• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN, PANTAUAN REPRODUKSI DAN BONDING PADA OPOSUM LAYANG (Petaurus breviceps) DI PENANGKARAN

SUB-KEGIATAN PRODUK KOMERSIAL

MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN, PANTAUAN REPRODUKSI DAN BONDING PADA OPOSUM LAYANG (Petaurus breviceps) DI PENANGKARAN

Wartika Rosa Farida*, Andri Permata Sari, Herjuno Ari Nugroho, Tri Hadi Handayani, dan Umar Sofyani

Pusat Penelitian Biologi LIPI

Jl. Raya Jakarta-Bogor KM 46, Cibinong 16911, Bogor, Indonesia *E-mail: wrfarida@indo.net.id

ABSTRAK

Guna memenuhi kebutuhan nutrisi pada oposum layang di penangkaran, maka telah diberikan pakan berupa bubur Leadbeater dan jus buah-buahan. Selain itu diberikan juga pakan serangga (ulat jerman dan jangkrik) sebagai pakan alaminya. Dari hasil pengukuran, rataan konsumsi pakan Leadbeater sebesar 11,4 gram per ekor, sedangkan jus buah-buahan sebesar 16,1 gram per ekor. Pemberian pakan modifikasi Leadbeater, buah-buahan, dan ulat ini memiliki kandungan nutrisi yaitu 19% protein; 8,8% lemak; 3,5% Ca; dan 0,5% P. Terjadi peningkatan kelahiran anak oposum layang sejak Maret hingga Oktober 2015, dengan rataan kelahiran anakan 4,75 ekor per bulan. Proses bonding dilakukan sejak anak opossum berumur 2 bulan, guna mendapatkan anakan oposum yang jinak sebagai produk pet animals.

Kata Kunci: Pakan, reproduksi, bonding, oposum layang, Petaurus breviceps PENDAHULUAN

Oposum layang atau lebih dikenal dengan sugar glider merupakan mamalia kecil yang tengah menjadi tren bagi komunitas pecinta hewan. Persebarannya meliputi Papua, Halmahera, Tasmania, dan Australia. Satwa ini mendiami sarang berupa lubang-lubang pohon di hutan primer dan sekunder dalam kelompok berjumlah 5-12 ekor (Flanery, 1995). Oposum layang ditetapkan IUCN dalam status konservasi Least Concearn dan tidak ditetapkan dalam status perdagangan CITES karena populasinya yang masih tinggi di alam (Salas et al., 2008).

Hewan yang tergolong ke dalam famili Petauridae merupakan hewan berkantung (marsupialia), bersifat nokturnal dan omnivorus (Dierenfeld, 2009). Di alam, hewan ini memakan berbagai getah pohon yang kaya karbohidrat, nektar, polen, berbagai macam serangga dan arahnida (Johnson, 2013). Di habitatnya, oposum layang hidup berkelompok di dalam sarangnya, eksklusif, dan menandai daerah teritorinya dengan urinnya.

Smith (1982), Henry & Suckling (1984), dan Nagy & Suckling (1985) mengklasifikasi 6 kelompok pakan oposum layang, yaitu artropoda, getah eukaliptus, getah akasia, manna, honeydew, serta nectar dan pollen. Dilaporkan oleh Johnson (2013), pakan oposum layang sekitar 50% terdiri dari gula tanaman seperti nektar, sirup maple, madu, maupun produk artifisial nektar lainnya. Sedangkan sisa 50% pakan lainnya didapatkan dari serangga atau protein hewani lainnya. Menurut Dierenfeld (2009), buah-buahan mengandung kalsium (Ca) yang rendah dibandingkan phosphor (P) harus diberikan seminimal mungkin. Ratio Ca:P sedapat mungkin 1:1 atau 2:1. Defisiensi Ca dapat menyebabkan tetanus pada oposum layang (Ness dan Booth, 2004). Sebagai pengganti nektar, bisa diberikan pakan alternatif berupa bubur olahan yang disebut “Leadbeater”. Dierenfeld et al (2006) telah melakukan penelitian menggunakan modifikasi pakan Leadbeater. Pakan tersebut telah terbukti berhasil diterapkan di beberapa kebun binatang dan penangkaran oposum layang.

Masa bunting oposum layang cukup singkat yaitu 15-17 hari dengan jumlah kelahiran anak 1-2 ekor per kelahiran. Di dalam kantung induk oposum terdapat 2 puting susu dan anaknya akan berada dalam kantung induknya selama 2 bulan. Menurut Johnson-Delaney (2002), oposum yang dipelihara di penangkaran akan bereproduksi sepanjang tahun. Guna meningkatkan jumlah populasi oposum di penangkaran, maka pantauan reproduksi beserta pengelolaannya harus mendapat perhatian, guna menghindari kematian anak maupun induk di penangkaran.

Dalam menangkarkan oposum layang untuk tujuan komersil, maka proses bonding atau penjinakan dilakukan sejak oposum masih berumur muda. Karena semakin dewasa oposum akan semakin sulit dijinakkan. Oposum yang jinak akan lebih menarik dan disukai konsumen, karena dapat menjadi hewan kesayangan yang bisa diajak bermain-main, bahkan dengan anak-anak.

Kegiatan ini bertujuan mengoptimalkan kebutuhan nutrisi bagi oposum layang yang diharapkan menunjang peningkatan reproduksinya di penangkaran.

BAHAN DAN METODE

Pakan yang diberikan kepada oposum layang adalah pakan bubur modifikasi Leadbeater, jagung manis dan berbagai serangga (Tabel 1), sedangkan komposisi bubur Leadbeater dapat dilihat pada Tabel 2. Selain itu, oposum juga diberi sari buah dalam bentuk jus yang diolah dari berbagai jenis buah-buahan. Pakan Leadbeater dan jus buah disiapkan dan disajikan pada pukul 15.00. Serangga diberikan seminggu dua kali, yaitu ulat Jerman (mealworm) pada hari Senin, dan jangkrik pada hari Kamis.

Tabel 1. Komposisi Pakan untuk Oposum Layang

Jenis Pakan Jumlah yang disajikan (g)

Pakan bubur Leadbeater 50

Jagung manis 10

Ulat Jerman/Jangkrik (2 kali seminggu) 4 ekor

Komposisi bubur Leadbeater : 36 % Madu, 36 % air hangat, 14 % telur rebus, 4 % bubur sereal bayi, 9 % pisang siam, dan 1% calcium

Tabel 2. Komposisi pakan Leadbeater untuk Oposum Layang

Bahan pakan Jumlah (g)

Madu 150

Air hangat 150

Telur rebus 3 butir

Bubur cereal bayi 100

Pisang 180

Melon 80

Semangka 70

Jagung manis pipil 50

Jambu biji 60

Pepaya 40

Sebelum disajikan semua bahan pakan pada Tabel 2 dihaluskan menggunakan blender. Pakan Leadbeater diberikan sebanyak 50 gram untuk masing-masing kandang (2 ekor oposum layang).

Selama proses pengamatan, suhu dan kelembaban dicatat sebanyak 3 kali tiap harinya, yaitu pagi hari pukul 6.00, siang hari pukul 12.00, dan sore 18.00 WIB. Suhu berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pada oposum layang.

Pantauan reproduksi dimulai dengan pencatatan sejak terjadi perkawinan pasangan oposum layang, bunting, dan kelahiran anak. Pertumbuhan anak juga diawasi hingga anak

lepas sapih dari induknya pada umur sekitar 4 bulan. Pengumpulan data dilakukan sejak bulan Maret hingga akhir Oktober 2015.

Proses bonding (penjinakan) dilakukan sejak anak oposum berumur sekitar 2 bulan. Dimulai dengan memberikan makanan langsung dengan tangan dan anak opossum akan mengambil makanan tersebut; diikuti dengan mengusap tubuh anak oposum, meletakkannnya di tangan, pundak, kepala, hingga anak oposum diajak jalan-jalan disekitar penangkaran.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Oposum layang saat ini memang menjadi popular karena tingginya minat untuk menjadikan satwa ini sebagai hewan peliharaan. Namun, masih perlu dikaji mengenai kebutuhan nutrisi yang diperlukan satwa ini guna menunjang pertumbuhan dan reproduksinya di penangkaran.

Rata-rata suhu dan kelembaban disekitar penangkaran pada pagi, siang, dan malam hari adalah 24,6°C dan 88%; 31,9°C dan 61%; 26,7°C dan 80%. Suhu dan kelembaban udara sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi pakan oleh hewan. Semakin tinggi suhu semakin menurun tingkat konsumsi hewan terhadap pakan. Rataan konsumsi pakan oleh oposum adalah 27,5 gram per ekor yang terdiri dari 11,4 gram pakan modifikasi Leadbeater dan 16,1 gram jus buah-buahan. Hal ini sejalan dengan penelitian Dierenfeld et al. (2006) yang melaporkan rata-rata oposum layang menghabiskan 26 g sampai 37 g pakan basah per harinya (sekitar 30%-40% dari berat badan) dengan 70% kandungannya adalah air. Jumlah pakan yang tepat yang dikonsumsi oleh oposum perlu ditetapkan untuk mencegah oposum layang menderita malnutrisi, obesitas, bahkan penyakit lain yang mempengaruhi kesehatannya. Modifikasi pakan Leadbeater menjadi pakan yang sering diberikan kepada oposum layang, karena pakan ini telah banyak digunakan di kebun binatang dan penangkar komersial. Dilaporkan oleh Dierenfeld et al., (2006), pemberian pakan modifikasi Leadbeater, buah-buahan, dan ulat ini memiliki kandungan nutrisi yaitu 19% protein; 8,8% lemak, 3,5% Ca; dan 0,5% P. Dengan komposisi tersebut, protein yang tersedia yaitu sebesar 1330 mg. Smith dan Green (1987) mengemukakan bahwa kebutuhan protein oposum layang yaitu sebesar 248 mg protein kasar per 100 gram bobot badannya. Dalam hal ini, protein yang dikonsumsi oposum layang melebihi kebutuhan protein dasar yang diperlukannya. Protein tinggi sangat dibutuhkan dalam masa reproduksi hewan. Selain itu, induk hewan yang sedang menyusui, anak hewan dalam masa pertumbuhan, dan masa reproduksi membutuhkan protein 4 kali lebih tinggi (Hume, 1999).

Gambar 1. Perkembangan kelahiran anak oposum layang Maret hingga Oktober 2015 di penangkaran

Imbangan kandungan Ca:P dalam pakan oposum layang harus diperhatikan. Dierenfeld et al. (2006) mengatakan perbandingan optimal kadar Ca:P pakan yaitu berkisar 1:1 – 2:1. Dilaporkan oleh Ness (2004), defisiensi kalsium dapat menyebabkan tetanus

0 1 2 3 4 5 6 7 8

pada oposum. Banyaknya tingkat konsumsi buah berkaitan dengan rendahnya kalsium yang ada di pakan. Oleh karena itu, pemberian pakan buah harus dibatasi untuk mencegah kekurangan kalsium pada oposum layang. Hal ini dapat pula diatasi dengan suplementasi kalsium tambahan pada pakan.

Dari hasil pantauan reproduksi oposum layang di penangkaran selama 9 bulan (Februari s.d. Oktober 2015), total jumlah anakan yang lahir 38 ekor dari 20 pasang induk oposum. Rata-rata kelahiran anak per bulannya adalah 4,75 ekor. Secara rataan setiap induk pasangan oposum baranak 1-2 ekor anak. Dari Triwulan III ke Triwulan IV terjadi peningkatan reproduksi (kelahiran anak oposum) sebesar 95,83%. Jumlah kelahiran anak oposum akan lebih banyak, bila jumlah pasangan indukan lebih ditingkatkan lagi. Grafik kelahiran anak oposum layang di penangkaran tertera pada Gambar 1 dan terlihat peningkatan jumlah kelahiran anak sejak Maret hingga Oktober 2015.

Proses bonding (penjinakan) dilakukan pada anakan oposum yang berumur 8 minggu (2 bulan), tujuannya agar mudah dalam penanganan dan pemeliharaan di penangkaran dan selain itu sebagai produk dari kegiatan yang ditargetkan untuk produk komersil sebagai pet animals. Proses bonding setiap hari dilakukan melalui kontak langsung antara peneliti, teknisi dengan anakan oposum layang, dengan cara memberi pakan langsung dari tangan peneliti/teknisi, mengusap, mengangkat dan meletakkan di tangan, pundak, atau kepala, di masukkan ke dalam saku baju dan dibawa keluar kandang untuk berjalan-jalan beberapa saat di sekitar penangkara (Gambar 1).

Gambar 2. Proses bonding (penjinakan) anakan oposum layang KESIMPULAN

Pakan leadbeater disukai oleh oposum layang dan berpengaruh baik terhadap penampilan dan kesehatan oposum di penangkaran. Pakan alami oposum tetap diberikan di penangkaran berupa ulat jerman dan jangkrik guna memenuhi kebutuhan protein hewani. Terjadi peningkatan laju reproduksi (kelahiran anakan) oposum layang sejak Maret hingga Oktober 2015. Peningkatan kelahiran anakan opossum dari Triwulan III ke Triwulan IV sebesar 95,83%. Proses bonding (penjinakan) pada anakan oposum layang dilakukan guna mendapatkan anakan yang jinak, mudah dalam penanganan/pemeliharaan, dan siap sebagai produk komersil ‘pet animals’.

DAFTAR PUSTAKA

Dierenfeld, E.S. 2009. Feeding Behavior and Nutrition of The Sugar Glider (Petaurus breviceps). Vet. Clin. Exot. Anim. 12:209-215.

Dierenfeld, E.S., D. Thomas & R. Ives. 2006. Comparison of Commonly Used Diets on Intake, Digestion, Growth, and Health in Captive Sugar Gliders (Petaurus breviceps). J. Exot. Pet Med. 15(3):218-224.

Henry SR, Suckling GC (1984) A review of the ecology of the sugar glider. In: Smith AP, Hume ID (eds) Possums and gliders. Australian Mammal Society, Sydney, pp 355– 358

Hume, I.D. 1999. Marsupial Nutrition. Cambrige UK: Cambridge University Press.

Johnson, D.H. 2013. Sugar Glider Medicine and Disease. Western Veterinary Conference. Johnson-Delaney, C. 2002. Other Small Mammals. In Meredith, A., and Redrobe, S. (eds.). BSAVA Manual of Exotic Pets. Fourth edition. BSAVA, Quedgeley, Gloucester, UK. Pp. 102-106.

Nagy KA, Suckling GC (1985) Field energetics and water balance of sugar gliders, Petaurus breviceps (Marsupialia: Petauridae). Aust J Zool 33:683–691

Ness, R.D. & R. Booth. 2004. Sugar Gliders. In: Quesenberry KE, Carpenter JW, editors.Ferrets, Rabbits, and Rodents Clinical Medicine and Surgery. 2nd edition. Saint Louis (MO): Elsevier Inc; pp 330–338.

Salas, L., Dickman, C., Helgen, K., Winter, J., Ellis, M., Denny, M., Woinarski, J., Lunney, D., Oakwood, M., Menkhorst, P. & Strahan, R. 2008. Petaurus breviceps. The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.3. [www.iucnredlist.org]. Diakses 27 March 2015.

Smith, A.P. 1982. Diet and Feeding Strategies of The Marsupial Sugar Glider in Temperate Australia. J. Anim. Ecol. 51:149-166.

Smith, A.P. dan Green S.W. 1987. Nitrogen Requirements of The Sugar Glider (Petaurus breviceps), an Omnivorous Marsupial, on A Honey-Pollen Diet. Physiol Zoo 60:82-92.

LT 18.

PEMERIKSAAN DAN KASUS MEDIK PADA OPOSUM LAYANG (Petaurus breviceps WATER HOUSE, 1839) DI PENANGKARAN

Herjuno Ari Nugroho*, Wartika Rosa Farida, Andri Permata Sari Pusat Penelitian Biologi - LIPI

Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46, Cibinong 16911, Bogor, Indonesia *email: herjunoari@gmail.com

ABSTRAK

Tindakan medik perlu dilakukan pada satwaliar di Fasilitas Penangkaran Satwa untuk mencegah penularan penyakit, mendiagnosa kejadian penyakit, mengobati hewan sakit dan rehabilitasi paska sembuh. Tindakan medis yang dilakukan untuk oposum layang (Petaurus breviceps) meliputi pengobatan untuk oposum layang yang mengalami infeksi sekunder dari luka traumatik dan pemeriksaan fisik pada 18 ekor oposum yang akan digunakan pada Expo Produk Komersil LIPI. Pengobatan pada oposum yang terluka tidak memberikan hasil yang bagus dan berakhir pada kematian hewan karena kondisi hewan sudah sangat lemah. Sementara berdasarkan pemeriksaan fisik pada 18 ekor oposum , ditemukan bahwa sebanyak 15 ekor oposum layang perlu meningkatkan berat badan mencapai kisaran berat badan ideal dewasa, 1 ekor mengalami pra-obesitas, 1 ekor perlu pengawasan karena sedikit mengalami kenaikan suhu badan dan dua ekor megalami patah gigi. Kasus-kasus yang ditemukan merupakan kasus ringan akan tetapi memerlukan pengawasan akan kemungkinan timbulnya penyakit yang lebih parah, perbaikan gizi dan perbaikan manajemen monitoring kandang.

Kata kunci: Oposum layang, tindakan medis, kesehatan PENDAHULUAN

Oposum layang atau Sugar glider (Petaurus breviceps) merupakan salah satu jenis mamalia berkantung (marsupialia). Bentuk morfologi satwa ini menyerupai bajing terbang akan tetapi keduanya merupakan hewan yang tidak berkerabat dekat karena bajing tergolong rodensia (pengerat) sementara oposum layang termasuk hewan berkantung. Bagian dorsal oposum layang memiliki rambut berwarna kelabu pucat hingga gelap disertai garis hitam yang memanjang dari moncong, melewati bagian atas kepala dan punggung dan berakhir di pangkal ekor. Bagian ventral tubuh berwarna kelabu pucat dan berbercak kekuningan. Ekor relatif lebih panjang dari tubuh dan berambut lebat. Oposum layang memiliki patagium yakni struktur membran yang meluas dari ujung jari kelima kaki depan hingga kaki belakang yang digunakan untuk melayang seperti pada bajing terbang. Hewan ini memiliki gigi seri bawah yang lebih panjang daripada gigi atasnya, yang berfungsi untuk menyayat pohon untuk mendapatkan getah manisnya. Di habitatnya, hewan ini juga memakan juga nektar bunga dan serangga. (Smith, 1973; McKay, 1989).

Oposum layang bersifat arboreal dan mendiami sarang berupa lubang-lubang pohon di hutan primer dan sekunder dalam koloni berjumlah antara 5-12 ekor dengan satu ekor jantan dominan. Hewan ini beraktivitas secara nokturnal (aktif di malam hari). Persebaran hewan ini meliputi Papua dan pulau-pulau disekitarnya, pesisir utara hingga tenggara Australia dan introduksi di Tasmania (Smith, 1973; Flanery, 1995).

Oposum layang dimanfaatkan manusia sebagai salah satu hewan peliharaan eksotis karena bentuknya yang menggemaskan. Oposum yang diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan dari penangkaran maupun tangkapan liar. Meskipun begitu, penangkapan liar oposum layang belum mendapatkan perhatian dari ranah hukum karena

hewan ini bukan termasuk hewan yang dilindungi. Oposum layang ditetapkan IUCN dalam status konservasi Least Concearn dan tidak ditetapkan dalam status perdagangan CITES (Salas et al., 2008).

Menurut Catro (2013), oposum layang yang didapat dari alam cenderung lebih susah dijinakkan, sementara itu oposum layang hasil penangkaran lebih jinak dan mudah dijinakkan. Kelebihan relatif mudah dijinakkan serta kondisi terjamin dari oposum layang hasil penangkaran, meningkatkan permintaan pasar akan oposum layang hasil penangkaran.

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, penangkaran merupakan upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran satwa liar secara murni dalam lingkungan terkontrol. Usaha penangkaran terhadap oposum layang tidak lepas dari berbagai kendala, salah satunya adalah serangan penyakit yang dapat menurunkan performa kesehatan dan bahkan kematian satwa.

Tindakan medis meliputi tindakan pencegahan, penanganan dan rehabilitasi. Tindakan pencegahan meliputi pemeriksaan fisik pada satwa baru masuk fasilitas dan nekropsi pada satwa mati untuk mengungkap penyebab kematian guna penarikan kebijakan pencegahan lanjut pada satwa yang masih hidup. Tindakan penanganan penyakit dilakukan pada satwa sakit sementara rehabilitasi dilakukan pada satwa paska sakit. Pada kegiatan ini, dilakukan tindakan medik pada oposum layang di Fasilitas Penangkaran Mamalia Kecil, Pusat Penelitian Biologi - LIPI berupa pemeriksaan medis sebelum kegiatan Expo Produk Komersil LIPI. Kegiatan mengecek apakah terdapat gangguan kesehatan pada oposum layang yang dapat mengganggu program pembiakan serta tindakan pengobatan pada kasus infeksi akibat luka traumatik.

BAHAN DAN METODE

Tindakan medis yang dilakukan pada 18 ekor Oposum layang F1 meliputi pemeriksaan fisik dan parasitologi dalam rangka persiapan Expo Produk Komersial LIPI dan pengobatan pada kasus vulnus yang disertai infeksi sekunder. Oposum layang yang akan diperiksa diberi kode 1-9 untuk kelompok jantan dan 10-18 untuk kelompok betina. Oposum layang kode 1-8 dan 10-17 berusia sekitar 10-11 bulan sementara oposum layang jantan kode 9 berusia sekitar 14 bulan dan oposum layang betina kode 18 berusia sekitar 16 bulan.

Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai Hess (2014b). Pemeriksaan meliputi pemeriksaan kondisi tubuh per sistema, pemeriksaan fisiologis (suhu tubuh, pulsus, frekuensi nafas) dan pemeriksaan parasit (ekto dan gastrointestinal). Setiap anomali dan gejala penyakit yang ditemukan dicatat kemudian dilakukan tindakan terapi yang sesuai.

Instrumen yang digunakan untuk pemeriksaan antara lain stetoskop, termometer tubuh, neraca digital dengan presisi 0,01 gram, lap kain untuk restrain dan handling hewan. Obat dan bahan yang digunakan adalah Penicilin-Streptomisin, Vetadryl® (Dyphenhydramine HCl 20 mg), Vitamin B-komplek, Combantrin® (Pyrantel pamoat 250 mg), alkohol 70%, povidone iodin 10%, kapas dan satu buah spuit 3 cc untuk memberikan obat oral.

HASIL DAN PEMBAHASAN