• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Zakat Dalam Lintasan Sejarah Islam Klasik

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ZAKAT

D. Manajemen Zakat Dalam Lintasan Sejarah Islam Klasik





































Pungutlah zakat dari kekayaan mereka untuk membersihkan dan mensucikan mereka dengannya dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu mendatangkan ketentraman“. (S.9 ; At Taubah : 103)

D. Manajemen Zakat dalam Lintasan Sejarah Islam Klasik 1. Di Masa Rasulullah SAW

Pada masa awal Islam, yakni pada masa Rasulullah SAW35dan para sahabat, prinsip prinsip Islam telah dilaksanakan secara demonstratif, terutama dalam hal zakat yang merupakan rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Secara nyata, zakat telah menghasilkan perubahan ekonomi yang menyeluruh dalam masyarakat Muslim. Hal itu sebagai akibat pembangunan kembali masyarakat yang didasarkan pada perintah Allah, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Jadi masyarakat dibimbing menuju kehidupan cinta kasih, persaudaraan dan altruisme.

Pada saat itu telah lahir generasi tanpa tandingan tidak hanya dalam sejarah Islam, namun juga dalam sejarah umat manusia. Rasulullah SAW mendidik generasi tiada taranya ini melalui tangannya di satu sisi, dan di sisi lain menanamkan dalam hati dan pikiran mereka ketaatan kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW juga mendidik mereka agara terbebas dari dominasi dan perbudakan oleh milik pribadi.

35

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, Yogyakarta : Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI) – STIS Yogyakarta, cet-1, 2003, h. 174-175

Sehingga, mereka punya keinginan yang kuat dan mulia untuk gemar bekerja dan memperoleh keuntungan.

Keberhasilan Rasulullah SAW dalam mendidik masyarakat muslim tak lepas dari suri tauladan beliau yang hidup berdasarkan prinsip-prinsip yang dibawanya dan berakhlak luhur dalam menjalankan aturan-aturannya, baik ketika sendiri maupun di depan umum. Kehidupan Rasulullah begitu sederhana dalam urusan makan dan minuman. Beliau hidup seperti layaknya orang miskin.36

Pada tahun kedua setelah Hijrah, sadaqah fitrah diwajibkan. Sadaqah ini diwajibkan setiap bulan Ramadanan. Semua zakat adalah sadaqah, sedangkan sadaqah wajib disebut zakat. Zakat mulai diwajibkan pembayarannya pada tahun kesembilan Hijrah.37

Zakat dan ushr38 merupakan pendapatan yang paling utama bagi negara pada masa Rasulullah hidup. Zakat dan ushr merupakan kewajiban agama dan termasuk salah satu pilar Islam. Pengeluaran untuk keduanya telah diatur dalam Alquran, sehingga pengeluaran untuk zakat tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran umum negara. Pada masa Rasulullah, zakat dikenakan pada hal-hal berikut:

36

Muhammad, Zakat Profesi : Wacana Pemikran Zakat Dalam Fiqih Kontemporer, Edisi I, Jakarta : Salemba Diniyah,2002, h. 34

37

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 177

38

Yaitu Bea Impor yang dikenakan Pada Semua Pedagang, dibayarkan Hanya Sekali Dalam Setahun Hanya Berlaku Pada Barang Yang Nilainya Lebih Dari 200 Dirham (M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 178)

a. Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, ornamen atau dalam bentuk lainnya.

b. Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornamen tau dalam bentuk lainnya.

c. Binatang ternak: unta, sapi, domba, kambing.

d. Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan. e. Hasil pertanian termasuk buah-buahan.

f. Luqta, harta benda yang ditinggalkan musuh. g. Barang temuan.39

Pencatatan seluruh penerimaan negara pada masa Rasulullah tidak ada karena beberapa alasan, yaitu:

a. Jumlah orang Islam yang bisa membaca sedikit dan jumlah orang yang dapat menulis atau yang mengenal aritmatika sederhana lebih sedikit lagi. b. Sebagian besar bukti pembayaran dibuat dalam bentuk yang sederhana

baik yang didistribusikan maupun yang diterima.

c. Sebagian besar dari zakat hanya didistribusikan secara lokal.

d. Bukti-bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.

e. Pada kebanyakan kasus, Ghanimah digunakan dan didistribusikan setelah terjadi peperangan tertentu.

39

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 180-181

f. Catatan mengenai pengeluaran secara rinci pada masa hidup Rasulullah juga tidak tersedia, tetapi tidak bisa diambil kesimpulan bahwa sistem keuangan yang ada tidak dijalankan sebagaimana mestinya atau membingungkan. Dalam kebanyakan kasus pencatatannya diserahkan pada pengumpul zakat dan setiap orang pada umumnya terlatih dalam masalah pengumpulan zakat. Setiap perhitungan yang ada disimpan dan diperiksa sendiri oleh Rasulullah dan setiap hadiah yang diterima para pengumpul zakat akan disita (seperti yang terjadi pada kasus al-Lutbiga, pengumpul zakat dari Bani Sulaim), dan Rasulullah pun akan memberi nasihat terhadap hal ini. Rasulullah sangat menaruh perhatian terhadap zakat terutama zakat unta.40

Rasulullah adalah kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara di abad ketujuh, yaitu semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan negara. Hasil pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milik individu. Tempat pengumpulan ini disebut baitul maal atau bendahara negara. Semasa Rasulullah masih hidup, Masjid Nabawi digunakan kantor pusat negara sekaligus menjadi tempat tinggalnya dan baitul maal.41

40

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 181

41

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 180-182

Diungkapkan oleh Ibrahim, bahwa citra baik mengenai pengumpulan zakat semasa kehidupan Rasulullah dilakukan dengan cara mengumpulkan zakat perorangan dan membentuk panitia pengumpulan zakat. Rasulullah juga memerintahkan kepada mereka (para pejabat) bagaimana berperilaku dan mempermudah urusan masyarakat. Banyak diceritakan dalam haditsnya agar para pengelola zakat bekerja dengan baik dan tidak serakah hanya mengutamakan kepentingan diri dengan melupakan kepentingan fakir miskin.42

Pada masa Rasulullah, pendapatan baitul maal (selain hewan) disimpan di Masjid Nabawi, tetapi pada saat itu tidak ada uang tunai yang tersisa. Berapapun uang yang masuk, langsung didistribusikan pada saat itu juga termasuk ketika baitul maal

menerima uang sebesar 80.000 dirham dari Bahrain.43

Qardhawi membagi perkembangan zakat pada masa awal Islam ke dalam dua periode, yaitu periode Makkah dan Madinah. Dikemukakan olehnya, bahwa bentuk zakat pada periode Makkah adalah zakat tak terikat (bisa dikatakan infaq), karena tidak ada ketentuan batas dan besarnya zakat yang dikeluarkan, tetapi diserakan saja kepada rasa iman, kemurahan hati dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain sesama orang-orang yang beriman. Adapun pada periode Madinah, sudah ada penegasan bahwa zakat itu wajib dan dijelaskan beberapa hukumnya. Karena, perhatian Islam pada periode Makkah adalah penanggulangan problem kemiskinan.

42

Muhammad, Zakat Profesi : Wacana Pemikran Zakat Dalam Fiqih Kontemporer, h. 34

43

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 180-185

2. Di Masa Sahabat (Khulafa‟ur Rasyidin)

a. Masa Pemerintahan Abu Bakar ash-Shiddiq

Setelah Rasulullah SAW wafat, khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq44diberkahi dengan wawasan mendalam tentang dasar-dasar dan hukum-hukum Islam. Beliau menanamkan kepada umat Islam agar tidak membedakan antara shalat dan zakat, yakni orang yang shalat tetapi tidak berzakat karena zakat merupakan hak Allah atas harta. Penerapan hukuman mati bagi orang-orang yang menolak membayar zakat di negara merupakan hasil pemikiran beliau. Karena, sepeninggal Rasulullah, banyak umat Islam yang menjadi kafir dengan menyatakan akan melaksanakan shalat tapi tidak menunaikan zakat. Kemudian kelompok ini diperangi agar kembali mau mengeluarkan zakat.

Disebutkan oleh Ibrahim, bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq mengikuti petunjuk Rasulullah SAW berkenaan dengan sistem pembagian zakat di antara orang-orang muslim yang berhak menerimanya. Ia biasanya membagikan semua jenis harta kekayaan secara merata tanpa memperhatikan status masyarakat (Muhajirin dan Anshar). Sebagai tempat penampungan harta zakat, Khalifah memiliki sebuah baitul maal di kampung al Sunh, yang ditinggal begitu saja tanpa penjagaan, karena semua harta zakat selalu tersalurkan kepada orang yang berhak menerimanya tanpa sisa

44

Sebelum Menjadi Khalifah, Abu Bakar Tinggal di Sikh yang Terletak di Pinggir Kota Madinah tempat Baitul Maal dibangun. Abu Ubaidah ditunjuk sebagai penanggung jawab Baitul Maal.Setelah 6 bulan Abu Bakar Pindah ke Madinah dan Bersamaan Dengan Itu Sebuah Rumah dibangun Untuk Baitul Maal.( M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 183)

sedikitpun. Ketika beliau pindah dari al-Sunh ke Madinah, harta itu juga dibawa ke Madinah dan disimpan dalam rumahnya.45

Abu Bakar ash-Shiddiq sangat memperhatikan keakuratan penghitungan zakat. Seperti yang ia katakan kepada Anas (seorang Amil), bahwa „„jika seorang yang harus membayar satu unta betina berumur setahun sedangkan dia tidak memilikinya dan ia menawarkan untuk memberikan seekor unta betina yang berumur dua tahun, hal tersebut dapat diterima. Kolektor zakat akan mengembalikan 20 dirham atau dua kambing padanya, (sebagai kelebihan pembayarannya).‟‟46

b. Masa Pemerintahan Umar bin al-Khattab

Umar bin al-Khattab, khalifah kedua, mengikuti langkah Rasulullah SAW dan khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq, mengenai keuangan, zakat dan sedekah dan kebijakan-kebijakan administrasi. Ia hidup sangat sederhana baik dalam hal makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Bahkan ia cenderung hidup seperti layaknya orang miskin ketimbang menjadi khalifah.

Kebijakan Umar banyak diceritakan dalam haditsnya, bahwa zakat yang diberikan haruslah harta yang bernilai sedang, bukan yang terbaik ataupun yang terburuk. Bila

45

Muhammad, Zakat Profesi : Wacana Pemikran Zakat Dalam Fiqih Kontemporer, h. 35

46

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 180-184

para pengumpul zakat yang diutusnya berlaku kurang adil, Umar sendiri yang turun tangan untuk memberikan hak kepada yang membutuhkannya.47

Kontribusi Umar yang paling besar dalam menjalankan roda pemerintahan adalah dibentuknya perangkat administrasi yang baik. Ia mendirikan institusi administratif yang hampir tidak mungkin dilakukan pada abad ketujuh sesudah masehi. Pada tahun 16 H, Abu Hurairah, Amil Bahrain, mengunjungi Madinah dan membawa 500.000 dirham kharaj.48

Jumlah ini merupakan jumlah yang besar sehingga Khalifah mengadakan pertemuan dengan Majelis Syura untuk membicarakan masalah tersebut dan kemudian diputuskan bersama bahwa jumlah tersebut tidak untuk didistribusikan, melainkan untuk disimpan sebagai cadangan darurat, membiayai angkatan perang, dan kebutuhan lain untuk ummah. Untuk menyimpan dana tersebut, maka baitul maal

reguler dan permanen didirikan untuk pertama kalinya di ibukota, kemudian dibangun cabang-cabangnya di ibukota Propinsi. Abdullah bin Irqam (salah seorang yang selama hidupnya Nabi menyimpan data mengenai suku-suku dan sumber airnya serta keluarga Anshar) ditunjuk sebagai pengurus baitul maal (sama dengan menteri keuangan) bersama dengan Abdur Rahman bin Ubaid Al-Qari serta Muayqab sebagai asistennya. Setelah menaklukkan Syria, Sawad dan Mesir, penghasilan baitul maal

meningkat (kharaj dari Sawad mencapai seratus juta dinar dan dari Mesir dua juta dinar).

47

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 180-184

48

Yaitu Pajak Tanah dipungut Dari Non Muslim Ketika Khaibar Ditaklukan ( M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 178)

Baitul maal secara tidak langsung bertugas sebagai pelaksana kebijakan fiskal Negara Islam dan Khalifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut, tetapi Khalifah tidak diperbolehkan menggunakan dana tersebut untuk pengeluaran pribadi.

Properti baitul maal dianggap sebagai „„harta kaum Muslim‟‟ sedangkan Khalifah dan

amil-amil-nya hanyalah pemegang kepercayaan. Jadi, merupakan tanggung jawab negara untuk menyediakan tunjangan yang berkesinambungan untuk janda, anak yatim, anak terlantar, membiayai penguburan orang miskin, membayar utang orang-orang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu dan untuk memberikan pinjaman tanpa bunga untuk urusan komersial.49

Pendapatan yang diterima di baitul maal terbagi dalam empat bagian, sebagai berikut: 1) Pendapatan yang diperoleh dari zakat dan ushr yang dikenakan

terhadap kaum Muslimin.

2) Pendapatan yang diperoleh dari khumus50dan sadaqah.

3) Pendapatan yang diperoleh dari kharaj, fai‟, jizya51,ushr dan sewa tetap tahunan tanah-tanah yang diberikan.

49

M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 186-188

50

Ialah seperlima harta rampasan perang adalah untuk Allah dan Rasulnya dan untuk kerabat Rasul, anak yatim, orang yang membutuhkan dan orang yang dalam perjalanan (M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 176)

51

Pajak yang dibayarkan oleh Non-Muslim Untuk Perlindungan Jiwa (M. Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf : Relevansinyadengan Ekonomi Kekinian, h. 178)

4) Berbagai macam pendapatan yang diterima dari semua macam sumber.

Dengan pengelolaan zakat yang profesional, Umar bin Khattab dapat memberikan tunjangan kepada seluruh rakyat. Pembagian tunjangan dibagi sebagai berikut. Hazarat Aisyah dan paman Nabi Abbas masing-masing 12.000 dirham (mata uang perak). Istri istri Nabi selain Aisyah masing-masing 10.000 dirham. Hazarat Ali, Hasan, Husain, dan pejuang Badar masing-masing 5.000 dirham, bekas pejuang Uhud dan migran ke Abyssinia masing-masing 4.000 dirham. Muhajirin dan Muhajirat sebelum kemenangan Makkah masing-masing 3.000 dirham, dan putra-putra pejuang masing-masing 2.000 dirham. Orang-orang Makkah (bukan Muhajirin) diberi tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar (mata uang emas), muslim di Yaman, Syria, dan Irak 200-300 dirham. Anak yang baru lahir dan yang diakui masing-masing 100 dirham. Sedangkan pensiunan muslim ditambah, gandum, minyak, madu, dan cuka dalam jumlah tetap, kuantitas dan jenis barang berbeda di setiap daerah. Tunjangan ini berlaku sampai masa Abbasiah.52

c. Masa Pemerintahan Utsman bin Affan

Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, pengumpulan zakat tidak lagi dipusatkan pada khalifah. Karena, orang-orang sudah memiliki pandangan yang berbeda dalam menyerahkan zakat, ada yang langsung kepada orang miskin dan ada pula yang menyerahkannya kepada para utusan Utsman. Di samping itu, daerah kekuasaan

52

Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta : PT Pustaka Pelajar, cet-I,2001, h.47-48

Islam sudah sangat luas sehingga pengaturan zakat ditangani oleh gubernur daerah masing-masing.

Utsman membolehkan pembayaran zakat dengan barang-barang yang tidak nyata seperti uang, emas, dan perak untuk langsung diberikan kepada yang membutuhkan. Sementara untuk barang yang nyata seperti hasil pertanian, buah-buahan dan ternak dibayarkan melalui baitul maal, dan yang bertanggung jawab untuk sistem pembagiannya adalah Zaid bin Tsabit. Jadi, Utsman tidak hanya mengikuti langkah dua khalifah pendahulunya, tetapi juga mampu meningkatkan pendanaan dan menghormati perintah Umar r.a.53

d. Masa Pemerintahan Ali bin Abi Thalib

Setelah wafatnya Utsman, Ali bin Thalib diakui sebagai khalifah terakhir. Walaupun pemerintahannya ditandai dengan kekacauan politik, namun hal ini tidak menghalanginya untuk mengatur sistem kolektif dalam pengumpulan dan pembagian. Dengan kecerdasannya Ali r.a. mempunyai sudut pandang lain dalam menetapkan persamaan jumlah dalam pembagian harta kekayaan. Dia menolak untuk membedakan status masyarakat di dalam pembagian harta dari baitul maal.54

Dokumen terkait