• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN STRATEGI SEBAGAI PERSPEKTIF Oleh

Dalam dokumen MANAJEMEN STRATEGI humas pemkab sragen (Halaman 197-200)

Oleh : Rully Cahyo Nufanto BAB

MANAJEMEN STRATEGI SEBAGAI PERSPEKTIF Oleh

Djamaluddin Perawionegoro

A. PENDAHULUAN

Konteks Kajian

Dewasa ini perkembangan usaha untuk mendirikan perusahaan bisnis profit ataupun non-profit baik melalui jasa atau barang sangat beragam. Keragaman itu diwujudkan

dalam berbagai variasi model baik itu dalam bentuk produk, image, tempat,

promosi, fitur, physical evidence, dan proses. Semua hal tersebut dilakukan untuk

menjaga keberlangsungan usaha.

Pada perkembangannya, untuk menunjang semua itu dibutuhkan sumber daya (resources) dan kemampuan (capabilities) yang unggul. Jika tidak, maka lambat laun akan tersisih dari “peperangan” dalam mendapatkan pasar. Dan setiap perusahaan tidak pernah memiliki hal yang sama dalam dua hal tersebut. Ada di satu sisi memiliki sumber daya yang mumpuni, namun kemampuannya terbatas. Ataupun sebaliknya, kemampuannya mumpuni namun sumber dayanya terbatas. Dalam pengelolaan dua hal tersebut dibutuhkan strategi. Mengingat bahwa pada prinsipnya tidak ada sumber daya yang selalu mumpuni, dan kemampuan yang selalu unggul. Karena disadari atau tidak, ketika suatu bisnis tersebut dilihat memberikan keuntungan yang signifikan, maka orang lain akan membuat bisnis

yang sama. Artinya bahwa, selalu ada competitor yang akan menggoyahkan bisnis

yang telah mapan. Tidak jarang, perusahaan-perusahaan yang telah menjalankan bisnisnya dengan mapan, harus jatuh dan kalah dalam bersaing dengan perusahaan- perusahaan baru yang inovatif. Tidak jarang pula, perusahaan-perusahaan yang baru

muncul, tidak sampai dua sampai tiga tahun, perusahaan itu bangkrut dan gulung tikar.

Dari berbagai hal tersebut, jikalau dilakukan dengan benar dan tepat tentu dapat memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap keberlangsungan perusahaan atau bisnis. Namun menurut Drucker, dengan memenuhi berbagai hal tersebut tidak serta merta menjamin keberlangsungan hidup usaha. Drucker menambahkan bahwa asumsilah yang membentuk segala prilaku organisasi, Asumsilah yang membentuk segala prilaku organisasi, mendikte keputusannya mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak harus dilakukan, dan mendefinisikan apa yang

menjadi pertimbangan akan hasil yang bermakna bagi organisasi.151 Dan Drucker

menambahkan bahwa asumsi-asumsi tersebut harus senantiasa dianalisa dan diuji untuk fit dalam persaingan global.

Hariadi mengungkapkan data berasal dai surveri yang menunnjukkan bahwa 80 % sampai dengan 90 % usaha yang baru tumbuh, harus menyingkir dari pentas bisnis pada 2-3 tahun pertama sejak didirikan. Sebagian besar di antara mereka banyak yang tetap menjadi usaha kecil dan tidak tumbuh seperti yang diinginkan, bahkan

tidak sedikit yang betul-betul bangkrut sehingga harus keluar dari gelanggang.152 Di

dalam survai tersebut disebutkan beberapa masalah yang dihadapi oleh perusahaan-

perusahaan tersebut yaitu: pertama, ada tidaknya strategic intent; kedua,

diterapkannya good governance; ketiga, kecukupan pendanaan (funding); keempat,

adanya rencana bisnis (business plan); kelima, adanya kerjasama yang baik antar

staff dalam bisnis tersebut (management team); keenam, masalah kepemimpinan

atau pelaksanaan (execution); dan yang terakhir yang ketujuh, masalah waktu yang tepat (timing).

151 Peter F. Drucker, Managemen Revised Edition, (t.k; HarperCollins ebook, t.t), hal. 85

152 Bambang Hariadi, Strategi Manajemen; Strategi Memenangkan Perang Bisnis, (Malang: Bayu

Terkait dengan lembaga pendidikan, tentu tidak jauh berbeda dengan yang terjadi dalam dunia usaha atau bisnis. Yaitu bahwa fenomena demokrasi yang sebagaimana diungkapkan oleh Amien Rais dalam Tilaar, yaitu bahwa esensi demokrasi adalah empat macam kebebasa yang sangat asasi yang harus dimiliki rakayat (freedom of speech, freedom of religion, freedom of fear, freedom from want). Esensi demokrasi juga mencakup partisipasi rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, berjalannya

mekanisme checks and balances dan tegaknya rule of laws.153

Demokrasi yang ditegakkan ditandai dengan “reformasi 1998” memberikan dampak

yang luar biasa bagi perkembangan model pendidikan, lebih khusus pendidikan Islam. Model-model pendidikan Islam sebelum reformasi adalah pertama, madrasah yang pengelolaannya dibawah naungan Kemenag yang dulunya disebut Depag, pada umumnya madrasah di Indonesia dikelola oleh swasta dalam bentuk yayasan, namun kurikulum diarahkan oleh Kemenag, berada pada model ini adalah

diantaranya madrasah-madrasah Ma’arif yang dimiliki oleh ormas NU; kedua,

sekolah Islam yaitu dengan kurikulum Diknas, kemudian diberikan muatan tambahan pelajaran-pelajaran agama Islam, hal ini pada umumnya dilakukan oleh

sekolah-sekolah berbasis ormas Muhammadiyah; ketiga, adalah model pendidikan

Islam pesantren, yang merupakan swasta penuh dengan kurikulum yang dibuat sendiri oleh para kyai pemilik dan pengelola pesantren, yang juga merupakan pendidikan Islam tradisional tertua di Indonesia, beberapa cendekiawan menyebutnya sebagai indigenous asli Indonesia yang tidak ada padanannya di dunia Islam yang lain. Pada perkembangannya pesantren secara umum memiliki dua variasi yaitu pesantren modern dan pesantren tradisional.

153 H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hal. 34

Pasca reformasi model-model tersebut berkembang dengan pesat, yang tadinya

kalau boleh dikatakan bahwa pendidikan Islam dikelola oleh warga Nahdhiyyin

(NU) dan Muhammadiyah dengan model madrasah, sekolah, dan pesantren. Selanjutnya, berbagai ormas Islam turut membuka pendidikan Islam yang tentu sesuai dengan visi, misi, dan idiologi dari ormas tersebut.

Diungkapkan oleh Subhan dalam Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20, beberapa varian dari model pendidikan tersebut adalah: (1) Madrasah; Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah (Madrasah Aliyah pun dibagi dalam dua model Madrasah Aliyah Keagamaan dan Madrasah Aliyah Keterampilan); (2) Madrasah Diniyah; Madrasah Diniyah Awaliyah, Madrasaha Diniyah Wustha, dan Madrasah Diniyah Ulya. (3) Pesantren Salafiyah, (4)

Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI)154, (5) Sekolah Islam; Sekolah Dasar

Islam, Sekolah Menengah Pertama Islam, dan Sekolah Menengah Atas Islam.155

Dalam model yang ke-lima yaitu sekolah Islam saat ini banyak dikelola oleh berbagai ormas Islam dengan segala variasinya. Seperti sekolah yang berinisial “Islam terpadu” yaitu sekolah yang cenderung dimaknai bercorak skriptualis.156 Penulis juga melakukan penelitian berdasarkan data dari kemenag tentang perkembangan dinamika perkembangan jumlah pesantren 2007-2008 hingga 2011- 2012 sebagai berikut:

NO TAHUN JUMLAH PESANTREN SELISIH PROSENTASE

PROSENTASE

KENAIKAN

154 Model kurikulum pendidikan Islam yang memadukan antara kurikulum agama dan umum

dengan kejuruan pendidikan. Pada umumnya pesantren dengan varian ini dikenal dengan pesantren modern atau pondok modern. Contoh pesantren dengan model ini adalah: Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo dan berbagai cabangnya.

155 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta, Kencana, 2012), hal. 318

Dalam dokumen MANAJEMEN STRATEGI humas pemkab sragen (Halaman 197-200)