ROFI’AH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ROFI’AH I352090111
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Profesional pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor),” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Rofi’ah
Manajemen Konflik di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor) Dibimbing Oleh Sarwititi S. Agung dan Nurmala K. Panjaitan.
Salah satu dampak dari keberhasilan pembangunan infrastruktur transportasi yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia adalah terjadinya kontak budaya. Kontak budaya antarsuku pada saat ini cenderung menimbulkan konflik antarbudaya, demikian juga kontak budaya yang terjadi antara Suku Sunda dan suku Madura. Namun, suku Sunda dan Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor memperlihatkan suatu kehidupan yang harmonis. Kondisi ini menarik menjadi landasan penelitian dengan tujuan: (1)Menganalisa bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku Madura. (2)Menganalisa konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku Madura. (3)Menganalisa efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura.
Ting-Toomey (1998) berpendapat bahwa konflik antarbudaya dapat diatasi dengan diciptakannya komunikasi yang efektif antar individu dalam budaya yang berbeda. Efektivitas komunikasi antar budaya adalah adanya saling pengertian, saling menghargai dan saling mendukung diantara peserta komunikasi antarbudaya. efektivitas komunikasi ini dipengaruhi oleh karakteristik individu yang diperoleh melalui pengamatan, pembelajaran dan pengalaman terkait perbedaan-perbedaan kebudayaan. Pengamatan, pembelajaran, dan pengalaman tersebut akan melahirkan faktor pengetahuan dan faktor motivasi dari individu dalam mengupayakan komunikasi yang efektif. Dalam kasus komunikasi antarbudaya di Kelurahan Kebon Kelapa saling pengertian, saling menghargai dan saling mendukung yang tercipta melalui pengamatan, pembelajaran dan pengalaman individu ini kemudian menimbulkan manajemen konflik antarbudaya yang baik diantara mereka dan mengakibatkan terciptanya harmonisasi antarsuku.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, menggunakan strategi studi kasus. Jumlah informan yang ditemui peneliti sejumlah 18 yang didapat dengan teknik Snowball. yang terdiri dari 9 orang suku Sunda dan 9 orang suku Madura.Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor, tepatnya di RT 04 RW 10
Kebon Kelapa) Supervised by SARWITITI S. AGUNG (Chairperson) and NURMALA K. PANJAITAN (Members).
Indonesia has experienced several severe ethnic conflicts since 1998. One of the most severe ethnic conflicts is Dayak and the Madurese conflict in Kalimantan. However there is a case of successful Madurese adapt and resolve conflicts with Sundanese in the village Kebon Kelapa. Identity Negotiation Theory, Hall’s cultural dimensions, and intercultural conflict management styles serve as the theoretical foundations for this research. The research data were collected by conducting indepth interviews with 9 Madurese residents and 9 Sundanese residents who represent three generations of conflict parties. Focus group discussions with Madurese and Sundanese were held to generate richer data. This study found that conflicts related to the content and relational issues as cultural differences; Madurese’s low context culture and Sundanese’s high context culture, resolved through compromise styles that led to better intercultural interpersonal relationship and working relationship. Improving those relationships were able to reduce an unresolved identity issue conflict that was usually exacerbated by economic disparity issues. More importantly, the second and third generations of those ethnic groups are found to have significant role on resolving conflicts. In this situation, the opinion leader of each ethnic group is a critical component that can facilitate dialog between conflicting parties, whereas the monumental event that symbolize the success of resolving conflict also plays a role as media of uniting Madurese and Sundanese as an community. It suggested principles or lessons for effectively handling intercultural conflicts.
Key words: social identity negotiation, ethnic conflict, intercultural communication, management conflict style
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penyusunankritik atau tujuan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
ROFI’AH I352090111
Tugas Akhir
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Profesional pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NIM : I352090111
Mayor : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi a.n Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan Sekretaris Program S2
Pertanian dan Pedesaan
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Suku Sunda dan Suku Madura (Kasus Manajemen Konflik
di Kelurahan Kebon kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor). Penulisan tesis ini
dilaakkan sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), Sekolah Pascasarjana IPB.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sarwititi S, MS dan Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS, DEA selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis dalam penulisan tesis ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Hadiyanto, Msi selaku penguji luar komisi pada ujian, yang telah memberikan masukan yang bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini. Penulis mengucapan terimakasih kepada semua pihak yang tidak apat disebutkan satu-persatu atas dukungan yang diberikan. Semoga tesis ini bermnfaat bagi penulis sendiri, akademisi, serta pihak lainnya. Tesis ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangan, karena itu penulis meminta maaf atas ketidak sempurnaan dan kekurangan yang ada.
Bogor, Agustus 2012
Rofi’ah
DAFTAR TABEL………. xii
DAFTAR GAMBAR ………. xiv
DAFTAR LAMPIRAN………. xvi
PENDAHULUAN ………1
Latar Belakang ………. 1
Perumusan Masalah ……… 5
Tujuan Penelitian ………. 5
Kegunaan Penelitian ……… 6
TINJAUAN PUSTAKA ……….. 7
Komunikasi Antar Budaya……….. 7
Pengertian Komunikasi Antar Budaya……… 7
Konflik dan Manajemen Konflik...……….. 10
Tahapan Perkembangan Kearah Terjadinya Konflik... 11
Dampak Konflik... 12
Strategi Mengatasi Konflik... 13
Strategi Mengatasi Konflik antarpribadi... 13
Individualistik dan Kolektivistik... ……….……... 15
Kompetensi dan Unsur-Unsur Kompetensi Komunikasi Antar Budaya ……….…..…….. 18
Efektifitas Komunikasi Antar Budaya ………..…… 19
KERANGKA BERPIKIR ………. 22
METODE PENELITIAN ……….………. 25
Paradigma Penelitian ………..………. 25
Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 27
Teknik Pengumpulan Data……… 27
Analisa Data ……….……… 28
Sejarah Kedatangan Suku Madura dan berbagai Tanggapannya …….. 40
Kelembagaan Warga RT 04 RW 10…..……….. 42
Bidang Ekonomi ………..………. 42
Bidang Keagamaan ………. 48
Pernikahan Antar Suku ……… 50
Pendidikan ……… 53
Keberadaan Suku Lainnya ……… 58
Berbagai Arena Interaksi suku Sunda dan suku Madura... 59
Arena Interaksi dalam Lingkungan Tinggal……….. 59
Arena Interaksi di Luar Lingkungan Tinggal……….. 66
Berbagai Konflik Antara Suku Sunda dan Suku Madura………... 75
Terjadinya Konflik di RT 04 RW10 ……… 75
Kasus bermuka galak ….……… 75
Kasus Clurit ……….. 77
Kasus Pembangunan Masjid...80
Kasus Kepanitiaan Maulid Nabi... 87
Kasus Penggunaan Jalan ...92
Kasus Perdagangan Versus Jabatan... 94
Kasus Slametan...95
Kasus Kaya Miskin... 98
Jenis Konflik………...100
Manajemen Konflik ...……. 111
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya di RT 04 RW 10 ………. 122
Gambaran Budaya ……….. 130
Suku Sunda ……….. 130
Suku Madura ………. 132
SIMPULAN DAN SARAN………... 135
Simpulan………... 135
Saran ………. 136
DAFTAR PUSTAKA
Percampuran budaya yang terjadi di Indonesia dilatar belakangi oleh
beragam suku bangsa Indonesia yang berasal dari Sabang sampai Merauke.
Berbagai suku tersebut mencirikan diri dengan bahasa yang khas,
kebiasaan-kebiasaan yang unik, bahkan sistem nilai yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Kekhasan, keberbedaan dan keunikan masing-masing suku tersebut selanjutnya
menentukan ciri-ciri keanggotaan setiap suku, juga menentukan interaksi dengan
pola tertentu. Menurut Ting-Toomey (1998) identitas kultural merupakan
perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut memiliki (sense of belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu. Masyarakat yang terbagi kedalam kelompok-kelompok itu kemudian melakukan identifikasi kultural
(cultural identification), yaitu masing-masing orang mempertimbangkan diri
mereka sebagai representasi dari sebuah budaya partikular. Identifikasi kultur ini
akan menentukan individu-individu yang termasuk dalm ingroup dan outgroup (Roger&Steinfatt dalam Raharjo 2004) Beragam suku tersebut selanjutnya menyebar dan menempati wilayah Indonesia yang luas. Hal ini memungkinkan
terjadinya dua suku atau lebih menempati lingkungan sosial yang sama.
Kelompok suku tersebut bertemu, berinteraksi dan menciptakan hubungan sosial
yang khas.
Masyarakat Indonesia yang multikultural ini secara demografis maupun
sosiologis potensial bagi terjadinya konflik. dalam konteks identifikasi kultur ini,
dimana para anggota kelompok suku dilahirkan, dididik,dan dibesarkan dalam
suatu suasana askriptif primodial suku mereka yang mengakibatkan perbedaan antara “siapa saya” dengan “siapa anda” terlihat nyata, membutuhkan komunikasi yang efktif sebagai upaya menjalin hubungan antarsuku.
Hubungan yang terjalin dengan baik akan menciptakan interaksi yang
efektif, sebaliknya, hubungan yang tidak baik menyebabkan interaksi tidak
efektif, tidak harmonis dan pada akhirnya mengarah kepada konflik. Salah satu
contoh hubungan yang tidak harmonis antar dua suku yang menyebabkan konflik
Penelitian mengenai konflik yang melibatkan kedua suku tersebut pernah
dilakukan oleh Yohanes Bahari pada tahun 2005. Bahari (2005) menyebutkan
bahwa konflik kekerasan antara suku Dayak dan suku Madura di Sambas selama
ini memang tidak terlepas dari adanya tradisi kekerasan dalam budaya suku
Dayak, sedangkan dari sisi suku Madura, perilaku dan tindakan orang Madura
yang tinggal di Kalimantan, baik yang sudah lama maupun masih baru, tidak
banyak berbeda dengan perilaku dan tindakan mereka di tempat asalnya di pulau
Madura. Keberanian orang Madura berbicara terus terang dan apa adanya
dianggap tidak sopan dan terkesan sebagai suatu perlawanan pada suku pribumi.
Oleh karena itu dalam pandangan suku Dayak, orang Madura merespon masalah
atau kekerasan dengan tindakan resistensi yang cenderung berupa kekerasan.
Dapat dilihat dari sini bahwa komunikasi memegang peran penting dalam
menentukan bentuk suatu hubungan. Perbedaan keinginan dalam cara
berkomunikasi pada suku Madura dan suku Dayak dalam penelitian Bahari
mengakibatkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis sehingga menimbulkan
konflik.
Penelitian Wuysang (2003) menunjukkan bahwa dalam interaksi antara
suku Melayu dan suku Madura di Sampit Kalimantan Tengah, salah satu pesan
yang disampaikan yakni: ciri, sifat dan atribut negatif yang dilekatkan pada suatu
suku tertentu. Perasaan negatif terhadap suku lain ini merupakan prasangka yang
akan menjadi penghambat komunikasi. Padahal, perasaan negatif tersebut
sebenarnya muncul dari perbedaan persepsi karena perbedaan penafsiran pesan
yang dibawa komunikator dan komunikan hingga akhirnya memperbesar jarak
sosial. Konflik-konflik yang terjadi menyiratkan makna bahwa sebagai bagian
dari masyarakat multikultural, kita selama ini tidak atau belum melakukan
komunikasi antarbudaya yang efektif. Sebuah relasi antarmanusia yang bertujuan
untuk meminimalisir kesalahpahaman budaya. Interaksi antar individu dan
kelompok budaya selama ini tidak lebih dari komunikasi semu, tidak
sungguh-sungguh, cenderung tidak mencerminkan ketulusan, yaitu tidak mengatakan yang
sebenarnya, apa yang ada dalam pikiran dan hatinya. Dalam keadaan demikian
komunikasi menjadi sekedar basa-basi, bukan untuk tujuan menyampaikan pesan
Dalam studi komunikasi antarbudaya, ketidaktulusan dalam menjalin
interaksi dicerminkan oleh sebuah konsep yang dikenal dengan mindlessness, yaitu orang yang sangat percaya pada kerangka referensi yang sudah dikenal,
kategori-kategori yang bersifat rutin, dan melakukan sesuatu dengan cara-cara
yang sudah lazim (Ting-Toomey, 1998). Artinya, ketika melakukan kontak
antrbudaya individu yang berada dalam keadaan mindless menjalankan aktifitas komunikasinya tanpa dilandasi kesadaran dalam berpikir. Ia hanya menggunakan
sudut pandangnya dalam menilai dan memperlakukan orang lain. Seseorang yang
mindless tidak menyadari bahwa ada perbedaan-perbedaan dalam masing-masing kelompok budaya disamping juga terdapat kesamaan-kesamaan diantara mereka.
Bahwa komunikan merupakan individu-individu yang unik dan memerlukan
pemahaman yang baik untuk dapat berperilaku yang tepat terhadap
masing-masing individu tersebut. Konsep ini dikenal dengan emotional vulnerability, yaitu ketika seseorang berkomunikasi dengan dissimilar others, maka ia akan mengalami emotional vulnerability. Dalam arti bahwa identitas kelompok (misalnya identitas kultural) dan identitas individu (seperti sifat-sifat kepribadian)
akan mempengaruhi cara-cara seseorang dalam mempersepsi, berpikir dan
bertingkah laku dalam suatu lingkungan sosial (Ting-Toomey, 1998).
Cara komunikasi yang mindless ini disebabkan oleh munculnya situasi ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan (anxiety). (Gudykunst & Kim, 1997) ketidakpastian merupakan ketidakmampuan seseorang untuk memprediksi atau
menjelaskan perilaku, perasaan, sikap atau nilai-nilai yang diyakini oleh orang
lain. Sedangkan kecemasan merupakan perasaan gelisah, tegang, atau khawatir
tentang sesuatu yang akan terjadi.
Penelitian ini melihat, suku Madura, sebagai salahsatu suku di Indonesia,
sebagaimana menurut (Rahman, 2007) merupakan suku pengembara terbesar dan
menempati banyak lokasi di Indonesia, Suku ini menyebar hampir di seluruh
penjuru tanah air bahkan hingga manca negara. Di sebagian tempat sebagaimana
dijelaskan di atas, suku ini mengalami konflik dengan suku lain. Di sebagian
tempat lainnya suku Madura berhasil menjalin hubungan yang baik dengan suku
Salah satunya di kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor Tengah Kota
Bogor. Di daerah ini terdapat keragaman suku bangsa. Suku yang dominan adalah
suku Sunda dan suku Madura. Suku Sunda sebagai penduduk asli sedangkan suku
Madura sebagai suku pendatang. Mereka berdomisili di kelurahan Kebon Kelapa
sejak tahun 70-an.
Pernah terjadi beberapa konflik diantara kedua suku ini, diantaranya dalam
kegiatan pembangunan mesjid serta memilih dan menetapkan pengurus masjid.
Kegiatan ini ternyata memancing terjadinya konflik. Perbincangan santai dan
musyawarah kerukunan warga yang diselenggarakan atas inisiatif salahsatu
warganya dan berkat dukungan ketua RW setempat, untuk membahas konflik
dalam perkara kepengurusan masjid dan beberapa kasus kesalahpahaman di antara
keduanya, diduga memberikan kesempatan bagi kedua belah pihak untuk
memahami dan menegosiasikan perbedaan budaya yang menjadi penyebab dari
ketegangan dan permasalahan yang terjadi.
Kemampuan suku Madura bersama-sama dengan suku Sunda di Kelurahan
Kebon Kelapa untuk menanggulangi konflik dan bertahan di lingkungan bersama,
diduga tidak lepas dari kemampuan mereka untuk menjalin komunikasi dan
interaksi yang baik, yaitu menciptakan suatu situasi komunikasi antarbudaya yang
di sebut mindfullness, yaitu ketika seseorang berpikir tentang kecakapan komunikasinya dan terus menerus berusaha merubah apa yang dia lakukan supaya
menjadi lebih efektif (Gudykunst & Kim, 1997). Suatu situasi komunikasi
antarbudaya dimana masing-masing peserta komunikasi berusaha meningkatkan
kecakapan komunikasinya serta mamapu merubah apa yang dilakukannya
menjadi lebih baik adalah berkat kemampuan menghilangkan ketidakpastian dan
kecemasan, serta mengaplikasikan pegetahuan budaya dan motivasi kedalam
suatu kecakapan perilaku yang tepat disebut komunikasi antarbudaya yang efektif
(Gudykunst & Kim, 1997). Mindfulness juga merupakan proses memfokuskan kognitif yang dipelajari melalui praktik yang diulang-ulang. (Ting-Toomey,
1998). Dalam teori Negosiasi Identitas milik Ting-Toomey (1998), ia
menegaskan bahwa mindful intercultural communication menekankan pentingnya mengintegrasikan pengetahuan antarbudaya yang penting, motivasi, dan
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, peneliti merumuskan
beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku
Madura?
2. Bagaimana konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku
Madura ?
3. Bagaimana efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku
Madura?
Tujuan Penelitian
Berbagai identifikasi masalah yang telah dirumuskan sebelumnya, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisa bentuk komunikasi Antarbudaya antara suku Sunda dan suku
Madura.
2. Menganalisa konflik dan manajemen konflik pada suku Sunda dan suku
Madura.
3. Menganalisa efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan
suku Madura.
Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini bertujuan memperkaya khasanah
penelitian mengenai komunikasi yang berkaitan dengan konflik antar etnik.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi dalam mengupayakan
harmonisasi budaya atau memperbaiki kondisi pasca konflik untuk mengambil
langkah-langkah terbaik.
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Antarbudaya
Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Gudykunts (1991) membedakan antara komunikasi lintasbudaya dengan
komunikasi antarabudaya, yaitu jika komunikasi lintas budaya lebih menekankan
pada perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi di antara peserta
komunikasi yang berbeda kebudayaan, maka studi komunikasi antarbudaya lebih
mendekati objek melalui pendekatan kritik budaya. Aspek utama dari komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi di antara komunikator dan
komunikan yang kebudayaannya berbeda.
Komunikasi lebih dari sekedar menolong seseorang untuk mengumpulkan
informasi atau untuk memenuhi kebutuhan interpersonal. Komunikasi juga
berperan dalam menentukan dan menjelaskan identitas, baik sebagai pribadi,
kelompok maupun suatu identitas budaya. Interaksi seorang individu dengan yang
lainnya menentukan siapakah dirinya. Identitas merupakan hal yang penting
dalam komunikasi antarbudaya dalam menentukan jatidiri yang ditawarkan oleh
seorang individu untuk dapat diterima oleh individu yang lainnya. Oleh karena itu
pembahasan komunikasi antarbudaya adalah membahas ciri-ciri penting dan
berbeda pada suatu individu yang disebabkan perbedaan budayanya (Mulyana,
2008)
Berbagai definisi yang menyangkut komunikasi antarbudaya antara lain
adalah sebagai berikut:
Rich dan Ogawa (dalam Liliweri 2002) menyatakan komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan,
misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras dan antar kelas sosial.
Samovar (2010), mengatakan komunikasi antarbudaya yaitu komunikasi
yang terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu memberikan pesan kepada
anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya, komunikasi antarbudaya
melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem
Dood (dalam Liliweri 2002) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi,
antarpribadi dan kelompok. Dengan tekanan pada perbedaan latar belakang
kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta
Chen dan Starosta (dalam Liliweri 2002) mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang
membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan
fungsinya sebagai kelompok.
Ting-Toomey (1998) menyatakan komunikasi antarbudaya adalah suatu
proses komunikasi simbolik antara orang-orang dari budaya yang berbeda.
Manusia merupakan makhluk pembuat simbol. Dalam komunikasi manusia,
simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan sesuatu hal yang
lainnya. Salah satu karakteristik simbol yang harus diingat adalah bahwa simbol
itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang diwakilinya, sehingga
dapat berubah-ubah. Simbol dapat dalam bentuk suara, tanda, gerakan, dan
lain-lainnya yang dapat digunakan dalam berbagi fakta dengan orang lain. Dalam
interaksi sehari-hari hal ini mungkin terjadi. Bahwa seseorang menggunakan
simbol untuk memberikan makna, menggambarkan apa arti sesuatu, memperluas
perspektif, memeriksa ulang persepsi dan menamai perasaan-perasaan sehingga
menjadi nyata. Dengan cara ini seseorang secara aktif memberikan arti melalui
simbol-simbol.
Menurut Ting-Toomey (1998) beragamnya latar belakang budaya dari
para peserta komunikasi memungkinkan terjadinya keberagaman pemikiran
diantara mereka. Hal ini yang menyebabkan dibutuhkannya simbol untuk di
pertukarkan dan disepakati maknanya dalam suatu komunikasi. Karena itu agar
menjadi efektif komunikasi antarbudaya memerlukan suatu situasi yang disebut
mindfullness untuk dapat melakukan negosiasi terkait simbol dan pemaknaannya dalam suatu budaya tertentu, yang menjadi latarbelakang individu dalam suatu
interaksi antarbudaya. dari latarbelakang pendapat ini Ting-Toomey
mengembangkan sebuah teori dalam menjelaskan kejadian komunikasi
Teori Negosiasi Identitas yang dikembangkan oleh Stella Ting-Toomey
memberikan sebuah dasar dalam memperkirakan bagaimana manusia akan
menunjukan citra dirinya dalam sebuah kebudayaan yang berbeda. Citra diri
adalah bagaimana seseorang menggambarkan dan menampilkan dirinya di
hadapan orang lain. Hal ini melibatkan rasa hormat, kehormatan, status, koneksi,
kesetiaan dan nilai-nilai lain yang serupa. Citra diri selanjutnya menjadi dasar
perilaku komunikasi manusia yang digunakan untuk membangun dan melindungi
identitas mereka serta untuk melindungi, membangun dan mengancam identitas
orang lain.
Beberapa asumsi teori Negosiasi Identitas mencakup
komponen-komponen penting dari teori ini: citra diri, konflik, dan budaya. Dengan demikian
poin-poin berikut menuntun teori dari Ting-Toomey:
1. Identitas diri penting di dalam interaksi interpersonal, dan
individu-individu menegosiasikan identitas mereka secara berbeda dalam
budaya yang berbeda.
2. Manajemen konflik dimediasi oleh citra diri dan budaya.
3. Tindakan-tindakan tertentu mengancam citra diri seseorang yang
ditampilkan.
Asumsi pertama menekankan pada (self identity). Self identity ini adalah identitas yang ia harapkan dan ia inginkan agar identitas tersebut diterima orang
lain. Identitas diri mencakup pengalaman kolektif seseorang, pemikiran, ide,
memori, dan rencana. Identitas diri tidak bersifat stagnan, melainkan
dinegosiasikan dalam interaksi dengan orang lain. Orang memiliki kekhawatiran
akan identitasnya dan identitas orang lain. Bagaimana persepsi seseorang tentang
dirinya sendiri dan bagaimana seseorang ingin orang lain mempersepsi dirinya
merupakan hal yang sangat penting dalam komunikasi.
Asumsi kedua berkaitan dengan konflik, yang merupakan komponen
utama dari teori ini. Konflik dapat merusak identitas seseorang dan dapat mengurangi kedekatan hubungan antara dua orang. konflik adalah „forum” bagi kehilangan identitas dan penghinaan terhadap diri ketika terdapat negosiasi yang
tidak berkesesuaian dalam menyelesaikan konflik tersebut (seperti menghina
manusia bersosialisasi dalam budaya mereka memengaruhi bagaimana mereka
akan mengelola konflik.
Asumsi ketiga berkaitan dengan dampak yang dapat diakibatkan oleh
suatu tindakan terhadap citra diri. Pertama, penyelamatan citra diri (face-saving) mencakup usaha-usaha untuk mencegah peristiwa yang dapat menimbulkan
kerentanan atau merusak citra seseorang. Penyelamatan citra diri sering kali
menghindarkan rasa malu. Pemulihan citra diri (face restoration) terjadi setelah adanya peristiwa yang dianggap mempermalukan citra diri. Orang akan selalu
berusaha untuk memulihkan citra diri dalam merespon suatu peristiwa. Misalnya,
alasan-alasan yang diberikan orang merupakan bagian dari teknik-teknik
pemulihan citra diri ketika suatu peristiwa yang dianggap memalukan terjadi.
Konflik dan Manajemen Konflik
Dalam kehidupan bermasyarakat kita selalu dihadapkan dengan berbagai
macam masalah atau konflik. Konflik adalah hal yang akan selalu terjadi, entah
konflik dengan orang lain atau dengan keluarga kita sendiri. Konflik dalam
kehidupan pasti selalu ada dan tidak dapat dihilangkan. Konflik hanya dapat
dicegah agar masalah yang timbul tidak semakin besar dan parah (Agus, 2003).
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. Dengan dibawasertanya ciri ciri individual dalam interaksi
sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri (Syarif, 2003)
Menurut Nardjana (dalam Wijono,1993), konflik adalah suatu situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu
dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu. Menurut
Killman dan Thomas (dalam Wijono,1993), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada
dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang
telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya
Dalam konflik setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan
maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun
kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran, atau adanya nilai-nilai atau
norma yang saling berlawanan. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh
gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi,
dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti
status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik
seperti sandang pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan
tertentu seperti mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis
seperti rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri. Hal
ini mengakibatkan munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai
akibat pertentangan yang berlarut-larut, munculnya ketidakseimbangan akibat dari
usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial,
pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya
(Wijono, 1993).
Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik
1. Konflik masih tersembunyi (laten). Berbagai macam kondisi emosional
yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal
yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition). Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu dirinya,
kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan
nilai yang berbeda, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict) Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior) Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang
ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan
5. Penyelesaian atau tekanan konflik. Pada tahap ini, ada dua tindakan yang
perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan
berbagai strategi atau sebaliknya malah ditekan.
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka
dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya
bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga
mempengaruhi produkivitas kerja (Rahardjo, 2007)
Dampak Konflik
1. Dampak Positif Konflik
Apabila upaya penanganan dan pengelolaan suatu konflik dilakukan
secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul melalui perilaku para
pelaku konflik berupa saling mendukung, saling menghargai dan saling
pengertian. Semua ini bisa menjadikan tujuan bersama dapat tercapai bahkan
berdampak pada produktivitas kerja yang meningkat sehingga akhirnya
kesejahteraan bersama dapat terwujud dan terjamin. (Wijono, 1993).
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik sesungguhnya disebabkan oleh kurang efektifnya
pengelolaan terhadap konflik yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan konflik
tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik yang efektif. Akibatnya muncul
keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan semua pihak berupa hilangnya
kondusifitas lingkungan bahkan menurunnya produktivitas kerja. (Wijono, 1993).
Strategi Mengatasi Konflik
1. Pengenalan. Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan
bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi
perangkap adalah kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan
masalah atau menganggap ada masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis. Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah
diuji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil
dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada
3. Menyepakati suatu solusi. Yaitu mengumpulkan masukan mengenai jalan
keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Serta bersedia untuk menanggung secara bersma-sama keuntungan dan
kerugian.
4. Evaluasi. Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah
baru. Jika penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke
langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi. (Rahardjo, 2007)
Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
1. Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy). Beroientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau kelompok
yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar
sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa
orang atau kelompok ketiga sebagai penengah. Dalam strategi kalah-kalah,
konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila
perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk
campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak
atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak
ketiga yaitu: a. Arbitrasi (Arbitration). Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak
ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan
penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat. b. Mediasi
(Mediation). Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang
mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap
pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2. Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy). Dalam strategi saya menang anda kalah (win-lose strategy), menekankan adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh
kemenangan. Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy Hal ini dapat melalui: a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih
independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan
perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi
terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja
(jurisdictioanalambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya
untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan
dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal
dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran
persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh
dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan
persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3. Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy). Penyelesaian yang
dipandang manusiawi karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan
keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat
membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman,
merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh
kesempatan untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya
penyelesaian konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah
pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar
memojokkan orang. Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam
organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat
dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problem Solving). Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan
proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk
menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi salah satu atau
kedua belah pihak yang terlibat konflik. (Rahardjo, 2007)
Individualistik dan Kolektivistik
Ting-Toomey memfokuskan pembahasan penyebabka konflik berdasarkan
latarbelakang perbedaan budaya. Menurut (Ting-Toomey 1998) salah satu
penyebab konflik terjadi adalah karena adanya perbedaan budaya individualis dan
kolektivis. Budaya individualis adalah budaya “kemandirian” dan budaya kolektivis adalah budaya “saling ketergantungan”. Budaya di seluruh dunia memiliki kadar dan ragam yang berbeda-beda dalam hal individualis dan
kolektivis. Kedua dimensi ini memainkan peranan yang penting dalam cara
bagaimana citra diri dan konflik dikelola.
Individualisme merujuk pada kecenderungan orang untuk mengutamakan
identitas individual dibandingkan identitas kelompok, hak individual
dibandingkan hak kelompok, dan kebutuhan individu dibandingkan kebutuhan
kelompok. Individualisme adalah identitas “Aku. Iindividualisme menekankan inisiatif individu, kemandirian, ekspresi individu, dan bahkan privasi. Nilai-nilai
individualistik menekankan adanya antara lain kebebasan, kejujuran,
kenyamanan, dan kesetaraan pribadi. Individualisme melibatkan motivasi diri,
otonomi, dan pemikiran mandiri. Individualisme menyiratkan komunikasi
langsung (to the point) dengan orang lain yang sering dikenal dengan budaya komunikasi konteks rendah.
Apabila individualisme berfokus pada identitas personal seseorang,
kolektivisme melihat ke luar diri sendiri. Kolektivisme adalah penekanan pada
tujuan kelompok dibandingkan tujuan individu, kewajiban kelompok
dibandingkan hak individu dan kebutuhan kelompok dibandingkan kebutuhan pribadi. Kolektivisme adalah identitas “Kita”. Orang-orang di dalam budaya kolektivistik menganggap penting berkerja sama dan memandang diri
mereka sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar. Masyarakat kolektivistik
menekankan keselarasan, menghargai keinginan orang yang lebih tua, dan
pemenuhan kebutuhan orang lain. Kolektivisme menyiratkan komunikasi tidak
langsung (lebih banyak basa-basi), istilah sering dikenal dengan
budaya komunikasi konteks tinggi. Ting-Toomey berargumen bahwa
anggota-anggota dari budaya yang mengikuti nilai-nilai individualistik cenderung lebih
berorientasi pada citra diri, sementara anggota-anggota yang mengikuti nilai yang
berorientasi pada kelompok cenderung lebih berorientasi pada citra orang lain
atau identitas bersama dalam sebuah konflik. Budaya kolektivistik berkaitan
dengan kemampuan adaptasi. Kemampuan beradaptasi memungkinkan
munculnya ikatan yang saling tergantung dengan orang lain. Maksudnya adalah
anggota dari komunitas kolektivistik mempertimbangkan hubungan mereka
dengan orang lain ketika mereka mendiskusikan sesuatu dan merasa bahwa suatu
percakapan membutuhkan keberlanjutan dari kedua komunikator.
Konflik sering kali terjadi ketika anggota-anggota dari budaya berbeda,
atau memiliki tingkat individualistik dan tingkat kolektivistik yang berbeda
bertemu, sehingga individu-individu yang berbeda tersebut akan menggunakan
beberapa gaya konflik yang berbeda. Gaya-gaya ini merujuk pada respon yang
berpola, atau cara khas untuk mengatasi konflik pada berbagai peristiwa
komunikasi.
Menurut Ting-Toomey (1998) manajemen konflik mencakup Avoiding
(menghindar), Obliging (menurut), Compromising (berkompromi), Dominating
(mendominasi), dan Integrating (mengintegrasikan). Dalam menghindar, orang
akan berusaha menjauhi ketidaksepakatan dan menghindari pertukaran yang tidak
menyenangkan dengan orang lain. Pada gaya menurut, orang yang berkonflik
akan melakukan akomodasi pasif, yaitu berusaha memuaskan kebutuhan
kebutuhan orang lain atau sepakat dengan saran-saran dari orang lain. Dalam
berkompromi, individu-individu berusaha menemukan jalan tengah untuk
mengatasi jalan buntu dan menggunakan pendekatan memberi-menerima sehingga
kompromi dapat tercapai. Gaya mendominasi mencakup perilaku-perilaku yang
menggunakan pengaruh, wewenang atau keahlian untuk menyampaikan ide atau
mengambil keputusan. Terakhir gaya mengintegrasikan digunakan untuk
perhatian yang tinggi untuk diri anda dan orang lain, yang mengharuskan
masing-masing kelompok yang bertikai memperhatikan kelompok lainnya demi
tercapainya kepentingan bersama.
Keputusan untuk menggunakan satu atau lebih dari gaya-gaya ini akan
bergantung dari variabilitas budaya dari komunikator. Manajemen konflik juga
menganggap penting persoalan citra diri dan citra orang lain. Sehubungan dengan
perbandingan yang melintasi lima budaya (Jepang, Cina, Korea Selatan, Taiwan
dan Amerika Serikat), Ting-Toomey beberapa hal:
1. Anggota-anggota dari budaya Amerika Serikat menggunakan lebih banyak
gaya mendominasi dalam manajemen konflik.
2. Orang Taiwan menyatakan bahwa lebih banyak menggunakan gaya
mengintegrasikan dalam manajemen konflik.
3. Orang Cina dan Taiwan menggunakan lebih banyak gaya menurut.
4. Orang Cina lebih banyak menggunakan tingkat menghindar yang tinggi
sebagai gaya konflik dibandingkan kelompok budaya lainnya.
5. Orang Korea menggunakan tingkat kompromi yang lebih tinggi dari
budaya-budaya lainnya.
Budaya kolektivistik (Cina, Korea dan Taiwan) memiliki tingkat
perhatian terhadap citra diri orang lain yang lebih tinggi. Dari sini jelaslah bahwa
penelitian mengenai citra diri dan konflik menunjukkan variabilitas budaya
memengaruhi bagaimana konflik dikelola. Dalam budaya kolektivis, keanggotaan
dalam kelompok biasanya merupakan sumber utama identitas. Bagi masyarakat Jepang, wajah melibatkan, “kehormatan, kesopanan, kehadiran, dan pengaruh pada orang lain”. Di antara masyarakat Cina, “memperoleh dan kehilangan wajah dekat hubungannya dengan masalah harga diri, martabat, penghingaan, rasa malu, aib, kerendahan hati, kepercaayaan, rasa curiga, rasa hormat dan gengsi”. Sikap yang berbeda menyangkut apa yang mewakili citra diri memiliki pengaruh
yang nyata pada bagaimana budaya memandang dan mendekati konflik. Dalam
budaya kolektif, konflik dalam kelompok-dalam “dianggap merusak citra sosial dan keharmonisan hubungan, jadi harus dihindari sedapat mungkin”. ketika berhadapan dengan sesuatu yang berpotensi menimbulkan konflik, masyarakat
individualistis bagaimanapun, lebih peduli pada citra sendiri dan cenderung
menghadapi dan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada solusi untuk
mengatasi konflik. Perilaku berbeda terhadap konflik menimbulkan gaya
komunikasi budaya yang cukup berbeda. Selama komunikasi antarbudaya terjadi,
gaya yang berlawanan ini dapat menimbulkan kebingungan, kesalahpahaman,
atau bahkan kebencian di antara pelaku komunikasi. Hal yang sama juga berlaku
pada gaya komunikasi tidak langsung (seperti pada budaya konteks tinggi) dalam
rangka mempertahankan hubungan baik dapat menimbulkan efek yang sebaliknya
di antara peserta individualistis yang menganggap bahwa interaksi dapat
mengancam identitas. (Ting-Toomey, 1998).
Kompetensi dan Unsur-Unsur Kompetensi Komunikasi Antarbudaya
Kata competence adalah state of being capable, atau dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan kapabilitas atau kemampuan seseorang
sehingga ia dapat berfungsi dalam keadaan yang mendesak dan penting.
Kompetensi komunikator adalah sebuah kompetensi yang dimiliki oleh seorang
komunikator, atau kemampuan tertentu dari seorang komunikator untuk
menghindari perangkap atau hambatan komunikasi. Misalnya, mampu
meminimalisasi kesalahpahaman, kekurangmengertian, dan memahami perbedaan
sikap dan persepsi orang lain.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kompetensi antarbudaya adalah
kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik secara pribadi, berkelompok,
organisasi, atau dalam etnik dan ras) untuk meningkatkan kapasitas, keterampilan,
pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari orang-orang yang
berbeda kebudayaannya. Kompetensi antarbudaya merupakan suatu perilaku yang
konkrit beserta sikap, struktur dan kebijakan yang datang bersamaan atau
menghasilkan kerja sama dalam situasi antarbudaya.
Ada beberapa faktor yang mendorong kita mempelajari kompetensi
antarbudaya, antara lain adanya perbedaan nilai antarbudaya, tata aturan budaya
cenderung mengatur dirinya sendiri, kesadaran untuk mengelola dinamika
perbedaan, pengetahuan kebudayaan yang sudah institusionalisasi, dan
mengadaptasikan kekuatan semangat layanan dalam keragaman budaya demi
Dengan kata lain, kompetensi antarbudaya itu tergantung pada konteks.
Konteks tersebut itu adalah (1) konteks verbal, misalnya berkaitan dengan
pembentukan kata-kata dalam sebuah pernyataan dan topik; (2) konteks relasi,
yang menggambarkan penyusunan, tipe, dan gagasan pesan dalam berkomunikasi
dengan orang lain; (3) konteks lingkungan fisik maupun sosial suatu masyarakat
yang menggambarkan bentuk penerimaan dan penolakan tanda, simbol, ataupun
pesan dalam komunikasi. (Gudykunst, 1991).
Menurut Ting-Toomey (1998), ada tiga komponen kompetensi dalam
berkomunikasi yaitu:
1. Motivasi. Motivasi adalah daya tarik dari komunikator yang mendorong
seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain
2. Pengetahuan. Pengetahuan menentukan tingkat kesadaran atau
pemahaman seseorang tentang kebutuhan apa yang harus dilakukan dalam
rangka komunikasi secara tepat dan efektif, komponen pengetahuan turut
menentukan kompetensi komunikasi karena hal ini berkaitan erat dengan
tingkat kesadaran terhadap apa yang dibutuhkan untuk berkomunikasi
dengan orang lain.
3. Keterampilan. Kemampuan dapat membimbing kita untuk menghadirkan
sebuah perilaku tertentu yang cukup dan mampu mendukung proses
komunikasi secara tepat dan efektif. Tujuan utama dari keterampilan
semata-mata untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dan kecemasan.
Untuk mengurangi ketidakpastian setidaknya seseorang harus mempunyai
keterampilan empati, berperilaku seluwes mungkin dan kemampuan untuk
mengurangi situasi ketidakpastian itu sendiri.
Jadi kompetensi komunikasi antarbudaya adalah seperangkat pengetahuan
dan motivasi yang harus dimiliki oleh seseorang yang dituangkan dalam
keterampilan berkomunikasi, khususnya komunikasi antar manusia berbeda
budaya.
Efektivitas Komunikasi Antarbudaya.
Gudykunts (1991) mengungkapkan bahwa efektivitas komunikasi
menciptakan iklim komunikasi yang positif. Iklim positif diartikan dengan adanya
derajat kognitif yang baik, perasaan yang positif, dan tindakan yang menunjukan
kemampuan berperilaku yang tepat.
DeVito (1997) menyatakan bahwa untuk menghasilkan komunikasi
antarbudaya yang efektif adalah mengetahui pentingnya pemahaman kita
terhadap diri sendiri dan terhadap harapan orang lain dalam melintasi batas-batas
interpersonal atau budaya.
Mulyana dan Rakhmat (2006) menyatakan efektivitas komunikasi
antarbudaya adalah mengetahui pola-pola penafsiran pesan dari budaya yang
berlainan serta meminimalisir bias penilaian dan persepsi interpersonal, agar tidak
terjebak dalam stereotype.
Menurut Rich dan Ogawa (dalam Liliweri 2004) efekivitas komunikasi tergantung pada budaya yang mempengaruhi perilaku manusianya. Semakin baik
kita mengenali dan memahami budaya mitra berkomuniaksi kita, maka akan
semakin efektif pula proses komunikasi yang kita lakukan Selain itu sikap
stereotipe atas beragam budaya harus kita terima sebagai makna yang positif atas
ragam budaya dan uniknya manusia. Jadi efektivitas komunikasi antarbudaya
adalah jika dalam interaksi tersebut tercapai pemahaman dan penerimaaan yang
tulus terhadap perbedaan – perbedaan budaya.
Kealey dan Ruben (dalam Amiruddin Z 2010) menyatakan efektivitas komunikasi terletak pada kepuasan seseorang untuk melakukan tindakan simbolik
tertentu yang menggambarkan tidak hanya maksud atau gagasan melainkan juga
motivasi untuk bertindak. Dalam hal ini, efektivitas komunikasi antarbudaya
didahului oleh hubungan antarbudaya yang terjadi terus menerus sampai ke taraf
kualitas terbaiknya. Kualitas ini dapat dicapai ketika seseorang dapat
membedakan pengalaman berhubungan antarbudaya dengan orang yang
berbeda-beda, sehingga dapat mengambil keputusan untuk mewujudkan suatu tindakan
simbolik tertentu. Pada efektivitas komunikasi antarbudaya terdapat variabel yang
menentukan terjadinya komunikasi antarbudaya yang efektif melalui variabel
yang terkait dengan keterampilan social yaitu kejujuran, empati, pengungkapan
rasa hormt dan keluwesan dari pelaku komunikasi. Variabel lain yang
yang terdiri atas kondisi kerja, batasan-batasan kerja dan tingkat kesulitan kerja,
kondisi hidup, persoalan kesehatan, sasaran-sasarn proyek yang realistis,
kesimpangsiuran politik, dan kesulitan bahasa dari pelaku komunikasi. Kekuata
pribadi, partisipasi sosial, kemampuan bahasa lokal dan apresiasi adat-istidat dari
pelaku komunikasi juga mempengaruhi efektivitas komunikasi. Sebagai catatan,
kelay dan Ruben menyatakan bahwa variabel pribadi menjadi lebih penting
daripada variabel situasional didalam keefektivan komunikasi antrbudaya.
Ting-Toomey (1998) menyatakan efektivitas komunikasi antarbudaya
adalah sejauh mana komunikator mencapai makna bersama dan hasil yang
diinginkan dalam suatu situasi interaksi tertentu. Dalam teori negosiasi identitas
dinjelaskan tentang tercapainya makna bersama melalui proses negosiasi di dalam
interaksi antarbudaya, serta menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya efektivitas dalam interaksi tersebut. Pendekatan ini dapat membantu
memahami faktor-faktor yang penting dalam terjadinya negosiasi identitas yang
efektif pada beragam kebudayaan yang melakukan interaksi dan komunikasi,
dalam suatu lingkungan sosial bersama. Interaksi komunikasi antarbudaya yang
kompetitif adalah kemampuan mengintegrasikan faktor-faktor pengetahuan dan
faktor-faktor motivasi ke dalam keterampilan interaksi sehari-hari, Ting-Toomey
(1998).
Artinya efektivitas dalam komunikasi antarbudaya adalah terciptanya
kemampuan peserta komunikasi dalam melakukan hal yang tepat dalam
menghadapi perbedaan-perbedaan budaya yang ada dalam suatu interaksi
antarbudaya.
Kemampuan melakukan hal yang tepat tersebut menurut Gudykunts(1991)
berupa terciptanya suatu iklim komunikasi yang positif. Menurut Mulyana dan
Rakhmat (2006) kemampuan tersebut berupa pengetahuan terhadap pola-pola
penafsiran pesan dari budaya yang berlainan serta meminimalisir bias penilaian
dan persepsi interpersonal, agar tidak terjebak dalam stereotype. Rich dan Ogawa
Ting Toomey menjabarkan kemampuan melakukan hal yang tepat tersebut
melalui didapatkannya pengetahuan yang baik terkait perbedaan budaya serta
adanya motivasi dalam mencapai keselarasan makna suatu pesan.
KERANGKA BERPIKIR
Penelitian mengenai efektivitas komunikasi antarbudaya pada suku Sunda
dan suku Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota Bogor dilatarbelakangi oleh
munculnya berbagai konflik yang terjadi diantara mereka yang terjadi sejak
kedatangan suku Madura pada tahun 70-an. Konflik-konflik tersebut membentuk
interaksi yang unik diantara mereka. Pada dasarnya perbedaan budaya diantara
mereka menimbulkan permusuhan dan perpecahan. Hal ini disebabkan
masing-masing suku menganggap nilai budayanya sebagai hal yang benar dan
menganggap salah pada setiap nilai yang dianggap berbeda dengan nilai yang
dianutnya. Kondisi ini dalam masa-masa awal percampuran budaya suku Sunda
dan suku Madura mengakibatkan konflik-konflik terpendam dan konflik terbuka
terjadi diantara mereka.
Selanjutnya melalui proses yang panjang seiring masa yang dilalui oleh
kedua suku ini, para anak muda berhasil melakukan manajemen konflik yang
tepat berbasiskan penyelarasan berbagai kepentingan nilai dan budaya yang ada
diantara mereka. Keterbukaan dan kesadaran pemikiran serta upaya-upaya
penerimaan atas berbagai perbedaan dilakukan oleh para generasi muda ini.
Dimasa selanjutnya apa yang dilakukan oleh para anak muda tersebut dilakukan
pula oleh para orang tua dan juga oleh generasi yang lebih muda dari keduabelah
suku. Hal inilah yang menghasilkan berkembangnya pengertian-pengertian
terhadap pengetahuan terkait perbedaan-perbedaan budaya diantara mereka.
pengetahuan ini selanjutnya memotivasi kedua belah pihak untuk mengupayakan
terciptanya komunikasi yang efektif diantara mereka.
Melalui manajemen konflik tersebut suku Sunda dan suku Madura berhasil
merubah pola pergaulan diantara keduanya yaitu hilangnya kecurigaan terhadap
perbedaan nilai dan budaya. Kondisi ini menciptakan keakraban, kepercayaan
bahkan kerjasama dalam berbagai bidang diantara mereka.
Hal ini nampaknya sesuai dengan teori negosiasi identitas oleh Stella
bahwa setiap orang dalam setiap budaya sebenarnya selalu menegosiasikan
identitasnya masing-masing, yaitu keinginan bagaimana kita memperlakukan dan
diperlakukan oleh oran lain, dan untuk menegakkan dan serta menghormati
identitas dirinya dan orang lain. Tujuan utama yang hendak dicapai adalah
mengidentifikasi bagaimana orang-orang dengan budaya yang berbeda dapat
bernegosiasi dalam menangani konflik. Keinginan bernegosiasi diantara pelaku
komunikasi dengan latar belakang budaya berbeda tersebut mensyaratkan adanya
pengetahuan dan motivasi terkait perbedaan kebudayaan-kebudayaan tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya adalah
adanya pengetahuan dan motivasi. Interaksi komunikasi antarbudaya yang
kompetitif adalah kemampuan mengintegrasikan faktor-faktor pengetahuan dan
faktor-faktor motivasi ke dalam praktek interaksi sehari-hari.
Analisa awal dalam melihat terjadinya berbagai konflik diantara suku
Sunda dan suku Madura serta bagaimana cara mereka mengatasi konflik-konflik
adalah untuk memahami alasan terbentuknya efektivitas komunikasi antarbudaya
pada suku Sunda dan suku Madura. Melalui pemahaman yang mendalam perihal
konflik dan penanganannya memperlihatkan bahwa telah terjadi perubahan sikap
pada suku Sunda dan suku Madura yang dipelopori generasi muda dari kedua
suku. Pada awal terjadinya percampuran budaya memperlihatkan bahwa keduanya
merupakan dua suku yang berbeda dan saling terpisah dalam berbagai segi
kehidupan dan kesehari-hariannya. Pasca konflik-konfik yang berhasil
diselesaikan berkembang kegiatan pengamatan, pembelajaran dan pengalaman
para individu dari kedua suku yang menurut Ting-Toomey berfungsi sebagai alat
mendapatkan pengetahuan dan mengembangkan motivasi antarbudaya.
Penelitian ini menekankan bagaimana proses efektivitas komunikasi
antarbudaya terjadi di kelurahan Kebon Kelapa antara suku Sunda dan suku
Madura. Manajemen konflik yang dilakukan oleh suku Sunda dan suku Madura
yang menjadi dasar terjadinya negosiasi identitas bagi masing-masing budaya bisa
jadi membenarkan atau mengembangkan teori negosiasi identitas milik Stella
Ting-Toomey yang menyatakan bahwa pengamatan, pembelajaran dan
pengalaman dapat melahirkan efektivitas komunikasi antarbudaya berupa
Penelitian ini menekankan bagaimana proses interaksi dan komunikasi
sosial yang dialami oleh suku Sunda dan Suku Madura sedang berjalan menuju
sebuah identitas bersama yang unik, yang menjadi ciri khas lokal. Dimana dengan
melalui tahapan-tahapan yang disepakati bersama, suku Sunda dan suku Madura
menjadikan interaksi yang terjalin diantara mereka sebagai respon dari kebutuhan
akan harmonisasi hidup berdampingan di satu sisi, dan pembuktian jati diri dan
budayanya di sisi lain.
Secara skematis dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Keterangan :
[image:38.595.44.490.33.707.2]Pengaruh Langsung
Gambar 1. Kerangka pemikiran efektivitas komunikasi antar budaya Karakteristik Individu
Pengamatan
Pembelajaran
Pengalaman
Faktor Pengetahuan
Nilai budaya
Bahasa
Non verbal
In-group out-group
Relationshiph development
Manajemen konflik
Adaptasi antarbudaya
Faktor motivasi Kesadaran identitas
domain
Kesadaran identitas needs
Efektivitas komunikasi antar budaya Saling mengerti
METODE PENELITIAN
Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
paradigma konstruktivisme. Pemaknaan terhadap fenomena efektivitas
komunikasi antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura merupakan fakta
sosial yang dikonstruksi dan dimaknai oleh Sunda dan suku Madura itu sendiri.
Realitas sosial di dalam paradigma ini dianggap merupakan konstruksi mental
individu, dan pengalaman yang sifatnya spesifik. Realitas sosial dari paradigma
konstruktivis ini tidak dapat digeneralisasikan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (induktif) dengan
menggunakan informasi yang sifatnya subyektif. Menurut Denzin (dalam Upe, 2010) penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang menjadikan multi metode sebagai fokusnya, melibatkan pendekatan intrepetatif dan naturalistik terhadap
pokok persoalannya. Artinya bahwa peneliti kualitatif mengkaji suatu masalah
dalam situasi alami, yang tujuannya memberikan pemaknaan yang diletakkan
pada fenomena yang sedang dikaji.
Strategi penelitian adalah studi kasus, dengan pertimbangan bahwa : (1)
pertanyaan penelitian berkenaan dengan bagaimana dan mengapa, (2) penelitian
ini memberikan peluang yang sangat kecil bagi peneliti untuk mengontrol gejala
atau peristiwa sosial yang diteliti, dan (3) menyangkut peristiwa dan gejala
kontemporer dalam kehidupan yang riil (Yin, 1996 dalam Widiyanto, 2009). Penelitian studi kasus terutama sangat berguna untuk informasi latar belakang
guna perencanaan penelitian yang lebih besar dalam ilmu-ilmu sosial. Karena
studi yang demikian itu intensif sifatnya, studi tersebut menerangi
variabel-variabel yang penting, proses-proses, dan interaksi-interaksi, yang memerlukan
perhatian lebih luas. Penelitian kasus itu merintis dasar baru dan seringkali
menjadi sumber hipotesis-hipotesis untuk penelitian lebih jauh (Suryabrata, 1997).
Menurut Sitorus (1999) penelitian studi kasus menggunakan pendekatan kualitatif
yang memungkinkan dialog peneliti dan tineliti, sehingga kebenaran adalah
kesepahaman bersama atas sebuah masalah berupa intersubjektifitas yang lahir
Mengingat studi mengenai efektivitas komunikasi adalah gejala yang
mengandung dimensi-dimensi historis, maka menurut Sitorus (1999) agar gejala
tersebut tertangkap maka pilihan studi kasus pada penelitian tersebut harus
memadukan dua pendekatan sekaligus antara lain menggunakan metode kasus
historis studi riwayat hidup tineliti yang khas, sehingga ditemukan jawaban
mengenai mengapa dan bagaimana peristiwa percampuran budaya terjadi.
Kemudian kajian sejarah lokal, yang memungkinkan perolehan pengetahuan
mengenai perubahan sosial pada suku Sunda dan suku Madura. Penelitian ini
kemudian akan memetakan proses terjadinya komunikasi antarbudaya, untuk
memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai efektivitas komunikasi
antarbudaya pada suku Sunda dan suku Madura di Kelurahan Kebon Kelapa Kota
Bogor.
[image:40.595.69.490.52.802.2]Penelitian dilakukan menjadi tiga tahap, antara lain :
Tabel Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian
No Tahap Penelitian Kegiatan Waktu
1. Analisis Dokumen Melakukan pengumpulan dan kajian literatur yang berkaitan dengan topik penelitian.
Februari 2012
2. Pra survey Melakukan penelusuran awal tempat penelitian. Dari tahap ini dapat diperoleh gambaran umum wilayah penelitian, kondisi fisik demografi, kependudukan, dan kondisi sosial lainnya.
Maret 2012
3. Penelitian Lapang dan analisis
Memahami gambaran umum suku Sunda dan suku Madura , memahami bagaimana proses perkembangan interaksi dan komunikasi dari generasi satu, generasi dua dan genesari tiga, manajemen konflik sebagai hasil adaptasi dengan
lingkungannya, dan perubahan pemaknaan terhadap identitas budaya.
4. Analisis dan Penyusunan Hasil Penelitian
Menganalisis fakta/temuan di lapangan
Juni-Juli 2012
5. Verifikasi Hasil Penelitian
Memverifikasi hasil penelitian oleh tineliti (subyek
penelitian) sebelum dipublikasi.
Juli 2012
6. Publikasi Mempublikasi hasil penelitian sebagai sumbangan ilmiah dalam pengembangan studi strategi komunikasi
antarbudaya.
Agustus 2012
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Kebon Kelapa Kecamatan Bogor
Tengah Kota Bogor, tepatnya di RT 04 RW Dimulai dari bulan Februari-Juli
2012. Lokasi dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa : 1. Di daerah ini komunitas Madura paling banyak terdapat diantara wilayah
lainnya di Kelurahan Kebon Kelapa, dimana jumlah komunitasnya menyamai
jumlah komunitas suku sunda yang tinggal di RT 04.
2. Berdasarkan kajian literatur ditemukan fakta bahwa terjadi harmonisasi hidup
antara suku sunda dan suku Madura yang menunjukkan terdapat perbedaan
pola pergaulan suku Madura yang berdiam di RT 04 dengan suku Madura
yang berada di beberapa wilayah yang mengalami konflik dengan penduduk
asli.
3. Memungkinkan secara finansial karena lokasinya mudah dijangkau.
Teknik Pengumpulan data
data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi berperan serta, dan
analisis dokumen. Sebagai bentuk penyimpanan data dari ketiga teknik yang
digunakan, maka peneliti membuat catatan harian yang berisi hasil wawancara
mendalam tineliti, dan hasil pengamatan berperan serta.
Wawancara mendalam dilakukan dengan subyek kasus sebagai informan
kunci yang telah ditentukan sebelumnya dengan mempertimbangan keterwakilan
dari suku Sunda dan suku Madura area tinggal yang berbaur. Untuk memahami
perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat suku Sunda dan suku Madura
maka studi riwayat hidup (life history) informan kunci dilakukan. Para informan kunci, ditentukan secara teknik snowball. Guna memahami fenomena sosial komunikasi antarbudaya, maka peneliti mewawancarai sejumlah tokoh kunci
antara lain para orang tua dari generasi satu suku Sunda dan suku Madura. Mereka
adalah orang-orang yang mengalami percampuran budaya paling awal yaitu
dimulai dari kedatangan suku Madura lokasi penelitian. Generasi dua suku Sunda
dan suku Madura, yaitu anak dari generasi satu. Generasi tiga, yaitu
anak-anak dari generasi dua.
Analisa Data
Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini
digunakan metode analisis data kualitatif. Analisa dilakukan dengan melakukan
reduksi data. Reduksi dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan : (1)
meringkas data; (2) mengkode ; (3) menelusuri tema ; (4) membuat gugus-gugus;
(5) membuat partisi; (6) membuat memo. Kegiatan ini berlangsung semenjak
pengumpulan data sampai dengan penyusunan laporan. Reduksi data merupakan
bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang
yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga
dapat memberikan kesimpulan akhir (Sitorus, 1998)
Triangulasi
Pensahihan pada suatu penelitian adalah dengan memeriksa satu butir uji
baru dihadapkan dengan ukuran-ukuran keterampilan atau “construct” yang sama dan yang telah disahihkan. Bila mereka bertemu-bertumpang tindih, berkolerasi
Dalam penelitian kualitatif uji kesahihan dalam suatu penelitian disebut
triangulasi. (Miles dan Huberman 1992)
Triangulasi meliputi triangulasi sumber, teknik pengumpulan data.
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh
dari generasi pertama, kepada beberapa orang yang berbeda yang masuk dalam
kategori generasi pertama, demikian pula mengecek data yang telah diperoleh dari
generasi kedua, kepada beberapa orang yang berbeda yang masuk dalam kategori
generasi kedua, dan mengecek data yang telah diperoleh dari generasi ketiga
kepada beberapa orang yang berbeda yang masuk dalam kategori generasi ketiga.
Triangulasi teknik pengumpulan data adalah dengan cara membandingkan temuan
lapangan dalam kasus pembangunan masjid dengan kasus interaksi di kasus
penggunaan jalan dan kasus lainnya, dan dengan membandingkan temuan
lapangan melalui wawancara antara peneliti dengan yang diteliti, dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Kependudukan Kelurahan Kebon Kelapa
Kelurahan Kebon Kelapa adalah salah satu kelurahan yang berada di
Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Luas wilayah Kelurahan Kebon Kelapa
adalah -/+ 57,81 Ha, dengan jumlah penduduk sebanyak 17.419 jiwa yang
tersebar di 10 RW dan 45 RT. Kelurahan Kebon Kelapa berbatasan wilayah
dengan Kelurahan Menteng di sebelah utara, berbatasan dengan Kelurahan
Ciwaringin di sebelah timur, berbatasan dengan Kelurahan Gunung Batu di
sebelah barat, dan berbatasan dengan Kelurahan Panaragan di sebelah selatan.
Kelurahan Kebon Kelapa terletak di tengah-tengah kota Bogor. Kantor
Kelurahan Kebon Kelapa berada tepat di pinggir jalan yang merupakan pertigaan
jalan mawar. Jalur pertama ke arah utara jalan menjadi jalur menuju pu