• Tidak ada hasil yang ditemukan

Soliditas Agama dan Suku di Moro Moro

Dalam dokumen Unduhan – PPPM Now (Halaman 74-76)

Dharma Setyawan 1 & Heru Islamic

F. Soliditas Agama dan Suku di Moro Moro

Warga Moro-Moro mendirikan Persatuan Moro-Moro Way Serdang (PPMWS), mereka mengorganisir 28 kelompok petani dan setiap kelompok terdiri dari 18 hingga 30 keluarga petani. Mereka juga mencari dukungan ke berbagai elemen seperti tokoh masyarakat, akademisi, tokoh agama untuk memperjuangkan hak warga Moro-Moro. Dengan jaringan tersebut mereka memperoleh dukungan yang signif ikan. Kurun waktu 2007 sampai sekarang, berbagai penelitian mulai dari skripsi sampai disertasi ikut lahir menceritakan proses perjuangan warga Moro- Moro. Tercatat dua publikasi buku telah diterbitkan dan puluhan artikel yang terbit di koran lokal dan nasional.7 Selain itu warga Moro-

Moro dibantu para akademisi dan aktif is agraria membuat f ilm dokumenter yang menceritakan perjuangan mereka mempertahankan tanah. PPMWS juga membuat website www.supportmoro-moro.com juga tersedia akun facebook OrangMoroMoro dan aku twitter @orangmoromoro.

F. Soliditas Agama dan Suku di Moro- Moro

Desa Moro-Moro saat ini dihuni oleh kurang lebih 955 kepala keluarga atau 3.518 jiwa yang tersebar dalam lima wilayah setingkat pedusunan dengan komposisi laki-laki sejumlah 1.863 orang dan 1.655 orang perempuan (wawancara Sekjen PPMWS 2012). Sebelumnya berdasarkan Sensus Penduduk 2010, terdapat 3.359 jiwa yang berada di wilayah Moro-Moro.

Di wilayah ini juga hidup berbagai suku dan agama. Suku terbesar berturut-turut Jawa, Bali, Lampung, dan lainnya. Agama terdiri dari Islam,

Hindu, dan Kristen. Pluralitas agama yang ada di Moro-Moro menjadi pemersatu untuk bertahan di tengah konf lik tanah, dimana kapanpun mereka harus siap jika pemerintah dan perusahaan akan kembali berupaya melakukan pengusiran dan penggusuran.

Masyarakat Moro-Moro sebagaimana yang ditulis oleh Oki Hajiansyah Wahab (2012) bahwa komposisi agama warga Moro-Moro terdiri dari Islam (60%), Hindu (35%) dan Kristen (5%). Jawa sebagai mayoritas beragama Islam dan Kristen, sedangkan Bali dengan jumlah penduduk ke dua mayoritas beragama Hindu. Bangunan sosial yang kuat dapat dilihat dari aktifitas keagamaan warga Moro-Moro yang saling mendukung. Sikap kolektif dapat ditemukan di masjid dan musola dengan rutin melaksanakan yasinan warga satu minggu sekali. Selain itu pada sore hari anak-anak mengaji al-Quran. Warga Jawa yang beragama Kristen juga beribadah ke Gereja pada tiap hari minggu. Aktif itas keagamaan warga Bali juga terlihat nyata saat mereka bersama-sama mempersiapkan peringatan hari raya nyepi.

Dalam percampuran kebudayaan yang berjalan pelan tapi pasti, warga Jawa dan Hindu juga seringkali bertukar posisi agama. Gadis Jawa yang menikah dengan warga Bali kemudian mengikuti agama di laki-laki sudah sering terjadi. Begitupun sebaliknya gadis Bali yang menikah dengan laki-laki Jawa Islam kemudian mengikuti agama Laki-laki yang Islam.8 Pada prinsipnya

mereka lebih mementingkan harmony di warga Moro-Moro yang sewaktu-waktu harus siap-siaga jika ada ancaman pengusiran atau penggusuran dari Pemerintah atau Perusahaan. Hubungan Jawa-Muslim dan Bali-Hindu merupakan satu

7 Buku Terasing di Negeri Sendiri ditulis Oki

Hajiansyah Wahab dan Kami Bukan Superman ditulis oleh Ridwan Hardiansyah seorang jurnalis lokal diterbitkan Indepth Publishing (2012).

8 Wawancara dengan Pak Ma dengan seorang petani

beretnis Bali di dusun Moro Seneng bernama Pak Man. Beliau menceritakan bahwa dua saudara perempuannya telah diperistri oleh orang Jawa dan orang Lampung dan kemudian masuk Islam. Ia mengaku tidak menjadi masalah di dalam keluarganya. Namun konsekuensi dari pilihan kedua saudara perempuannya, makan terputuslah hak waris dari orang tua.

kesatuan entitas dan tidak bisa dilepaskan oleh perbedaan suku dan agama, mereka sadar dengan memiliki sikap kolektif mereka dapat bertahan bersama-sama atas konf lik tanah yang tidak pernah tahu kapan selesai.

Keseriusan masyarakat membangun desanya ditunjukkan dengan usaha keras mereka membangun berbagai macam fasilitas secara mandiri. Misal tempat ibadah, mereka mem- bangunnya bergotong-royong meskipun mereka berbeda keyakinan. Sebagaimana inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama (Mahajan 1998, 37). Tidak ada diskriminasi minoritas baik terhadap suku dan agama yang ada di Moro-Moro. Warga Moro- Moro secara secara kultural menolak diskriminasi. Sebagaimana Parsudi sebut bahwa multikultu- ralisme memberikan nilai positif terhadap kera- gaman kultural. Konsekuensi lebih lanjut adalah kesediaan untuk memberikan apresiasi kontruktif terhadap segala bentuk tradisi budaya, termasuk agama. Kesadaran itu terwujud dengan bergotong royong membangun berbagai fasilitas sosial. Beberapa fasilitas sosial yang dibangun dengan gotong royong di Moro-Moro dapat dilihat dalam tabel 2.

Tabel 2. Daftar Fasilitas Umum di Moro-Moro

Sumber : Laporan TGPF Kasus Mesuji 2012

Meskipun jika dilihat konteks yang lebih jauh, sesungguhnya jalinan hubungan antara Jawa- Muslim dan Bali-Hindu sebagai sebuah kesatuan komunitas, tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan mereka untuk bersama-sama saling membantu mempertahankan lahan Moro-Moro dari ancaman penggusuran, baik oleh negara maupun perusahaan. Maka di sinilah ada motif pertukaran sehingga munculnya interaksi yang menjadi positif antara orang Jawa-muslim dengan orang Bali- Hindu. Kalangan Jama-Muslim misalnya memandang ritual puasa sebagai kesadaran uni- versal sehingga memiliki daya pandang egaliter terhadap sesama. Sebuah kesadaran yang mengikat kecerdasan emosi seorang hamba dengan Tuhannya dan menjadi landasan bagi terbangunnya kecerdasan relasi-rasional antar- sesama (Moller 2005, 72). Jawa-Muslim di Moro- Moro telah mampu membuka diri, tidak melakukan tirani mayoritas, bahkan membangun kesadaran sosial bersama umat beragama yang lain.

Kalangan Jawa-Kristen sebagai agama minoritas juga dibantu mendirikan gereja oleh jawa-Muslim yang mayoritas. Dogma Kristen tentang iman, harap dan kasih menjadi ajaran yang baik dalam mengkondisikan atau membuka jalan bagi dialog antar agama maupun peng- hayatan iman yang berwawasan multikultural. Dalam ajaran kristen juga berlaku prinsip yang sangat populer dalam Gereja Katolik: in principiis Unitas (dalam hal prinsip kita bersatu), misalnya dalam hal ajaran tentang Yesus, inkarnasi, dogma iman. In dubiis Libertas (dalam hal yang bebas terbuka, kita bebas menentukan pilihan). In om- nibus caritas/dalam segala hal harus ada kasih (Ola 2005, 45).

Dalam kesadaran hubungan harmoni antara Jawa-Muslim dan Jawa-Kristen mereka saling mampu bersinergi. Sesama Jawa mereka saling tolong menolong mendirikan masjid, Musola dan Gereja sebagai tempat mereka beribadah kepada

No Fasilitas Jumlah Lokasi 1 TK 3 buah Morodewe, Moroseneng 2 SD 3 buah Sukamakmur, Moroseneng, danMorodewe 3 SMP 1 buah Moroseneng

4 Masjid 4 buah Moroseneng, Morodewe, dan Sukamakmur

5 Mushola 12 buah Moroseneng (4), Morodewe (4), Sukamakmur (2), dan Morodadi (2) 6 Pura 3 buah Asahan, Moroseneng, Morodadi,Sukamakmur 7 Gereja 3 buah Moroseneng, Morodadi, danSukamakmur 8 Gapura 11 buah Di semua Dusun

9 Pasar 1 buah Moroseneng 10 Balai

Pertemuan

2 buah Moroseneng, Sukamakmur 11 Lapangan

Olahraga

3 buah Moroseneng, Morodewe, dan Sukamakmur

Tuhan. Warga Moro-Moro tidak lagi tersekat dalam perbedaan agama, mereka menyatu dan menggunakan spirit agama untuk membangun hubungan harmoni. Bukan hanya dengan sesama Jawa, dengan suku Bali, Lampung, Sumendo yang ada di Moro-Moro mereka membangun hubungan baik.

Dalam ajaran Hindu misalnya mereka mengenal Tattawam Asi yang merupakan ajaran sosial tanpa batas, saya adalah kamu dan kamu adalah saya dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Begitupun sebaliknya menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri. Bila dihayati dan diamalkan dengan baik, maka akan terwujud suatu keharmonisan hidup (Kitab Upanisat 1995, 478). Karma Phala merupakan suatu hukum akibat (causalitas) bahwa segala perbuatan akan menerima akibatnya. Seseorang yang berbuat baik pasti akan menerima kebaikan, dan seseorang yang berbuat buruk akan menerima keburukan di kemudian hari (Kitab Upanisat 1995, 456).

Ahimsa merupakan landasan penerapan kehar- monisan bagi ajaran Hindu. Ahimsa berarti tanpa kekerasan, secara etimologi berarti tidak membu- nuh, tidak menyakiti makhluk hidup lainnya, hendaknya membela kebenaran dilakukan dengan tidak melakukan perusakan-perusakan.

Ahimsyah Paramo Dharma yang artinya kebajikan tertinggi, kebenaran (dharma), tertinggi dan pengendalian diri ahimsa adalah kebajikan tertinggi kebenaran (dharma) tertinggi (Kitab Upanisat 1995, 480).

Warga Bali-Hindu di Moro-Moro telah me- megang erat ajaran di atas dan menjadi laku spiri- tual dalam kehidupan. Tidak hanya pada ruang kemanusiaan, warga Bali-Hindu sangat pandai menjaga kelestarian alam. Mereka menanam, membangun gapura yang indah dan telah banyak membangun rumah permanen di kawasan Moro- Moro. Secara ekonomi warga Hindu sangat tekun, mereka rajin bertani karena hasil tanaman

mereka persembahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Sesajen dari tanaman tersebut sebagai tanda ungkapan syukur kepada sang pencipta.

Gambar 2. Masjid, Pura dan sebuah tiang sesajen di ladang orang Bali. Sumber : foto Heru Islamic

(2014)

G. Mendirikan Sekolah Untuk Anak

Dalam dokumen Unduhan – PPPM Now (Halaman 74-76)