• Tidak ada hasil yang ditemukan

Informasi Publik – Pusat Penelitian Biomaterial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Informasi Publik – Pusat Penelitian Biomaterial"

Copied!
197
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015

PUSAT PENELITIAN BIOMATERIAL

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Editor:

Kurnia Wiji Prasetiyo, M.Si

Triyani Fajriutami, M.Eng

Fathul Bari, M.TI

Pusat Penelitian Biomaterial

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Pada Tahun Anggaran 2015, kegiatan penelitian biomaterial di Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI yang salah satu ouputnya adalah Penguasaan dan Penerapan Teknologi Proses dan Produk Biomaterial terbagi dalam 2 sub-kegiatan besar, yaitu (1) Tematik dan (2) Produk Komersial. Sub-kegiatan tematik terdiri dari 4 komponen penelitian dengan judul, yaitu (1) Pemanfaatan sumber daya hayati untuk biopestisida dan biokontrol, (2) Pengembangan biokomposit sebagai bahan baku industri permukiman dan transportasi, (3) Penerapan konsep biorefinery pada produksi bioetanol dari biomassa lignoselulosa, dan (4) Karakterisasi rekayasa dan modifikasi sifat kayu cepat tumbuh dan non-kayu sebagai bahan baku bangunan dan produk biomaterial lainnya. Untuk sub-kegiatan produk komersial terdiri dari 10 komponen dengan judul, yaitu (1) Pengembangan vertical boards skala industri untuk mewujudkan lingkungan hijau, (2) Pemanfaatan total batang bambu untuk produk bambu komposit, (3) Produksi enzim hidrolisis fortifikasi pakan hewan monogastrik, digastrik pakan ikan, (4) Pembuatan kit diagnostik untuk deteksi dini kanker serviks dan condyloma berbasis molekuler, (5) Pengembangan suplemen protein (antioksidan) berbasis ganggang laut (arthrospira), (6) Pengembangan domestikasi oposum layang (Petaurus breviceps) guna pemanfaatan berkelanjutan, (7) Produksi biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8) Produksi starter dalam bentuk powder untuk pupuk organik, (9) Produksi dan diseminasi bibit jati double platinum dan bibit jati double artenua, (10) Pengembangan turbin angin dengan blade berbahan baku kayu. Buku ini memuat laporan hasil kegiatan-kegiatan di atas dan disusun oleh masing penanggung jawab bersama tim di kegiatan masing-masing. Laporan ini merupakan pertanggungjawaban dari kegiatan penelitian biomaterial di Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI yang harus dilaporkan pada akhir tahun kegiatan.

Kegiatan penelitian biomaterial di Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI ini bertujuan untuk menjadikan Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI menjadi pusat penelitian terdepan dalam penelitian dan pengembangan biomaterial dan mitra strategis sektor industri dalam menghadapi persaingan global serta meningkatkan nilai tambah sumber daya hayati, penggalian potensi baru, diversivikasi produk dan efisiensi proses pengolahan yang ramah lingkungan.

Kami mengucapkan terimakasih kepada para penanggung jawab kegiatan dan semua pihak yang telah terlibat baik dalam kegiatan penelitian biomaterial secara keseluruhan maupun dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua.

Cibinong, Desember 2015 Kepala

Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

(4)
(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I LAPORAN TEKNIK SUB-KEGIATAN TEMATIK... 1

LT 1. EFIKASI BAKTERI ENTOMOPATOGEN TERHADAP LARVA Spodoptera litura F.

(LEPIDOPTERA, NOCTUIDAE) ... 2

LT 2. TOKSISITAS AKUT ORAL EKSTRAK KASAR EMPAT ISOLAT CENDAWAN

ENTOMOPATOGEN TERHADAP TIKUS PUTIH SPRAGUE DAWLEY ... 9

LT 3. PENAPISAN ISOLAT BAKTERI BIOSEMENTASI GUA KARST GUNUNG KIDUL ... 18

LT 4. COMPOSITES OF COCONUT COIR AND BETUNG BAMBOO FIBER: THE EFFECT OF

MIXTURE COMPOSITION AND CITRIC ACID PERCENTATION ... 22

LT 5. PENGARUH KOMBINASI PRETREATMENT MICROWAVE - ASAM OKSALAT PADA

HIDROLISIS ENZIMATIS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) ... 28

LT 6. THE EFFECT OF TEMPERATURE AND TIME OF COMBINED MICROWAVE-OXALIC

ACID PRETREATMENT ON COMPONENT HYDROLYSATE OF OIL PALM EMPTY FRUIT

BUNCH (OPEFB) ... 35

LT 7. EFFECT OF TEMPERATURE VARIATION OF MICROWAVE ASSISTED-OXALIC ACID

PRETREATMENT ON THE STRUCTURAL PROPERTIES OF OIL PALM EMPTY FRUIT BUNCH

(OPEFB) ... 44

LT 8. ANATOMICAL PROPERTIES AND FIBER CHARACTERISTICS OF 2 AND 5 YEARS

PLATINUM TEAK WOOD ... 57

LT 9. KAJIAN KOMPONEN KIMIA JATI PLATINUM BERDASARKAN UMUR POHON (II) .. 61

LT 10. KARAKTERISTIK KAYU JABON TERPADATKAN DENGAN PRAPERLAKUAN

PENGUKUSAN ... 69

BAB II. LAPORAN TEKNIK SUB-KEGIATAN PRODUK KOMERSIAL ... 78

LT 11. FEASIBILITY ANALYSIS OF COMPOSITES INDUSTRY BASED ON COCONUT COIR

FOR VERTICAL GARDEN MEDIA ... 79

LT 12. ANALISIS FINANSIAL PENGEMBANGAN INDUSTRI KOMPOSIT SERAT SABUT

KELAPA SEBAGAI MEDIA TANAM VERTIKAL ... 84

LT 13. SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DARI BAMBU SEMBILANG

(Dendrocalamus giganteous ) DAN ANDONG ( Gigantochloa pseudoarundinacea) ... 92

LT 14.

PRODUKSI ENZIM HIDROLISIS UNTUK FORTIFIKASI PAKAN HEWAN

MONOGASTRIK, DAN PAKAN IKAN

... 99

LT 15.

PEMBUATAN KIT DIAGNOSTIK UNTUK DETEKSI DINI KANKER SERVIKS DAN

(6)

LT 18. PEMERIKSAAN DAN KASUS MEDIK PADA OPOSUM LAYANG (Petaurus breviceps

WATER HOUSE, 1839) DI PENANGKARAN ... 131

LT 19. EFEKTIVITAS FORMULASI EMUSIFIABLE CONCENTRATE (EC) MINYAK MIMBA

TERHADAP RAYAP TANAH (Coptotermes sp) ... 138

LT 20. ACUTE ORAL TOXICITY TEST OF Azadirachta indica CRUDE EXTRACT

FORMULATION ON SPRAGUE DAWLEY RAT (Rattus norvegicus L.) ... 143

LT 21. EFEKTIFITAS SOIL TREATMENT DENGAN CUKA KAYU TERHADAP RAYAP TANAH

Coptotermes sp ... 149

LT 22. TEKNOLOGI PEMBUATAN STARTER PUPUK ORGANIK HAYATI (POH) DALAM

BENTUK POWDER ... 154

LT 23. EVALUASI PERTUMBUHAN AWAL VEGETATIF JATI TETRAPLOID DAN

(7)

Judul dan Penanggung Jawab Kegiatan (Kode Laporan Teknik):

1. Pemanfaatan sumber daya hayati untuk biopestisida dan biokontrol / Deni Zulfiana, M.Si. (LT 1 – LT 2)

2. Pengembangan biokomposit sebagai bahan baku industri permukiman dan transportasi / Ananto Nugroho, M.Eng. (LT 3 LT 4)

3. Penerapan konsep biorefinery pada produksi bioetanol dari biomassa lignoselulosa / Fitria, MFoodSc. (LT 5 LT 7)

4. Karakterisasi rekayasa dan modifikasi sifat kayu cepat tumbuh dan non-kayu sebagai bahan baku bangunan dan produk biomaterial lainnya / Danang Sarwoko A, S.Hut. (LT 8 LT 10)

BAB I

(8)

LT 1.

EFIKASI BAKTERI ENTOMOPATOGEN TERHADAP LARVA Spodoptera litura F. (LEPIDOPTERA, NOCTUIDAE)

Ni Putu Ratna Ayu Krishanti*, Bramantyo Wikantyoso, Apriwi Zulfitri, Deni Zulfiana Pusat Penelitian Biomaterial

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia *E-mail: ratna.krishanti@yahoo.com

ABSTRAK

Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan salah satu hama penting yang menyerang hampir semua jenis tanaman berdaun (herbaceous plants) terutama komoditas sayuran. Pengendalian hayati menggunakan bakteri entomopatogen merupakan salah satu strategi alternatif yang efektif dan ramah lingkungan dibandingkan penggunaan insektisida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tiga isolat bakteri entomopatogen terhadap larva S. litura pada berbagai stadium instar. Dua isolat bakteri entomopatogen (BLSP-3 dan BLSP-4) yang diisolasi dari pupa S. litura yang telah mati, dan satu isolat Bacillus thuringiensis (BLBt), menunjukkan aktivitas larvasida terhadap larva S. litura. Isolat BLBt menghasilkan tingkat mortalitas yang tinggi (>87%) terhadap larva instar 1, 2, dan 3, namun menunjukkan penurunan efektifitas hingga 53% pada larva instar 4. Isolat BLSP-3 dan BLSP-4 menghasilkan tingkat mortalitas tertinggi terhadap larva instar 1 dan 2 hingga 83% dan 86%, secara berurutan, sedangkan terhadap larva instar 3 hanya sebesar 40%. Pada larva instar 4, isolat BLSP-3 dan BLSP-4 tidak terlalu efektif ditandai dengan tingkat mortalitas yang rendah. Ketiga isolat ini berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan populasi S.litura.

Kata kunci: Agen biokontrol, bakteri entomopatogen, larvasidal, Spodoptera litura

PENDAHULUAN

Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan salah satu serangga hama yang potensial merusak tanaman pertanian terutama komoditas sayuran. Menurut Marwoto (2007), kehilangan panen akibat serangan ulat grayak dapat mencapai hingga 80%. Hama perusak tanaman pertanian ini menyerang pada semua stadia larva. Ulat S.litura instar 1, 2, 3 menyerang daun sehingga bagian yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulang-tulang daun, sedangkan instar 4 dan 5 merusak tulang-tulang-tulang-tulang daun sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan, pada larva instar 6, ulat telah memasuki masa pembentukan pupa dimana pergerakannya menjadi lamban dan daya makan ulat sudah berkurang (Arifin, 1991).

Bentuk pengendalian untuk melindungi tanaman dari kerusakan akibat serangan ulat grayak biasanya menggunakan insektisida. Namun, penumpukan residu akibat penggunaan insektisida di lingkungan dalam dekade terakhir ini meningkat cukup tinggi. Hal ini membahayakan bagi kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia. Beberapa dampak negatif akibat penggunaan insektisida secara berlebihan adalah: (a) kematian organisme bukan sasaran, (b) terjadinya resistensi dan resurgensi hama sasaran, dan (c) residu insektisida pada produk hasil pertanian, sehingga saat ini perlu diusahakan suatu pengendalian alternatif (Untung 2006).

(9)

pestisida kimia. Pemanfaatan mikroorganisme khususnya bakteri entomopatogen untuk mengendalikan populasi ulat grayak sangat efektif karena tidak meninggalkan masalah resistensi dan resurgensi pada hama sasaran (Adam et al. 2014). Produksi senyawa metabolit sekunder ataupun produksi enzim ekstraselular oleh mikroorganisme telah terbukti efektif dalam kontrol populasi larva S.litura (Chandrasekaran et al. 2012).

Studi eksplorasi penggunaan mikroorganisme terutama bakteri sebagai agen biokontrol terhadap serangan ulat grayak masih sangat dibutuhkan untuk mencari bakteri-bakteri yang memiliki aktivitas insektisidal untuk dikembangkan sebagai pengendali hama S. litura. Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan mengevaluasi pengaruh pemberian bakteri entomopatogen terhadap berbagai stadium instar larva S. litura.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Pengendalian Serangga Hama dan Biodegradasi, Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI pada bulan Maret 2015 sampai Agustus 2015.

Isolat bakteri entomopatogen dan karakteristik morfologi

Tiga isolat bakteri yang digunakan yaitu isolat BLBt, BLSP-3, dan BLSP-4. Isolat bakteri BLBt merupakan Bacillus thuringiensis yang merupakan koleksi Laboratorium IPBCC, sedangkan isolat bakteri BLSP-3 dan BLSP-4 merupakan koleksi Laboratorium Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biomaterial, LIPI. Ketiga isolat bakteri diremajakan pada medium Nutrient agar. Karakterisasi morfologi dari ketiga isolat tersebut mencakup pewarnaan Gram, bentuk koloni, bentuk tepian koloni, warna koloni, dan elevasi.

Perbanyakan dan pemeliharaan larva S.litura

Telur larva Spodoptera litura diperoleh dari Laboratorium Entomologi di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan dipelihara serta diperbanyak di Laboratorium Pengendalian Serangga Hama dan Biodegradasi, Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI. Perbanyakan dan pemeliharaan larva S.litura mengikuti metode Javar et al. (2013) dengan modifikasi. Larva S. litura diberi pakan daun talas dan ditempatkan pada kotak plastik (34 cm x 25 cm x 7 cm). Pakan segar selalu diberikan setiap 2 hari. Larva pada tahap stadia akhir dipindahkan ke kotak plastik lain yang berisikan serutan kayu untuk pembentukan pupa. Serangga dewasa (imago) dipindahkan dan dipelihara pada kontainer plastik berbentuk tabung berukuran (diameter 18 cm x tinggi 26 cm) yang didalamnya dilapisi dengan kertas sebagai tempat peletakkan telur. Imago diberi pakan larutan madu 10%. Telur yang dihasilkan dikoleksi setiap hari dan ditempatkan pada kotak plastik bersih hingga menetas menjadi larva. Larva yang digunakan untuk bioassay merupakan larva pada instar 1, instar 2, instar 3, dan instar 4 pada generasi kedua.

Pengujian efektifitas bakteri entomopatogen terhadap larva S.litura

(10)

selama 72 jam waktu pengamatan. Selain mortalitas, kelangsungan hidup larva juga diamati setiap harinya.

Hasil

Periode siklus hidup S. litura

Larva S. litura yang diberi pakan dengan daun talas memiliki siklus hidup lengkap sekitar 35 hari, meliputi : fase telur, fase larva hingga mencapai instar stadia 6, fase pembentukan pupa, dan fase imago hingga menghasilkan telur kembali. Telur menetas dalam kurun waktu 2-3 hari, larva instar 1 hingga mencapai instar 6 membutuhkan waktu rata-rata 14 hari, proses pembentukan pupa membutuhkan waktu 2 hari sedangkan masa pupa hingga menjadi imago membutuhkan waktu 6-8 hari. Masa periode imago S. litura berkisar 3-5 hari.

Karakteristik morfologi isolat bakteri

Karakteristik morfologi pada isolat bakteri BLSP-3, BLSP-4, dan BLBt disajikan pada Tabel 1. Pengamatan morfologi isolat bakteri meliputi pengamatan koloni bakteri dan pengamatan mikroskopis.

Tabel 1. Karakteristik morfologi isolat bakteri entomopatogen Kode

Isolat

Karakteristik koloni bakteri Mikroskopis

Ukuran Bentuk Warna Tepian Elevasi Gram Bentuk sel Spora BL

SP-3 2 mm bulat kuning licin cembung negatif kokus tidak BL

SP-4 3 mm bulat merah licin cembung negatif pendek batang tidak BLBt 7 mm bulat putih kerut timbul, kasar positif batang ya

Ketiga isolat bakteri dapat tumbuh dengan baik pada medium Nutrient agar (Gambar 1. A). Berdasarkan hasil pengamatan pewarnaan Gram dan pengamatan mikroskopis, diketahui bahwa isolat BLBt termasuk ke dalam kelompok bakteri gram positif, sedangkan isolat BLSP-3 dan BLSP-4 termasuk ke dalam kelompok bakteri negatif (Gambar 1. B).

A

B

(11)

Gambar 1. Koloni isolat bakteri BLBt, BLSP-4, dan BLSP-3 pada media pertumbuhan Nutrient agar (A) dan pengamatan secara mikroskopis dengan perbesaran 100X (B).

Pengujian efektifitas bakteri entomopatogen terhadap S.litura

Pengujian efektifitas bakteri entomopatogen terhadap larva S. litura menunjukkan tingkat mortalitas larva yang beragam pada berbagai stadium instar yang diperlakukan dengan waktu pengamatan 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Persentase tingkat mortalitas larva S.litura pada stadium instar 1, 2, 3, dan 4 disajikan pada Gambar 2. Pada stadium larva instar 1 tingkat mortalitas larva pada 24 jam pertama setelah perlakuan diketahui bahwa isolat BLSP-4 menunjukkan persentase kematian larva paling tinggi yaitu 67% dibandingkan perlakuan lain. Sementara itu, ketiga isolat menunjukkan persentase mortalitas larva lebih dari 80% pada jam ke-48. Pada stadium larva instar 2 dan instar 3, isolat BLBt memperlihatkan tingkat mortalitas yang paling tinggi dan semakin lama semakin meningkat seiring dengan waktu pengamatan. Isolat BLSP-3 hanya mampu menghasilkan tingkat mortalitas tertinggi sampai 83% pada larva instar 2 dan 40% pada larva instar 3, sedangkan persentase mortalitas larva akibat perlakuan isolat BLSP-4 mencapai 87% pada larva instar 3 dan 40% pada larva instar 3. Kedua isolat ini tidak terlalu efektif pada perlakuan larva instar 4 karena menghasilkan nilai persentase mortalitas yang kurang dari 40%. Berbeda halnya dengan isolat BLBt yang masih mampu menghasilkan persentase mortalitas lebih dari 50 % pada larva instar 4.

A B

C

Gambar 2. Persentase tingkat mortalitas larva S. litura pada pengamatan 24 jam setelah perlakuan (A), 48 jam setelah perlakuan (B), dan 72 jam setelah perlakuan (C). Keterangan gambar :

Kematian yang teramati akibat pemberian perlakuan isolat bakteri menunjukkan perbedaan (Gambar 3). Kematian akibat pemberian isolat BLSP-4 yang teramati pada larva

43

instar 1 instar 2 instar 3 instar 4

%

instar 1 instar 2 instar 3 instar 4

%

instar 1 instar 2 instar 3 instar 4

(12)

instar 4 menunjukkan tubuh larva yang mati melunak, cairan yang keluar dari tubuh larva berwarna kemerahan, dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Pemberian isolat BLSP-3 menunjukkan gejala kematian yang berbeda yaitu tubuh larva menjadi mengeras, kaku, dan larva memendek dari ukuran sebelum perlakuan. Sementara itu, tubuh larva yang telah mati akibat pemberian isolat BLBt pada awalnya tidak terlalu terlihat banyak perubahan dibandingkan larva yang masih hidup. Namun, seiring hari pengamatan tubuh larva tersebut menjadi lebih kecil, mengkerut, dan menghitam. Beberapa larva yang mati menghasilkan cairan yang berwarna keputihan dan berbau.

Gambar 3. Gejala kematian larva S.litura instar 4 pada masing-masing perlakuan dan larva S.litura kontrol yang hidup. 1) Pemberian isolat BLSP-3, 2) Pemberian isolat BLSP-4, 3) Pemberian isolat BLBt, 4) Perlakuan kontrol dengan akuades steril.

PEMBAHASAN

Penelitian ini telah berhasil mengidentifikasi dampak pemberian tiga isolat bakteri BLBt, BLSP-3, dan BLSP-4 terhadap mortalitas larva S.litura pada beberapa stadium instar ketika diberikan sebagai racun umpan. Persentase mortalitas larva sangat tinggi dengan pemberian isolat BLBt, BLSP-3, dan BL-SP4 pada S.litura instar 1 dan 2, namun pada instar 3 dan 4 mulai menunjukkan penurunan. Perlakuan dengan isolat BLBt menghasilkan mortalitas larva tertinggi pada stadium instar 3 dan 4 yaitu 80 % dan 53 %, sedangkan mortalitas larva yang diperlakukan dengan isolat BLSP-4 dan BLSP-3 pada perlakuan instar 3 sama-sama mencapai 40 %, tetapi mortalitas larva yang diperlakukan dengan isolat BLSP-3 hanya mencapai 33 % pada perlakuan instar 4. Dalam penelitian ini daun yang diberi perlakuan diberi makan ke ulat hanya satu kali saja pada hari pertama, hal ini dapat menyebabkan tingkat mortalitas menurun karena periode ulat memakan daun yang diperlakukan sangat singkat. Mortalitas dapat meningkat apabila pemberian perlakuan dilakukan dalam periode yang lama, seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Bouda et al. (2001) yang memberi perlakuan minyak tanaman obat pada larva S.zeamais.

Efek fisiologi berdasarakan toksisitas isolat bakteri belum dapat dipastikan, namun melalui gejala kematian yang ditimbulkan pada larva S.litura instar 4 diketahui bahwa ada interaksi antara toksin bakteri dengan gejala yang ditimbulkan. Gejala kematian larva S.litura yang diberi perlakuan isolat BLBt menunjukkan gejala yang sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Bravo et al. (2007), dimana larva yang terinfeksi mengerut, warna tubuh semakin menghitam, dan mengecil, hal ini disebabkan oleh racun bakteri tersebut merusak sistem pencernaan dari larva sehingga menyebabkan kematian. Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri penting dalam entomopatogen karena memiliki kristal parasporal di dalam tubuhnya. Kristal protein ini terbentuk oleh protein Cry yang dikodekan oleh gen Cry (Schnepf et al. 1998; Crickmore et al. 1998). Protein Cry yang membentuk kristal yang bersifat toksin terhadap serangga ini dapat larut dalam air dan termasuk ke dalam kelompok δ-endotoksin bakteri (Hansen & Salamitou 2000). Parasporal kristal Bt yang masuk ke dalam tubuh serangga uji akan melewati saluran pencernaan serangga. Kristal protein akan teraktivasi oleh lingkungan basa di dalam saluran pencernaan menjadi protein δ-endotoksin atau protoksin. Protoksin akan menjadi toksin apabila teraktivasi oleh enzim protease serangga dan terikat secara spesifik pada reseptor

(13)

di saluran pencernaan (Schunemann et al. 2014). Toksin Cry yang menempel pada peritropik membran dapat melukai hingga menyebabkan kebocoran saluran pencernaan. Kerusakan ini menyebabkan serangga menjadi tidak makan, dehidrasi, dan mati (Bravo et al. 2007; Sousa et al. 2010).

Setelah pemberian pakan dengan perlakuan isolat bakteri BLSP-4, terjadi perubahan perilaku larva yang teramati setelah 24 jam. Larva menjadi tidak mau makan dan kotoran (feces) lebih cair dibandingkan dengan kotoran pada larva kontrol yang berupa butiran. Larva yang terinfeksi dan mati tubuhnya menjadi lunak dan bila kulit disentuh akan pecah dan cairan tubuh keluar berwarna merah kehitaman. Tubuh yang melunak ini dapat disebabkan oleh penipisan kutikula serangga akibat proses enzimatik oleh bakteri yang berada didalam tubuh serangga uji. Salah satu enzim yang sangat berperan dalam proses penghancuran dinding sel serangga adalah enzim kitinase. Kitinase merupakan enzim yang dapat menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosidik pada struktur kitin (polisakarida amino-glukosa N-acetyl- β-D-glukosamine) (Matsumoto 2006). Kitinase akan menginduksi kerusakan pada membran peritropik di dalam saluran pencernaan serangga dan menyebabkan reduksi yang signifikan pada penyerapan nutrisi (Gilbert et al. 2005). Oleh karenanya, kitinase yang terdapat pada pakan serangga dapat menghambat pertumbuhan serangga. Hasil penelitian Chandrasekaran et al. (2012) menunjukkan bahwa purifikasi kitinase yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis efektif dalam mengendalikan S.litura melalui tingkat mortalitas yang tinggi dan berat larva yang tereduksi. Produksi kitinase yang berlebihan pada agen entomopatogen dapat meningkatkan kematian serangga (Fan et al. 2007). Pemberian isolat bakteri BLSP-3 menunjukkan gejala kematian dengan tubuh larva yang menjadi kaku dan mengecil. Belum banyak literatur yang menyebutkan efek kematian larva seperti ini, namun diduga bahwa toksin yang menyerang serangga uji ini juga menyerang membran peristropik dan dengan cepat membunuh serangga. Walaupun tingkat mortalitas perlakuan isolat BLSP-3 tidak terlalu efektif dalam menyebabkan kematian larva S.litura namun dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis toksin yang dihasilkannya.

Penggunaan biopestisida berbahan dasar hayati seperti mikroorganisme diharapkan sebagai salah satu insektisida alternatif yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap serangga S. litura. Ketiga isolat bakteri entomopatogen ini juga akan dikembangkan lebih lanjut untuk mengetahui potensinya sebagai racun kontak terhadap S. litura.

KESIMPULAN

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Adam, T, Juliana, R, Nurhayati, & Thalib, R, 2014, Bioesai bioinsektisida berbahan aktif Bacillus thuringiensis asal tanah Lebak terhadap larva Spodoptera litura, Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal, pp. 74: 1-7.

Balfas, R, & Wilis, M, 2009, Pengaruh ekstrak tanaman obat terhadap mortalitas dan kelangsungan hidup Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae), Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, 2: 148-156.

Bouda, H, Tapondjou, LA, Fontem, DA, & Gumedzoe, YD, 2001, Effect of essential oils from leaves of Ageratum conyzoides, Lantara camara, and Chromolaena odorata on the mortality of Sitophylus zeamays (Coleoptera, Curculio-nodae), Journal of Stored Products Research, 37: 103-109.

Bravo, A, Gill, SS, & Soberon, M, 2007, Mode of action of Bacillus thuringiensis Cry and cry toxins and their potential for insect control, Toxicon, 49: 423-435.

Chandrasekaran, R, Revathi, K, Nisha, S, Kirubakaran, SA, Narayanam, SS, & Nathan SS, 2012, Physiological effect of chitinase purified from Bacillus subtilis against the tobacco cutworm Spodoptera litura Fab., Pesticide Biochemistry and Physiology, 104: 65-71.

Crickmore, N, Zeigler, DR, & Feitelson, J, 1998, Revision of the nomenclature for the Bacillus thuringiensis pesticidal crystal proteins, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 62: 807813.

Fan, YH, Fang, WG, Guo, SJ, Pei, XQ, Zhang, YG, Xiao, YH, Bidochka, MJ, & Pei, Y, 2007, Increased insect virulence in Beauveria bassiana strains over expressing an engineered chitinase, Applied Environmental Microbiology, 73: 295302.

Gilbert, GI, Iatrou, K, & Gill, SS, 2005, Biochemistry of digestion, in: Comprehensive Molecular Insect Science Biochemical and Molecular Biology, Elsevier Press, Oxford, UK, pp: 171-224.

Hansen, BM, & Salamitou, S, 2000, Virulence of Bacillus thuringiensis, in Entomopathogenic Bacteria: From Laboratory to Field Application, Kluwer Academic, Dodrecht, The Netherlands, pp: 4144.

Javar, S, Sajap, AS, Mohamed, R, & Hong, LW, 2013, Suitability of Centella asiatica (pegaga) as a food source for rearing Spodoptera litura (F) (Lepidoptera: Noctuidae) under laboratory conditions, Journal of Plant Protection Research, 53: 184-189. Marwoto, 2007, Dukungan pengendalian hama terpadu dalam program bangkit kedelai,

Iptek Tanaman Pangan, 1: 79-92.

Matsumoto, KS, 2006, Fungal chitinases, Biotechnology Department, Lab. Biopolymers, Av. San Rafael Atlixco, Col. Vicentina, Mexico, pp: 186.

Schunemann, R, Knaak, N, & Fluza, LM, 2014, Mode of action and specifity of Bacillus thuringiensis toxins in the control of caterpillars and stink bugs in soybean culture, ISRN Microbiology, 2014: 1-12.

Schnepf, E, Crickmore, N, & J. van Rie, 1998, Bacillus thuringiensis and its pesticidal crystal proteins, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 62: 775–806.

Sousa, MEC, Santos, FAB, & Wanderley-Teixeira, V, 2010, Histopathology and ultrastructure of midgut of Alabama argillacea (H¨ubner) (Lepidoptera: Noctuidae) fed Bt-cotton, Journal of Insect Physiology, 56: 1913–1919.

(15)

LT 2.

TOKSISITAS AKUT ORAL EKSTRAK KASAR EMPAT ISOLAT CENDAWAN ENTOMOPATOGEN

TERHADAP TIKUS PUTIH SPRAGUE DAWLEY

Bramantyo Wikantyoso*, Apriwi Zulfitri, Ni Putu Ratna Ayu Krishanti, Deni Zulfiana

Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia *E-mail: zulfiana@yahoo.com

ABSTRAK

Pengembangan cendawan entomopatogen sebagai agen biokontrol dan biopestisida dalam usaha pengendalian populasi serangga sudah banyak dilakukan. Setiap spesies cendawan entomopatogen memiliki karakter yang berbeda dalam mempengaruhi tingkat patogenitas dan resistensi di alam. Pada penelitian sebelumnya dihasilkan empat isolat cendawan entomopatogen yang memiliki kemampuan infeksi yang paling baik terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi berdasarkan nilai mortalitasnya. Keempat isolat tersebut yaitu Beauveria bassiana, Humicola sp., Nomuraea rileyi, dan Metarhizium anisopliae M622. Meskipun keempat isolat ini menunjukkan kemampuan patogenitas yang baik pada rayap, namun daya toksisitasnya pada organisme lain belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk melihat toksisitas empat isolat cendawan entomopatogen ini terhadap organisme lain yang direpresentasikan dengan tikus putih Sprague Dawley melalui uji toksisitas akut oral. Dosis tunggal oral yang digunakan pada tiap perlakuan adalah 5000 mg/kgBB. Parameter yang diamati adalah mortalitas dan gejala klinis yang ditimbulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat ekstrak cendawan entomopatogen (SD1M622, SD2Beau, SD3Hum, SD4Nom) tidak menimbulkan kematian tikus. Semua isolat tergolong aman untuk akut oral karena memiliki dosis toksisitas di atas 5000 mg/kgBB.

Kata kunci: cendawan entomopatogen, mortalitas, toksisitas, akut oral

ABSTRACT

Development of entomopathogenic fungi as biocontrol agent and biopesticide natural source have been carried out in considerable amount, since controlling insect pest population is more recently needed. Each entomopathogenic fungi species has different traits which work on leveling patogenicity and resistence rate. Seven isolates of entomopathogenic fungus had been tested on subterranian termite Coptotermes gestroi and generated four isolates with the highest termite mortality rates. The fourth of the fungus are Beauveria bassiana, Humicola sp., Nomuraea rileyi, and Metarhizium anisopliae M622. Although they showed favorable abilities in suppressing termite population under laboratory condition, the exposure effects on non target organisms is still unknown. This study aiming on acute oral toxicity observation on mammal which is represented by Sprague Dawley rats. 5000 mg/kgBW entomopathogenic fungus crude extracts as oral single dose had been used. Mortality and clinical signs are monitored as well as body weight alteration. The research indicated that four crude extracts of entomopathogenic fungus (SD1M622, SD2Beau, SD3Hum, SD4Nom) had no clinical impact and yielded 0% mortality in treatment groups. The isolates are safe to acute oral administration and have higher single dose than 5000 mg/kgBW.

(16)

PENDAHULUAN

Saat ini kegiatan pengendalian hama adalah salah satu hal yang perlu perhatian lebih karena banyak aspek yang akan terkena dampak dari pengendalian hama yang tidak sesuai. Tidak sedikit petani lokal di indonesia yang masih memiliki ekspektasi produksi yang rendah dan toleransi terhadap kerusakan panen karena hama. Selain itu perspektif kedaerahan yang menganggap hama merupakan makhluk sesama dan berbagi sumber makanan dengan hama merupakan hal yang wajar asal tidak menyebabkan kerusakan lebih dari 50% (Marten, 1986).

Gangguan organ endokrin seperti gondok, kekurangan hormon pertumbuhan, hipoglikemik dan lainnya sering terjadi pada daerah dengan tingkat penggunaan pestisidanya tinggi. Pesticide Action Network Asia and the Pacific (PANAP) pada pertemuannya dalam United Nations Environment Program: Global Major Groups and Stakeholders Forum (2011) menyatakan bahwa 66% pestisida kimia yang digunakan oleh petani di Asia termasuk di Indonesia merupakan pestisida yang berbahaya tinggi bagi kesehatan berdasarkan kriteria klasifikasi dari Pesticide Action Network (PAN). PANAP menyatakan bahwa penggunaan dosis rendah bahan kimia yang berbahaya dapat memicu gangguan sistem endokrin dalam tubuh, khususnya pada wanita, anak anak, usia lanjut dan pada masyarakat yang sakit atau kurang nutrisi (Whittle, 2010). Selain itu pestisida kimia memiliki kelemahan yaitu pemakaian yang tidak tepat akan menyebabkan resistensi. Sebagai contoh pada tahun 19861987, penggunaan pestisida kimia yang berlebihan dan tidak sesuai prosedur menyebabkan adanya resistensi hama dan membunuh predator alaminya. Petani kehilangan 1 juta ton beras dan setara dengan 180.000.000 US Dollar. Limbah dari polusi ini masuk ke dalam aliran sungai dan merusak lingkungan juga kesehatan warga setempat (Barbier, 1989).

Usaha Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan salah satu upaya yang memberikan jalan bagi petani dan pengguna pestisida untuk lebih bijak baik dari segi metode yang lebih ramah lingkungan dan sehat, serta segi ekonomi yang efektif. PHT merupakan sistem fleksibel yang baik digunakan karena menggunakan sumber bahan lokal dengan penelitian yang selalu berkembang, teknologi terbaharui, dan ramah untuk kesehatan manusia dan lingkungan. Beberapa pilihan dapat dilakukan dengan PHT adalah dengan mencegah akses hama secara fisik, peningkatan kualitas lingkungan melalui variasi penanaman, dan penurunan populasi hama salah satunya menggunakan musuh alami hama sebagai kontrol secara biologis (James et al. 2010).

Menurut James et al. (2010), beberapa organisme memiliki potensi untuk digunakan sebagai kontrol biologis hama, salah satunya organisme entomopatogen. Entomopatogen merupakan organisme yang mengontrol dan membunuh hama dalam hal ini serangga dengan menyebarkan penyakit dalam tubuh dan populasi hama tersebut. Entomopatogen dapat berasal dari cendawan, nematoda, bakteri, protozoa atau virus. Tiga mekanisme kerja cendawan entomopatogen adalah invasi, sekresi toksikan, dan destruksi. Ketiga mekanisme tersebut dapat terjadi secara bertahap atau kombinasi (Yendol & Paschke, 1965; Zulfiana et al. 2010).

Potensi yang dimiliki oleh cendawan entomopatogen tersebut memiliki kesempatan besar untuk bisa diformulasi dan diproduksi untuk aplikasi skala lapangan. Namun pengamatan dan observasi lebih jauh merupakan hal yang penting untuk mengetahui interaksi dengan lingkungan hidupnya, sebagai bentuk penilaian dampak ekologi dan keselamatan (Syaharaj & Namachivayam, 2011).

(17)

Gambar 3. Grafik persentase mortalitas rayap tanah Coptotermes gestroi yang diperlakukan dengan ekstrak kasar cendawan entomopatogen selama 48 jam.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggnakan metode uji toksisitas oral akut yang merujuk pada Hall et al. (1982) dengan modifikasi dosis, rentang waktu pengujian dan jumlah hewan coba yang digunakan.

Tempat Penelitian

Penelitian dimulai pada bulan Agustus hingga September 2015 di Laboratorium Pengendalian Hama Permukiman dan Pertanian, Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI, Cibinong.

Persiapan Bahan Uji Ekstrak Kasar Cendawan

Ekstrak cendawan yang digunakan untuk uji akut oral adalah empat cendawan yang menunjukkan persentase mortalitas rayap paling tinggi pada uji pendahuluan (Gambar 3), yaitu Beauveria bassiana, Nomuraea rileyi, Humicola sp., dan Metarhizium anisopliae M622. Ekstrak cendawan merupakan hasil fermentasi pada medium Czapex-dox Broth dengan penambahan 10% pepton sebagai sumber nitrogen berdasarkan Zulfiana et al. (2009). Bahan uji ekstrak kasar yang digunakan untuk administasi oral diperoleh melalui penyaringan menggunakan disposable filter (0.20 µl Minisart-Sartorius). Perhitungan berat jenis ekstrak dilakukan dengan menggunakan piknometer, untuk menentukan konversi dosis tunggal 5000 mg/kgBB.

Aklimatisasi dan Pengelompokan Hewan Uji

Sebagai hewan uji digunakan tikus putih dewasa Sprague Dawley, yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tikus dalam kondisi sehat, umur 8-12 minggu, bobot badan berkisar 176 gram dan jenis kelamin betina. Jumlah tikus yang digunakan 15 ekor dibagi kedalam empat kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol dengan tiga kali ulangan (ulangan I: Hijau [H], ulangan II: Biru [B], ulangan III: Putih [P]). Masing-masing perlakuan diberikan kode sesuai dengan perlakuan isolat cendawan yang digunakan (SD1M622: M. anisopliae; SD2Beau: B. bassiana; SD3Hum: Humicola sp.; SD4Nom: N. rileyi). Sebelum pengujian dilakukan, tikus diaklamatisasikan selama satu minggu dalam kotak plastik (39x30x12,5 cm). Makan dan minum diberikan secara ad-libitum. Pelet standar digunakan sebagai pakan tikus selama masa pengujian.

Perlakuan dan Administrasi Bahan Uji

Sehari sebelum perlakuan semua tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam. Administrasi per oral dilakukan dengan jarum oral tumpul dan syringe (1 ml One Med). Pada kelompok perlakuan diinjeksikan dengan 1 ml ekstrak kasar masing-masing isolat, sedangkan pada kelompok kontrol digunakan akuades steril. Pengamatan dilakukan pada jam ke-1, 2, 3, 4 dan per hari hingga hari ke 14 serta dilakukan penimbangan berat badan

(18)

tikus setiap 3 hari sekali. Pengamatan terhadap kemungkinan adanya gejala klinis dilakukan setiap hari. Pada hari ke-15 tikus semua tikus yang masih hidup dimatikan dengan cara dieuthanasi dan dilakukan nekropsi untuk pengamatan patologi gross. Organ yang diamati adalah organ gastrointestinal liver dan ginjal.

Pengamatan

Selama pengujian dilakukan pengamatan pada mortalitas tikus hingga hari ke 14. Ketika ada kematian tikus maka tikus diambil dari kandang dan dilakukan nekropsi untuk kemudian diamati secara makroanatomi untuk mendapatkan data patologi gross. Dilakukan pengukuran organ berdasarkan aksis anteroposterior (AP) dan laterolateral (LL). Penimbangan berat badan dilakukan setiap 3 hari sekali. Selain itu dilakukan pengamatan terhadap terhadap tanda-tanda klinis yang nampak seperti hipersalivasi, hiperlakrimasi, mengigil, rambut berdiri, kecemasan, kelemahan, diare dan kejang. Setelah nekropsi (hari ke-15) dilakukan pengamatan secara makro anatomi untuk melihat patologi gross.

Analisis Data

Data dari patologi gross yang ditemukan di organ ditunjukkan sebagai persentase, sedangkan data berat di analisis menggunakan ANOVA (= 0.05) (SPSS version 16). Koreksi data dilakukan dengan menggunakan uji Post Hoct - Bonferroni.

HASIL

Pada penelitian sebelumnya dilakukan uji toksisitas tujuh ekstrak kasar isolat cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi yaitu perlakuan dengan 7 isolat cendawan entomopatogen selama 48 jam menghasilkan mortalitas rayap signifikan terhadap kontrol yang ditunjukkan oleh isolat B. bassiana (54%), Humicola sp. (52%), N. rileyi (49,33%), dan M. anisopliae M622 (47,33%) (Lampiran 1). Hasil tersebut kemudian yang menjadi dasar untuk dilanjutkan uji toksisitas akut oral terhadap mamal untuk mengetahui adanya gejala klinis dari toksisitas keempat isolat tersebut.

Gejala Klinis dan Mortalitas

Pada uji toksisitas akut oral menggunakan empat ekstrak cendawan entomopatogen, tidak ditemukan adanya tanda-tanda klinis seperti hiperlakrimasi, hipersalivasi, tremor, horipilasi, kejang serta tidak ada perubahan pada mata, bulu, respirasi, sistem syaraf dan perilaku (Tabel 1). Selain itu keempat ekstrak tidak menyebabkan kematian pada tikus, dimana semua tikus dapat bertahan hidup dan tidak ada tanda-tanda tikus sakit sampai akhir pengujian (Tabel 2). Selama waktu studi berat badan tikus pada masing-masing perlakuan juga menunjukkan peningkatan (Gambar 1).

Gambar 1. Perubahan berat badan dari H0 – H15 pada kelompok perlakuan oleh dosis tunggal 5000 mg/kgBB empat ekstrak kasar cendawan entomopatogen dan kelompok kontrol oleh akuades steril.

Pada penghitungan berat badan hari ke-15 didapatkan data bahwa masing-masing perlakuan tidak menunjukkan berat badan yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan

(19)

kontrol (186,67 ± 20,82 g) yaitu sebesar 182,5 ± 14,43 g (SD1M622), 206,67 ± 18,93 g (SD2Beau), 172,5 ± 12,58 g (SD3Hum), dan 161,67 ± 17,56 g (SD4Nom) (α=0.05) (Tabel 1).

Tabel 1. Gejala klinis pada kelompok perlakuan dengan dosis tunggal 5000mg/kgBB empat ekstrak kasar cendawan entomopatogen dan kelompok kontrol dengan akuades steril. (HS: Hipersalivasi; HL: Hiperlakrimasi; HP: Horipilasi; W: Weakness; T: Tremor; C: Cramp)

Penilaian: - = tidak ada gejala klinis teramati; ± = gejala klinis ringan teramati; + = gejala klinis sedang teramati; ++ = gejala klinis cukup parah teramati; +++ = gejala klinis parah teramati; ++++ = gejala klinis sangat parah teramati diikuti kematian

Waktu Perlakuan HS HL HP W T C Gejala Klinis

Waktu Perlakuan Gejala Klinis

(20)

Tabel 2. Persentase mortalitas pada kelompok perlakuan oleh dosis tunggal 5000mg/kgBB empat ekstrak kasar cendawan entomopatogen dan kelompok kontrol oleh akuades steril.

Perlakuan

Mortalitas tikus (%)

Jam Hari

1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1

0 1 1

1 2

1 3

1 4 Kontrol 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 SD1M622 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 SD2Beau 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 SD3Hum 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 SD4Nom 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Patologi Gross

Berdasarkan pengamatan patologi secara makroskopis tidak ditemukan adanya tanda-tanda patologis akibat administrasi cendawan entomopatogen selama 14 hari pada organ hati dan ginjal (Gambar 2).

Gambar 2. Sampel organ hati dan ginjal dari tikus kontrol dan perlakuan pada hari 15 setelah nekropsi. Tidak ditemukan adanya tanda-tanda patologis melalui pengamatan gross.

(a: KontrolB, b:SD1M622H, c: SD2BeauH, d: SD3HumB, e: SD4NomH, f: KontrolB, g: SD1M622P, h: SD2BeauP, i: SD3HumB, j: SD4NomB, k: KontrolB, l: SD1M622H, m: SD2BeauP, n: SD3HumH, o: SD4NomB)

(21)

Tabel 3. Perbandingan ukuran panjang (anteroposterior) dan lebar (laterolateral) organ hati dan ginjal pada kelompok perlakuan dengan dosis tunggal 5000mg/kgBB empat ekstrak kasar cendawan entomopatogen dan kelompok kontrol dengan akuades steril.

Kerusakan organ pada mamalia seperti pneumonia, septisemia, penyakit sistemik dan kulit dapat terjadi oleh cendawan (Rippon, 1988). Namun cendawan entomopatogen seperti M. anisopliae, B. bassiana, dan N. rileyi memiliki inang yang spesifik. Walaupun spesifik terhadap kelas serangga namun bila dibandingkan dengan yang lainnya, cendawan seperti B. bassiana dan M. anisopliae memiliki spektrum target yang luas. Ketika spektrum target luas berarti tingkat spesifitas akan semakin kecil karena kemampuan hidup pada inang yang bermacam-macam. Rendahnya spesifikasi inang cendawan tersebut memiliki konsekuensi lebih besar terhadap pengujian toksisitas terhadap organisme non target.

Pada pengujian kali ini dilakukan beberapa modifikasi dari ketentuan metode yang disebutkan oleh Hall et al. (1982). Modifikasi dosis dilakukan untuk melihat adanya efek pada administrasi melebihi dosis 5000 mg/kgBB yang ditentukan pada metode tersebut. Hasil konversi didapatkan dosis tunggal 5000 mg/kgBB setara dengan 852,66 µl bahan uji cendawan entomopatogen sedangkan administrasi yang dilakukan adalah 1000 µl cendawan entomopatogen untuk masing masing tikus perlakuan dan akuades steril digunakan untuk tikus kontrol. Modifikasi rentang waktu penelitian dilakukan yaitu 14 hari sedangkan pada Hall et al. (1982) pengamatan dilakukan selama 28 hari. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh dalam jangka waktu yang lebih pendek namun dengan dosis perlakuan yang lebih tinggi. Modifikasi jumlah hewan coba dilakukan untuk meminimalisir penggunaan hewan coba dan disesuaikan dengan tujuan percobaan dan penggunaan bahan uji. Tikus betina digunakan tanpa pejantan dikarenakan betina memiliki tingkat sensitivitas lebih tinggi terhadap perlakuan dan dalam penelitian ini tidak dilakukan perbandingan antar jenis kelamin (OECD no. 420, 2001).

Hasil pengamatan toksisitas akut oral menunjukkan bahwa keempat ekstrak cendawan entomopatogen tidak menyebabkan kematian pada tikus ditandai dengan persentase mortalitas 0%. Hasil selaras ditunjukkan pada hasil uji lainnya menggunakan cendawan entomopatogen B. bassiana HF23, M. anisopliae var. acridum, dan N. rileyi (EFSA, 2013; EPA, 2005; Torrielo et al. 2009; Iqtiat et al. 2009). Sedangkan uji toksisitas akut oral cendawan entomopatogen dari jenis Humicola sp. tidak ditemukan dalam literatur.

(22)

tanah C. gestroi memiliki daya mortalitas rayap yang tinggi (100% dalam 6 hari), sehingga cendawan tersebut dimungkinkan memiliki aktivitas entomopatogenik. Sedangkan menurut penelitian pendahuluan Humicola sp. menyebabkan mortalitas rayap sebesar 52% selama 48 jam. Begitu pula data dari USDA-ARS Collection of Entomopathogenic Fungal Cultures yang menunjukkan host cendawan tersebut adalah Lepidoptera (Moharram et al. 1987; de Almeida et al. 1995; Guswenrivo et al. 2007; Humber & Hansen, 2005).

Tidak ada tanda-tanda patologis yang teramati pada pengamatan patologi gross. Hasil dari pengukuran organ menunjukkan tidak berbeda nyata antara organ hati dan ginjal kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol (α= 0,05). Hal ini menunjukkan perlakuan administrasi oral cendawan entomopatogen tidak menimbulkan kerusakan atau tanda-tanda patologis pada organ viseral. Salah satu studi menunjukkan adanya splenomegaly pada tikus kelompok perlakuan dengan konidia M. Anissopliae var acridum viabel namun hanya sebesar 5,6%. Hal selaras dengan hasil studi yang lain bahwa perlakuan dengan cendawan entomopatogen M. anissopliae strain – LMA06 tidak signifikan menimbulkan gejala patologis melalui administrasi oral (Toriello et al. 2009; Mancebo et al. 2005). Hasil tersebut juga diikuti dengan kenaikan berat badan hewan percobaan selama pengamatan. Cang et al. (2006) menyatakan bahwa N. rileyi tidak menghasilkan kerusakan patologis pada organ viseral melalui uji toksisitas akut oral. United States Environmental Protection Agency (2005) juga menegaskan bahwa B. bassiana tidak memiliki patogenitas melalui administrasi oral dengan dosis akut.

KESIMPULAN

Pemberian dosis tunggal 1 ml ekstrak kasar cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae M622, Beauveria bassiana, Nomuraea rileyi, dan Humicola sp. tidak menimbulkan tanda-tanda klinis dan tidak menyebabkan kematian pada tikus diikuti dengan kenaikan berat badan. Tidak ditemukan adanya tanda kelainan pada organ hati dan ginjal pada tikus perlakuan melalui pengamatan patologi gross. Tidak ditemukan beda nyata pada ukuran organ hati dan ginjal antara kelompok perlakuan dan kontrol.

DAFTAR PUSTAKA

Barbier, Edward B 1989, Cash crops, food crops, and sustainability: the case of Indonesia, World Development, 17(6); 879-895.

Broughton, E 2005, The bophal disaster and its ftermath: a review, environmental health: A Global Access Science Source, 4:6.

Chang, JY, Hwang, JS & Tsai, SF 2006, Safety evaluation of acute toxicity/pathogenicity of Nomuraea rileyi F055 in rats, Plant Protection Bulletin, 48(4): 331-340.

de Almeida, EM, de Lourdes, M, Polizeli, TM, Terenzi, HF & Jorge, JA 1995, Purification and biochemical characterization of P-xylosidase from Humicola grisea var. thermoidea, FEMS Microbiology Letters,130: 171-176.

European Food Safety Authority 2013, Conclusion on the peer review of the pesticide risk assessment of the active substances Beauveria bassiana strains ATCC-74040 and GHA, EFSA Journal,11(1): 3031.

Guswenrivo, I, Kartika, T, Yusuf, S & Tarmadi, D 2007, Utilization of Humicola sp. as biocontrol for subterranian termite Coptotermes sp. Proceeding of The Fourth Conference of the Pacific-Rim Termite Research Group Kaohsiung, Taiwan 26th

-27th February, 21-26.

Hall, RA, Zimmermann, G & Vey, A 1982, Guidelines for the registration of entomogenous fungi as insecticides, Entomophaga, 27(2): 121-127.

Humber, RA & Hansen, KS 2005, ARSEF Index: host by fungus. USDA-ARS plant protection research unit – US plant, soil and nutrition laboratory, p 99.

(23)

James, B, Atcha-Ahowe, C, Godonou, I, Baimey, H, Goergen, G, Sikiriou, R & Toko, M 2010, Integrated pest management in vegetable production: a guide for extension worker in West Africa, International Institute of Tropical Agriculture, 13: 78-83. Mancebo, A., Gonzales, F, Lugo, S, Gonzales, B, Bada, AM, Aldana, L, Gonzales, Y,

Arteaga, ME & Fuentes, D 2005, Toxicity/pathogenicity evaluation of Metarhizium anisopliae LMA-06 by means of oral and intranasal dosing, Pakistan Journal of Biological Sciences, 8 (7): 969-973.

Marten, GG 1986, Traditional agriculture in Southeast Asia: a human ecology perspective, Westview Press, Colorado, p 242.

Moharram, AM, Bagy, MMK & Abdel-Mallek, AY 1987, Saprophytic fungi isolated from animal and bird pens in Egypt, J. Basic Microbiol, 27(7): 361-367.

Rippon, JW 1988, Medical mycology: the pathogenic fungi and the pathogenic actinomycetes, 3d ed. In: Molecular Evolution of the Fungi: Human Pathogens, Mol. Bid, 9(5):893-904

Sahayaraj, K & Namachivayam, SKR 2011, Field evaluation of three entomopathogenic Fungi on groundnut pests, Tropicultura, 29(3): 143-147.

Toriello, C, Perez-Torres, A, Vega-Garci, F, Navarro-Barranco, H, Perez-Meji, A, Lorenzana-Jimenez, M, Hernandez-Velazquez, V, Mier, T 2009, Lack of pathogenicity and toxicity of the mycoinsecticide Metarhizium anisopliae var. acridum following acute gastric exposure in mice, Ecotoxicology and Environmental Safety, 72: 21532157

United States Environmental Protection Agency 2005, Beauveria Bassiana HF23; exemption from the requirement of a tolerance, EPAHQOPP20050316, FRL 81084, 40 CFR Part 180.

Whittle, B 2010, Communities in Peril: Asian regional report on community monitoring of highly hazardous pesticide use, Pesticide Action Network (PAN) Asia and the Pacific, p 82-87.

Yendol, WG. & Paschke, JD 1965, Pathology of an entomophthora infection in the eastern subterranean termite Reticulitermes flavipes (Kollar), Journal of Invertebrate Pathology, 7: 414-422.

Zulfiana, D, Kartika, T & Tarmadi, D 2009, Pengaruh komposisi media fermentasi Metharizium sp. terhadap mortalitas larva Aedes aegypti, Prosiding Seminar Nasional Hari Nyamuk, Bogor 10 Agustus 2009, 75-84.

(24)

LT 3.

PENAPISAN ISOLAT BAKTERI BIOSEMENTASI GUA KARST GUNUNG KIDUL

Ananto Nugroho*, Luna Nurdianti Ngeljaratan, Agung Sumarno, Triastuti, Eko Widodo

Pusat Penelitian Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia *E-mail : ananto@biomaterial.lipi.go.id

ABSTRAK

Ekosistem karst memiliki keunikan, baik secara fisik, maupun dalam aspek keanekaragaman hayati. Daerah ini terbentuk terutama oleh pelarutan batuan dan pengendapan mineral. Didalam gua yang aktif banyak terdapat ornament-oranmen stalaktit dan stalagmite yang terbentuk dari proses pengendapan mineral. Ornamen ini terbentuk melalui proses biomineralisasi oleh bakteri kalsit dengan mekanisme presipitasi karbonat dan pembentukan mineral CaCO3. Beberapa jenis bakteri di dalam gua mampu menghidrolisa urea dengan dikatalis oleh enzim urease. Jenis bakteri dengan kemampuan mengendapkan kalsit di dalam gua karst di Indonesia belum banyak terungkap. Salah satu potensi dari bakteri jenis ini adalah sebagai biosementasi pada material batuan dan beton. Dalam penelitian ini dilakukan penapisan bakteri aktivitas enzim urease yang diisolasi dari Kawasan Karst Pegunungan Sewu di wilayah Gunung Kidul terutama di Gua Jomblang dan Gua Cerme. Dari hasil penapisan diperoleh isolat bakteri dengan aktivitas urease sebanyak 48 isolat, masing-masing 34 isolat dari Gua Jomblang dan 14 isolat dari Gua Cerme.

Kata kunci: bakteri, enzim urease, kalsit, biosementasi.

ABSTRACT

Karst regions have the uniqueness of the landscape and diversity biosphere. The karst is formed by the dissolution of rocks and the precipitation of mineral. In the cave, there are many ornaments of stalactite and stalagmite which are formed by process of mineral precipitation. The ornaments of stalactite and stalagmite are formed by Biomineralization process using calcite bacteria with the precipitation of carbonate and it is formed by CaCO3.

Some bacteria can hydrolysis of urea with catalyzed by Urease enzyme. The type of bacteria which could precipitate calcite in Indonesian’s cave has not been researched by Indonesian researcher. A potential of this type bacteria is as biocementation on rock and concrete. In this research, we are been screening the bacteria that produced urease enzyme. We obtained the isolated bacteria from Karst Region of “Pegunungan Sewu” in Gunung Kidul Yogyakarta (Jomblang cave and Cerme Cave). We found 48 isolated bacteria which have urease activity, respectively 34 isolated from Jomblang cave and 14 isolated from Cerme cave.

Keywords: bacteria, urease enzyme, calcite, biocementation.

PENDAHULUAN

(25)

tertutup (closed depression), drainasi bawah tanah dengan lubang-lubang pembuangan dan gua-gua. Kawasan karst yang terbentuk oleh pelarutan batuan dan mineral terutama batuan karbonat misalnya dolomit, dalam evaporit seperti halnya gips dan halite, dalam silika seperti halnya batu pasir dan kuarsa, kondisinya cenderung terbentuk gua (favourable). Kawasan ini disebut karst asli. Selain itu kawasan karst juga dapat terbentuk oleh proses cuaca, kegiatan hidrolik, pergerakan tektonik, air dari pencairan salju dan pengosongan batu cair (lava). Karena prosesnya bukan pelarutan, maka disebut pseudokarst (karst palsu).

Didalam gua yang aktif banyak terdapat ornament-oranmen stalaktit dan stalagmite yang terbentuk dari proses pengendapan mineral. Ornamen ini terbentuk melalui proses biomineralisasi oleh bakteri kalsit dengan mekanisme presipitasi karbonat dan pembentukan mineral CaCO3. Pada mekanisme ini bakteri menghidrolisa urea dengan dikatalis oleh enzim urease dari bakteri itu sendiri, dan dengan adanya Ca2+ yang terlarut maka terbentuk kristal kalsium karbonat (CaCO3) yang saling berikatan [1].

Ekosistem karst memiliki keunikan, baik secara fisik, maupun dalam aspek keanekaragaman hayati. Jenis bakteri dengan kemampuan mengendapkan kalsit di dalam gua karst di Indonesia belum banyak terungkap. Salah satu potensi dari bakteri jenis ini adalah sebagai biosementasi pada material batuan dan beton [2,3]. Dalam penelitian ini dilakukan penapisan aktivitas enzim urease bakteri yang diisolasi dari Kawasan Karst Pegunungan Sewu di wilayah Gunung Kidul terutama di Gua Jomblang dan Gua Cerme. Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk menemukan isolat bakteri yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai biosementasi pada pembuatan material beton.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan sampel dilakukan di Kawasan Karst Pegunungan Sewu di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di dua tempat dalam satu kawasan tetapi dengan karakter gua yang berbeda yaitu Gua Jomblang dan Gua Cerme. Sampling untuk isolasi bakteri diambil dari bagian lumpur dan stalakmite gua. Sebagian sampel yang keras dihancurkan untuk mempermudah proses isolasi bakteri. Setelah dihancurkan, sampel dimasukkan ke dalam tabung plastik dan disimpan di lemari pendingin dengan suhu 4 C.

Medium yang digunakan dalam pengisolasian bakteri ada dua jenis yaitu medium selektif dan medium Nutrient agar (NA). Medium selektif yang terbuat dari campuran 3 g Nutrient broth, 20 g Urea, 2.12 g NaHCO3, 10 g NH4Cl, 4.41 g CaCl2.2H2O, 1 L air destilasi dan 15 g agar [4]. Selanjutnya koloni bakteri yang muncul dapat diisolasi dan dimurnikan. Penapisan aktivitas enzim urease dilakukan ke dalam medium urea broth lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 3 hari. Kemudian dilakukan pengamatan warna isolat untuk menentukan bakteri yang menghasilkan urease. Isolat bakteri yang memiliki aktivitas urease akan mengubah warna medium cair dari warna kuning menjadi warna merah muda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengendapan mineral kalsium karbonat oleh bakteri urease dapat terjadi secara alami di daerah berpasir, bebatuan, sekitar danau dan gua bawah tanah. Presipitasi atau pengendapan kalsit sedikitnya ditentukan oleh 3 faktor yaitu konsentrasi kalsium, konsentrasi karbonat, dan pH lingkungan [4,5]. Penelitian tentang jenis bakteri yang mampu melakukan biosementasi belum banyak dilakukan di Indonesia. Dalam penelitian ini dilakukan pengambilan sampel di sekitar kawasan karst pegunungan sewu yang diperkirakan terdapat bakteri pengendap kalsit yang berlimpah. Pengambilan sampel dilakukan di 2 lokasi gua yang berbeda yaitu Gua Jomblang dan Gua Cerme. Jauhnya lokasi diantara kedua gua yaitu berjarak ±29 km. Dari sampling yang dilakukan pada bagian lumpur dan stalagmit gua diperoleh total sebanyak 149 isolat.

(26)

urease positif akan mengubah warna medium dari warna kuning menjadi warna merah muda seperti terlihat pada Gambar 1. Dari hasil pengamatan diperoleh isolat dengan aktivitas urease sebanyak 34 isolat dari Gua Jomblang dan 14 isolat dari Gua Cerme. Hasil uji aktivitas urease bakteri disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.

Gambar 1. Uji aktivitas enzim urease

Tabel 1. Hasil penapisan aktivitas enzim urease bakteri

Gua Sampel Medium Jumlah Isolat Isolat dengan Aktivitas Urease

Jomblang Lumpur Nutrient Agar 29 3

Lumpur Selektif 42 26

Stalakmit Nutrient Agar 25 2

Stalakmit Selektif 12 3

Cerme Stalakmit Nutrient Agar 41 14

Isolat bakteri yang memiliki aktivitas enzim urease akan menghidrolisis urea didalam medium untuk menghasilkan amonia. Amonia yang dihasilkan akan menaikkan pH medium menjadi basa sehingga mengubah warna medium menjadi merah muda. Tidak semua isolat bakteri yang diperoleh memiliki aktivitas enzim urease. Dengan demikian bakteri-bakteri yang diisolasi dari lumpur Gua Jomblang dengan medium selektif menghasilkan aktivitas urease terbanyak dari sampel lainnya.

KESIMPULAN

Dari hasil penapisan diperoleh isolat bakteri dengan aktivitas urease sebanyak 48 isolat, masing-masing 34 isolat dari Gua Jomblang dan 14 isolat dari Gua Cerme. Dengan demikian bakteri-bakteri yang diisolasi dari lumpur Gua Jomblang dengan medium selektif menghasilkan sejumlah isolat bakteri dengan aktivitas urease terbanyak. Selanjutnya isolat bakteri yang didapat ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen biosementasi pada material batuan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Lisdiyanti, P., Suyanto, E, Ratnakomala, S., Fahrurrozi, Sari, M.S., Gusmawat N.F., 2011. Bakteri pembentuk karbonat dalam aplikasi pada proses biogrouting. Prosiding Simposium Nasional Ekohidrologi : 219-232. Jakarta.

[2] Jonkers, H.M. & Schlangen, E., 2008. Development of bacteria-based self Wheeling concrete. London : Taylor & Francis Group, 425-430.

(27)

[4] Hammes, F., N. Boon, J. De Villiers, S. D. Siciliano, and W. Verstraete. 2003. Strain-specific ureolytic microbial calcium carbonate precipitation. Applied and Environmental Microbiology 69: 4901-4909.

(28)

LT 4.

COMPOSITES OF COCONUT COIR AND BETUNG BAMBOO FIBER: THE EFFECT OF MIXTURE COMPOSITION AND CITRIC ACID PERCENTATION

Kurnia Wiji Prasetiyo1*, Anisah2 and Yudha Prasetya2

1 Research Centre for Biomaterial LIPI Jl.Raya Bogor Km. 46 Cibinong Bogor 2 Departement of Civil Engineering Faculty of Engineering State University of Jakarta

E-mail address: jundiazzam@yahoo.com

ABSTRACT

The physical and mechanical properties from coconut coir and Betung bamboo fiber composites have been studied. The effects of mixture composition from coconut coir and Betung bamboo fiber and citric acid percentation were investigated. Results showed that the physical properties of composites to be a better value with increasing citric acid percentation and coconut fiber composition. At the optimum citric acid percentation of 35% with the mixture composition from 70% of coconut coir and 30% of Betung bamboo fiber could provide composites with thickness swelling and water absorbtion better than other composition. Generally, the modulus of rupture, modulus of elasticity and internal bonding also increased with increasing coconut fiber content at composites.

Keywords: Betung bamboo fiber, Citric acid, Coconut coir, Composites, Physical and mechanical properties

INTRODUCTION

Generally, particleboard is a type of composite panels made from wood resources. Composite panels manufactured by compressing small wood particles materials while simultaneously bonding them with an adhesive. Particleboards are among the most popular materials used in interior and exterior applications in floor, wall, ceiling panels, office dividers, bulletin boards, cabinets, furniture, counter and desk tops. With depleting wood resources, the wood industry struggles to obtain sufficient amount of raw material for composites production. High demand for wooden materials and rises in agricultural areas and forest fires also increased the importance of composites instead of using solid woods. This condition encourage many studies on the possibility of using natural fibers or agricultural by-products as materials in place of wood materials for composites. Various studies investigated properties of composites made from natural fibers or agricultural by-products such as rice husk (Kumagai and Sasaki, 2009), rice straw (Zhang and Hu, 2014), kenaf core (Okuda and Sato, 2008), bagasse (Widyorini et al., 2005), oil palm trunk (Baskaran et al., 2013) and oil palm fronds (Suzuki et al., 1998).

As a natural fiber and agricultural by-product, bamboo fiber and coconut coir are considered as a potential raw material to produce value added composite panels such as particleboard. One of bamboo species which potential as raw material for composite panels is Betung bamboo. Therefore, various investigations were carried out to evaluate characteristics of composite panels made from bamboo fiber and coconut coir. Commonly, bamboo fiber or coconut coir composites were used formaldehyde-based adhesive. Composites of Betung bamboo or coconut coir fibers are usually made separately. Rarely mixed in the manufacture process.

(29)

knowledge, has not been thoroughly investigated before. The objectives of study are; (a) to investigate the characteristics of composites from Betung bamboo and coconut coir fibers and, (b) to study the effect of mixture composition and citric acid percentation on the physical and mechanical properties of particleboard samples.

MATERIALS AND METHODS

The Betung bamboo culms were harvested in Cibinong Bogor. They were chipped using a hacker chipper before the chips were reduced into smaller particles about 1.5 to 2.5 cm using a knife ring flaker. Particles were dried to 8 percent moisture content. For coconut coir fibers, the production of smaller size fibers about 1 to 1.5 cm similar with bamboo particles process. The composites was made with composition variation of coconut coir fibers and Betung bamboo particles are 30:70, 50:50 and 70:30 (%). Particles were blended with citric acid resin. Based on oven dry particle weight, 25%, 30% and 10% citric acid resin were applied for composites, respectively. Composites samples were made with length x width x thickness = 25 x 25 x 0.9 cm. Hand formed mats were pressed in a hydraulic hot press at a temperature of 200º C, a pressure of 2.5 MPa for 10 minutes with a target density of 0.7 g/cm3.

Composites were conditioned for about two weeks at room temperature. Test samples were prepared and tested based on JIS A 5908:2003 standard for physical and mechanical properties.

RESULTS AND DISCUSSION

Physical properties of composites

The samples from each composites were used to evaluate dimensional stability in term of thickness swelling (TS) and water absorption (WA). The samples were soaked in water for 24 h. Weight and thickness were measured before and after the samples were soaked. The effect of mixture composition and citric acid percentation on thickness swelling (TS) and water absorption (WA) after water-soaking tests for 24 h at ambient condition are shown in Figs. 1 and 2. It can clearly be seen that the values of TS and WA of the samples decrease with increasing citric acid percentation. The thickness swelling of the composites were relatively low, ranging from 3% to 10% for 24 h immersion. The TS value of the composites satisfied JIS A 5908:2003 requirements of Type 8 Particleboard, maximum of 12%.

Fig. 1. Thickness swelling values of the composite samples

Thick

ness swe

lli

ng

(%

)

Composition of coconut coir and Betung

bamboo fiber (%)

(30)

Fig. 2. Water absorption values of the composite samples

Increasing of coconut coir composition improved the thickness swelling and water absorption of the composites. This may be due to interference in the curing of citric acid adhesive, reduced wettability of the particle surface or limitation of diffusion and/or spreading of the adhesive within the particles and over the particle surface. This phenomenon is presumably due to the uniformity of coconut coir fiber that absorbs less water intake. Uniformity fibre increased the number of fibrefibre contact and created cross links between resonated fibres (Halvarsson et al. 2008), which improve the physical properties. Fibre length has a strong effect on physical properties of composites, as the length of overlap is shortened, the quality of the bond between two fibres is reduced (Maloney, 1993). Previous study concluded that with increasing slenderness of fibres, swelling in thickness of the composites decreased, but different results were found in a past study carried out by Tajvidi et al. (2006)and Steckel et al. (2007)who stated that the larger particles or fibres size, the higher water absorption, thus, the effect of fibre length on water uptake is dependent on fibre content. This can be explained in two ways: larger fibres lead to greater hydrophilic exposed surfaces; and poor adhesion between wood particles and the matrix generates void spaces around the wood particles. These voids in the bulk matrix are readily filled with water.

Mechanical properties of composites

The mechanical properties of the composites are shown in Figs. 3-5. Mechanical properties of the composites also followed similar trend. Increasing of coconut coir composition improved the modulus of rupture (MOR), the modulus of elasticity (MOE) and the internal bonding (IB) of the composites.

W

ater absorpt

ion

(%

)

Composition of coconut coir and Betung

bamboo fiber (%)

(31)

Fig. 3. Modulus of rupture values of the composite samples

Fig. 4. Modulus of elasticity values of the composite samples

Fig. 5. Internal bonding values of the composite samples

The highest MOR value of 8 MPa was determined for composites made from 70% coconut coir fibers, 30% Betung bamboo particles and 35% citric acid as adhesive based

Modu

lu

s

of rupt

u

re

(MP

a)

Composition of coconut coir and Betung

bamboo fiber (%)

Citric acid 25% Citric acid 30% Citric acid 35%

Modu

lu

s

of e

lon

gati

on

(G

Pa)

Composition of coconut coir and Betung

bamboo fiber (%)

Citric acid 25% Citric acid 30% Citric acid 35%

In

ternal

bon

din

g

(MP

a)

Composition of coconut coir and Betung

bamboo fiber (%)

Gambar

Tabel 1. Pengamatan morfologi isolat bakteri meliputi pengamatan koloni bakteri dan Karakteristik morfologi pada isolat bakteri BLSP-3, BLSP-4, dan BLBt disajikan pada pengamatan mikroskopis
Gambar 2. Persentase tingkat mortalitas larva S. litura pada pengamatan 24 jam setelah perlakuan (A), 48 jam setelah perlakuan (B), dan 72 jam setelah perlakuan (C)
Gambar 1. Uji aktivitas enzim urease
Fig. 4.  Modulus of elasticity values of the composite samples
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisa pengaruh jarak, pH, suhu, tekanan dan kandungan besi terhadap konsentrasi sisa klorin dan koloni coliform pada sumber air wendit PDAM kota malang.. Universitas Brawijay

Dengan demikian dapat disim- pulkan bahwa dalam pandangan Ibn Rusyd, kebenaran interpretasi terhadap al- Qur’an yang paling meyakinkan hanya dapat dicapai oleh para

internal siswa dapat mempengaruhi kedisiplinan dalam mematuhi tata tertib sekolah baik dengan pengaruh yang tinggi maupun

Pemberian dosis 16 g pupuk kandang ayam dan 1,6 g pupuk ureamemberikan pengaruh yang paling baik terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, jumlah anakan, dan hasil

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan MANULIFE SAHAM SYARIAH ASIA PASIFIK DOLLAR AS yang telah lengkap sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak

Skripsi berjudul Aktivitas Mikrobisida Sel Monosit dan Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Jumlah Koloni Streptococcus mutans telah diuji dan

Analisis ini digunakan untuk melihat bagaimana preferensi konsumen akan ritel modern dan ritel tradisional, sehingga dapat diprediksi faktor apa saja yang

Skripsi ini membahas tentang “Penerapan Sistem Pembelajaran Halaqah Tarbiyah dalam Meningkatkan Kedisiplinan Ibadah Salat Mutarabbi Kader Lembaga Mahasiswa Pencinta