• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suku Sunda dan Suku Madura

Generasi satu Generasi dua Generasi tiga Peran Formal- dua

suku yang terpisah Formal-menjalin hubungan yang fungsional Berbaur membangun keserasian budaya Manajem en Konflik Menghindari konflik Mengkompromika n perbedaan- perbedaan demi keuntungan dan kebaikan bersama Mengintegrasikan perbedaan menjadi identitas bersama dan saling melengkapi

Efektivitas Komunikasi Antarbudaya

Pengamatan, proses belajar dan pengalaman terbukti berpengaruh terhadap didapat dan dikembangkannya pengetahuan dan motivasi yang berdampak pada komunikasi antarbudaya yang efektif, yaitu terciptanya saling mengerti, saling menghargai dan saling mendukung diantara suku Sunda dan suku Madura. Dalam penelitian ini terbangunnya saling pengertian, penghargaan dan dukungan antarbudaya disebabkan suatu konflik yang terjadi antara suku Sunda dan suku Madura dapat di selesaikan. Beberapa konflik yang dapat di selesaikan oleh mereka antara lain adalah konflik berwajah galak, konflik clurit, konflik masjid, konflik kepanitiaan maulid, konflik kegunaan jalan dan konflik perdagangan versus jabatan. Konflik-konflik yang cenderung akibat perbedaan persepsi budaya pada para orang tua ini dapat di selesaikan berkat komunikasi baik personal maupun interpersonal yang terjadi pada kedua suku tersebut. Ketika konflik – konflik tersebut terjadi generasi dua dari kedua suku berusaha untuk melakukan pengamatan, pembelajaran dan mencari perngalaman dari kejadian tersebut. Dengan cara ini mereka mendapatkan pengetahuan dan mengembangkan motivasi antarbudaya sebagai upaya mencari penyelesaiannya. Hal ini yang mengakibatkan

pada masa selanjutnya generasi dua mampu memprakarsai penyelesaian konflik dengan lebih baik, yaitu konflik pada kasus masjid. Pada kasus ini generasi dua berkat pengetahuan budaya dan motivasi yang telah mereka kembangkan di masa sebelumnya berhasil memegang kendali dalam menyelesaikannya serta menjadikan konflik sebagai sarana komunikasi yang efektif yang melahirkan pengertian, penghargaan dan dukungan antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura.

Generasi dua ini melakukan manajemen konflik sebagai usaha pengelolaan atas konflik-konflik tersebut. keberhasilan ini selanjutnya menjadikan generasi dua di pandang sebagai figur pemimpin dengan gaya kepemimpinan yang berbeda dengan para pemimpin sebelumnya yang kaku dan bercirikan khas kesukuan. Para pemimpin muda ini lebih merupaka pemuka pendapat yang di ikuti karena kemampuan mereka mengupayakan kompromi-kompromi budaya daripada saling mempertentangkannya.

Melalui peran sebagi pemuka pendapat ini, generasi dua mampu menegosiasikan adat dan budayaannya, hingga mampu mengorganisir generasi satu untuk lebih membuka diri sebagai upaya menyelesaikan konflik, dan mengorganisir generasi tiga melakukan pemburan budaya dalam melaksanakan berbagai kegiatan bersama. Konsep pembauran lokasi tinggal yang secara tidak sengaja terbentuk di RT 04 menjadi faktor utama bagi generasi dua untuk melakukan pengamatan, pembelajaran dan mencari pengalaman dalam menciptakan efektivitas komunikasi antarbudaya disana. Pembagian peran dan tugas warga di RT 04 yang dibuat agar tercipta keseimbangan kedudukan pasca konflik dan berbagai kegiatan bersama antara suku Sunda dan Madura pun ternyata efektif membangun kesadaran pengertian, penghargaan dan dukungan antar warga.

Pada mulanya Pak Syamsudin di kenal warga sebagai orang Madura yang ramah dan mau bergaul dengan akrab dengan siapa saja. Hal yang memungkinkan Pak Syamsudin melakukan pembelajaran, pengamatan dan mencari pengalaman dalam mengembangkan pengetahuan dan motivasi budayanya. Pak Syamsudin dapat dengan akrab bergul dengan orang-orang yang lebih tua darinya, dapat juga bergaul dengan orang yang lebih muda dari dirinya, terlebih dengan orang-orang

yang sebaya dengan dirinya. Inilah yang menyebabkan ide Pak Syamsudin untuk melakukan pendekatan pada berbagai pihak yang beseteru, menggagas forum musyawarah serta mengupayakan negosiasi, mendapat dukungan dari berbagai pihak. Pak Syamsudin berusia 40 tahun. Ia merupakan generasi kedua suku Madura yang tinggal di RT 04

Pak Syamsudin berteman baik dengan Pak Agus. Pak Agus sebaya dengan Pak Syamsudin. Oleh karena itu ia juga merupakan generasi kedua dari suku Sunda. Pak Agus adalah sosok yang di pandang memiliki perangai sama baiknya dengan pak Syamsudin dalam hal pergaulan. Ia menghormati setiap orang baik tua maupun muda dan tidak pernah memandang rendah siapa pun. Ia di kenal suka mendengarkan pendapat dari siapa saja dan akan mengikuti pendapat itu meskipun yang berpendapat tersebut adalah orang yang lebih muda darinya atau dalam pandangan umum lebih rendah ilmunya di banding pak Agus. Pak Agus inilah yang meminta bantuan pada warga RT 04 yang di pandangnya mampu meneruskan pembangunan masjid yang terbengkalai kala itu. Orang-orang Madura yang merespon ajakan Pak Agus saat itu antara lain karena kepercayaan mereka terhadap niat baik Pak Agus, disamping karena nilai budaya suku Madura yang menganggap penting pada masjid sebagaimana telah di paparkan.

Kedua orang ini karena perangai mereka yang baik, serta karena berbagai penyelesaian konflik yang mereka lakukan menjadikan mereka di hormati di antar suku Sunda dan suku Madura. orang-orang tua akan merasa tenang jika mereka berdua turun tangan dalam menyeesaikan suatu masalah dan akan mendukung kedua orang ini ketika mereka menggagas suatu kegiatan. Kepercayaan ini mereka dapatkan karena mereka mampu mengemukakan pendapat yang di anggap tepat dalam menyelesaikan berbagai konflik atau dalam hal menyempaikan apa yang memang dibutuhkan oleh warga.

Dalam konsep kepemimpinan mereka berdua termasuk dalam kategori pemuka pendapat. Seluruh warga akan menyatakan setuju dengan berbagai pendapat yang mereka ajukan serta mendukung bagi terrealisasikannya pendapat tersebut. Para pemuka pendapat selanjutnya adalah Pak Marsuli. Ia adalah suku Madura yang ketika penelitian ini dilakukan Pak Marsuli sedang menjabat sebagai ketua DKM. Pak Marsuli di kenal sebagai orang kaya yang senang membantu

terutama pada sesama pemilik warung sembako yang lebih kecil dari toko sembako miliknya. Ia juga banyak memperkerjakan anak-anak suku Sunda yang putus sekola sambil mengajarkan kepada para pegawainya tersebut berbagai ilmu dagang yang di milikinya. Pak Marsuli di kenal sangat loyal pada semua hal yang berurusan dengan masjid. Tidak jarang Pak Marsuli menggunakan uang pribadinya demi kelancaran kegiatan masjid. Pak Marsuli berteman dengan Arif. Suku sunda yang juga masuk dalam kategori generasi kedua. Pak Arif adalah anak Pak Odih, seorang pemuka suku Sunda. Kedua orang ini sering berdiskusi membahas berbagai permasalahan di RT 04. Kedua orang ini pun sering melakukan diskusi dengan Pak Agus dan Pak Syamsudin sehingga keempat orang ini akhirnya dianggap para pemimpin yang di ikuti pendapatnya oleh warga RT 04 baik suku Sunda maupun suku Madura.

Model pertemanan yang di ciptakan oleh generasi dua ini selanjutnya menginspirasi hampir seluruh warga untuk menjalin model pertemanan yang sama. Terutama pada generasi tiga yang membuat pola pertemanan menjadi lebih akrab dan lebih bermanfaat bahkan berkembang hingga mereka berhasil menciptakan arena interaksi bagi warga RT 04. Ketika penelitian ini di lakukan pertemanan-pertemanan antar suku si RT 04 sudah mencakup keseluruhan generasi yang di teliti, demikian juga arena interaksi telah mencakup luar dan dalam lokasi tinggal pada seluruh generasi.

Pengamatan, pembelajaran dan pengalaman juga lah yang membuat generasi dua menyadari pentingnya masjid bagi suku Sunda dan suku Madura. karena kesadaran ini mereka menjadikan masjid sebagai basis berbagai kegiatan bersama yang terbukti berhasil merekatkan kedua suku tersebut. keberhasilan ini ditandai dengan dijadikannya masjid sebagai media pemersatu oleh seluruh warga RT 04. Melalui masjid generasi dua mampu mengorganisir generasi satu untuk bersatu dalam mensukseskan kegiatan-kegiatan masjid di satu sisi, serta membangun pembauran dan kerjasama yang lebih mendalam pada generasi tiga. Hal ini selanjutnya membuat seluruh generasi pada suku Sunda dan suku Madura menjadikan masjid sebagai simbol bersama bagi mereka.

Selanjutnya ketika konflik-konflik berhasil di selesaikan maka terjadilah saling pengertian, penghargaan dan dukungan diantara mereka. adapun pada

konfli-konflik yang tidak berhasil di komunikasikan dengan baik karena menyangkut identitas yang tidak dapat di tawar sehingga tidak dapat di temuka penyelesaiannya seperti konflik slametan dan konflik kaya versus miskin, mengakibatkan upaya pengamatan, pembelajaran ataupun pencarian pengalaman menjadi tidak optimal. Hal ini mengakibatkan komunikasi menjadi tidak efektif, yaitu tidak terjadinya saling pengertian, dukungn maupun penghargaan antarbudaya.

Sebagaimana telah di sebutkan, terutama pasca konflik masjid, ketika berbagai kegiatan bersama berhasil dilakukan oleh suku Sunda dan suku Madura, berdampak pula terciptanya arena interaksi antara suku Sunda dan suku Madura di dalam lingkungan tinggal mereka dan di luar lingkungan tinggal kedua suku. Hal ini menjadi media yang palig efektif dalam mengupayakan harmoniasasi antara suku.

Arena interaksi di dalam lingkungan tinggal diprakarsai para generasi muda terutama generasi tiga. Melalui arena interaksi dalam lingkungan tinggal ini mereka berhasil menciptakan interaksi antarsuku yang positif dan tanpa konflik. hal ini di sebabkan para anak-anak muda ini melakukan pembelajaran antarbudaya melalui pergaulan yang lebih akrab diantara mereka, disamping juga pengamatan dan pembelajaran yang mereka lakukan pada kejadian-kejadian konflik para orang tua mereka dan berkat arahan generasi dua. Pembauran lokasi tinggal yang secara tidak sengaja terbentuk di RT 04 yang mengakibatkan terjadinya berbagai konflik diantara orang tua di satu sisi, penyelesaian- penyelesaian konflik oleh generasi dua di sisi lain, memberi kesempatan pada generasi muda untuk melakukan proses belajar melalui pengalaman para pendahulunya tersebut. Melalui proses ini maka di arena interaksi ini para anak muda mengembangkan identitas kesukuan masing-masing menjadi lebih fleksibel. Mereka menyadari bahwa mempertentangkan perbedaan budaya hanya melahirkan kesenjangan. Mereka juga belajar bahwa ternyata perbedaan budaya dapat di kompromikan bahkan diintegrasikan untuk menciptakan keselarasan diantara mereka. inilah bentuk pengetahuan dan motivasi yang lahir dari gnerasi tiga.

Dari arena interaksi ini pula adaptasi antarbudaya banyak dilakukan oleh generasi ini. Para anak muda suku Madura, pengetahuan terutama dari segi bahasa, cukup berhasil mempersempit jarak diantara kedua suku ini mengingat permasalahan awal pada percampuran budaya di RT 04 adalah perbedaan bahasa beserta intonasi suku Madura yang dirasakan amat bertolak belakang dengan bahasa dan sekaligus karakteristik suku Sunda. Adapun anak-anak suku Sunda dengan menginap di rumah temannya yang bersuku Madura, mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap pengetahuan perihal budaya suku ini dan termotivasi menjalin keakraban dengan para orang tua suku Madura.

Arena interaksi yang di ciptakan generasi ini juga berhasil menginspirasi generasi yang lebih tua untuk menciptakan arena interaksi diantara mereka. ketika penelitian ini dilakukan terdapat empat arena interaksi dalam lingkungan tinggal yang paling efektif dalam membangun keharmonisan antarbudaya. keempat arena interaksi ini mencakup arena interaksi anak muda yaitu toko material, arena interaksi para bapak yaitu pangkalan becak dan bengkel motor, dan arena interaksi berupa warung sembako. Di arena-arena interaksi ini warga melakukan pembagian peran dan tugas sosial masing-masing suku sebagai warga di RT 04. Hal ini dilakukan agar tercipta keseimbangan kedudukan antara suku Sunda dan Madura dan membangun kesadaran pengertian, penghargaan dan dukungan antarsuku.

Efektivitas komunikasi antarbudaya selanjutnya yang juga tercipta akibat trinspirasi para anak muda yang mengembangkan interaksi di dalam lingkungan tinggal, terjadi di arena interaksi di luar lingkungan tinggal. Arena interaksi antarsuku ini terdiri dari para pedagang kaki lima, pegawai kelurahan dan pekerja lainnya. Kebutuhan menjalin relasi perdagangan melatarbelakangi terciptanya arena interaksi ini. Arena interaksi ini dan juga berkat arena interaksi di dalam lingkungan tinggal di masa selanjutnya menjadi penyebab banyaknya kerjasama antara suku Sunda dan suku Madura terutama didalam bidang ekonomi. Kedua arena interaksi ini merupakan media yang efektif dalam membina kerukunan antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura di RT 04. Pada kondisi inilah generasi satu dari suku Sunda dan suku Madura mulai melakukan pengamatan, pembelajaran dan pencarian pengalaman budaya. Mereka berhasil

mengembangkan pengetahuan dan motivasi dalam kondisi ini. Keadaan ini menunjukan komunikasi atarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura di RT 04 lebih efektif pada arena interaksi, daripada efektivitas komunikasi yang terjadi pada pecahnya konflik yang kemudian dapat di selesaikan. Adapun pada konflik yang tidak berhasil diselesaikan efektivitasa komunikasi antarbudaya tidak terjadi.

Penelitian ini juga menunjukan bahwa dari kasus-kasus yang diteliti yaitu pada kasus pembangunan masjid dan kepanitian Maulid Nabi, terlihat bahwa seiring berjalannya waktu penyebab yang sama ternyata dapat menimbulkan efek yang berbeda disetiap kenflik yang terjadi. Pada kasus masjid, terjadinya masalah yang disebabkan oleh adanya perbedaan budaya menyebabkan kemarahan yang dikaitkan pada asumsi tidak adanya penghargaan satu pada yang lainnya, sehingga hal tersebut dianggap merendahkan harga diri masing-masing suku. Hal ini mengakibatkan konflik menjadi sangat besar. Namun dimasa selanjutnya, pada kasus kepanitiaan acara maulid baik para pelaku konflik maupun para juru damainya menyatakan permasalahan itu terjadi hanya dikarenakan adanya perbedaan cara pada suku Sunda dan suku Madura terkait suatu masalah. Asumsi ini ternyata berdampak pula pada respon masing-masing orang terhadap kemunculan konflik, yaitu dari anggapan “sangat urgen”, “menyangkut harga diri” bahkan “penghinaan” menjadi “hanya beda cara”, dan “untuk tidak terlalu membesar-besarkan masalah”. Dampak konflik menjadi jauh lebih mengecil lagi berkat kesadaran yang lebih tinggi lagi yang terjadi pada generasi dua dan tiga.

Perubahan persepsi ini sebagai mana pengakuan mereka adalah karena intensitas komunikasi dan musyawarah yang terus meningkat di RT 04, sehingga setiap orang menjadi lebih berpengatahuan dan termotivasi untuk lebih saling mengerti, menghargai dan mendukung pada satu sama lain. Suatu proses sosial yang menghasilkan komunikasi antar budaya yang efektif, pembinaan kesadaran antarbudaya, serta pendewasaan karakter melalui upaya-upaya bersama, untuk kepentingan bersama pula. Artinya efektivitas komunikasi antarbudaya yang terjadi antara suku Sunda dan suku Madura di RT 04 RW 10 ini adalah berkat kemampuan mereka melakukan manajemen konflik yang tepat, dan dalam kurun waktu yang sangat panjang, serta dengan melibatkan seluruh generasi yang ada. Mereka melakukan manajemen konflik dengan urutan memahami penyebab

konflik, mengurangi persepsi kerasnya konflik, mengurangi hambatan-hambatan budaya penyebab konflik, menegosiasikan perbedaan-perbedaan budaya, hingga menemukan keselarasan-keselarasan budaya.

Sebagaimana telah di jelaskan bahwa konflik-konflik yang terjadi terbagi menjadi dua kekuatan yang saling tarik menarik diantara yang berakibat mempererat hubungan dengan yang merusak hubungan keharmonisan pad suku Sunda dan suku Madura. Namun hingga penelitian ini dilakukan kebersatuan antar suku masih terlihat lebih dominan dari potensi pemisahan keduanya hal ini di karenakan diantar mereka terdapat media pemersatu yaitu masjid.

Pengetahuan dan motivasi pasca konflik yang diselesaikan

Pengetahuan dan motivasi melalui arena interaksi didalam lokasi tinggal

Pengetahuan dan motivasi melalui arena interaksi diluar lokasi tinggal Pengamatan Pembelajaran pengalaman Kerjasama antargenerasi Figur Pemimpin

Masjid sebagai simbol bersama

Efektivitas Komunikasi Antarbudaya

Gambaran Budaya Suku Sunda

Dari 180 kepala keluarga yang bertempat tinggal di wilayah RT 04, sebanyak 90 KK merupakan suku Sunda. Tipe suku sunda yang berada di RT 04 terdiri dari suku sunda yang terlahir di RT 04 dan sebagiannya adalah suku sunda yang datang dari kota Garut dan kota Banten, namun kedua tipe ini tetap menyatakan diri sebagai pribumi, karena mereka datang dan bertempat tinggal dilingkungan Jawa Barat atau yang sering mereka sebut sebagai Tatar Sunda atau wilayah Sunda.

Secara umum dapatlah dikatakan bahwa yang disebut orang Sunda itu adalah mereka yang sehari-hari mempergunakan bahasa Sunda dan menjadi pendukung kebudayaan Sunda (Ajip Rosidi 1984). Adapun ciri-ciri sifat seperti suka humor, periang, senang kepada kesenian, tidak pendendam dan semacamnya menurut Budayan Ajip Rosidi (1984) masih perlu dibuktikan secara ilmiah, dan adapun pencirian suku Sunda terhadap dirinya sendiri seperti berwatak lemah lembut, sopan, halus, berjiwa satria, sangat menenggang rasa orang lain, dan sejumlah ciri yang dianggap baik lainnya, semestinya dipandang sebagi konsep ideal suku Sunda, karena menurut Ajip, pada kenyataannya masih banyak orang Sunda yang bersifat kebalikannya, seperti malas, kasar dan kurang bertanggung jawab.

Dari adat yang sekarang masih terdapat, maupun naskah-naskah kuno dan cerita cerita pantun atau bentuk sastra lisan yang lainnya, masyarakat Sunda memperlihatkan kehidupan yang cukup demokratis. Artinya meskipun memiliki sejarah kerajaan, namun tidak ada petunjuk yang menyatakan bahwa pernah dikenal pembagian masyarakat kedalam kasta-kasta, birokrasi feodal, ataupun keraton sebagai pusat kebudayaan.

Setelah terjadi penaklukan mataran atas Tatar Sunda, bermula ketika setiap tahun harus mengirimkan upeti yang mengharuskan penggunaan undak-unduk bahasa di pedaleman (lingkungan kabupaten), maka undak-unduk pun menjadi tradisi kaum terpelajar kala itu. Sejak itulah bahasa Sunda mengikuti bahasa Jawa yaitu dibuat menjadi terbagi kepada undak-unduk kasar-sedang-lemes yang kadang-kadang ditambah lemes pisan. Adapun dalam lingkungan yang jauh dari

kabupaten dan keluarga bupati, seperti didaerah pedalaman Karawang, Kuningan, dan lain-lain, undak-unduk basa belum mencengkeramkan akar-akarnya. Adapun jika dilihat dari banyaknya lelucon-lelucon yang lahir dengan mempertukarkan undak-unduk basa, dimana bahasa ayang disebut kasar dipakai untuk berbicara pada orang yang dipandang tinggi derajarnya sedangkan bahasa halus digunakan untuk dirinya sendiri, maka jelas kiranya bahwa sistem ini merupakan beban yang tidak ada manfaatnya, karena fenomena modern membuktikan orang Sunda menjadi takut berbahasa Sunda karena takut salah dan membuat mereka memilih menggunakan bahasa Indosesia dalam berkomunikasi dengan orang lain baik itu sesama suku Sunda sendiri maupun dengan orang yang diluar sukunya (Ekadjati, 1987).

Di sepanjang sejarahnya ternyata bahwa masyarakat Sunda selamanya merupakan masyarakat terbuka yang mudah sekali menerima pengaruh dari luar, tetapi juga kemudian menyerap pengaruh itu sedemikian rupa hingga menjadi miliknya sendiri. Dalam hal seni misalnya, disamping banyaknya ragam kesenian yang memang merupakan milik mereka sendiri, yang biasanya sebagai alat mengekspresikan diri maupun menghibur diri, banyak pula ditemukan dari bentuk kesenian yang pada mulanya menunjukan pengaruh Mataram, kemudian berkembang sesuai dengan lingkungan kebudayaan Sunda yang tidak lagi memperlihatkan pengaruh asalnya.

Nampaknya tanah Sunda yang terbukti merupakan tanah tersubur di Indonesia, yang menjadikan kehidupan penduduknya cukup santai, dan karena itu berdampak pada cukup tersedianya waktu untuk berkesenian dan terus mengembangkannya, hingga dikatakan seni Sunda terutama sastranya termasuk yang mempunyai potensi berkembang yang besar. Bahkan dari khazanah kesusastraan pasundan yang kaya inilah gambaran sosok manusia Sunda berhasil ditampilkan

Dalam hal keberagamaan, sejak pengislaman Banten dan Cirebon pada abad ke 15, agama Islam menjadi agama yang dipeluk oleh orang Sunda. Pengaruh agama ini dalam kehidupan masyarakat Sunda dapat dikatakan menyeluruh dan sangatlah besar, yang tercermin dari hukum adatnya meliputi hukum waris, pernikahan, sosial, ekonomi, bahkan dalam budaya pesantren, dan

lain sebagainya, hingga boleh dikatakan seluruh masyarakat Sunda memeluk agama Islam (Ekadjati, 1984). Menurut Ajip (1984) pengaruh Islam yang kuat pada suku Sunda pun dapat dilihat dari kenyataan, bahwa selama lebih dari seratus tahun sejak kedatangan misi Kristen pada abad ke 19, agama ini tidak banyak berkembang di kalangan orang Sunda.

Dari segi bahasa, salah satu keistimewaan bahasa Sunda adalah dalam memahami sebuah kata terkadang bergantung pada lagu dari pengucapan kalimat tersebut, dan juga kontek ketika kata itu di ucapkan. Contohnya kata “mangga” dapat berarti “iya”, dapat juga berarti tidak, atau nanti dulu, atau penolakan secara halus, bahkan ketidak pedulian. Keunikan bahasa Sunda juga, subyek seringkali tidak ditemukan dalam kalimat bahasa Sunda, namun orang yang mendengarnya akan faham siapa yang melakukan predikat dan seterusnya, apakah hal ini merupakan manifestasi dari pribadi orang Sunda yang tidak suka menonjolkan diri. (Ajip Rosyidi, dalam Ekadjati, 1984)

Suku Madura

Sebanyak 71 KK yang tinggal di RT 04 adalah suku Madura. Suku ini merupakan suku pendatang terbesar dan tertua yang menempati RT 04 selain suku Batak, suku Jawa, dan suku Ambon yang juga terdapat di RT 04.

Tidak seperti suku Sunda yang di gambarkan oleh Ajip Rosidi (1984) melalui kekayaan khazanah kesusastraannya, karena diakibatkan hidup di alam tandus yang mengharuskan seluruh waktu di gunakan untuk berjuang menghidupi diri, suku bangsa Madura tidak memiliki waktu banyak untuk berkesenian. Dan meskipun mereka belakangan diidentifikasi melalui peribahasa yang mereka miliki, dikarenakan suku Madura mengalami perkembangan sastra yang miskin, dengan sendirinya hal tersebut mengakibatkan ketiadaan gambaran sosok ideal suku ini. Dengan sendirinya citra umum sosok manusia Madura yang terlukiskan

Dokumen terkait