• Tidak ada hasil yang ditemukan

intercultural communication effectiveness (conflict management in the village Kebon Kelapa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "intercultural communication effectiveness (conflict management in the village Kebon Kelapa)"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

ROFI’AH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ROFI’AH I352090111

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Profesional pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor),” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Rofi’ah

(4)

Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor) Dibimbing Oleh Sarwititi S. Agung dan Nurmala K. Panjaitan.

Salah satu dampak dari keberhasilan pembangunan infrastruktur transportasi yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia adalah terjadinya kontak budaya. Kontak budaya antarsuku pada saat ini cenderung menimbulkan konflik antarbudaya, demikian juga kontak budaya yang terjadi antara Suku Sunda dan suku Madura. Namun, suku Sunda dan Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor memperlihatkan suatu kehidupan yang harmonis. Kondisi ini menarik menjadi landasan penelitian dengan tujuan: (1)Menganalisa bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura. (2)Menganalisa konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku Madura. (3)Menganalisa efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura.

Ting-Toomey (1998) berpendapat bahwa konflik antarbudaya dapat diatasi dengan diciptakannya komunikasi yang efektif antar individu dalam budaya yang berbeda. Efektivitas komunikasi antar budaya adalah adanya saling pengertian, saling menghargai dan saling mendukung diantara peserta komunikasi antarbudaya. efektivitas komunikasi ini dipengaruhi oleh karakteristik individu yang diperoleh melalui pengamatan, pembelajaran dan pengalaman terkait perbedaan-perbedaan kebudayaan. Pengamatan, pembelajaran, dan pengalaman tersebut akan melahirkan faktor pengetahuan dan faktor motivasi dari individu dalam mengupayakan komunikasi yang efektif. Dalam kasus komunikasi antarbudaya di Kelurahan Kebon Kelapa saling pengertian, saling menghargai dan saling mendukung yang tercipta melalui pengamatan, pembelajaran dan pengalaman individu ini kemudian menimbulkan manajemen konflik antarbudaya yang baik diantara mereka dan mengakibatkan terciptanya harmonisasi antarsuku.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menggunakan strategi studi kasus. Jumlah informan yang ditemui peneliti sejumlah 18 yang didapat dengan teknik Snowball. yang terdiri dari 9 orang suku Sunda dan 9 orang suku Madura.Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor, tepatnya di RT 04 RW 10

(5)
(6)

Kebon Kelapa) Supervised by SARWITITI S. AGUNG (Chairperson) and NURMALA K. PANJAITAN (Members).

Indonesia has experienced several severe ethnic conflicts since 1998. One of the most severe ethnic conflicts is Dayak and the Madurese conflict in Kalimantan. However there is a case of successful Madurese adapt and resolve conflicts with Sundanese in the village Kebon Kelapa. Identity Negotiation Theory, Hall’s cultural dimensions, and intercultural conflict management styles serve as the theoretical foundations for this research. The research data were collected by conducting indepth interviews with 9 Madurese residents and 9 Sundanese residents who represent three generations of conflict parties. Focus group discussions with Madurese and Sundanese were held to generate richer data. This study found that conflicts related to the content and relational issues as cultural differences; Madurese’s low context culture and Sundanese’s high context culture, resolved through compromise styles that led to better intercultural interpersonal relationship and working relationship. Improving those relationships were able to reduce an unresolved identity issue conflict that was usually exacerbated by economic disparity issues. More importantly, the second and third generations of those ethnic groups are found to have significant role on resolving conflicts. In this situation, the opinion leader of each ethnic group is a critical component that can facilitate dialog between conflicting parties, whereas the monumental event that symbolize the success of resolving conflict also plays a role as media of uniting Madurese and Sundanese as an community. It suggested principles or lessons for effectively handling intercultural conflicts.

Key words: social identity negotiation, ethnic conflict, intercultural communication, management conflict style

(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penyusunankritik atau tujuan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

ROFI’AH I352090111

Tugas Akhir

Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Profesional pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

NIM : I352090111

Mayor : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi a.n Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan Sekretaris Program S2

Pertanian dan Pedesaan

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc

(11)

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik

di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor). Penulisan tesis ini

dilaakkan sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), Sekolah Pascasarjana IPB.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sarwititi S, MS dan Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis dalam penulisan tesis ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Hadiyanto, Msi selaku penguji luar komisi pada ujian, yang telah memberikan masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini. Penulis mengucapan terimakasih kepada semua pihak yang tidak apat disebutkan satu-persatu atas dukungan yang diberikan. Semoga tesis ini bermnfaat bagi penulis sendiri, akademisi, serta pihak lainnya. Tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan, karena itu penulis meminta maaf atas ketidak sempurnaan dan kekurangan yang ada.

Bogor, Agustus 2012

Rofi’ah

(12)

DAFTAR TABEL………. xii

DAFTAR GAMBAR ………. xiv

DAFTAR LAMPIRAN………. xvi

PENDAHULUAN ………1

Latar Belakang ………. 1

Perumusan Masalah ……… 5

Tujuan Penelitian ………. 5

Kegunaan Penelitian ……… 6

TINJAUAN PUSTAKA ……….. 7

Komunikasi Antar Budaya……….. 7

Pengertian Komunikasi Antar Budaya……… 7

Konflik dan Manajemen Konflik...……….. 10

Tahapan Perkembangan Kearah Terjadinya Konflik... 11

Dampak Konflik... 12

Strategi Mengatasi Konflik... 13

Strategi Mengatasi Konflik antarpribadi... 13

Individualistik dan Kolektivistik... ……….……... 15

Kompetensi dan Unsur-Unsur Kompetensi Komunikasi Antar Budaya ……….…..…….. 18

Efektifitas Komunikasi Antar Budaya ………..…… 19

KERANGKA BERPIKIR ………. 22

METODE PENELITIAN ……….………. 25

Paradigma Penelitian ………..………. 25

Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 27

Teknik Pengumpulan Data……… 27

Analisa Data ……….……… 28

(13)

Sejarah Kedatangan Suku Madura dan berbagai Tanggapannya …….. 40

Kelembagaan Warga RT 04 RW 10…..……….. 42

Bidang Ekonomi ………..………. 42

Bidang Keagamaan ………. 48

Pernikahan Antar Suku ……… 50

Pendidikan ……… 53

Keberadaan Suku Lainnya ……… 58

Berbagai Arena Interaksi suku Sunda dan suku Madura... 59

Arena Interaksi dalam Lingkungan Tinggal……….. 59

Arena Interaksi di Luar Lingkungan Tinggal……….. 66

Berbagai Konflik Antara Suku Sunda dan Suku Madura………... 75

Terjadinya Konflik di RT 04 RW10 ……… 75

Kasus bermuka galak ….……… 75

Kasus Clurit ……….. 77

Kasus Pembangunan Masjid...80

Kasus Kepanitiaan Maulid Nabi... 87

Kasus Penggunaan Jalan ...92

Kasus Perdagangan Versus Jabatan... 94

Kasus Slametan...95

Kasus Kaya Miskin... 98

Jenis Konflik………...100

Manajemen Konflik ...……. 111

Efektivitas Komunikasi Antarbudaya di RT 04 RW 10 ………. 122

Gambaran Budaya ……….. 130

Suku Sunda ……….. 130

Suku Madura ………. 132

SIMPULAN DAN SARAN………... 135

Simpulan………... 135

Saran ………. 136

DAFTAR PUSTAKA

(14)
(15)

Percampuran budaya yang terjadi di Indonesia dilatar belakangi oleh

beragam suku bangsa Indonesia yang berasal dari Sabang sampai Merauke.

Berbagai suku tersebut mencirikan diri dengan bahasa yang khas,

kebiasaan-kebiasaan yang unik, bahkan sistem nilai yang berbeda satu dengan yang lainnya.

Kekhasan, keberbedaan dan keunikan masing-masing suku tersebut selanjutnya

menentukan ciri-ciri keanggotaan setiap suku, juga menentukan interaksi dengan

pola tertentu. Menurut Ting-Toomey (1998) identitas kultural merupakan

perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu. Masyarakat yang terbagi kedalam kelompok-kelompok itu kemudian melakukan identifikasi kultural

(cultural identification), yaitu masing-masing orang mempertimbangkan diri

mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Identifikasi kultur ini

akan menentukan individu-individu yang termasuk dalm ingroup dan outgroup (Roger&Steinfatt dalam Raharjo 2004) Beragam suku tersebut selanjutnya menyebar dan menempati wilayah Indonesia yang luas. Hal ini memungkinkan

terjadinya dua suku atau lebih menempati lingkungan sosial yang sama.

Kelompok suku tersebut bertemu, berinteraksi dan menciptakan hubungan sosial

yang khas.

Masyarakat Indonesia yang multikultural ini secara demografis maupun

sosiologis potensial bagi terjadinya konflik. dalam konteks identifikasi kultur ini,

dimana para anggota kelompok suku dilahirkan, dididik,dan dibesarkan dalam

suatu suasana askriptif primodial suku mereka yang mengakibatkan perbedaan antara “siapa saya” dengan “siapa anda” terlihat nyata, membutuhkan komunikasi yang efktif sebagai upaya menjalin hubungan antarsuku.

Hubungan yang terjalin dengan baik akan menciptakan interaksi yang

efektif, sebaliknya, hubungan yang tidak baik menyebabkan interaksi tidak

efektif, tidak harmonis dan pada akhirnya mengarah kepada konflik. Salah satu

contoh hubungan yang tidak harmonis antar dua suku yang menyebabkan konflik

(16)

Penelitian mengenai konflik yang melibatkan kedua suku tersebut pernah

dilakukan oleh Yohanes Bahari pada tahun 2005. Bahari (2005) menyebutkan

bahwa konflik kekerasan antara suku Dayak dan suku Madura di Sambas selama

ini memang tidak terlepas dari adanya tradisi kekerasan dalam budaya suku

Dayak, sedangkan dari sisi suku Madura, perilaku dan tindakan orang Madura

yang tinggal di Kalimantan, baik yang sudah lama maupun masih baru, tidak

banyak berbeda dengan perilaku dan tindakan mereka di tempat asalnya di pulau

Madura. Keberanian orang Madura berbicara terus terang dan apa adanya

dianggap tidak sopan dan terkesan sebagai suatu perlawanan pada suku pribumi.

Oleh karena itu dalam pandangan suku Dayak, orang Madura merespon masalah

atau kekerasan dengan tindakan resistensi yang cenderung berupa kekerasan.

Dapat dilihat dari sini bahwa komunikasi memegang peran penting dalam

menentukan bentuk suatu hubungan. Perbedaan keinginan dalam cara

berkomunikasi pada suku Madura dan suku Dayak dalam penelitian Bahari

mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis sehingga menimbulkan

konflik.

Penelitian Wuysang (2003) menunjukkan bahwa dalam interaksi antara

suku Melayu dan suku Madura di Sampit Kalimantan Tengah, salah satu pesan

yang disampaikan yakni: ciri, sifat dan atribut negatif yang dilekatkan pada suatu

suku tertentu. Perasaan negatif terhadap suku lain ini merupakan prasangka yang

akan menjadi penghambat komunikasi. Padahal, perasaan negatif tersebut

sebenarnya muncul dari perbedaan persepsi karena perbedaan penafsiran pesan

yang dibawa komunikator dan komunikan hingga akhirnya memperbesar jarak

sosial. Konflik-konflik yang terjadi menyiratkan makna bahwa sebagai bagian

dari masyarakat multikultural, kita selama ini tidak atau belum melakukan

komunikasi antarbudaya yang efektif. Sebuah relasi antarmanusia yang bertujuan

untuk meminimalisir kesalahpahaman budaya. Interaksi antar individu dan

kelompok budaya selama ini tidak lebih dari komunikasi semu, tidak

sungguh-sungguh, cenderung tidak mencerminkan ketulusan, yaitu tidak mengatakan yang

sebenarnya, apa yang ada dalam pikiran dan hatinya. Dalam keadaan demikian

komunikasi menjadi sekedar basa-basi, bukan untuk tujuan menyampaikan pesan

(17)

Dalam studi komunikasi antarbudaya, ketidaktulusan dalam menjalin

interaksi dicerminkan oleh sebuah konsep yang dikenal dengan mindlessness, yaitu orang yang sangat percaya pada kerangka referensi yang sudah dikenal,

kategori-kategori yang bersifat rutin, dan melakukan sesuatu dengan cara-cara

yang sudah lazim (Ting-Toomey, 1998). Artinya, ketika melakukan kontak

antrbudaya individu yang berada dalam keadaan mindless menjalankan aktifitas komunikasinya tanpa dilandasi kesadaran dalam berpikir. Ia hanya menggunakan

sudut pandangnya dalam menilai dan memperlakukan orang lain. Seseorang yang

mindless tidak menyadari bahwa ada perbedaan-perbedaan dalam masing-masing kelompok budaya disamping juga terdapat kesamaan-kesamaan diantara mereka.

Bahwa komunikan merupakan individu-individu yang unik dan memerlukan

pemahaman yang baik untuk dapat berperilaku yang tepat terhadap

masing-masing individu tersebut. Konsep ini dikenal dengan emotional vulnerability, yaitu ketika seseorang berkomunikasi dengan dissimilar others, maka ia akan mengalami emotional vulnerability. Dalam arti bahwa identitas kelompok (misalnya identitas kultural) dan identitas individu (seperti sifat-sifat kepribadian)

akan mempengaruhi cara-cara seseorang dalam mempersepsi, berpikir dan

bertingkah laku dalam suatu lingkungan sosial (Ting-Toomey, 1998).

Cara komunikasi yang mindless ini disebabkan oleh munculnya situasi ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan (anxiety). (Gudykunst & Kim, 1997) ketidakpastian merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memprediksi atau

menjelaskan perilaku, perasaan, sikap atau nilai-nilai yang diyakini oleh orang

lain. Sedangkan kecemasan merupakan perasaan gelisah, tegang, atau khawatir

tentang sesuatu yang akan terjadi.

Penelitian ini melihat, suku Madura, sebagai salahsatu suku di Indonesia,

sebagaimana menurut (Rahman, 2007) merupakan suku pengembara terbesar dan

menempati banyak lokasi di Indonesia, Suku ini menyebar hampir di seluruh

penjuru tanah air bahkan hingga manca negara. Di sebagian tempat sebagaimana

dijelaskan di atas, suku ini mengalami konflik dengan suku lain. Di sebagian

tempat lainnya suku Madura berhasil menjalin hubungan yang baik dengan suku

(18)

Salah satunya di kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota

Bogor. Di daerah ini terdapat keragaman suku bangsa. Suku yang dominan adalah

suku Sunda dan suku Madura. Suku Sunda sebagai penduduk asli sedangkan suku

Madura sebagai suku pendatang. Mereka berdomisili di kelurahan Kebon Kelapa

sejak tahun 70-an.

Pernah terjadi beberapa konflik diantara kedua suku ini, diantaranya dalam

kegiatan pembangunan mesjid serta memilih dan menetapkan pengurus masjid.

Kegiatan ini ternyata memancing terjadinya konflik. Perbincangan santai dan

musyawarah kerukunan warga yang diselenggarakan atas inisiatif salahsatu

warganya dan berkat dukungan ketua RW setempat, untuk membahas konflik

dalam perkara kepengurusan masjid dan beberapa kasus kesalahpahaman di antara

keduanya, diduga memberikan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk

memahami dan menegosiasikan perbedaan budaya yang menjadi penyebab dari

ketegangan dan permasalahan yang terjadi.

Kemampuan suku Madura bersama-sama dengan suku Sunda di Kelurahan

Kebon Kelapa untuk menanggulangi konflik dan bertahan di lingkungan bersama,

diduga tidak lepas dari kemampuan mereka untuk menjalin komunikasi dan

interaksi yang baik, yaitu menciptakan suatu situasi komunikasi antarbudaya yang

di sebut mindfullness, yaitu ketika seseorang berpikir tentang kecakapan komunikasinya dan terus menerus berusaha merubah apa yang dia lakukan supaya

menjadi lebih efektif (Gudykunst & Kim, 1997). Suatu situasi komunikasi

antarbudaya dimana masing-masing peserta komunikasi berusaha meningkatkan

kecakapan komunikasinya serta mamapu merubah apa yang dilakukannya

menjadi lebih baik adalah berkat kemampuan menghilangkan ketidakpastian dan

kecemasan, serta mengaplikasikan pegetahuan budaya dan motivasi kedalam

suatu kecakapan perilaku yang tepat disebut komunikasi antarbudaya yang efektif

(Gudykunst & Kim, 1997). Mindfulness juga merupakan proses memfokuskan kognitif yang dipelajari melalui praktik yang diulang-ulang. (Ting-Toomey,

1998). Dalam teori Negosiasi Identitas milik Ting-Toomey (1998), ia

menegaskan bahwa mindful intercultural communication menekankan pentingnya mengintegrasikan pengetahuan antarbudaya yang penting, motivasi, dan

(19)

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti merumuskan

beberapa masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku

Madura?

2. Bagaimana konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku

Madura ?

3. Bagaimana efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku

Madura?

Tujuan Penelitian

Berbagai identifikasi masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka

penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisa bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku

Madura.

2. Menganalisa konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku

Madura.

3. Menganalisa efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan

suku Madura.

Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini bertujuan memperkaya khasanah

penelitian mengenai komunikasi yang berkaitan dengan konflik antar etnik.

Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi dalam mengupayakan

harmonisasi budaya atau memperbaiki kondisi pasca konflik untuk mengambil

langkah-langkah terbaik.

(20)
(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi Antarbudaya

Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Gudykunts (1991) membedakan antara komunikasi lintasbudaya dengan

komunikasi antarabudaya, yaitu jika komunikasi lintas budaya lebih menekankan

pada perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi di antara peserta

komunikasi yang berbeda kebudayaan, maka studi komunikasi antarbudaya lebih

mendekati objek melalui pendekatan kritik budaya. Aspek utama dari komunikasi

antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi di antara komunikator dan

komunikan yang kebudayaannya berbeda.

Komunikasi lebih dari sekedar menolong seseorang untuk mengumpulkan

informasi atau untuk memenuhi kebutuhan interpersonal. Komunikasi juga

berperan dalam menentukan dan menjelaskan identitas, baik sebagai pribadi,

kelompok maupun suatu identitas budaya. Interaksi seorang individu dengan yang

lainnya menentukan siapakah dirinya. Identitas merupakan hal yang penting

dalam komunikasi antarbudaya dalam menentukan jatidiri yang ditawarkan oleh

seorang individu untuk dapat diterima oleh individu yang lainnya. Oleh karena itu

pembahasan komunikasi antarbudaya adalah membahas ciri-ciri penting dan

berbeda pada suatu individu yang disebabkan perbedaan budayanya (Mulyana,

2008)

Berbagai definisi yang menyangkut komunikasi antarbudaya antara lain

adalah sebagai berikut:

Rich dan Ogawa (dalam Liliweri 2002) menyatakan komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan,

misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras dan antar kelas sosial.

Samovar (2010), mengatakan komunikasi antarbudaya yaitu komunikasi

yang terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu memberikan pesan kepada

anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya, komunikasi antarbudaya

melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem

(22)

Dood (dalam Liliweri 2002) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,

antarpribadi dan kelompok. Dengan tekanan pada perbedaan latar belakang

kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta

Chen dan Starosta (dalam Liliweri 2002) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang

membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan

fungsinya sebagai kelompok.

Ting-Toomey (1998) menyatakan komunikasi antarbudaya adalah suatu

proses komunikasi simbolik antara orang-orang dari budaya yang berbeda.

Manusia merupakan makhluk pembuat simbol. Dalam komunikasi manusia,

simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan sesuatu hal yang

lainnya. Salah satu karakteristik simbol yang harus diingat adalah bahwa simbol

itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya, sehingga

dapat berubah-ubah. Simbol dapat dalam bentuk suara, tanda, gerakan, dan

lain-lainnya yang dapat digunakan dalam berbagi fakta dengan orang lain. Dalam

interaksi sehari-hari hal ini mungkin terjadi. Bahwa seseorang menggunakan

simbol untuk memberikan makna, menggambarkan apa arti sesuatu, memperluas

perspektif, memeriksa ulang persepsi dan menamai perasaan-perasaan sehingga

menjadi nyata. Dengan cara ini seseorang secara aktif memberikan arti melalui

simbol-simbol.

Menurut Ting-Toomey (1998) beragamnya latar belakang budaya dari

para peserta komunikasi memungkinkan terjadinya keberagaman pemikiran

diantara mereka. Hal ini yang menyebabkan dibutuhkannya simbol untuk di

pertukarkan dan disepakati maknanya dalam suatu komunikasi. Karena itu agar

menjadi efektif komunikasi antarbudaya memerlukan suatu situasi yang disebut

mindfullness untuk dapat melakukan negosiasi terkait simbol dan pemaknaannya dalam suatu budaya tertentu, yang menjadi latarbelakang individu dalam suatu

interaksi antarbudaya. dari latarbelakang pendapat ini Ting-Toomey

mengembangkan sebuah teori dalam menjelaskan kejadian komunikasi

(23)

Teori Negosiasi Identitas yang dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey

memberikan sebuah dasar dalam memperkirakan bagaimana manusia akan

menunjukan citra dirinya dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Citra diri

adalah bagaimana seseorang menggambarkan dan menampilkan dirinya di

hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi,

kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Citra diri selanjutnya menjadi dasar

perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi

identitas mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam identitas

orang lain.

Beberapa asumsi teori Negosiasi Identitas mencakup

komponen-komponen penting dari teori ini: citra diri, konflik, dan budaya. Dengan demikian

poin-poin berikut menuntun teori dari Ting-Toomey:

1. Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan

individu-individu menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam

budaya yang berbeda.

2. Manajemen konflik dimediasi oleh citra diri dan budaya.

3. Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang

ditampilkan.

Asumsi pertama menekankan pada (self identity). Self identity ini adalah identitas yang ia harapkan dan ia inginkan agar identitas tersebut diterima orang

lain. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif seseorang, pemikiran, ide,

memori, dan rencana. Identitas diri tidak bersifat stagnan, melainkan

dinegosiasikan dalam interaksi dengan orang lain. Orang memiliki kekhawatiran

akan identitasnya dan identitas orang lain. Bagaimana persepsi seseorang tentang

dirinya sendiri dan bagaimana seseorang ingin orang lain mempersepsi dirinya

merupakan hal yang sangat penting dalam komunikasi.

Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen

utama dari teori ini. Konflik dapat merusak identitas seseorang dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang. konflik adalah „forum” bagi kehilangan identitas dan penghinaan terhadap diri ketika terdapat negosiasi yang

tidak berkesesuaian dalam menyelesaikan konflik tersebut (seperti menghina

(24)

manusia bersosialisasi dalam budaya mereka memengaruhi bagaimana mereka

akan mengelola konflik.

Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh

suatu tindakan terhadap citra diri. Pertama, penyelamatan citra diri (face-saving) mencakup usaha-usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan

kerentanan atau merusak citra seseorang. Penyelamatan citra diri sering kali

menghindarkan rasa malu. Pemulihan citra diri (face restoration) terjadi setelah adanya peristiwa yang dianggap mempermalukan citra diri. Orang akan selalu

berusaha untuk memulihkan citra diri dalam merespon suatu peristiwa. Misalnya,

alasan-alasan yang diberikan orang merupakan bagian dari teknik-teknik

pemulihan citra diri ketika suatu peristiwa yang dianggap memalukan terjadi.

Konflik dan Manajemen Konflik

Dalam kehidupan bermasyarakat kita selalu dihadapkan dengan berbagai

macam masalah atau konflik. Konflik adalah hal yang akan selalu terjadi, entah

konflik dengan orang lain atau dengan keluarga kita sendiri. Konflik dalam

kehidupan pasti selalu ada dan tidak dapat dihilangkan. Konflik hanya dapat

dicegah agar masalah yang timbul tidak semakin besar dan parah (Agus, 2003).

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu

dalam suatu interaksi. Dengan dibawasertanya ciri ciri individual dalam interaksi

sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak

satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau

dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan

dengan hilangnya masyarakat itu sendiri (Syarif, 2003)

Menurut Nardjana (dalam Wijono,1993), konflik adalah suatu situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu

dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Menurut

Killman dan Thomas (dalam Wijono,1993), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada

dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang

telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya

(25)

Dalam konflik setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan

maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.

Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun

kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran, atau adanya nilai-nilai atau

norma yang saling berlawanan. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh

gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi,

dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti

status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik

seperti sandang pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan

tertentu seperti mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis

seperti rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri. Hal

ini mengakibatkan munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai

akibat pertentangan yang berlarut-larut, munculnya ketidakseimbangan akibat dari

usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial,

pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya

(Wijono, 1993).

Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik

1. Konflik masih tersembunyi (laten). Berbagai macam kondisi emosional

yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal

yang mengganggu dirinya.

2. Konflik yang mendahului (antecedent condition). Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya,

kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan

nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.

3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict) Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.

4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior) Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang

ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan

(26)

5. Penyelesaian atau tekanan konflik. Pada tahap ini, ada dua tindakan yang

perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan

berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.

Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka

dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya

bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga

mempengaruhi produkivitas kerja (Rahardjo, 2007)

Dampak Konflik

1. Dampak Positif Konflik

Apabila upaya penanganan dan pengelolaan suatu konflik dilakukan

secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku para

pelaku konflik berupa saling mendukung, saling menghargai dan saling

pengertian. Semua ini bisa menjadikan tujuan bersama dapat tercapai bahkan

berdampak pada produktivitas kerja yang meningkat sehingga akhirnya

kesejahteraan bersama dapat terwujud dan terjamin. (Wijono, 1993).

2. Dampak Negatif Konflik

Dampak negatif konflik sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektifnya

pengelolaan terhadap konflik yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik

tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik yang efektif. Akibatnya muncul

keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan semua pihak berupa hilangnya

kondusifitas lingkungan bahkan menurunnya produktivitas kerja. (Wijono, 1993).

Strategi Mengatasi Konflik

1. Pengenalan. Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan

bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi

perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan

masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).

2. Diagnosis. Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah

diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil

dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada

(27)

3. Menyepakati suatu solusi. Yaitu mengumpulkan masukan mengenai jalan

keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Serta bersedia untuk menanggung secara bersma-sama keuntungan dan

kerugian.

4. Evaluasi. Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah

baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke

langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi. (Rahardjo, 2007)

Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)

1. Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy). Beroientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok

yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar

sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa

orang atau kelompok ketiga sebagai penengah. Dalam strategi kalah-kalah,

konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila

perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk

campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak

atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak

ketiga yaitu: a. Arbitrasi (Arbitration). Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak

ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan

penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat. b. Mediasi

(Mediation). Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang

mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap

pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.

2. Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy). Dalam strategi saya menang anda kalah (win-lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh

kemenangan. Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik

dengan win-lose strategy Hal ini dapat melalui: a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih

(28)

independence).

b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan

perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi

terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja

(jurisdictioanalambiquity).

c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya

untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan

dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).

d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal

dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).

e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran

persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh

dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan

persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

3. Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy). Penyelesaian yang

dipandang manusiawi karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan

keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat

membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman,

merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh

kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya

penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah

pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar

memojokkan orang. Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam

organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat

dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:

a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problem Solving). Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan

(29)

b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan

proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk

menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi salah satu atau

kedua belah pihak yang terlibat konflik. (Rahardjo, 2007)

Individualistik dan Kolektivistik

Ting-Toomey memfokuskan pembahasan penyebabka konflik berdasarkan

latarbelakang perbedaan budaya. Menurut (Ting-Toomey 1998) salah satu

penyebab konflik terjadi adalah karena adanya perbedaan budaya individualis dan

kolektivis. Budaya individualis adalah budaya “kemandirian” dan budaya kolektivis adalah budaya “saling ketergantungan”. Budaya di seluruh dunia memiliki kadar dan ragam yang berbeda-beda dalam hal individualis dan

kolektivis. Kedua dimensi ini memainkan peranan yang penting dalam cara

bagaimana citra diri dan konflik dikelola.

Individualisme merujuk pada kecenderungan orang untuk mengutamakan

identitas individual dibandingkan identitas kelompok, hak individual

dibandingkan hak kelompok, dan kebutuhan individu dibandingkan kebutuhan

kelompok. Individualisme adalah identitas “Aku. Iindividualisme menekankan inisiatif individu, kemandirian, ekspresi individu, dan bahkan privasi. Nilai-nilai

individualistik menekankan adanya antara lain kebebasan, kejujuran,

kenyamanan, dan kesetaraan pribadi. Individualisme melibatkan motivasi diri,

otonomi, dan pemikiran mandiri. Individualisme menyiratkan komunikasi

langsung (to the point) dengan orang lain yang sering dikenal dengan budaya komunikasi konteks rendah.

Apabila individualisme berfokus pada identitas personal seseorang,

kolektivisme melihat ke luar diri sendiri. Kolektivisme adalah penekanan pada

tujuan kelompok dibandingkan tujuan individu, kewajiban kelompok

dibandingkan hak individu dan kebutuhan kelompok dibandingkan kebutuhan pribadi. Kolektivisme adalah identitas “Kita”. Orang-orang di dalam budaya kolektivistik menganggap penting berkerja sama dan memandang diri

mereka sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Masyarakat kolektivistik

(30)

menekankan keselarasan, menghargai keinginan orang yang lebih tua, dan

pemenuhan kebutuhan orang lain. Kolektivisme menyiratkan komunikasi tidak

langsung (lebih banyak basa-basi), istilah sering dikenal dengan

budaya komunikasi konteks tinggi. Ting-Toomey berargumen bahwa

anggota-anggota dari budaya yang mengikuti nilai-nilai individualistik cenderung lebih

berorientasi pada citra diri, sementara anggota-anggota yang mengikuti nilai yang

berorientasi pada kelompok cenderung lebih berorientasi pada citra orang lain

atau identitas bersama dalam sebuah konflik. Budaya kolektivistik berkaitan

dengan kemampuan adaptasi. Kemampuan beradaptasi memungkinkan

munculnya ikatan yang saling tergantung dengan orang lain. Maksudnya adalah

anggota dari komunitas kolektivistik mempertimbangkan hubungan mereka

dengan orang lain ketika mereka mendiskusikan sesuatu dan merasa bahwa suatu

percakapan membutuhkan keberlanjutan dari kedua komunikator.

Konflik sering kali terjadi ketika anggota-anggota dari budaya berbeda,

atau memiliki tingkat individualistik dan tingkat kolektivistik yang berbeda

bertemu, sehingga individu-individu yang berbeda tersebut akan menggunakan

beberapa gaya konflik yang berbeda. Gaya-gaya ini merujuk pada respon yang

berpola, atau cara khas untuk mengatasi konflik pada berbagai peristiwa

komunikasi.

Menurut Ting-Toomey (1998) manajemen konflik mencakup Avoiding

(menghindar), Obliging (menurut), Compromising (berkompromi), Dominating

(mendominasi), dan Integrating (mengintegrasikan). Dalam menghindar, orang

akan berusaha menjauhi ketidaksepakatan dan menghindari pertukaran yang tidak

menyenangkan dengan orang lain. Pada gaya menurut, orang yang berkonflik

akan melakukan akomodasi pasif, yaitu berusaha memuaskan kebutuhan

kebutuhan orang lain atau sepakat dengan saran-saran dari orang lain. Dalam

berkompromi, individu-individu berusaha menemukan jalan tengah untuk

mengatasi jalan buntu dan menggunakan pendekatan memberi-menerima sehingga

kompromi dapat tercapai. Gaya mendominasi mencakup perilaku-perilaku yang

menggunakan pengaruh, wewenang atau keahlian untuk menyampaikan ide atau

mengambil keputusan. Terakhir gaya mengintegrasikan digunakan untuk

(31)

perhatian yang tinggi untuk diri anda dan orang lain, yang mengharuskan

masing-masing kelompok yang bertikai memperhatikan kelompok lainnya demi

tercapainya kepentingan bersama.

Keputusan untuk menggunakan satu atau lebih dari gaya-gaya ini akan

bergantung dari variabilitas budaya dari komunikator. Manajemen konflik juga

menganggap penting persoalan citra diri dan citra orang lain. Sehubungan dengan

perbandingan yang melintasi lima budaya (Jepang, Cina, Korea Selatan, Taiwan

dan Amerika Serikat), Ting-Toomey beberapa hal:

1. Anggota-anggota dari budaya Amerika Serikat menggunakan lebih banyak

gaya mendominasi dalam manajemen konflik.

2. Orang Taiwan menyatakan bahwa lebih banyak menggunakan gaya

mengintegrasikan dalam manajemen konflik.

3. Orang Cina dan Taiwan menggunakan lebih banyak gaya menurut.

4. Orang Cina lebih banyak menggunakan tingkat menghindar yang tinggi

sebagai gaya konflik dibandingkan kelompok budaya lainnya.

5. Orang Korea menggunakan tingkat kompromi yang lebih tinggi dari

budaya-budaya lainnya.

Budaya kolektivistik (Cina, Korea dan Taiwan) memiliki tingkat

perhatian terhadap citra diri orang lain yang lebih tinggi. Dari sini jelaslah bahwa

penelitian mengenai citra diri dan konflik menunjukkan variabilitas budaya

memengaruhi bagaimana konflik dikelola. Dalam budaya kolektivis, keanggotaan

dalam kelompok biasanya merupakan sumber utama identitas. Bagi masyarakat Jepang, wajah melibatkan, “kehormatan, kesopanan, kehadiran, dan pengaruh pada orang lain”. Di antara masyarakat Cina, “memperoleh dan kehilangan wajah dekat hubungannya dengan masalah harga diri, martabat, penghingaan, rasa malu, aib, kerendahan hati, kepercaayaan, rasa curiga, rasa hormat dan gengsi”. Sikap yang berbeda menyangkut apa yang mewakili citra diri memiliki pengaruh

yang nyata pada bagaimana budaya memandang dan mendekati konflik. Dalam

budaya kolektif, konflik dalam kelompok-dalam “dianggap merusak citra sosial dan keharmonisan hubungan, jadi harus dihindari sedapat mungkin”. ketika berhadapan dengan sesuatu yang berpotensi menimbulkan konflik, masyarakat

(32)

individualistis bagaimanapun, lebih peduli pada citra sendiri dan cenderung

menghadapi dan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada solusi untuk

mengatasi konflik. Perilaku berbeda terhadap konflik menimbulkan gaya

komunikasi budaya yang cukup berbeda. Selama komunikasi antarbudaya terjadi,

gaya yang berlawanan ini dapat menimbulkan kebingungan, kesalahpahaman,

atau bahkan kebencian di antara pelaku komunikasi. Hal yang sama juga berlaku

pada gaya komunikasi tidak langsung (seperti pada budaya konteks tinggi) dalam

rangka mempertahankan hubungan baik dapat menimbulkan efek yang sebaliknya

di antara peserta individualistis yang menganggap bahwa interaksi dapat

mengancam identitas. (Ting-Toomey, 1998).

Kompetensi dan Unsur-Unsur Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Kata competence adalah state of being capable, atau dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan kapabilitas atau kemampuan seseorang

sehingga ia dapat berfungsi dalam keadaan yang mendesak dan penting.

Kompetensi komunikator adalah sebuah kompetensi yang dimiliki oleh seorang

komunikator, atau kemampuan tertentu dari seorang komunikator untuk

menghindari perangkap atau hambatan komunikasi. Misalnya, mampu

meminimalisasi kesalahpahaman, kekurangmengertian, dan memahami perbedaan

sikap dan persepsi orang lain.

Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kompetensi antarbudaya adalah

kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik secara pribadi, berkelompok,

organisasi, atau dalam etnik dan ras) untuk meningkatkan kapasitas, keterampilan,

pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari orang-orang yang

berbeda kebudayaannya. Kompetensi antarbudaya merupakan suatu perilaku yang

konkrit beserta sikap, struktur dan kebijakan yang datang bersamaan atau

menghasilkan kerja sama dalam situasi antarbudaya.

Ada beberapa faktor yang mendorong kita mempelajari kompetensi

antarbudaya, antara lain adanya perbedaan nilai antarbudaya, tata aturan budaya

cenderung mengatur dirinya sendiri, kesadaran untuk mengelola dinamika

perbedaan, pengetahuan kebudayaan yang sudah institusionalisasi, dan

mengadaptasikan kekuatan semangat layanan dalam keragaman budaya demi

(33)

Dengan kata lain, kompetensi antarbudaya itu tergantung pada konteks.

Konteks tersebut itu adalah (1) konteks verbal, misalnya berkaitan dengan

pembentukan kata-kata dalam sebuah pernyataan dan topik; (2) konteks relasi,

yang menggambarkan penyusunan, tipe, dan gagasan pesan dalam berkomunikasi

dengan orang lain; (3) konteks lingkungan fisik maupun sosial suatu masyarakat

yang menggambarkan bentuk penerimaan dan penolakan tanda, simbol, ataupun

pesan dalam komunikasi. (Gudykunst, 1991).

Menurut Ting-Toomey (1998), ada tiga komponen kompetensi dalam

berkomunikasi yaitu:

1. Motivasi. Motivasi adalah daya tarik dari komunikator yang mendorong

seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain

2. Pengetahuan. Pengetahuan menentukan tingkat kesadaran atau

pemahaman seseorang tentang kebutuhan apa yang harus dilakukan dalam

rangka komunikasi secara tepat dan efektif, komponen pengetahuan turut

menentukan kompetensi komunikasi karena hal ini berkaitan erat dengan

tingkat kesadaran terhadap apa yang dibutuhkan untuk berkomunikasi

dengan orang lain.

3. Keterampilan. Kemampuan dapat membimbing kita untuk menghadirkan

sebuah perilaku tertentu yang cukup dan mampu mendukung proses

komunikasi secara tepat dan efektif. Tujuan utama dari keterampilan

semata-mata untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dan kecemasan.

Untuk mengurangi ketidakpastian setidaknya seseorang harus mempunyai

keterampilan empati, berperilaku seluwes mungkin dan kemampuan untuk

mengurangi situasi ketidakpastian itu sendiri.

Jadi kompetensi komunikasi antarbudaya adalah seperangkat pengetahuan

dan motivasi yang harus dimiliki oleh seseorang yang dituangkan dalam

keterampilan berkomunikasi, khususnya komunikasi antar manusia berbeda

budaya.

Efektivitas Komunikasi Antarbudaya.

Gudykunts (1991) mengungkapkan bahwa efektivitas komunikasi

(34)

menciptakan iklim komunikasi yang positif. Iklim positif diartikan dengan adanya

derajat kognitif yang baik, perasaan yang positif, dan tindakan yang menunjukan

kemampuan berperilaku yang tepat.

DeVito (1997) menyatakan bahwa untuk menghasilkan komunikasi

antarbudaya yang efektif adalah mengetahui pentingnya pemahaman kita

terhadap diri sendiri dan terhadap harapan orang lain dalam melintasi batas-batas

interpersonal atau budaya.

Mulyana dan Rakhmat (2006) menyatakan efektivitas komunikasi

antarbudaya adalah mengetahui pola-pola penafsiran pesan dari budaya yang

berlainan serta meminimalisir bias penilaian dan persepsi interpersonal, agar tidak

terjebak dalam stereotype.

Menurut Rich dan Ogawa (dalam Liliweri 2004) efekivitas komunikasi tergantung pada budaya yang mempengaruhi perilaku manusianya. Semakin baik

kita mengenali dan memahami budaya mitra berkomuniaksi kita, maka akan

semakin efektif pula proses komunikasi yang kita lakukan Selain itu sikap

stereotipe atas beragam budaya harus kita terima sebagai makna yang positif atas

ragam budaya dan uniknya manusia. Jadi efektivitas komunikasi antarbudaya

adalah jika dalam interaksi tersebut tercapai pemahaman dan penerimaaan yang

tulus terhadap perbedaan – perbedaan budaya.

Kealey dan Ruben (dalam Amiruddin Z 2010) menyatakan efektivitas komunikasi terletak pada kepuasan seseorang untuk melakukan tindakan simbolik

tertentu yang menggambarkan tidak hanya maksud atau gagasan melainkan juga

motivasi untuk bertindak. Dalam hal ini, efektivitas komunikasi antarbudaya

didahului oleh hubungan antarbudaya yang terjadi terus menerus sampai ke taraf

kualitas terbaiknya. Kualitas ini dapat dicapai ketika seseorang dapat

membedakan pengalaman berhubungan antarbudaya dengan orang yang

berbeda-beda, sehingga dapat mengambil keputusan untuk mewujudkan suatu tindakan

simbolik tertentu. Pada efektivitas komunikasi antarbudaya terdapat variabel yang

menentukan terjadinya komunikasi antarbudaya yang efektif melalui variabel

yang terkait dengan keterampilan social yaitu kejujuran, empati, pengungkapan

rasa hormt dan keluwesan dari pelaku komunikasi. Variabel lain yang

(35)

yang terdiri atas kondisi kerja, batasan-batasan kerja dan tingkat kesulitan kerja,

kondisi hidup, persoalan kesehatan, sasaran-sasarn proyek yang realistis,

kesimpangsiuran politik, dan kesulitan bahasa dari pelaku komunikasi. Kekuata

pribadi, partisipasi sosial, kemampuan bahasa lokal dan apresiasi adat-istidat dari

pelaku komunikasi juga mempengaruhi efektivitas komunikasi. Sebagai catatan,

kelay dan Ruben menyatakan bahwa variabel pribadi menjadi lebih penting

daripada variabel situasional didalam keefektivan komunikasi antrbudaya.

Ting-Toomey (1998) menyatakan efektivitas komunikasi antarbudaya

adalah sejauh mana komunikator mencapai makna bersama dan hasil yang

diinginkan dalam suatu situasi interaksi tertentu. Dalam teori negosiasi identitas

dinjelaskan tentang tercapainya makna bersama melalui proses negosiasi di dalam

interaksi antarbudaya, serta menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya efektivitas dalam interaksi tersebut. Pendekatan ini dapat membantu

memahami faktor-faktor yang penting dalam terjadinya negosiasi identitas yang

efektif pada beragam kebudayaan yang melakukan interaksi dan komunikasi,

dalam suatu lingkungan sosial bersama. Interaksi komunikasi antarbudaya yang

kompetitif adalah kemampuan mengintegrasikan faktor-faktor pengetahuan dan

faktor-faktor motivasi ke dalam keterampilan interaksi sehari-hari, Ting-Toomey

(1998).

Artinya efektivitas dalam komunikasi antarbudaya adalah terciptanya

kemampuan peserta komunikasi dalam melakukan hal yang tepat dalam

menghadapi perbedaan-perbedaan budaya yang ada dalam suatu interaksi

antarbudaya.

Kemampuan melakukan hal yang tepat tersebut menurut Gudykunts(1991)

berupa terciptanya suatu iklim komunikasi yang positif. Menurut Mulyana dan

Rakhmat (2006) kemampuan tersebut berupa pengetahuan terhadap pola-pola

penafsiran pesan dari budaya yang berlainan serta meminimalisir bias penilaian

dan persepsi interpersonal, agar tidak terjebak dalam stereotype. Rich dan Ogawa

(36)

Ting Toomey menjabarkan kemampuan melakukan hal yang tepat tersebut

melalui didapatkannya pengetahuan yang baik terkait perbedaan budaya serta

adanya motivasi dalam mencapai keselarasan makna suatu pesan.

KERANGKA BERPIKIR

Penelitian mengenai efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda

dan suku Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor dilatarbelakangi oleh

munculnya berbagai konflik yang terjadi diantara mereka yang terjadi sejak

kedatangan suku Madura pada tahun 70-an. Konflik-konflik tersebut membentuk

interaksi yang unik diantara mereka. Pada dasarnya perbedaan budaya diantara

mereka menimbulkan permusuhan dan perpecahan. Hal ini disebabkan

masing-masing suku menganggap nilai budayanya sebagai hal yang benar dan

menganggap salah pada setiap nilai yang dianggap berbeda dengan nilai yang

dianutnya. Kondisi ini dalam masa-masa awal percampuran budaya suku Sunda

dan suku Madura mengakibatkan konflik-konflik terpendam dan konflik terbuka

terjadi diantara mereka.

Selanjutnya melalui proses yang panjang seiring masa yang dilalui oleh

kedua suku ini, para anak muda berhasil melakukan manajemen konflik yang

tepat berbasiskan penyelarasan berbagai kepentingan nilai dan budaya yang ada

diantara mereka. Keterbukaan dan kesadaran pemikiran serta upaya-upaya

penerimaan atas berbagai perbedaan dilakukan oleh para generasi muda ini.

Dimasa selanjutnya apa yang dilakukan oleh para anak muda tersebut dilakukan

pula oleh para orang tua dan juga oleh generasi yang lebih muda dari keduabelah

suku. Hal inilah yang menghasilkan berkembangnya pengertian-pengertian

terhadap pengetahuan terkait perbedaan-perbedaan budaya diantara mereka.

pengetahuan ini selanjutnya memotivasi kedua belah pihak untuk mengupayakan

terciptanya komunikasi yang efektif diantara mereka.

Melalui manajemen konflik tersebut suku Sunda dan suku Madura berhasil

merubah pola pergaulan diantara keduanya yaitu hilangnya kecurigaan terhadap

perbedaan nilai dan budaya. Kondisi ini menciptakan keakraban, kepercayaan

bahkan kerjasama dalam berbagai bidang diantara mereka.

Hal ini nampaknya sesuai dengan teori negosiasi identitas oleh Stella

(37)

bahwa setiap orang dalam setiap budaya sebenarnya selalu menegosiasikan

identitasnya masing-masing, yaitu keinginan bagaimana kita memperlakukan dan

diperlakukan oleh oran lain, dan untuk menegakkan dan serta menghormati

identitas dirinya dan orang lain. Tujuan utama yang hendak dicapai adalah

mengidentifikasi bagaimana orang-orang dengan budaya yang berbeda dapat

bernegosiasi dalam menangani konflik. Keinginan bernegosiasi diantara pelaku

komunikasi dengan latar belakang budaya berbeda tersebut mensyaratkan adanya

pengetahuan dan motivasi terkait perbedaan kebudayaan-kebudayaan tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya adalah

adanya pengetahuan dan motivasi. Interaksi komunikasi antarbudaya yang

kompetitif adalah kemampuan mengintegrasikan faktor-faktor pengetahuan dan

faktor-faktor motivasi ke dalam praktek interaksi sehari-hari.

Analisa awal dalam melihat terjadinya berbagai konflik diantara suku

Sunda dan suku Madura serta bagaimana cara mereka mengatasi konflik-konflik

adalah untuk memahami alasan terbentuknya efektivitas komunikasi antarbudaya

pada suku Sunda dan suku Madura. Melalui pemahaman yang mendalam perihal

konflik dan penanganannya memperlihatkan bahwa telah terjadi perubahan sikap

pada suku Sunda dan suku Madura yang dipelopori generasi muda dari kedua

suku. Pada awal terjadinya percampuran budaya memperlihatkan bahwa keduanya

merupakan dua suku yang berbeda dan saling terpisah dalam berbagai segi

kehidupan dan kesehari-hariannya. Pasca konflik-konfik yang berhasil

diselesaikan berkembang kegiatan pengamatan, pembelajaran dan pengalaman

para individu dari kedua suku yang menurut Ting-Toomey berfungsi sebagai alat

mendapatkan pengetahuan dan mengembangkan motivasi antarbudaya.

Penelitian ini menekankan bagaimana proses efektivitas komunikasi

antarbudaya terjadi di kelurahan Kebon Kelapa antara suku Sunda dan suku

Madura. Manajemen konflik yang dilakukan oleh suku Sunda dan suku Madura

yang menjadi dasar terjadinya negosiasi identitas bagi masing-masing budaya bisa

jadi membenarkan atau mengembangkan teori negosiasi identitas milik Stella

Ting-Toomey yang menyatakan bahwa pengamatan, pembelajaran dan

pengalaman dapat melahirkan efektivitas komunikasi antarbudaya berupa

(38)

Penelitian ini menekankan bagaimana proses interaksi dan komunikasi

sosial yang dialami oleh suku Sunda dan Suku Madura sedang berjalan menuju

sebuah identitas bersama yang unik, yang menjadi ciri khas lokal. Dimana dengan

melalui tahapan-tahapan yang disepakati bersama, suku Sunda dan suku Madura

menjadikan interaksi yang terjalin diantara mereka sebagai respon dari kebutuhan

akan harmonisasi hidup berdampingan di satu sisi, dan pembuktian jati diri dan

budayanya di sisi lain.

Secara skematis dapat dilihat dalam bagan berikut ini:

Keterangan :

[image:38.595.44.490.33.707.2]

Pengaruh Langsung

Gambar 1. Kerangka pemikiran efektivitas komunikasi antar budaya Karakteristik Individu

Pengamatan

Pembelajaran

Pengalaman

Faktor Pengetahuan

 Nilai budaya

 Bahasa

 Non verbal

 In-group out-group

 Relationshiph development

 Manajemen konflik

 Adaptasi antarbudaya

Faktor motivasi  Kesadaran identitas

domain

 Kesadaran identitas needs

Efektivitas komunikasi antar budaya Saling mengerti

(39)

METODE PENELITIAN

Paradigma Penelitian

Paradigma penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah

paradigma konstruktivisme. Pemaknaan terhadap fenomena efektivitas

komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura merupakan fakta

sosial yang dikonstruksi dan dimaknai oleh Sunda dan suku Madura itu sendiri.

Realitas sosial di dalam paradigma ini dianggap merupakan konstruksi mental

individu, dan pengalaman yang sifatnya spesifik. Realitas sosial dari paradigma

konstruktivis ini tidak dapat digeneralisasikan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (induktif) dengan

menggunakan informasi yang sifatnya subyektif. Menurut Denzin (dalam Upe, 2010) penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang menjadikan multi metode sebagai fokusnya, melibatkan pendekatan intrepetatif dan naturalistik terhadap

pokok persoalannya. Artinya bahwa peneliti kualitatif mengkaji suatu masalah

dalam situasi alami, yang tujuannya memberikan pemaknaan yang diletakkan

pada fenomena yang sedang dikaji.

Strategi penelitian adalah studi kasus, dengan pertimbangan bahwa : (1)

pertanyaan penelitian berkenaan dengan bagaimana dan mengapa, (2) penelitian

ini memberikan peluang yang sangat kecil bagi peneliti untuk mengontrol gejala

atau peristiwa sosial yang diteliti, dan (3) menyangkut peristiwa dan gejala

kontemporer dalam kehidupan yang riil (Yin, 1996 dalam Widiyanto, 2009). Penelitian studi kasus terutama sangat berguna untuk informasi latar belakang

guna perencanaan penelitian yang lebih besar dalam ilmu-ilmu sosial. Karena

studi yang demikian itu intensif sifatnya, studi tersebut menerangi

variabel-variabel yang penting, proses-proses, dan interaksi-interaksi, yang memerlukan

perhatian lebih luas. Penelitian kasus itu merintis dasar baru dan seringkali

menjadi sumber hipotesis-hipotesis untuk penelitian lebih jauh (Suryabrata, 1997).

Menurut Sitorus (1999) penelitian studi kasus menggunakan pendekatan kualitatif

yang memungkinkan dialog peneliti dan tineliti, sehingga kebenaran adalah

kesepahaman bersama atas sebuah masalah berupa intersubjektifitas yang lahir

(40)

Mengingat studi mengenai efektivitas komunikasi adalah gejala yang

mengandung dimensi-dimensi historis, maka menurut Sitorus (1999) agar gejala

tersebut tertangkap maka pilihan studi kasus pada penelitian tersebut harus

memadukan dua pendekatan sekaligus antara lain menggunakan metode kasus

historis studi riwayat hidup tineliti yang khas, sehingga ditemukan jawaban

mengenai mengapa dan bagaimana peristiwa percampuran budaya terjadi.

Kemudian kajian sejarah lokal, yang memungkinkan perolehan pengetahuan

mengenai perubahan sosial pada suku Sunda dan suku Madura. Penelitian ini

kemudian akan memetakan proses terjadinya komunikasi antarbudaya, untuk

memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai efektivitas komunikasi

antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota

Bogor.

[image:40.595.69.490.52.802.2]

Penelitian dilakukan menjadi tiga tahap, antara lain :

Tabel Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian

No Tahap Penelitian Kegiatan Waktu

1. Analisis Dokumen Melakukan pengumpulan dan kajian literatur yang berkaitan dengan topik penelitian.

Februari 2012

2. Pra survey Melakukan penelusuran awal tempat penelitian. Dari tahap ini dapat diperoleh gambaran umum wilayah penelitian, kondisi fisik demografi, kependudukan, dan kondisi sosial lainnya.

Maret 2012

3. Penelitian Lapang dan analisis

Memahami gambaran umum suku Sunda dan suku Madura , memahami bagaimana proses perkembangan interaksi dan komunikasi dari generasi satu, generasi dua dan genesari tiga, manajemen konflik sebagai hasil adaptasi dengan

(41)

lingkungannya, dan perubahan pemaknaan terhadap identitas budaya.

4. Analisis dan Penyusunan Hasil Penelitian

Menganalisis fakta/temuan di lapangan

Juni-Juli 2012

5. Verifikasi Hasil Penelitian

Memverifikasi hasil penelitian oleh tineliti (subyek

penelitian) sebelum dipublikasi.

Juli 2012

6. Publikasi Mempublikasi hasil penelitian sebagai sumbangan ilmiah dalam pengembangan studi strategi komunikasi

antarbudaya.

Agustus 2012

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor

Tengah Kota Bogor, tepatnya di RT 04 RW Dimulai dari bulan Februari-Juli

2012. Lokasi dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa : 1. Di daerah ini komunitas Madura paling banyak terdapat diantara wilayah

lainnya di Kelurahan Kebon Kelapa, dimana jumlah komunitasnya menyamai

jumlah komunitas suku sunda yang tinggal di RT 04.

2. Berdasarkan kajian literatur ditemukan fakta bahwa terjadi harmonisasi hidup

antara suku sunda dan suku Madura yang menunjukkan terdapat perbedaan

pola pergaulan suku Madura yang berdiam di RT 04 dengan suku Madura

yang berada di beberapa wilayah yang mengalami konflik dengan penduduk

asli.

3. Memungkinkan secara finansial karena lokasinya mudah dijangkau.

Teknik Pengumpulan data

(42)

data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi berperan serta, dan

analisis dokumen. Sebagai bentuk penyimpanan data dari ketiga teknik yang

digunakan, maka peneliti membuat catatan harian yang berisi hasil wawancara

mendalam tineliti, dan hasil pengamatan berperan serta.

Wawancara mendalam dilakukan dengan subyek kasus sebagai informan

kunci yang telah ditentukan sebelumnya dengan mempertimbangan keterwakilan

dari suku Sunda dan suku Madura area tinggal yang berbaur. Untuk memahami

perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat suku Sunda dan suku Madura

maka studi riwayat hidup (life history) informan kunci dilakukan. Para informan kunci, ditentukan secara teknik snowball. Guna memahami fenomena sosial komunikasi antarbudaya, maka peneliti mewawancarai sejumlah tokoh kunci

antara lain para orang tua dari generasi satu suku Sunda dan suku Madura. Mereka

adalah orang-orang yang mengalami percampuran budaya paling awal yaitu

dimulai dari kedatangan suku Madura lokasi penelitian. Generasi dua suku Sunda

dan suku Madura, yaitu anak dari generasi satu. Generasi tiga, yaitu

anak-anak dari generasi dua.

Analisa Data

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini

digunakan metode analisis data kualitatif. Analisa dilakukan dengan melakukan

reduksi data. Reduksi dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan : (1)

meringkas data; (2) mengkode ; (3) menelusuri tema ; (4) membuat gugus-gugus;

(5) membuat partisi; (6) membuat memo. Kegiatan ini berlangsung semenjak

pengumpulan data sampai dengan penyusunan laporan. Reduksi data merupakan

bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang

yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga

dapat memberikan kesimpulan akhir (Sitorus, 1998)

Triangulasi

Pensahihan pada suatu penelitian adalah dengan memeriksa satu butir uji

baru dihadapkan dengan ukuran-ukuran keterampilan atau “construct” yang sama dan yang telah disahihkan. Bila mereka bertemu-bertumpang tindih, berkolerasi

(43)

Dalam penelitian kualitatif uji kesahihan dalam suatu penelitian disebut

triangulasi. (Miles dan Huberman 1992)

Triangulasi meliputi triangulasi sumber, teknik pengumpulan data.

Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh

dari generasi pertama, kepada beberapa orang yang berbeda yang masuk dalam

kategori generasi pertama, demikian pula mengecek data yang telah diperoleh dari

generasi kedua, kepada beberapa orang yang berbeda yang masuk dalam kategori

generasi kedua, dan mengecek data yang telah diperoleh dari generasi ketiga

kepada beberapa orang yang berbeda yang masuk dalam kategori generasi ketiga.

Triangulasi teknik pengumpulan data adalah dengan cara membandingkan temuan

lapangan dalam kasus pembangunan masjid dengan kasus interaksi di kasus

penggunaan jalan dan kasus lainnya, dan dengan membandingkan temuan

lapangan melalui wawancara antara peneliti dengan yang diteliti, dengan

(44)
(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Kependudukan Kelurahan Kebon Kelapa

Kelurahan Kebon Kelapa adalah salah satu kelurahan yang berada di

Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Luas wilayah Kelurahan Kebon Kelapa

adalah -/+ 57,81 Ha, dengan jumlah penduduk sebanyak 17.419 jiwa yang

tersebar di 10 RW dan 45 RT. Kelurahan Kebon Kelapa berbatasan wilayah

dengan Kelurahan Menteng di sebelah utara, berbatasan dengan Kelurahan

Ciwaringin di sebelah timur, berbatasan dengan Kelurahan Gunung Batu di

sebelah barat, dan berbatasan dengan Kelurahan Panaragan di sebelah selatan.

Kelurahan Kebon Kelapa terletak di tengah-tengah kota Bogor. Kantor

Kelurahan Kebon Kelapa berada tepat di pinggir jalan yang merupakan pertigaan

jalan mawar. Jalur pertama ke arah utara jalan menjadi jalur menuju pu

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran efektivitas komunikasi antar budaya
Tabel  Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian
Tabel 1.  Profil Kelurahan Kebon Kelapa Bogor Tahun 2011
Tabel 2. Profil Usaha Warga RT 04 RW 10
+4

Referensi

Dokumen terkait

Menindaklanjuti apa yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah dimaksud, Pemerintah Kota Mataram melalui Badan Kepegawaian Daerah telah menetapkan jumlah pejabat

‘Joomla’  di  Balai  Pengembangan  Teknologi  Informasi  dan  Komunikasi  Pendidikan  (BPTIKP) 

Pad a penelitian ini pengolahan limbah radioaktif cair Sr-90 dan limbah Fe++ ini dilakukan dengan teknik Batch yaitu dengan memasukkan limbah Sr-90 dan limbah

Dari Tabel 4 dapat diketahui tanggapan dari 50 orang responden mengenai karyawan yang melakukan pelanggaran kerja akan dipanggil menghadap pimpinan tanpa harus ditegur di depan

Didalam penyewaan room chat tersebut banyak terdapat permasalahan- permasalahan diantaranya, Pertama room tidak diserahkan secara langsung ketika proses pembayaran

Salah satu manfaat adanya buku penunjang adalah untuk menyelesaikan tugas dari guru, keberadaan buku penunjang sangat membantu dalam menyelesaikan tugas dari guru, karena tidak

satu motor listrik. Hasil efisiensi mesin pengebor pada kayu jati, mahoni dan akasia baik. Rancang Bangun Mesin Tiga Fungsi Hasil rancang bangun mesin pengebor terdiri dari

Microsoft PowerPoint atau Microsoft Office PowerPoint adalah sebuah program komputer untuk presentasi yang dikembangkan oleh Microsoft di dalam paket aplikasi