• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Manajemen Risiko Bencana

Menurut Spengler (dalam Susanto, 2010), manajemen risiko patut diterapkan dan dikembangkan dan merupakan salah satu langkah preventif dalam aktivitas akuatik. Tindakan pencegahan dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan risiko yang lebih parah yaitu kematian.

Menurut Wijayanti (2008) secara umum manajemen risiko bencana alam dapat dilaksanakan melalui beberapa cara berikut:

a. Pengaturan pemanfaatan ruang (spasial)

Pengaturan pemanfaatan ruang dapat dimulai dengan pemetaan daerah rawan bencana, kemudian mengalokasikan pemanfaatan ruang untuk pembangunan berintensitas tinggi ke luar area rawan bencana, sedangkan pemanfaatan ruang di daerah rawan bencana diatur secara tepat dan optimal.

b. Keteknikan

Umumnya berupa rekayasa teknis terhadap lahan, bangunan, dan infrastruktur yang disesuaikan dengan kondisi, keterbatasan, dan ancaman bencana.

c. Peningkatan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat

Mengingat permasalahan akibat bencana alam cukup rumit, bahkan seringkali menimpa kawasan dengan kondisi masyarakat yang cukup rentan terhadap kemiskinan, kuragnya kewaspadaan, ketidakberdayaan, berlokasi jauh dari pusat pemerintahan dan sulitnya aksesibilitas, maka dalam manajemen risiko bencana alam hal ini dapat diatasi melalui peningkatan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi tingkat kerentanan dan keterisolasian mereka. Untuk mewujudkannya, diperlukan elemen berikut:

1. Adanya tokoh penggerak masyarakat.

2. Tersedianya konsep penanggulangan dan penanganan bencana alam yang jelas.

3. Adanya objek aktivitas masyarakat yang jelas. 4. Kuatnya kohesivitas masyarakat setempat.

5. Bahasa komunikasi kerakyatan yang tepat berbasis pada kearifan budaya lokal.

6. Jaringan informasi yang setiap saat mudah diakses. d. Kelembagaan

Terkai dengan kelembagaan ada beberapa hal yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Struktur organisasi dan tata cara kerja yag jelas.

2. Fungsi perencanaan, pelaksaaan, dan pengawasan yang aplikatif.

3. Tercukupinya ketersediaan sumberdaya manusia, pembiayaan dan perlengkapan.

Untuk mewujudkan kelembagaan manajemen risiko bencana secara optimal, diperlukan kerja sama berbagai institusi, berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2005, telah dibentuk badan Koordinasi Nasional Penaganan Bencana (Bakornas PB) pada level nasional, Satuan Koordinasi Pelaksana (Satkoriak) PB di tingkat provinsi, dan Satuan Pelaksana (Satiak) PB di tingkat kota/kabupaten.

Menurut Siswoko (2005) Upaya pengelolaan dataran banjir (flood plain management) merupakan salah satu komponen kegiatan non-struktur (non structural measures) dalam rangka mengatasi masalah banjir. Komponen lainnya antara lain penanggulangan banjir (flood fighting) yang merupakan komponen kegiatan Satkorlak/Satlak penanggulangan bencana, prakiraan dan peringatan dini, konservasi tanah dan air (penghijauan dan reboisasi, pengendalian erosi) penataan ruang di DAS (daerah aliran sungai) hulu dan penataan permukiman, flood proofing, penetapan sempadan sungai, penegakan hukum, penyuluhan, manajemen sampah dan sebagainya.

Upaya non-struktur yang berupa pengelolaan dataran banjir (flood plain management). Dalam kaitan ini terdapat tiga kondisi alternatif yang dapat ditempuh, yakni:

a) Dataran banjir yang belum dikembangkan sehingga penataan ruang/pembudidayaannya dapat mengikuti pola pengelolaan dataran banjir yang benar sehingga risiko atau kerugian apabila terjadi genangan/banjir minimal. Perangkat lunak yang diperlukan berupa peta zona dataran banjir (flood zone map) untuk masukan bagi revisi penataan ruang yang telah ada.

b) Dataran banjir yang telah terlanjur berkembang dan penataan ruangnya tidak mungkin untuk direvisi. Untuk itu perlu upaya-upaya khusus seperti melakukan flood proofing terhadap bangunan, serta memodifikasi atau menyesuaikan peruntukan bangunan/ruangan yang berisiko tinggi tergenang banjir.

Berbagai upaya flood proofing antara lain dengan meninggikan lantai bangunan, memodifikasi bangunan, membangun tanggul keliling dilengkapi pompa, meninggikan jalan, membangun jalan layang. Perangkat lunak yang diperlukan berupa peta risiko banjir (flood risk map) dan rambu-rambu peringatan yang menunjukkan ketinggian/kedalaman genangan banjir yang telah lewat maupun kemungkinan bisa terjadi. c) Penertiban lahan yang berupa daerah manfaat sungai/daerah sempadan

dibudidayakan. Upaya ini boleh jadi merupakan upaya paling sulit dilaksanakan mengingat lahan di sepanjang kanan kiri tebing sungai pada umumnya telah dipenuhi bangunan baik yang legal maupun ilegal dari permanen maupun berupa gubuk-gubuk sederhana.

Menurut Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo, Sinergi antara penanganan fisik dan non-fisik dalam upaya pengendalian banjir dapat diwujudkan melalui beberapa hal sebagai berikut:

a. Pengendalian tata ruang.

Pengendalian tata ruang dilakukan dengan menggunakan perencanaan penggunaan ruang sesuai dengan kemampuannya untuk mempertimbangkan permasalahan banjir, pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya serta penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang telah memperhitungkan Rencana Induk Pengembangan Wilayah Sungai.

b. Pengaturan debit banjir

Pengaturan debit banjir dilakukan melalui kegiatan penanganan fisik berupa pembangunan dan pengaturan bendungan, perbaikan sistem drainase perkotaan, normalisasi sungai dan daerah retensi banjir. Pengaturan daerah rawan banjir. Pengaturan daerah rawan banjir dilakukan dengan cara:

1. Pengaturan tata guna lahan dataran banjir (flood plain management). 2. Penataan daerah lingkungan sungai seperti: penetapan garis sempadan

sungai, peruntukan lahan di kiri kanan sungai, penertiban bangunan di sepanjang aliran sungai.

3. Peningkatan peran masyarakat.

Peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian banjir diwujudkan dalam:

a) Pengembangan Sistem Peringatan Dini ysmg Berbasis Masyarakat b) Bersama-sama dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun

dan mensosialisasikan program pengendalian banjir.

c) Mentaati peraturan tentang pelestarian sumberdaya air antara lain tidak melakukan kegiatan kecuali dengan ijin dari pejabat yang berwenang untuk:

1) Mengubah aliran sungai.

2) Mendirikan, mengubah atau membongkar bangunan-bangunan di dalam atau melintas sungai.

3) Membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan atau cair ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau patut diduga akan mengganggu aliran,

4) pengerukan atau penggalian bahan galian golongan C dan atau bahan lainnya.

5) pengaturan untuk mengurangi dampak banjir terhadap masyarakat (melalui Penyediaan informasi dan pendidikan, Rehabilitasi, rekonstruksi dan atau pembangunan fasilitas-fasilitas umum, Melakukan penyelamatan, pengungsian dan tindakan darurat lainnya dan lain-lain)

d) Pengelolaan Daerah Tangkapan Air

Pengelolaan daerah tangkapan air dalam pengendalian banjir antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan:

1) Pengaturan dan pengawasan pemanfaatan lahan (tata guna hutan, kawasan budidaya dan kawasan lindung).

2) Rehabilitasi hutan dan lahan yang fungsinya rusak.

3) Konservasi tanah dan air baik melalui metoda vegetatif, kimia, maupun mekanis.

4) Perlindungan/konservasi kawasan - kawasan lindung. e) Penyediaan Dana

Penyediaan dana dapat dilakukan dengan cara:

1) Pengumpulan dana banjir oleh masyarakat secara rutin dan dikelola sendiri oleh masyarakat pada daerah rawan banjir. 2) Penggalangan dana oleh masyarakat umum di luar daerah yang

rawan banjir

3) Penyediaan dana pengendalian banjir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

f) Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat dan Rencana Tindak Darurat

Agar efektif, di masa yang akan datang sistem peringatan dini datangnya banjir di WS Bengawan Solo harus berpusat secara kuat pada masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir mulai hilir

sampai hulu. Dengan penerapan sistem ini, akan dapat memberikan informasi lebih dini bagi masyarakat yang kemungkinan akan terkena bencana sehingga ada kesempatan bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri atau barang-barang berharganya.

Sistem tersebut harus dikembangkan secara menyeluruh sehingga dapat meyakinkan bahwa sistem tersebut dapat berfungsi ketika diperlukan dan peringatan dapat disampaikan secara segera dan mudah dimengerti oleh semua anggota masyarakat dalam berbagai kondisi dan tingkat resiko bencana. Komponen inti sistem peringatan dini datangnya banjir harus berpusat pada masyarakat terdiri dari: 1) Penyatuan dari kombinasi elemen-elemen bottom-up dan

top-down.

2) Keterlibatan masyarakat dalam proses peringatan dini. 3) Pendekatan multi bencana.

4) Pembangunan kesadaran masyarakat.

Mendasari semua hal tersebut di atas harus ada suatu dukungan politis yang kuat, hukum dan perundang-undangan, tugas dan fungsi masing-masing institusi yang jelas serta sumber daya manusia yang terlatih. Oleh karenanya, sistem peringatan dini perlu dibentuk dan didukung sebagai satu kebijakan, sedangkan kesiapan untuk menanggapi harus diciptakan melekat dalam masyarakat.

Dokumen terkait