• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mendirikan Sekolah Untuk Anak Moro-Moro

Dalam dokumen Unduhan – PPPM Now (Halaman 76-79)

Dharma Setyawan 1 & Heru Islamic

G. Mendirikan Sekolah Untuk Anak Moro-Moro

Cerita tentang pendirian sekolah dilakukan sebagai bentuk keresahan orang tua yang ingin anaknya mendapat hak pendidikan. Ketika mereka dibenturkan dengan persoalan bagaimana agar anak-anak mereka dapat bersekolah semen- tara mereka tidak bisa meninggalkan dan harus mengurus ladang. Kalaupun jika mereka harus menyekolahkan anaknya, sekolah terdekat jarak- nya dirasakan cukup jauh di luar Register 45.

Maka mereka mendirikan bangunan sekolah yang sangat sederhana. Dalam pembangunan SD tersebut setiap dari mereka ada yang menyumbang kayu, atap belit, papan dan bahan lainya agar sekolah itu bisa berdiri. Begitu juga dengan biaya untuk mendukung operasional dan pengerjaannya, seperti untuk membeli paku, upah dan biaya makan tukang, sampai yang menyumbang tenaga. Masing-masing dari mere- ka berpartisipasi tidak hanya memberikan sumbangan secara materi namun juga tenaga dan pikiran, terutama mereka yang memiliki anak dan membutuhkan keberadaan sekolah. SD dusun Moro Seneng adalah SD pertama di Moro-Moro yang ketika itu mereka sebut sebagai “sekolah milik warga”, karena terbangun atas andil hampir seluruh warga. Ketika didirikan pertama kali, mereka hanya mampu membangun 3 lokal kelas berupa bangunan yang berbahan kayu, atap belit dan hanya berlantaikan tanah. Asumsinya ketika itu yang penting dapat menampung anak-anak mereka belajar seperti di daerah asalnya semen- tara para orangtua bisa meneruskan aktivitas berladang.

Setelah sekolah berdiri, mereka mencari sekolah yang bersedia mengakui sekolah mereka sebagai kelas jarak jauh. Ini dilakukan agar nantinya anak-anak yang sekolah di Moro-Moro bisa diakui status belajar mengajarnya dan ikut serta dalam Ujian Nasional. Sampai pada tahun 2004 SD Dusun Moro Seneng akhirnya untuk pertama kali bisa meluluskan muridnya dengan menginduk kepada sebuah sekolah SD yang berada di desa Labuhan Batin, desa terdekat di Luar kawasan Register 45. Segala biaya yang dibutuhkan sekolah diadakan secara swadaya mulai dari pengadaan alat tulis, penyediaan sarana prasarana penunjang sampai honor untuk para guru yang mengajar. Dengan masih terus berlangsungnya penggalangan dana secara kolektif ini, oleh mereka yang dialokasikan untuk sekolah, akhirnya kini SD Moro-Moro mening-

galkan bangunan lamanya dan mendirikan bangunan permanen.

Setelah itu kemudian mereka mendirikan SMP sebagai sekolah lanjutan pasca SD. Kini sejak berdirinya SMP, bisa dikatakan sudah tidak ada lagi anak Moro-Moro yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP. Sama seperti SD, SMP Moro-Moro pun menginduk kepada salah satu sekolah SMP swasta di Luar Register 45 yang dinaungi oleh sebuah yayasan. Walaupun kemudian terjadi permasalahan yang mengganggu sistem belajar di SD Morodewe yang belum lama ini ditutup oleh Bupati Mesuji Khamamik. Warga Moro-Moro dengan PPMWS berjuang melakukan advokasi dengan realese media dan membuat f ilm dokumenter. Walaupun pada akhirnya, kenyataan terjadi mereka harus pindah sekolah karena izin belajar dicabut oleh Bupati Khamamik, sehingga harus mengikuti belajar ke sekolah Induk yang jaraknya 40 km. Kini mereka melakukan iuran uang untuk menyewa truk untuk mengantar anak-anak mereka ke sekolah induk. Warga Moro-Moro tetap solid menghadapi semua per- masalahan yang ada di sekeliling mereka.

H. Kesimpulan

Warga Moro-Moro yakin mereka dapat ber- tahan di kawasan register 45 jika mampu menjaga soliditas yang selama ini telah diperjuangkan. Konflik tanah yang tidak tahu kapan usai menjadi basis kesadaran warga Moro-Moro untuk tetap solid bertahan di kawasan hutan register 45 Mesuji lampung. Sikap harmoni agama dan suku warga Moro-Moro menjadi sesuatu yang wajib dilakukan agar konflik SARA tidak menjadikan mereka terpecah belah. Upaya mereka mem- bangun jaringan kepada berbagai level mulai dari akademisi, aktif is agraria, tokoh agama, dan jaringan media menjadikan warga Moro-Moro semakin kuat dan solid. Dengan mendirikan PPMWS sebagai organisasi petani yang terus melakukan advokasi warga, mereka dapat

mengabarkan kepada pihak luar atas apa yang mereka alami sebagai warga yang terstigma “perambah”.

Kesadaran multikultural antar agama dan suku juga menjadi kekuatan spiritual di sisi lain. Mereka bekerjasama mendirikan tempat ibadah, sekolah dan fasilitas sosial lainnya. Perbedaan yang telah ada sejak awal tidak menjadikan warga Moro-Moro tersekat-sekat. Soliditas gerakan petani menjadikan kehidupan mereka berangsur lebih baik. Kalangan Jawa-Kristen sebagai agama minoritas juga dibantu mendirikan gereja oleh Jawa-Muslim yang mayoritas. Jawa-Muslim telah mampu menerapkan pribumisasi Islam sebagai- mana pernah digaungkan oleh Gus Dur. Dogma Kristen tentang iman, harap dan kasih menjadi ajaran yang baik dalam mengkondisikan atau membuka jalan bagi dialog antar agama maupun penghayatan iman yang berwawasan multikul- tural. Ajaran kristen in principiis Unitas (dalam hal prinsip kita bersatu), In dubiis Libertas (dalam hal yang bebas terbuka, kita bebas menentukan pilihan), In omnibus caritas (dalam segala hal harus ada kasih diejawantahkan Jawa-Kristen di register 45. Begitu juga ajaran Hindu tentang

Tattawam Asi, Karma Phala dan Ahimsa. Ajaran

Ahimsyah Paramo Dharma yang artinya kebajikan tertinggi, kebenaran (dharma), tertinggi dan pengendalian diri ahimsa adalah kebajikan tertinggi kebenaran (dharma) tertinggi. Kehi- dupan yang harmoni antar agama dan suku di warga Moro-Moro Mesuji menjadi bukti bahwa konflik bisa dihadapi dengan soliditas bersama.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Moeslim, 2003, Islam sebagai kritik sosial, Erlangga, Jakarta.

Depag RI, 1995, Terjemahan Kitab Upanisad, Jakarta, Balai Pustaka.

Ghazali, Abd Moqsith dan Mustafa Basyir Rasyad, 2006, Islam Pribumi: Mencari Model Keberislaman ala Indonesia, dalam

Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus Af (ed.) Menjadi Indonesia: 13 abad Eksistensi Islam di Nusantara, Mizan, Bandung. Graf is Tabel diambil dari Laporan TGPF Kasus

Mesuji.

Islamic, Heru, 2015, Strategi perjuangan mem- pertahankan tanah berbasis kapital sosial (studi kasus pada komunitas Moro-Moro di kawasan hutan register 45 Mesuji), Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Sosiologi Program Pascasarjana, Depok.

Kymlicka, W 1995, Multicultural citicenship: lib- eral theory of minority rights, Oxford: Clarendon Press.

Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Mesuji 2012

Mahajan, Gurprett, 1998, Democracy, difference and Juctice, Lahore: Longman and Co, hal 37.

Moller, Andre, 2005, Ramadhan di Jawa: Pan- dangan dari Luar, Jakarta: Nalar.

Ola T.Pr, Benno, 2005, ‘Pemetaan Iman Kristiani dalam Multikultural’, Jurnal LPKUB Perwa- kilan Medan, edisi I.

Oki Hajiansyah Wahab, 2013, ‘Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan: Sebuah Transformasi Perjuangan Masyarakat (Kasus Masyarakat Moro-Moro Register 45 Mesuji Lampung)’,

Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, ISSN 1410- 4946, Volume 16, Nomor 3, Maret 2013. Parekh, B 2000, Rethinking multiculturalism: cul-

tural diversity and political theory, MacMillan Press Ltd.

Wahab, Oki Hajiansyah, 2012, Terasing di Negeri Sendiri, Lampung, Indept Pu-Blishing.

Diterima: 22 September 2015 Direview: 2 Oktober 2015 Disetujui: 20 Oktober 2015

DI KABUPATEN BANTUL BERDASARKAN ASPEK TATA GUNA TANAH

Dalam dokumen Unduhan – PPPM Now (Halaman 76-79)