untuk input produksi. Kaum tani sengaja dilemahkan agar selalu abai menggunakan pengetahuan dan daya taksir mereka dalam mengamankan re- produksi pertanian. Buku ini berakar pada sebuah nilai bahwa daya lenting petani menghadapi kapitalisme bisa diperkuat jika petani mampu menaksir keseimbangan unit produksinya secara otonom.

Jan Douwe van der Ploeg membagi buku The

Art of Farming setidaknya dalam tiga alur. Alur pertama berkaitan dengan upayanya untuk membumikan kembali konsep keseimbangan unit usaha tani dari Chayanov. Sementara alur kedua berisi tentang usaha-usaha yang dilakukan tradisi Chayanovian untuk mengembangkan interaksi antar keseimbangan. Interaksi ini merupakan sintesa yang menghubungkan gagasan keseim- bangan Chayanov dengan beragam dinamika di perdesaan (hal. 5-6). Alur ketiga merupakan sikap politik Chayanovian untuk meletakkan unit usaha petani sebagai “pemenang” dalam pertarungan atas “siapakah yang mampu memberi makan dunia?” Dengan menyebutkan beragam contoh

tentang kebangkitan petani (repeasantrization),

Jan Douwe van der Ploeg menyebarkan optimisme bahwa petani skala kecil akan mampu mere- produksi unit usaha petani secara terus menerus dibanding dengan perusahaan kapitalis. Sepan- jang petani memiliki ruang untuk mengambil keputusan sendiri, maka mereka bisa lebih giat mempraktikkan intensif ikasi pertanian dan mencukupi kebutuhan pangan dunia.

Selain mengurai pokok-pokok bahasan Jan Douwe van der Ploeg tentang manifesto Chayano- vian dan unit usaha petani, pada kesempatan ini saya juga memberi catatan singkat mengenai diferensiasi sosial perdesaan. Bagi kelompok ekonomi politik agraria, Chayanov ditempeli la- bel seorang populis lantaran analisanya dianggap lemah dalam menggambarkan kelas sosial perdesaan yang semakin terfragmentasi seiring

dengan laju kapitalisme pertanian. Oleh karena- nya, saya ingin mencoba menelusuri sampai sejauh manakah Jan Douwe van der Ploeg mem- bahas mengenai diferensiasi sosial di perdesaan.

Kerumitan Mencapai Keseimbangan

Jan Douwe van der Ploeg membuka The Art

of Farming dengan penjelasan tentang kecakapan Chayanov dalam melakukan analisa ekonomi mikro. Unit analisa ini menempatkan keluarga petani sebagai panggung utama dengan anggapan bahwa berbagai dinamika makro bisa tercermin lebih rumit di level mikro (hal. 23). Dua level itu menandai sebuah asumsi bahwa dinamika petani di perdesaan dipengaruhi oleh dua ruang yang dibedakan secara tegas, yakni keluarga petani dan lingkungan eksternalnya. Di tingkat keluarga pula para petani berjuang untuk memenuhi pangan anggota keluarga sekaligus melanjutkan produksi pertaniannya. Sementara lingkungan eksternal tidak semata-mata diposisikan sebagai faktor tunggal dinamika petani perdesaan. Argumentasi ini tampak jelas, seperti dikutip oleh Jan Douwe van der Ploeg, bahwa petani pandai menolak berbagai pengaturan (Scott 2009; lihat juga Mendras 1987 dalam Jan Douwe van der Ploeg 2013). Seringkali, unit usaha tani ini ter subordinasi dalam relasi kapitalistik yang tergambarkan melalui produksi komoditas: “Petani menjadi produsen komoditas skala kecil, mereka menjual lalu membeli barang dengan harga yang bergan- tung pada komoditas kapitalis, ditambah modal yang berputar melalui pinjaman bank,” (hal. 15- 16). Sekalipun demikian, bukan berarti unit usaha tani ter subordinasi dalam unit produksi kapitalis. Apa yang disebut sebagai unit usaha petani merupakan produksi pertanian petani yang memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari anggota keluarga. Mereka bukanlah tenaga kerja upahan seperti pada pertanian kapitalis. Ketika tenaga kerja pertanian dipenuhi oleh anggota keluarga maka keuntungan produksi menjadi sulit

dikalkulasi. Prinsip dasar perekonomian kapitalis yakni maksimalisasi keuntungan dengan mengu- rangi upah tenaga kerja menjadi tidak relevan. Absennya upah dalam pemenuhan tenaga kerja membuat balas jasa petani tidak diatur melalui pasar tenaga kerja. Pembeda lain juga terletak pada makna kapital dalam unit usaha tani yang tidak bisa disamakan dengan kapital untuk memproduksi nilai lebih yang diinvestasikan kembali untuk akumulasi nilai lebih (hal. 24). Bagi Chayanov, prinsip ini menjadi logis lantaran pencipta nilai yakni tenaga kerja upahan tidak relevan dalam unit usaha petani. Konsepsi kapital harus dilihat sesederhana mungkin sebagai

sarana prasarana pendukung pertanian (dalam

teks asli adalah capital formation, lihat hal. 37)

yang dimiliki oleh keluarga petani. Kapital juga dilihat sebagai sumber daya yang memiliki nilai guna untuk memenuhi naf kah hidup rumah tangga. Kapital keluarga ini bisa berfungsi menjadi penyangga saat gagal panen dan juga bisa diwariskan ke generasi berikutnya.

Perbedaan prinsip kerja unit usaha tani dengan pertanian kapitalis tercermin dalam manuver petani untuk menaksir dua bentuk keseim- bangan. Keseimbangan pertama adalah keseim- bangan tenaga kerja dan konsumsi. Tenaga kerja merujuk pada ketersediaan kekuatan produksi dari tangan-tangan yang bekerja, sementara konsumsi merujuk pada jumlah mulut dalam satu keluarga yang diberi makan (hal. 32). Pendeknya, kebutuhan konsumsi keluarga harus sebanding dengan total produksi pertanian di mana jumlah lahan yang dikerjakan disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Namun, perbandingan ini tidaklah sederhana. Nyatanya, jumlah lahan yang dikerjakan petani tidak serta merta ditentukan oleh kebutuhan konsumsi keluarga. Sebagai mesin penggerak pertanian keluarga, keseim- bangan ini perlu dimaknai lebih kompleks. Petani secara aktif menentukan formasi kapital, berupa sarana produksi pertanian per unit tanah, yang

mampu dikerjakan oleh tenaga kerja keluarga untuk meningkatkan panen. Konsekuensinya, subyektivitas dalam menaksir keseimbangan tenaga kerja dan konsumsi mensyaratkan keseim-

bangan kedua antara dorongan kerja maksimal

(dalam teks asli adalah drudgery, lihat hal. 38-42)

dan utilitas pada masing-masing individu petani. Sama seperti keseimbangan pertama, keseim-

bangan drudgery dan utilitas juga tidak serta

merta saling mempengaruhi. Drudgery dipahami

sebagai kerja keras individu dalam meningkatkan pendapatan pertanian mereka. Seringkali, istilah ini berkonotasi pada disiplin petani yang setiap hari rutin bekerja sejak subuh hingga senja dengan keringat bercucuran di bawah terik matahari. Sementara pembandingnya yakni utilitas dipahami sebagai manfaat tambahan yang tersedia karena peningkatan produksi petani (hal. 38). Keseimbangan ini menggerakkan energi yang dicurahkan oleh individu petani untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Semakin unit produksi pertanian memberi manfaat pada keluarga petani, maka individu- individu ini akan mencurahkan energi lebih besar. Namun di waktu yang sama, ambang batas curahan energi petani juga ditentukan oleh

drudgery setiap individu.

Didalam analisis Chayanov, prinsip kerja unit usaha tani berjalan sejalan dengan penaksiran terus menerus terhadap kedua keseimbangan itu. Penaksiran yang selanjutnya disebut evaluasi subyektif ini sangat memperhitungkan tenaga kerja dan konsumsi di tingkat rumah tangga dan curahan energi di level individu. Evaluasi ini menunjukkan bahwa realitas material tidak semata-mata mempengaruhi kinerja unit usaha tani. Secara aktif, petani melakukan penerje- mahan terhadap realitas material dengan tin- dakan-tindakan yang pantas (hal. 43-45). Evaluasi subyektif ini mengganti kalkulasi ekonomis dari relasi kapital-tenaga kerja pada pertanian kapitalis. Selain membahas dua keseimbangan

Chayanov, Jan Douwe van der Ploeg juga menambahkan lima pemutakhiran keseimbangan yang melampaui keseimbangan di tingkat rumah tangga dan individu petani. Keseimbangan pertama, keseimbangan manusia dan alam, merupakan co-produksi di mana manusia meninggalkan jejak sosial yang ramah saat memanfaatkan sumber daya alam. Co-produksi juga bisa dipahami sebagai norma pertukaran antara manusia dan alam. Jan Douwe van der

Ploeg mencontohkan cura di Itali, para peternak

sapi perah menyakini bila mereka merawat anak sapi dan induknya dengan baik maka panen susu akan berlimpah untuk tahun-tahun berikutnya (hal. 51). Prinsip tersebut berkaitan dengan keseimbangan kedua antara produksi dan reproduksi. Reproduksi pertanian ini mensyarat- kan co-produksi manusia dan alam untuk memperbaharui kapital dalam unit usaha tani (hal. 54). Sementara, produksi pertanian bisa dilanjutkan dengan curahan energi yang tidak besar selagi ada reproduksi terus menerus. Perkembangannya, reproduksi pertanian sedikit demi sedikit abai untuk menyertakan co-produksi manusia dan alam. Oleh karenanya, reproduksi perlu dilihat sebagai kontestasi antara tekanan eksternal dan dorongan internal yang bisa saja menghasilkan ketidakseimbangan (hal. 56).

Keseimbangan produksi dan reproduksi sangat dipenaruhi oleh keseimbangan ketiga yakni keseimbangan sumber daya internal dan eksternal. Prinsip ini telah membuka diri bahwa sulit bagi unit usaha tani untuk lepas dari sumber daya tertentu yang hanya bisa dipenuhi di ling- kungan eksternal mereka. Istilah sederhana dari bentuk keseimbangan ini adalah “membuat sendiri” atau “membeli dari luar” untuk meme- nuhi input produksi unit usaha tani. Masalah ini juga menjadi perdebatan runcing pada Abad 20 saat sebagian besar petani tak lagi memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari keluarga saja melain- kan juga dari pasar tenaga kerja (hal.57). Bentuk

keseimbangan ini menjadi semakin cair karena tekanan untuk memenuhi input produksi lewat pasar lebih besar dibanding dorongan internal untuk memenuhi sendiri. Petani tidak bisa lepas dari sirkuit komoditas. Oleh sebab itu, petani harus membuat ruang manuver yang memung- kinkan mereka memiliki beragam pilihan sedari pemenuhan input produksi di hulu pasar hingga penjualan hasil panen di hilir. Petani bisa saja mengurangi dorongan kerja optimal mereka untuk membuat pupuk kandang atau menyemai benih hanya dengna membeli sumber daya dari luar. Namun konsekuensinya otonomi relatif mereka menjadi makin kecil seiring dengan ketergantungan terhadap pasar.

Di dalam menaksir keseimbangan sumber daya internal dan eksternal, setiap individu petani mencoba untuk menyeteimbangkan otonomi dan ketergantungan. Keseimbangan keempat ini erat kaitannya dengan pengorganisasia kerja dan distribusi kekayaan di perdesaan. Relasi otonomi dan ketergantungan dicirikan dengan adanya relasi kelas dan sistem ekstraksi surplus pada masyarakat tani (Little 1989 dalam Jan Douwe van der Ploeg 2013). Seiring intensitas rumah tangga petani masuk dalam sirkuit komoditas, maka semakin besar pula ketimpangan struktural di mana surplus terkumpul hanya pada satu dua orang di desa karena penerapan uang sewa, bunga pajak dan lain-lain. Menurut Jan Douwe van der Ploeg, keseimbangan ini menjadi titik temu tradisi Chayanovian dengan analisis kelas. Sejauh mana formasi ekonomi politik mempengaruhi pem- bangunan perdesaan melalui tekanan eksternal tanpa meniadakan otonomi relatif dari petani (hal. 62-63). Perjuangan petani untuk memaksi- malkan otonomi relatif mereka terhadap unit usaha tani sangat berhubungan dengan keseim- bangan untuk menentukan skala produksi dan intensitas pertanian. Skala merujuk pada obyek kerja seperti lahan garapan per tenaga kerja. Sementara intensitas mengacu pada proses

produksi per obyek kerja. Melalui proses inilah, maka corak produksi pertanian bisa diidentifikasi. Semakin kecil intensitas proses kerja petani di atas sebidang lahan yang terbatas, corak pertanian ekonomi, maka semakin tersingkir pula mereka dalam kemiskinan. Sementara makin tinggi proses kerja petani di sebidang lahan yang sempit, maka corak pertanian mereka makin intensif. Sebaliknya, bila jumlah lahan yang semakin luas tidak dibarengi dengan intensitas pertanian, maka pengusahaan pertanian itu cenderung meng- hemat tenaga kerja upahan. Di sini, mekanisasi pertanian dan efisiensi menjadi norma yang kuat untuk menjalankan akumulasi keuntungan. Sementara bila skala pertanian yang besar diimbangi dengan unit usaha tani intensif, maka hasil panen produksi pertanian dengan corak itu bisa sangat besar.

Perkembangan terkini dari beragam keseim- bangan petani menunjukkan bahwa marjinalisasi terhadap kaum tani terjadi karena penaksiran terhadap keseimbangan tidak semata-mata ditentukan oleh unit usaha tani. Bagi Jan Douwe van der Ploeg (2013), penaksiran yang dilakukan keluarga petani sangat dipengaruhi oleh tekanan eksternal dan dorongan internal. Dengan demi- kian ketimpangan dan diferensiasi sosial muncul karena laju tekanan eskternal terhadap pengam- bilan keputusan pengorganisasian produksi rumah tangga petani. Maka pada bagian selanjut- nya, saya akan menyinggung: Pertama tentang

bagaimana The Art of Farming menjelaskan

diferensiasi sosial di perdesaan, dan kedua tentang analisis mikro Chayanov yang kurang tajam dalam melihat ketimpangan struktural diantara kaum tani.

Diferensiasi Sosial di Perdesaan

Jan Douwe van der Ploeg dalam bukunya The

Art of Farming menilai bahwa diferensiasi sosial di perdesaan muncul karena daya taksir atas keseimbangan unit usaha tani telah didominasi

tekanan eksternal. Tekanan eksternal ini dijembatani empat relasi sosial yang mendorong petani mengesampingkan otonomi relatifnya.

Analisis yang dibawa oleh tradisi Chayanovian membayangkan bahwa laju tekanan eksternal terhadap unit usaha tani telah melemahkan daya lenting petani menghadapi kapitalisme. Melalui penjelasan inilah, detil mengenai ketimpangan sosial di perdesaan muncul dalam empat relasi rumah tangga petani dengan lingkungan eksternal. Pertama adalah relasi desa dan kota yang dijembatani pertukaran komoditas. Mulanya, komoditas yang dipertukarkan di hilir pasar saat petani menjual kelebihan panen setelah mencukupi kebuuthan subsistennya. Namun, proyek neoliberal seperti Revolusi Hijau dengan kontrol negara yang bergantung mekanisme pasar, memiliki kontribusi atas ketergantungan petani terhadap hulu pasar dalam memenuhi kebutuhan reproduksi pertaniannya. Sekilas, Jan Douwe van der Ploeg juga melihat bahwa urbani- sasi bisa mempengaruhi keseimbangan rumah tangga tani dalam memenuhi tenaga kerja keluarga. Keseimbangan ini sangat bergantung pada repertoar kultural tentang seberapa pen- tingkah tenaga kerja yang pindah ke kota kembali ke desa dan meningkatkan reproduksi pertanian (hal. 82). Sayangnya, harus diakui bahwa konsep repertoar kultural masih lemah karena sulit terbukti mampu mengerem laju perpindahan tenaga kerja produktif dari desa ke kota.

Kedua adalah relasi pengolahan dan pema- saran pangan di mana petani hanya dilibatkan sebagai pemasok sumber daya mentah untuk industri pangan dunia. Didalam memasarkan komoditas taninya, satu rumah tangga petani sangat bergantung pada harga panen yang telah dimonopoli struktur industri pangan. Di sini, Jan Douwe van der Ploeg menyinggung peran kooperasi untuk menciptakan kembali prinsip komunalitas antar rumah tangga petani. Prinsip ini mengandaikan sebuah kerjasama untuk menciptakan norma yang mengatur hubungan produsen dan konsumen.

Ketiga adalah relasi negara dengan kaum tani.

Konsep negara dalam buku The Art of Farming

ini tergambar jelas sebagai,

“Entitas yang mencerminkan dan mengatur –baik langsung ataupun tidak langsung– relasi perekonomian kota dan desa, relasi antara pasar dan produsen primer, maupun hubungan antara petani, pedagang dan pengolahan pangan. Namun, lebih dari itu, negara juga memiliki kekuatan otonom yang mampu memaksakan rekam jejak mereka dalam dinamika perdesaan,” (Jan Douwe van der Ploeg 2013, 84).

Relasi antara negara dan kaum tani seringkali muncul untuk menyeimbangkan antara kepemilikan lahan dan proses produksi. Salah satu contohnya adalah kebijakan reforma agraria untuk mendistribusikan lahan dan juga revolusi hijau yang disebutkan oleh Jan Douwe van der Ploeg sebagai pemicu ketidakseimbangan penaksiran petani terhadap sumber daya eksternal mereka. Dengan membawa tradisi Chayanovian, Jan Douwe van der Ploeg juga memberikan contoh tentang koperasi di Peru bagian utaram. Koperasi lahir pada rentang tahun 1972 karena serikat buruh menyerbut tanah milik tuan tanah dan membangun koperasi. Hingga tahun 1976, koperasi buruh tani itu berjaya sampai akhirnya negara mengambil alih kendali manajerial koperasi dengan diserahkan kepada insinyur

pertanian. Akubatnya hasil panen pun turun drastis dan menyisakan pemogokan kerja di mana pun oleh anggota koperasi (hal. 86). Melalui contoh itu, maka intervensi negara terhadap kaum tani merupakan pemicu besar munculnya diferensiasi sosial perdesaan.

Keempat, relasi antara pertumbuhan agraria dan demograf i. Relasi ini mencoba untuk menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk, konsumsi pangan, tidak sebanding dengan pertumbuhan lahan produktif pertanian. Ketimpangan ini menhancurkan pasokan pangan nasional, pun dengan pasokan pangan rumah tangga. Rumah tangga di perdesaan tidak mampu mencukupi pangan karena tidak memiliki sarana mereproduksi lahan pertanian (hal. 88). Walau dipaparkan dengan singkat, tradisi Chayanovian mencoba untuk melihat bahwa kelangkaan akses petani terhadap sumber agraria tidak semata-mata disebabkan oleh salah taksir keseimbangan rumah tangga petani melainkan karena persoalan struktural. Hanya saja, elaborasi yang singkat oleh Jan Douwe van der Ploeg pada bagian ini (hal. 87-88) justru membuatnya tetap mengamini diferensiasi demograf i dalam tradisi Chayano- vian. Bagi Chayanov, ketidakadilan petani tercermin oleh siklus demograf i rumah tangga yang dirunut dari keseimbangan tenaga kerja- konsumen di mana jumlah tenaga kerja usia produktif harus lebih besar untuk mencukupi kebutuhan pangan usia non produktif (Bernstein 2011, 59).

Dengan demikian, konsep diferensiasi sosial dalam tradisi Chayanovian menyimpan dua asumsi. Pertama, fragmentasi terjadi diantara kaum tani dan kekuasaan eksternal. Analisa ini mengasumsikan bahwa rumah tangga petani, sejauh penyediaan tenaga kerja berasal dari keluarga dan memiliki formasi kapital sederhana, adalah satu entitas. Analisa Chayanov ini tajam dalam melihat diferensiasi sosial di luar kaum tani, namun lemah melihat dinamika kelas kaum tani.

Kaum tani dianggap tunggal bila pengorga- nisasian tenagakerjanya sama. Anggapan ini tentu bias kelas pada mereka yang disebut sebagai petani pemilik, bukan petani gurem yang menyewa tanah ataupun buruh tani. Kesenjangan ini pun menyejarah. Aass (menyadur Vink [1942] 1984), dalam esainya tentang relevansi teori Chayanov di Jawa, menyebutkan bahwa gagasan diferensiasi geograf is Chayanov makin tidak relevan seiring dengan melemahnya kekuasaan komunitas atas tanah. Pelemahan ini ditandai oleh dua periode pengaturan tanah dan tenaga kerja pada masa kolonial yakni tanam paksa (1830) dan perundangan tanah (1870) yang membuka sistem penguasaan tanah berbasis partikelir. Periode kolonisasi melalui tanam paksa, mengambil “waktu luang” dari produktif itas dari “kerja musiman” petani Jawa saat membera tanahnya agar dipaksa ditanami komoditas tertentu untuk surplus kolonial Eropa (Godelier [1968] dalam Aass 1984).

Asumsi kedua, Jan Douwe van der Ploeg menyakini bahwa diferensiasi sosial petani juga terjadi karena petani tidak bisa mengakses sarana produksi untuk membudidayakan lahan lantaran kemampuan menaksir keseimbangan tercerai-

berai oleh intervensi pasar dan negara. “Tierra sin

branzos y brazos sin tierra” (tanah tanpa tangan untuk bekerja dan tangan tanpa tanah), sebuah penggambaran situasi tragis orang Peru untuk menunjukkan keterbatasan sarana produksi dan tenaga kerja petani untuk menggarap lahan garapan yang tak terbatas jumlahnya. Bagi generasi ekonomi politik agraria, anggapan ini timpang lantaran diferensiasi sosial petani terjadi seiring dengan pemagaran-pemagaran lahan yang mentransformasi hubungan manusia dan alam melalui proses komodifikasi. Artinya, tenaga kerja manusia berubah menjadi tenaga kerja upahan seiring dengan penciptaan komoditas atas sumber-sumber agraria.

Analisa Chayanovian yang diterangkan oleh

Jan Douwe van der Ploeg ini memiliki tantangan besar untuk menjelaskan ketimpangan sosial di

Dalam dokumen Unduhan – PPPM Now (Halaman 104-116)