• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Diagram Alir Proses

Analisis utilisasi kapasitas produksi teh pabrik ini dimulai dengan menggambarkan diagram alir prosesnya. Pabrik pengolahan teh hitam ortodoks jika ditinjau pada tingkat agregat terdiri dari pucuk teh (input), pabrik itu sendiri (bangunan dan mesin), serta persediaan dalam bentuk produk bubuk teh jadi (output). Tinjauan proses produksi akan detail dilakukan dengan menggambarkan bagian-bagian pabrik berdasarkan fungsi produksinya. Gambar 11 mendeskripsikan denah unit ruangan berbagai tahapan yang terlibat pada keseluruhan proses dan bagaimana fungsi dari tahapan-tahapan tersebut.

Gambar 11. Denah Unit Produksi Pabrik Pasir Nangka

Gambar 11 menunjukan semua unit ruangan yang terdapat di lingkungan pabrik. Selanjutnya, tinjauan dilakukan dari sudut pandang pucuk dan bubuk teh serta alirannya antar tahap proses. Selama berada di dalam pabrik, teh melalui berbagai tahapan, baik berupa proses, menunggu untuk diproses, maupun disimpan dalam bentuk persediaan. Satuan dari bahan tersebut dinyatakan dalam satuan kg bubuk teh kering sebagai unit aliran yang

43 melewati tiap tahapan proses. Tinjauan ini digambarkan sebagai diagram aliran proses seperti pada Gambar 12. Dari gambar tersebut dapat diketahui alur dari suatu unit material selama proses pengolahan, mulai dari proses pelayuan hingga penyimpanan produk dalam bentuk kemasan di gudang.

Gambar 12. Diagram Alir Proses Pabrik Pasir Nangka

2. Kapasitas Proses dan Laju Aliran Proses

Pengukuran kapasitas dengan benar adalah sebuah hal yang sangat dasar untuk mengatur dan mengelola kapasitas. Hal ini karena keputusan yang dibuat dalam manajemen kapasitas didasarkan pada pengukuran yang dilakukan. Suatu unit material yang berupa pucuk atau bubuk teh akan melalui semua stasiun kerja yang terdapat di pabrik. Kapasitas proses secara keseluruhan ditentukan oleh sumberdaya yang memiliki kapasitas terkecil. Sumberdaya tersebut merupakan bottleneck. Kapasitas teknis dari mesin-mesin produksi dapat dilihat pada Lampiran 4.

Unit kerja pelayuan dapat memproses sekitar 50.000-55.000 kg pucuk segar atau ekuivalen dengan 11.500 kg bubuk teh kering. Pucuk tersebut memerlukan waktu 10 - 20 jam di unit ini. Unit pelayuan tidak beroperasi dengan hitungan kg/jam, melainkan per hari serta menampung produksi pucuk basah dari kebun sehingga tidak termasuk tahapan proses yang menjadi bottleneck. Begitu pula dengan operasi dari unit kerja pengepakan. Unit tersebut terpisah oleh persediaan dalam peti miring dari unit operasi yang lain.

44 Unit kerja penggilingan secara teknis dapat menangani 2.495 kg pucuk layu/jam yang ekuivalen dengan 1.121 kg bubuk kering/jam. Unit kerja pengeringan dapat menghasilkan 950 kg bubuk teh kering/jam. Sedangkan unit kerja sortasi dapat menerima bubuk kering sebanyak 1000 kg/jam. Perhitungan kapasitas teknis dari masing-masing unit kerja tersebut dikumpulkan pada Tabel 11.

Tabel 11. Perhitungan Kapasitas Teknis Masing-Masing Unit Produksi Unit Proses Penghitungan Kapasitas • Penggilingan dan

Oksidasi Enzimatis

Laju alir = 3.363 kg/ 3 jam

1.121 kg/jam

• Pengeringan 4 Mesin, total 950 kg/jam 950 kg/jam • Sortasi 2 Lini = 2 x 500 kg/jam 1000 kg/jam Proses Total Berdasarkan bottleneck, yaitu

unit proses pengeringan 950 kg/jam Waktu yang dibutuhkan oleh setiap tahap untuk menyelesaikan suatu pekerjaan berbeda-beda tergantung dari kedatangan barang, kecepatan kerja dan jumlah sumberdaya. Akibat yang ditimbulkan bila waktu pelayanan setiap tahapan produksi berbeda adalah aliran bahan menjadi tidak seimbang dan berpotensi menimbulkan antrian. Salah satu upaya untuk menekan terjadinya antrian adalah dengan menetapkan waktu penyelesaian standar oleh perusahaan yang menjadi patokan bagi setiap sumberdaya. Pengamatan waktu kerja dilakukan dengan cara menghitung waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan bahan yang ada pada setiap lini pengolahan.

Kerugian yang dapat timbul bila standar waktu penyelesaian tidak tercapai adalah biaya produksi tidak dapat diperkirakan, anggaran produksi tidak sesuai dan mutu produk jadi tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perbaikan kapasitas harus didasarkan pada biaya serta kualitas dari produk yang dihasilkan.

45 a. Model Standar

Khusus untuk model standar waktu kerja yang digunakan tidak diambil secara langsung di lapangan pada saat penelitian, tetapi merupakan waktu kerja yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai acuan dalam pencapaian target produksi. Waktu dan kapasitas standar dapat dilihat pada Tabel 12. Model standar ini dijadikan acuan bagi model-model selanjutnya.

Tabel 12. Pengukuran Waktu Kapasitas Model Standar

Lini

Bahan (ton) Waktu Proses (jam) Waktu Pelayanan (jam/ton) Kapasitas rata-rata (ton/jam) Real Equivalen Pelayuan 50,00 11,50 9,36 0,19 5,34 Penggilingan 23,40 11,34 9,36 0,40 2,50 Pengeringan 11,24 11,24 11,83 1,05 0,95 Sortasi 11,16 11,16 11,16 1,00 1,00 b. Model Aktual

Model aktual ini adalah kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan, yaitu berdasarkan data rata-rata harian pada tahun 2007. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Pengukuran Waktu Kapasitas Model Aktual

Lini

Bahan (ton) Waktu Proses (jam) Waktu Pelayanan (jam/ton) Kapasitas rata-rata (ton/jam) Real Equivalen Pelayuan 37,04 8,52 12,00 0,32 3,09 Penggilingan 17,33 8,39 12,00 0,69 1,44 Pengeringan 8,32 8,32 12,05 1,45 0,69 Sortasi 8,26 8,26 12,02 1,46 0,69 Berdasarkan Tabel 13, dapat dilihat bahwa waktu kerja antar tahapan pengolahan berada pada kisaran waktu yang tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan rendahnya jumlah tumpukan bahan antar lini. Dari sisi

46 kualitas bahan, keadaan ini menguntungkan, karena tidak terjadi penurunan kualitas akibat kelebihan fermentasi.

Namun, dari tinjauan kapasitas, dapat dilihat bahwa pencapaian kapasitas aktual ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan model standar. Rendahnya tingkat penggunaan kapasitas ini menyebabkan biaya yang lebih besar daripada yang seharusnya.

c. Model Rekayasa Lini Penggilingan

Model ini merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan kapasitas lini penggilingan sebagai patokan bagi kerja dari lini-lini yang lainnya. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Pengukuran Waktu Kapasitas Model Rekayasa Lini Penggilingan

Lini

Bahan (ton) Waktu Proses (jam) Waktu Pelayanan (jam/ton) Kapasitas rata-rata (ton/jam) Real Equivalen Pelayuan 64,10 14,04 12,00 0,19 5,34 Penggilingan 30,00 14,54 12,00 0,40 2,50 Pengeringan 14,41 14,41 15,13 1,05 0,95 Sortasi 14,31 14,31 14,31 1,00 1,00 Dengan menggunakan lini penggilingan sebagai patokan, dapat dilihat dari Tabel 14 bahwa jam kerja dari lini penggilingan relatif rendah dibandingkan lini selanjutnya, yaitu lini pengeringan. Hal ini mengindi- kasikan terjadinya penumpukan bahan setelah penggilingan sehingga terjadi kelebihan fermentasi. Kondisi ini dapat menyebabkan penurunan mutu dari produk teh yang dihasilkan. Sedangkan dari sisi penggunaan kapasitas disesuaikan dengan standar waktu yang ditetapkan oleh perusahaan sehingga tidak terjadi pembengkakan biaya pengolahan. d. Model Rekayasa Lini Pengeringan

Model ini merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan kapasitas lini pengeringan sebagai patokan bagi kerja dari lini-lini yang lainnya. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 15.

47 Tabel 15. Pengukuran Waktu Kapasitas Model Rekayasa Lini

Pengeringan

Lini

Bahan (ton) Waktu Proses (jam) Waktu Pelayanan (jam/ton) Kapasitas rata-rata (ton/jam) Real Equivalen Pelayuan 53,25 11,66 9,49 0,19 5,34 Penggilingan 23,73 11,49 9,49 0,40 2,50 Pengeringan 11,40 11,40 12,00 1,05 0,95 Sortasi 11,32 11,32 11,32 1,00 1,00 Lini pengeringan ini memiliki kapasitas paling rendah jika dibandingkan dengan lini lainnya. Oleh karena itu, tingkat penggunaan lini ini harus dapat dimaksimalkan. Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa baik dari tinjauan waktu proses maupun tingkat penggunaan kapasitas tidak jauh berbeda dengan model sebelumnya. Pada model ini pun masih terjadi penumpukan bahan dengan waktu yang cukup signifikan, yaitu selama lebih dari dua jam.

e. Model Rekayasa Lini Sortasi

Model ini merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan kapasitas lini sortasi sebagai patokan bagi kerja dari lini-lini yang lainnya. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16. Pengukuran Waktu Kapasitas Model Rekayasa Lini Sortasi

Lini

Bahan (ton) Waktu Proses (jam) Waktu Pelayanan (jam/ton) Kapasitas rata-rata (ton/jam) Real Equivalen Pelayuan 53,76 11,78 12,90 0,19 5,34 Penggilingan 25,16 12,19 10,06 0,40 2,50 Pengeringan 12,09 12,09 12,69 1,05 0,95 Sortasi 12,00 12,00 12,00 1,00 1,00 Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa dengan melakukan rekayasa dengan berdasar pada lini sortasi masih terjadi penumpukan bahan antara lini pengeringan dan pengeringan sehingga terjadi fermentasi berlebih. Hal positif dari model ini adalah terjadinya peningkatan jumlah produk yang dihasilkan menjadi senilai 12 ton teh jadi dalam satu hari.

48 f. Model Rekayasa Lini Pengeringan dan Pengurangan Mesin Giling

Berdasarkan hasil simulasi pada model-model sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat kelebihan kapasitas pada lini penggilingan yang berpotensi menurunkan mutu akibat kelebihan fermentasi. Oleh karena itu dikembangkan model dengan menggunakan lini pengeringan sebagai patokan, namun dengan mengurangi penggunaan mesin pada lini penggilingan tahap pertama menjadi tiga OT dan tiga BR sehingga kapasitasnya menjadi 1,95 ton per jam.

Tabel 17. Pengukuran Waktu Kapasitas Model Rekayasa Lini Pengeringan dan Pengurangan Mesin Giling

Lini

Bahan (ton) Waktu Proses (jam) Waktu Pelayanan (jam/ton) Kapasitas rata-rata (ton/jam) Real Equivalen Pelayuan 53,25 11,66 12,17 0,23 4,38 Penggilingan 23,73 11,49 12,17 0,51 1,95 Pengeringan 11,40 11,40 12,00 1,05 0,95 Sortasi 11,32 11,32 11,32 1,00 1,00 Dari tabel 17 dapat dilihat bahwa jam kerja lini penggilingan lebih rendah daripada lini pengeringan. Hal ini mengindikasikan tidak terjadi penumpukan bahan di antara kedua lini tersebut. Dengan demikian dapat dihindari terjadinya penurunan mutu akibat kelebihan fermentasi. Selanjutnya dari tinjauan kapasitas tidak terjadi pemborosan biaya karena mesin yang dijalankan disesuaikan dengan bahan yang diolah. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa model simulasi ini merupakan yang terbaik jika dibandingkan dengan model yang lain.

Kuantitas dari produk teh yang diproduksi tidak hanya tergantung pada kapasitas teknis dari suatu proses, tetapi juga pada ketersediaan input bahan baku. Oleh sebab itu, pengoperasian mesin-mesin produksi disesuaikan dengan jumlah bahan baku pucuk, terutama saat jumlah bahan baku sedikit.

Kapasitas suatu lini produksi merupakan kemampuan maksimal lini tersebut dalam suatu satuan waktu untuk menghasilkan sejumlah produk. Sedangkan laju alir menunjukan jumlah produk aktual yang dihasilkan selama

49 waktu tersebut. Perbedaan antara nilai kapasitas lini produksi dengan laju aliran bahan menunjukan terjadinya underutilization. Perhitungan utilisasi dari pabrik Pasir Nangka dan masing-masing lini produksinya pada tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Perhitungan Kapasitas pada Produksi Tahun 2007

Penggilingan Pengeringan Sortasi Produksi 2.493.955 kg teh kering

Waktu aktivitas 0,892 x 10-3 jam/kg 1,053 x 10-3 jam/kg 1,000 x 10-3 jam/kg Kapasitas 1.121 kg/jam 950 kg/jam 1.000 kg/jam Kapasitas

proses

Minimum{1.121 kg/jam, 950 kg/jam, 1.000 kg/jam} = 950 kg/jam

Laju aliran 686 kg/jam 686 kg/jam 686 kg/jam Waktu siklus 1,458 x 10-3 jam/kg 1,458 x 10-3 jam/kg 1,458 x 10-3 jam/kg Waktu menganggur 0,566 x 10-3 jam/kg 0,405 x 10-3 jam/kg 0.458 x 10-3 jam/kg Utilisasi 61,2 % 72,2 % 68,6 %

Produksi teh Pasir Nangka pada tahun 2007 pada beberapa periode mengalami keadaan supply constrained. Dalam keadaan ini lini yang menjadi bottleneck tidak beroperasi pada kapasitas penuh, sehingga terjadi underutilization. Dengan membandingkan tingkat utilisasi, terlihat bahwa terdapat ketidakseimbangan antar lini. Lini pengeringan yang menjadi bottleneck bekerja pada tingkat utilisasi 72,2 persen, lini penggilingan hanya pada tingkat 61,2 persen, sedangkan lini sortasi mencapai 68,6 persen.

Lini pengeringan memiliki tingkat utilisasi paling tinggi dan waktu menganggur paling rendah karena lini inilah yang menjadi bottleneck. Tingkat utilisasi lini penggilingan lebih kecil karena laju output disesuaikan dengan input lini pengeringan, walaupun memiliki kapasitas teknis yang lebih besar. Kondisi yang sama terjadi pada lini sortasi. Rendahnya tingkat utilisasi lini sortasi terjadi akibat pengisian mesin kadang terhambat akibat kedatangan bahan dari lini pengeringan yang tidak kontinyu serta seringnya dilakukan proses berulang-ulang untuk mendapatkan hasil sortasi yang sesuai.

50 3. Hambatan Kapasitas Produksi

Proses keseluruhan produksi teh hitam ini memiliki kapasitas 950 kg/jam. Pada kondisi ideal, setiap satu jam selama proses, material yang ekuivalen dengan 950 kg bubuk teh kering akan memasuki proses tersebut dan 950 kg teh akan keluar dari proses tersebut. Besarnya nilai aktual dari kapasitas produksi pabrik dan masing-masing lini produksi yang dicapai setiap waktunya selalu mengalami fluktuasi.

Aliran bahan yang mulus dan konstan pada prakteknya sangat jarang terjadi. Terdapat beberapa alasan mengapa aliran proses terganggu. Alasan yang paling berpengaruh adalah adanya variasi dalam waktu proses atau pada pencapaian kualitas bahan pucuk maupun bubuk teh. Terdapat beberapa titik tempat terjadinya kehilangan bahan atau pengerjaan ulang akibat tidak terpenuhinya standar kualitas.

Titik kehilangan bubuk pada proses penggilingan yaitu terjadinya ceceran bubuk di lantai serta bubuk tertinggal pada mesin. Nilai kehilangan bubuk pada titik tersebut cukup kecil. Kehilangan ini juga dapat ditekan dengan melakukan pencegahan terjadinya ceceren serta dengan pembersihan bubuk yang tersangkut pada mesin penggiling atau pengayak basah.

Peluang kehilangan bubuk juga terjadi pada proses pengeringan. Pada proses ini bubuk teh dikeringkan dengan hembusan udara panas. Hal tersebut dapat menyebabkan bubuk teh yang ringan dan berukuran kecil tertiup ke luar dari mesin pengering serta ada yang terbawa keluar ruangan melalui lubang udara maupun pintu. Titik kehilangan juga terjadi akibat jatuhnya bubuk teh ke dalam ruangan di bawah trays pengeringan. Hal ini cukup berpengaruh karena bubuk yang jatuh memiliki bobot jenis yang lebih besar daripada bubuk yang terbang keluar. Selain itu, rendahnya rendemen yang dihasilkan juga bisa terjadi akibat proses pengeringan itu sendiri. Jika terjadi pengeringan berlebih, jumlah air yang diuapkan terlalu banyak dan mengurangi bobot teh hasil pengeringan. Oleh karena itu, proses pengeringan harus selalu dikontrol, baik secara inderawi (peraba dan penciuman) serta pengukuran kadar air (moisture content) bubuk kering.

51 Kehilangan bubuk teh pada proses sortasi terjadi akibat adanya bubuk teh di luar spesifikasi. Bubuk off-spec tersebut tidak dapat dijadikan produk jadi dan terbuang melalui exhaust fan. Bubuk tersebut dapat terjadi sejak proses penggilingan dan pengeringan. Proses sortasi itu sendiri dapat menghasilkan off-spec tersebut. Proses sortasi bubuk teh dengan menggunakan mesin ayakan berputar menyebabkan terjadinya gesekan antara bubuk teh dengan ayakan yang terbuat dari kawat. Hal tersebut dapat mengakibatkan bubuk teh terkikis dan menghasilkan partikel-partikel berukuran sangat kecil (powder) yang merupakan off-spec. Begitu pula dengan proses pengecilan ukuran bubuk oleh mesin druck roll, selain menghasilkan bubuk yang diinginkan juga menghasilkan powder.

D. MODEL MANAJEMEN KAPASITAS

Aktivitas produksi yang dilakukan Pabrik Pasir Nangka akan memberikan nilai tambah kepada produk jadi berupa teh kering. Aktivitas yang dilakukan tersebut tidak seluruhnya merupakan aktivitas produktif, yaitu menghasilkan produk yang dapat dijual. Analisis utilisasi kapasitas dengan menggunakan model manajemen kapasitas CAM-I ini bertujuan untuk mengetahui tingkat utilisasi kapasitas dari masing-masing lini produksi. Sehingga bisa diketahui hal apa yang dapat atau harus diperbaiki untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi masing-masing lini.

Untuk mendapatkan analisis pabrik yang lengkap, masing-masing lini produksi dianalisis secara individual dan kemudian dikombinasikan dengan proses lainnya. Analisis dilakukan terhadap data operasi pabrik Pasir Nangka selama tahun 2007.

Kapasitas teoritis (theoretical capacity) adalah kemampuan suatu lini produksi untuk menghasilkan teh kering dalam waktu maksimum selama satu tahun. Hal tersebut yaitu 365 hari dalam satu tahun dan 24 jam sehari tanpa ada yang terbuang. Kapasitas praktek (practical capacity) adalah output maksimum pabrik dengan downtime normal yaitu hari libur dan dengan jam kerja normal. Pada tahun 2007, terdapat sebanyak 62 hari libur sehingga jumlah hari pabrik beroperasi adalah 303 hari dengan jam kerja normal 12 jam sehari. Kapasitas

52 normal (normal capacity) adalah output yang biasa diproduksi oleh pabrik dalam periode tertentu dan merupakan nilai rata-rata dari rencana produksi lima tahun. Kapasitas anggaran (budget capacity) adalah jumlah output teh kering yang direncanakan untuk diproduksi pada tahun 2007. Sedangkan kapasitas aktual (actual capacity) adalah jumlah teh kering yang benar-benar diproduksi pada tahun tersebut. Pendefinisian kapasitas berdasarkan output teh kering, biaya operasi dan biaya per unit dari masing-masing lini pengolahan dapat dilihat pada Lampiran 7.

Pencapaian utilisasi kapasitas dapat mempengaruhi jumlah output yang dihasilkan dari suatu lini produksi. Gambar 13 menunjukan pengaruh dari pencapaian utilisasi kapasitas terhadap output dalam satuan kilogram teh kering dari masing-masing lini produksi. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa jumlah produksi teh kering aktual dari masing-masing lini jauh lebih rendah daripada kapasitas teoritisnya.

Gambar 13. Grafik Hubungan Pencapaian Kapasitas Produksi terhadap Output dari Masing-Masing Lini

Jam kerja pada kapasitas aktual sama dengan jam kerja kapasitas praktek. Oleh karena itu, jumlah output teh kering yang aktual dihasilkan seharusnya mampu mencapai output pada kapasitas praktek. Tidak tercapainya jumlah output dari kapasitas praktek mengindikasikan adanya aktivitas produksi yang

53 tidak produktif, seperti pengerjaan ulang, gangguan akibat kerusakan mesin tak terduga dan mesin tidak terisi akibat kurangnya bahan baku atau dari proses upstream.

Tingkat pencapaian utilisasi kapasitas tidak berpengaruh terhadap biaya kapasitas, tetapi berpengaruh terhadap biaya operasi. Oleh karena itu, biaya kapasitas untuk setiap tingkat pencapaian kapasitas bernilai sama. Biaya kapasitas dari masing-masing lini produksi dapat dilihat pada Gambar 14.

Pengaruh dari tingkat utilisasi kapasitas lini produksi terhadap biaya dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa biaya operasi pada kapasitas teoritis jauh lebih tinggi daripada kapasitas praktek dan kapasitas aktual. Hal tersebut adalah karena jumlah teh yang diolahnya pun lebih banyak.

-250 500 750 1,000 1,250 1,500 1,750 2,000 2,250 2,500 Pela yuan Peng gilin gan Peng erin gan Sorta si B ia y a K a p a si ta s (j u ta R p )

Gambar 14. Biaya Kapasitas dari Masing-Masing Lini Produksi

Biaya operasi secara praktek relatif tidak jauh berbeda dengan kondisi aktual. Perbedaan biaya tersebut terjadi karena walaupun jam kerja yang digunakan sama banyak, biaya tenaga kerja tergantung pada jumlah teh yang diolah.

54 -500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 4,500 5,000 5,500 6,000 6,500 7,000 Pel ayua n Pen ggilin gan Pen gerin gan Sor tasi B ia y a O p e ra s i (j u ta R p ) Kapasitas Teoritis Kapasitas Praktek Kapasitas Normal Kapasitas Anggaran Kapasitas Aktual

Gambar 15. Biaya Operasi dari Masing-Masing Lini Poduksi

Sedangkan pengaruh pencapaian utilisasi kapasitas terhadap biaya per kg teh kering dapat dilihat pada Gambar 16. Berdasarkan Gambar 16, dapat dilihat bahwa biaya per kg teh kering yang paling rendah adalah pada kapasitas teoritis, kemudian kapasitas praktek. Biaya per unit aktual merupakan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kapasitas lainnya. Hal tersebut terjadi akibat rendahnya kuantitas dari produksi aktual sebagai pembagi dari biaya kapasitas. Semakin banyak teh hitam yang diproduksi, maka biaya produksi per kg teh akan menurun.

Analisis terhadap utilisasi kapasitas keseluruhan pabrik dan masing-masing lini dilakukan dengan membandingkan kapasitas aktual pada kapasitas praktek. Produksi aktual selama tahun tersebut adalah 2.493.955 kg bubuk teh kering. Hingga akhir tahun 2007, volume teh yang dikirim dari pabrik untuk dijual adalah 2.382.272 kg. Utilisasi kapasitas dikategorikan menjadi kapasitas produktif, non produktif dan idle. Pengkategorian ini dilakukan berdasarkan pada waktu, jumlah output teh kering, serta biaya kapasitasnya.

55 Gambar 16. Grafik Hubungan Pencapaian Kapasitas Produksi terhadap Biaya

Kapasitas per Unit dari Masing-Masing Lini

Penjabaran mengenai kategori utilisasi kapasitas dari lini dari pelayuan dapat dilihat pada Tabel 19. Berdasarkan Tabel 19, dapat dilihat bahwa dengan waktu kerja sebanyak 303 hari, seharusnya lini pelayuan dapat menghasilkan output 3.484.500 kg teh kering. Namun aktualnya hanya diproduksi 2.493.955 kg teh kering atau sebesar 71,6 persen. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pemborosan kapasitas lini pelayuan, yaitu akibat terjadinya maintenance dan standby.

Produksi aktual dari lini penggilingan (Tabel 20), pengeringan (Tabel 21) dan sortasi (Tabel 22) memiliki nilai yang sama dengan lini pelayuan, yaitu 2.493.955 kg teh kering. Produksi pada lini penggilingan dengan jam kerja tersebut seharusnya dapat mengolah 4.075.956 kg teh atau sebesar 61,2 persen. Lini pengeringan seharusnya dapat mengeringkan teh sebanyak 3.454.200 kg (72,2 persen) dan lini sortasi sebanyak 3.636.000 kg teh kering (68,6 persen).

56 Berdasarkan Tabel 19 dapat dilihat bahwa dari total biaya kapasitas lini pelayuan sebesar Rp. 2,3 milyar, hanya Rp. 1,6 milyar yang diidentifikasi sebagai kapasitas produktif. Sisanya merupakan kapasitas dengan status tidak produktif dan menganggur. Hal yang sama terjadi pada lini-lini lainnya, biaya kapasitas produktif masing-masing lini tidak ada yang mencapai tiga per empat dari total biaya kapasitas.

Tabel 19. Utilisasi Kapasitas Praktek Lini Pelayuan Kategori

Kapasitas

Waktu (hari) Output (Kg) Biaya Kapasitas (juta Rp)

Sub Status Sub Status Sub Status

Productive 207,15 2.382.272 1.618,64 Non Productive - Maintenance 28,19 324.140 220,24 - Standby 57,95 666.405 452,79 Sub total 86,13 990.545 673,03 Idle - Excess Supply 9,71 111.683 75,88 Sub total 9,71 111.683 75,88 Total 303 3.484.500 2.367,55 Tabel 20. Utilisasi Kapasitas Praktek Lini Penggilingan

Kategori Kapasitas

Waktu (hari) Output (kg) Biaya Kapasitas (juta Rp)

Sub Status Sub Status Sub Status

Productive 177,1 2.382.272 386,18 Non Productive - Maintenance 33,40 449.297 72,83 - Standby 84,20 1.132.704 183,62 Sub total 117,6 1.582.001 256,45 Idle - Excess Supply 8,30 111.683 18,10 Sub total 8,30 111.683 18,10 Total 303 4.075.956 660,73

57 Tabel 21. Utilisasi Kapasitas Praktek Lini Pengeringan

Kategori Kapasitas

Waktu (hari) Output (kg) Biaya Kapasitas (juta Rp)

Sub Status Sub Status Sub Status

Productive 208,97 2.382.272 1.399,14 Non Productive - Maintenance 25,25 287.850 169,06 - Standby 56,79 647.455 380,26 - Rework 2,19 24.940 14,65 Sub total 84,23 960.245 563,96 Idle - Excess Supply 9,80 111.683 65,59 Sub total 9,80 111.683 65,59 Total 303,00 3.454.200 2.028,70 Tabel 22. Utilisasi Kapasitas Praktek Lini Sortasi

Kategori Kapasitas

Waktu (hari) Output (kg) Biaya Kapasitas (juta Rp)

Sub Status Sub Status Sub Status

Productive 198,52 2.382.272 242,28 Non Productive - Maintenance 25,25 303.000 30,82 - Standby 59,53 714.347 72,65 - Hersortir 10,39 124.698 12,68 Sub total 95,17 1.142.045 116,15 Idle - Excess Supply 9,31 111.683 11,36 Sub total 9,31 111.683 11,36 Total 303,00 3.636.000 369,78 Selanjutnya kategori dari masing-masing lini tersebut dikombinasikan untuk menganalisis utilisasi kapasitas dari keseluruhan pabrik seperti dapat dilihat pada Tabel 23. Tingkat utilisasi keseluruhan pabrik ini dibatasi oleh utilisasi pada lini

58 bottleneck, yaitu lini pengeringan. Oleh karena itu, tingkat utilisasi keseluruhan pabrik identik dengan tingkat utilisasi lini pengeringan.

Kategori aktivitas dari masing-masing lini kemudian ditranslasikan ke dalam bentuk grafis berupa model kapasitas CAM-I. Model tersebut menggambarkan persentase tingkat utilisasi kapasitas berdasarkan basis waktu, output dan biaya kapasitas. Dengan terbentuknya model tersebut, terlihat dengan jelas tingkat utilisasi dari masing-masing lini produksi yang ada di

Dokumen terkait