• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Produksi dan Distribus

Dalam dokumen ANALISIS EKONOMI PERTANIAN INDONESIA (Halaman 119-124)

INTERAKSI PARSIAL NEGARA DAN PASAR

8.4 Manajemen Produksi dan Distribus

Proses transformasi lembaga parastatal menjadi lembaga perdagangan swasta, sayangnya berlangsung secara bersamaan dengan krisis ekonomi. Akibatnya, pergeseran pola konsumsi dari beras domestik yang nota bene berkualitas cukup tinggi, ke beras impor kualias medium yang sedikit lebih rendah, pasti tidak terlepas dari penurunan daya beli konsumen. Banjirnya beras

impor ini juga karena anjloknya produksi padi dalam negeri sejak awal tahun 1998 karena faktor alam dan berbagai permasalahan struktural dari sistem produksi, pengadaan dan manajemen stok dan distribusi beras di dalam negeri dari hulu sampai hilir.

Performa sistem produksi yang sukar diprediksi, gejala alih fungsi lahan subur/irigasi yang pernah diprediksi mencapai satu juta hektar per tahun, dan gangguan iklim dan cuaca seperti gejala El Nino dan La Nina yang cukup mengganas dua tahun terakhir. Selain itu, pola linier atau sistem komando dari atas ke bawah dalam penerapan pola Bimbingan Massal (Bimas) dengan pendekatan homogen, tidak lagi sesuai dengan karakteristik sistem sosial politik era keterbukaan sekarang serta kondisi agro ekosistem lahan padi, yang juga meliputi lahan kering yang begitu heterogen dari suatu tempat ke tempat lainnya.

Kesalahan perencanaan dan estimasi kebutuhan pengadaan beras dalam negeri – disengaja atau tidak – juga telah menyebabkan membengkaknya volume impor beras tahun 1998, baik untuk stok nasional maupun untuk operasi pasar. Pada tahun genting karena tragedi kemanusiaan kerusuhan massal dan kekeringan hebat tersebut, Indonesia melalui Bulog dan beberapa rekanan importir yang telah ditunjuk secara tidak transparan, telah mengimpor beras dengan jumlah 5,8 juta ton. Angka itu merupakan rekor volume impor yang cukup mengkhawatirkan, terutama pada saat negara berada dalam keadaan "kering devisa" seperti sekarang.

Akibatnya, stok beras nasional sangat berlimpah dan menimbulkan masalah tersendiri. Bulan Desember 1998, stok beras masih tercatat 2,1 juta ton walaupun sekian macam program OPK dalam kerangka Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk keluarga miskin dan miskin sekali telah dilaksanakan. Tahun 1999 jumlah impor beras menurun "hanya" sekitar 4,2 juta ton karena performa produksi telah lebih baik dibandingkan

tahun sebelumnya. Angka impor terus menurun sampai hanya 1,4 juta ton pada tahun 2001, sebelum akhirnya meningkat lebih 3 juta ton pada tahun 2002. Angka resmi impor beras pada tahun 2003 juga diperkirakan berkisar 2 juta ton karena performa produksi tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

Kinerja Produktivitas Beras, 1960-2001

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 1960 1964 1968 1972 1976 1980 1984 1988 1992 1996 2000 Land Productivity Production per capita

Gambar 8.1 Kinerja Produktivitas Beras, 1960-2001

Ada yang berspekulasi bahwa kinerja produksi padi merupakan hasil dari kebijakan sandi produksi Gema Palagung (Gerakan Mandiri Produksi Padi, Kedelai dan Jagung). Tidak ada yang salah dari spekulasi di atas karena studi rinci tentang determinan produksi padi di Indonesia pun amat beragam. Demikian halnya, juga tidak terlalu keliru jika ada yang berargumen bahwa pencapaian produksi yang mendekati kondisi normal itu merupakan kerja keras para petani sendiri karena terlalu banyak program pemerintah di bidang produksi itu yang tidak tepat sasaran, sekadar tidak menyebut penyimpangan dan permasalahan struktural lain.

Di bidang distribusi pangan, selama tiga dasawarsa terakhir Indonesia menganut dua pola utama sistem pengadaan beras dalam negeri; pola swasta dan pola pemerintah. Walaupun sampai saat ini tidak ada data reliable berapa sebenarnya share masing-masing pola, estimasi 90 persen pola swasta dan 10 persen pola pemerintah mungkin dapat menjadi patokan (uraian lebih lengkap telah disampaikan dalam Bab 5). Namun demikian, volume perdagangan yang sangat bervariasi menurut waktu dan musim juga perlu dipertimbangkan dengan hati-hati.

Pada masa stabilisasi harga sampai akhir 1990an pola pengadaan beras melalui pemerintah sering-kali

berakhir dengan “perumitan yang disengaja”, karena

negara telah bersentuhan atau berinteraksi dengan pasar tanpa aransemen kelembagaan yang tegas dan transparan. Pedagang skala besar yang memperoleh surat perintah logistik ini lalu mengoper berasnya kepada pedagang skala menengah sampai pengecer di hampir setiap sudut pasar, yang tentunya bekerja dengan fee khusus.

Bahkan terdapat perbedaan atau segmentasi pasar berdasarkan faktor nonpasar dan elemen psiko- sosiologis yang sangat mencolok yang diberlakukan oleh pedagang besar kepada pedagang menengah dan pengecer. Fee itulah yang merupakan awal dari begitu dominanya aktivitas perburuan rente dalam peta perdagangan beras, baik di pasar domestik maupun internasional, yang menjadi pemicu utama distorsi ekonomi perberasan di Indonesia. Saat ini, secara resmi beberapa jenis fee seperti di atas memang tidak dikenal lagi. Namun secara aktual, sukar sekali masyarakat (dan pemerintah sendiri) untuk melakukan monitoring

dan pengawalan yang ketat dan transparan terhadap manajemen distribusi pangan.

Demikian pula, pengadaan beras yang berasl dari impor juga diperumit dari tidak transparannya proses

tender dan penunjukan importir. Sekalipun pemerintah telah mengenakan bea masuk untuk mengelola impor beras, kebijakan bea masuk saja pasti tidak cukup untuk mencapai tingkat kesolidan kebijakan pangan yang diharapkan. Mustahil suatu kebijakan yang sangat pragmatis seperti impor, apalagi jika hanya berdiri sendiri, akan dapat meningkatkan harga di tingkat petani, sekaligus kesejahteraan mereka. Apabila pemerintah akan terus menerapkan bea masuk, atau justru meningkatkannya dari sekadar 30 persen seperti sekarang, tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan perangkat dan aransemen kelembagaan termasuk pengawasan dan pengakuan hukum yang sangat berhubungan dengan kebijakan itu.

Salah satu kebijakan komplemen yang diperlukan adalah Operasi Pasar Khusus atau penjualan beras murah dengan sasaran dan kriteria penerima yang jelas, tidak memancing manipulasi dan kolusi pedagang besar, atau sekadar free rider yang sangat piawai memanfaatkan Kebijakan komplemen dan kebijakan pendukung di bidang produksi dan distribusi atau perdagangan haruslah cocok dengan strategi ekonomi perberasan secara umum. Hal yang perlu dicatat adalah biaya transaksi untuk suatu rezim ini jelas sangat besar, karena hal itu sangat berhubungan dengan kemampuan atau fungsi birokrasi dan administrasi kebijakan publik yang menyertainya.

Dengan kata lain, seluruh komponen dan pelaku ekonomi serta masyarakat harus siap menanggungnya. Demikian pula apabila pemerintah akan mengkaji ulang kebijakan pengenaan tarif bea masuk itu, pilihan yang harus diambil hanya dua; menegakkan mekanisme pasar atau memperbaiki pelaksanaan kebijakan pangan secara lebih transparan. Implikasinya adalah apabila pemerintah masih diberikan mandat oleh rakyat untuk melaksanakan kebijakan pangan, keputusan politik untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku ekonomi perberasan, terutama petani dan konsumen miskin,

haruslah didukung technical analysis bidang ekonomi yang memadai dan mempertimbangkan tegaknya mekanisme pasar dan bekerjanya sistem kelembagaan yang ada. Mengingat begitu strategisnya komoditas beras ini, baik secara politik, ekonomi, budaya, dan lain- lain, langkah ke depan sebaiknya diarahkan pada penajaman target dari setiap kebijakan yang diterapkan, terutama apabila akan menerapkan segmentasi pasar untuk kelompok sasaran yang berbeda.

Dalam dokumen ANALISIS EKONOMI PERTANIAN INDONESIA (Halaman 119-124)