• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai tinjauan hukum terhadap perjanjian jual beli kapal berbendera asing di Indonesia khususnya yang dilaksanakan di Batam dapat membantu praktisi hukum khususnya Notaris, pelaku transaksi dapat mengetahui tatacara pelaksanaan perjanjian jual beli kapal berbendera asing dan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak sebelum penandatanganan kontrak perjanjian jual beli dan apa saja yang harus di tuangkan didalam suatu akta kontrak perjanjian jual beli khususnya mengenai transaksi kapal asing tersebut.

2. Secara Praktis

Pembahasan tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi kalangan praktisi hukum, pengusaha nasional dalam kaitannya dengan transaksi perjanjian jual beli kapal berbendera asing.

24 E. Keaslian Penelitian

Penulisan ini berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli Kapal Berbendera Asing di Batam” yang diajukan ini adalah dalam rangka memenuhi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk memperoleh gelar Magister Konoktariatan.

Penulisan tesis ini mengenai tinjauan yuridis terhadap Jual Beli Kapal Berbendera Asing belum pernah dibahas dan diangkat dalam tesis. Akan tetapi apabila ada kesamaan dengan milik orang lain, bukanlah suatu kesengajaan dan pastilah memiliki isi, permasalahan, riset yang berbeda pula. Dengan demikian penulisan tesis ini, tidak sama dengan penulisan tesis yang pernah ada, karena tesis ini dibuat sendiri dengan menggunakan literatur-literatur, sehingga tesis ini masih asli dan dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah sarana yang ringkas untuk berpikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.12

Pembahasan tentang hubungan kontraktual para pihak pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan masalah keadilan.

12 HR. Otje Salman S dan Anton F Sutanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal 22

25

Kontrak sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak lain menurut bentuk pertukaran kepentingan yang adil. Oleh karena itu, sangat tepat dan mendasar apabila dalam melakukan analisis tentang azas proporsionalitas dalam kontrak justru dimulai dari aspek filosofis keadilan berkontrak. 13

Menurut L.J. Van Apeldoorn, bahwa keadilan itu memperlakukan sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan tidak sama sebanding dengan ketidaksamaannya.14

Sehubungan dengan hakekat keadilan dalam kontrak , beberapa sarjana mengajukan pemikirannya tentang keadilan yang berbasis kontrak, antara lain John Locke, Rosseau, Immanuael Kant, serta John Rawls. Para pemikir tersebut menyadari bahwa tanpa kontrak serta hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, maka masyarakat bisnis tidak akan berjalan. Oleh karena itu tanpa adanya kontrak orang tidak akan bersedia terikat dan bergantung pada pernyataan pihak lain. Kontrak memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing individu akan memenuhi janjinya, dan selanjutnya hal ini memungkinkan terjadinya transaksi diantara mereka. 15

Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pacaran dari hak asasi manusia yang perberkembangannya dilandasi oleh

13 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionallitas Dalam Kontrak Komersil, Kencana, Jakarta, 2010, hal 47

14 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Ketakan XXX, Pradya Paramita, Jakarta, 2004, hal 11

15 Agus Yudha Hernoko, Ibid, hal 52

26

semangat liberalisme yang mengagungkan kekebasan individu.16 Menurut paham indivudualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki yang di dalam perjanjian diwujudkan di dalam asas kebebasan berkontrak.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif, dan oleh karena itu kerangka teori yang diarahkan secara khas oleh ilmu hukum, dimana penelitian ini berusaha untuk memahami ketentuan yang mengatur serta masalah yang timbul dari perjanjian jual beli kapal asing yang dilakukan di Batam.

Kerangka teori itu akan digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini yaitu mengenai Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Jual Beli Kapal Berbendera Asing di Batam. Dalam hal ini teori yang digunakan adalah Teori Keadilan, hal ini dipergunakan untuk memperoleh kepastian hukum terhadap para pihak dalam perjanjian jual beli kapal yang dalam prosesnya dibebankan kewajiban-kewajiban bagi para pihak.

Asas yang dianut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dalam membuat suatu perjanjian, yaitu:

a. Asas Konsensualisme yaitu bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain, kecuali perjanjian itu bersifat formil. Ini berarti bahwa perjanjian itu telah dianggap ada dan mempunyai akibat hukum yang mengikat sejak tercapainya kata sepakat.

b. Asas Kekuatan Mengikat (asas Pacta Sunt Servanda) merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan keterikatan suatu perjanjian oleh para

16 Agus Yudha Hernoko, Op cit, hal 109

27

pihak. Jadi, setiap perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak akan mengikat bagi mereka yang membuatnya.

c. Asas Kebebasan Berkontrak (Partij Autonomie) Asas ini mengandung beberapa unsur, yaitu:

1. seseorang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, 2. seseorang bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun juga,

3. isi, syarat, dan luasnya perjanjian bebas ditentukan sendiri oleh para pihak.

Asas kebebasan berkontrak yang dianut dalam Pasal 1338 alinea ke satu KUHPerdata para pihak yang sepakat melakukan perjanjian dianggap mempunyai kedudukan yang seimbang serta berada dalam situasi dan kondisi yang bebas menentukan kehendaknya untuk melakukan perjanjian. Pasal 1338 alinea ke satu tersebut seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.17

Asas kebebasan berkontrak juga ditegaskan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang mana menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu dibuat harus bersifat bebas.

Kesepakatan tidaklah sah apabila diberikan berdasarkan kekhilafan, atau diperolehnya dengan penipuan atau paksaan.

Ketentuan mengenai klausula kontrak merupakan konsekuensi dari upaya kebijakan untuk memposisikan para pihak supaya dalam kondisi yang seimbang,

17 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 34.

28

yakni terdapatnya suatu hubungan kontraktual antara penjual dan pembeli dalam prinsip kebebasan berkontrak.“Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian.”18 Para pihak diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang diadakannya.

Kebebasan berkontrak adalah bila para pihak dikala melakukan perjanjian berada dalam situasi dan kondisi yang bebas menentukan kehendaknya dalam konsep atau rumusan perjanjian yang disepakati. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan.

Ada 2 (dua) prinsip hukum yang harus diperhatikan dalam mempersiapkan suatu perjanjian atau kontrak, yaitu:

a. Beginselen der contractsvrijheid atau partij autonomie b. Pacta sunt servanda

Beginselen der contractsvrijheid atau partij autonomie, yaitu para pihak bebas untuk memperjanjikan apa yang mereka inginkan dengan syarat tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Sedangkan pacta sunt servanda berarti bahwa “setiap janji harus ditepati (ini berarti mengikat)”.19

18 Subekti (1), Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, 2005, hal. 13.

19 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Aneka Ilmu, Semarang, 1977, hal.648.

29

Asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, menentukan bentuk kontrak, memilih hukum yang berlaku bagi kontrak yang bersangkutan. “Jika asas konsensualisme berkaitan dengan lahirnya kontrak, asas kekuatan mengikatnya kontrak berkaitan dengan akibat hukum, maka asas kebebasan berkontrak berkaitan dengan isi kontrak.”20

Subekti, sebagaimana dikutip oleh Felix O. Subagjo memberikan pendapat mengenai kebebasan berkontrak sebagai:

“Tuntutan akan adanya sungguh-sungguh suatu perjumpaan kehendak, memang tidak dapat dipertahankan lagi dalam zaman moderen ini. Pernyataan yang menjadi dasar sepakat adalah pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya. Adanya perjumpaan kehendak (consensus) sudah tepat jika diukur dengan pernyataan yang bertimbal balik yang telah dikeluarkan. Hakim dapat mengkonstruksikan adanya sepakat dari perjanjian dengan adanya pernyataan bertimbal balik” 21

Pendapat yang sama juga diberikan Rutten terhadap asas kebebasan berkontrak, sebagaimana dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad,. Dalam asas kebebasan berkontrak setiap orang bebas untuk:

a. Mengadakan perjanjian atau tidak mengadakan perjanjian;

b. Memilih mengadakan perjanjian dengan siapapun;

c. Menentukan isi, syarat-syarat, dan bentuk perjanjian yang dibuat;

20 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 29.

21 Felix O. Subagjo, Perkembangan Asas-asas Hukum Kontrak dalam Praktek Bisnis, Badan Pembinaan

Hukum Nasional, Jakarta 1994, hal. 57.

30

d. Menentukan ketentuan hukum mana yang berlaku bagi perjanjian yang dibuatnya.”22

Hasanudin Rahman juga mengemukakan, adapun ruang lingkup dari asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi:

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuat;

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian;

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional.23

PS. Atiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan Khairandy menyatakan bahwa kontrak didasarkan pada kehendak bebas para pihak dalam berkontrak, tidak hanya bagi terciptanya kontrak, tetapi juga definisi dan validitas isi kontraknya.

Kebebasan berkontrak menolak kebiasaan yang mengatur isi kontrak, dan juga menolak ajaran bahwa “an objectively just price exist for any objects susceptible to exchange.”

Menurut Sutan Remi Sjahdeini yang dikutip oleh Agus Yudha Hernoko, asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut :

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat

23 Hasanudin Rahman, Legal Drafting, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 11

31

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuat.

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian.

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).24

Di dalam Pasal 1338 alinea ke tiga KUHPerdata, hakim diberi kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, agar pelaksanaan perjanjan yang dibuat sesuai dengan itikad baik dan agar jangan sampai perjanjian itu melanggar

“kepatutan dan keadilan”. Ini berarti hakim berkuasa menindak penyimpangan dari isi perjanjian, manakala pelaksanaan perjanjian menurut klausula yang dicantumkan oleh para pihak bertentangan dengan itikad baik sebagai suatu tuntutan keadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa :

suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Dalam lingkup KUHPerdata, contoh implementasi prinsip equity tampak jelas dalam dalam rumusan pasal 1339 KUHPerdata berbunyi :

Perjanjian –perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut

24 Agus Yudha Hernoko,Op cit hal 110-111.

32

sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan (billijkheid), kebiasaan, atau undang-undang.25

Substansi Pasal 1339 KUHPerdata ini mengarisbawahi pentingnya kepatutan (equity, billijkeheid) dalam kaitannya dengan keterikatan kontraktual para pihak, disamping apa yang telah disepakati dalam kontrak. Pasal 1339 KUHPerdata tersebut, khusus yang berhubungan dengan kepatutan pada umumnya selalu dihubungkan dengan pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata bahwa

“Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikat baik”.

Dalam memutuskan suatu sengketa yang berhubungan dengan kontrak Hakim semestinya harus memperhatikan terlebih dahulu apa yang diperjanjikan oleh para pihak yang berkontrak, baru kemudian jika sesuatu hal tidak diatur dalam surat perjanjian dan dalam undang-undang tidak terdapat suatu ketetapan mengenai hal itu.26 Untuk itu disini hakim harus menyelidiki bagaimanakah biasanya hal yang semacam itu diaturnya di dalam praktek. Jika ini juga tidak diketahuinya, karena mungkin hal itu belum banyak terjadi, hakim harus menetapkannya menurut perasaan keadilan.

Perjanjian itu menimbulkan suatu perikatan antara orang yang membuatnya.

Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dorongan pembatasan

25 Lihat Pasal 1339, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

26 Subekti (2), Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal 140.

33

kebebasan berkontrak ini tampil kepermukaan guna lebih menyediakan ruang dan peluang yang lebih besar pada pengertian-pengertian keadilan, kebenaran, kesusilaan, serta ketertiban umum. Hal ini terjadi karena perjanjian merupakan dasar dari banyak kegiatan bisnis dan hampir semua kegiatan bisnis diawali dengan adanya perjanjian atau kontrak, meskipun dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun.27

Perjanjian yang memuat klausula eksonerasi muncul seiring dengan perkembangan asas kebebasan berkontrak. Klausula eksonerasi ini tidak hanya terdapat dalam perjanjian baku atau kontrak standar tetapi juga dalam perjanjian kerjasama yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Sebelum masuknya konsep welfare state, asas kebebasan berkontrak yang muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang dipelopori Adam Smith, mengagungkan laissez faire (persaingan bebas).”28 Antara paham ekonomi klasik dan dan persaingan bebas saling mendukung dan berakar pada paham hukum alam. Kedua paham tersebut melihat individu mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya, disebabkan karena manusia sebagai individu mempergunakan akalnya.

Menurut hukum alam individu-individu diberi kebebasan untuk menetapkan langkahnya dengan sekuat akal dan tenaganya untuk mencapai kesejahteraan yang optimal. Berhasilnya individu mencapai kesejahteraan maka masyarakat yang merupakan kumpulan dari individu-individu tersebut akan menjadi sejahtera pula,

27 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 9.

28 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 190

34

oleh karena itu untuk mencapai kesejahteraannya individu harus mempunyai kebebasan bersaing dan negara tidak boleh ikut campur tangan. “Seiring dengan asas laissez faire tersebut, freedom of contract merupakan pula prinsip umum dalam mendukung berlangsungnya persaingan bebas tersebut.”29

2. Konsepsi

Para ahli memberikan pengertian mengenai klausula eksonerasi ini sebagai berikut:

Sebagaimana yang dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman, Rijken mengatakan bahwa: “klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum”.30

Sutan Remi Sjahdeini mengartikan klausula eksonerasi dengan “klausul eksemsi”, yang dikatakan sebagai klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak tehadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.

Az. Nasution mengatakan klausula eksonerasi sebagai syarat-syarat yang membebaskan seseorang tertentu dari beban tanggungjawab karena terjadinya sesuatu

29 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalamPerjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Banking Indonesia, Jakarta 1993, hal. 8.

30 Mariam Darus Badrulzaman (3), Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal. 47.

35

akibat perbuatan. Dengan kata lain, dibebaskannya seseorang tertentu dari suatu beban tanggungjawab.

Pasal 1313 KUHPerdata memberikan rumusan kontrak atau perjanjian adalah

“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.31

Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:

a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

b. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa konsensus. Sebaiknya dipakai kata

“persetujuan”, bukan “perbuatan”, karena konsensus berarti sepakat atau setuju. Suatu perjanjian dinamakan persetujuan di mana dua pihak sudah setuju atau sepakat mengenai suatu hal.

c. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga kelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan dalam lapangan hukum kekayaan. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUH Perdata hanyalan perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian personal.

d. Tanpa menyebutkan tujuan. Dalam rumusan pengertian tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak itu tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.”32

Atas dasar alasan-alasan diatas, Abdul Kadir Muhammad merumuskan pengertian perjanjian yaitu: suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk hal dalam lapangan kekayaan.

31 Lihat pasal 1313 KUHPerdata

32 Abdul Kadir Muhammad, Op. cit., hal. 12

36

Menurut Wirjono Prodjodikoro, “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai benda kekayaan antara dua pihak, dalam hal mana saja satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian itu.”33 Subekti menyatakan “perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan suatu hal.

Menurut pendapat R. Setiawan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”34

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang terdapat dari literature buku-buku maupun ilmu teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secaraa sistematika, metodologis, dan konsisten. Metode yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.35

1. Sifat dan Jenis Penelitian a. Sifat Penelitian

33 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1983, hal. 5.

34 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 49.

35 Soejono Soekanto dan Sri Mulyani, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal 7

37

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis.

Dikatakan bersifat deskriptif karena dalam penelitian ini diharapkan memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap, dan sistematis mengenai bentuk-bentuk dan pelaksanaan klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian jual beli kapal berbendera asing di Batam

Bersifat analitis maksudnya bahwa penelitian ini tidak hanya memaparkan apa yang telah diteliti, akan tetapi juga dianalisis terhadap aspek hukum dari penggunaan klausula eksonerasi tersebut.

b. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang diterapkan adalah memakai metode pendekatan yuridis normatif untuk mengkaji peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perjanjian jual beli kapal asing di Batam, sehingga diketahui apakah kontrak jual beli di antara pihak telah memenuhi ketentuan hukum yang berlaku sesuai dengan ketentuan Hukum Perdata Internasional Indonesia dan ketentuan Hukum Perdata Internasional yang dianut oleh negara Internasional secara umumnya.

Maka dari itu dengan dilakukannya penelusuran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan serta konvensi-konvensi internsional yang berkaitan dengan jual beli antar negara dapat diketahui kebenaran dalam pelaksanaannya baik secara teori maupun praktek.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Pengamatan atau Observasi, yaitu dengan mengamati peristiwa.

38

Observasi atau pengamatan yang dilakukan berupa observasi sistematis yang terikat pada syarat-syarat sebagaimana yang disebutkan Claire Selltiz sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, yaitu:

1. Pengamatan didasarkan pada suatu kerangka konsepsional dan teoritis.

2. Dilakukan secara sistematis, metodologis, dan konsisten.

3. Dilakukannya pencatatan data dari pengamatan.

4. Dapat diuji kebenarannya.”36

b. Melakukan wawancara dengan pihak pihak yang terkait dalam hal ini adalah pihak yang membuat perjanjian jual beli yaitu Notaris, Syahbandar dan Kantor Pelayanan Pajak.

c. Dalam pengumpulan data ini merupakan landasan utama penyusunan tesis, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) dan penulis membaca literatur berupa Perundang-undangan dan sumber lain yang berhubungan dengan perjanjian jual beli.

3. Sumber Data

Penulisan tesis ini memerlukan data primer maupun data sekunder, dengan melakukan penelitian sebagai berikut :

a. Penelitian Lapangan (field research)

36 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI) Press, Jakarta, hal. 206

39

Penelitian lapangan ini bertujuan untuk memperoleh data primer yang langsung diperoleh di lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan penulisan tesis ini seperti Notaris, Syahbandar, Kantor Pajak. Dalam penelitian ini akan diwawancara langsung notaris, Kepala Syahbandar dan Kepala Bagian Pelayanan Pajak di Batam.

b. Penelitian Kepustakaan (library research)

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti, dilakukan terhadap:

1. Bahan hukum primer, yaitu: bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, berupa peraturan perundang-undangan, diantaranya:

a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), b. Kitab Undang Undang Hukum Dagang

c. Konvensi-konvensi Internasional tentang jual beli kemaritiman d. Putusan-putusan Mahkamah Internasional

e. Perarturan Perundang-Undangan seperti : Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah momor 51 tahun 2002, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai Serta Pengawasan Atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Serta Berada di Kawasan Yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2008 tangga 7 Mei 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Peraturan

40

Menteri Perhubungan Nomor : KM. 26 Tahun 2006 tentang Penyederhanaan

Menteri Perhubungan Nomor : KM. 26 Tahun 2006 tentang Penyederhanaan

Dokumen terkait