• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang terkait dengan pengembangan ketahanan pangan disamping bagi penulis sendiri, sebagai berikut:

1. Bagi peneliti, penelitian ini akan menjadi referensi keilmuandan langkah awal untuk mengkaji suatu konsep tentang implementasi kebijakan, dalam hal ini kebijakan ketahan pangan daerah dan implikasinya terhadap masalah Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Kabupaten Takalar.

2. Bagi pemerintah Daerah, penelitian ini dapat menberi input dan kontribusi yang berharga bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar dalam mengevaluasi dan menelaah Kebijakan pengimplementasiaan sebagai upaya meningkatkan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Daerah.

3. Bagi masyarakat, penelitiaan ini akan membuka cakrawala masyarakat luas, khususnya masyarakat Desa tentang kebijakan pengimplementasianpemerintah lebih dalam. Melalui penelitian ini masyarakat menjadi familiar dengan berbagai persoalan yang muncul dalam implementasi kebijakan di Kabupaten Takalar.

7

A. Konsep Hubungan Pemerintah daerah dan Masyarakat

Aksentuasi pelayanan publik adalah pemerintah sebagai pihak penyelenggara dan rakyat sebagai pihak penerima layanan. Dengan demikian, dalam proses pelayanan publik yang perlu diperhatikan adalah kriteria hubungan antara rakyat dengan pemerintah, yakni derajat kesamaan dan saling kebergantungan antara dua pihak pelayanan, konsesus, keseragaman, spesialisasi, dan konsistensi dalam proses pelayanan sehingga akhirnya menghasilkan konformitas, kesesuaian, dan kecermatan pelayanan (Sarlito Napitupulu, 2007).

Oleh karena itu, interaksi antara dimensi peran- rakyat sebagai penerima pelayanan dan pemerintah sebagai pelayan – harus memperhatikan aspek harapan, norma, kinerja, evaluasi, dan sanksi sepanjang proses pelayanan berlangsung.

Defenisi hubungan masyarakat sangat beragam. Hampir setiap buku yang berisi tentang Humas mempunyai defenisi sendiri mengenai apa itu humas.

Thomas (2002) mengungkapkan Hubungan masyarakat sebagai Public relations adalah usaha yang direncanakan secara terus menerus dengan sengaja, guna membangun dan mempertahankan pengertian timbal balik antara organisasi dan masyarakatnya. Pendapat ini menunjukkan bahwa Public relation dianggap sebuah proses atau aktivitas yang bertujuan untuk menjalin komunikasi antara organisasi dan pihak luar organisasi

Maria (2002) mendefenisikan pengertian Hubungan masyarakat sebagai berikut :

Pengertian public relation adalah interaksi dan menciptakan opini publik sebgai input yang menguntungkan untuk kedua belah pihak, dan merupakan profesi dan profesional dalam bidangnya karena merupakan faktor yang sangat penting dalam pencapaian tujuan organisasi dengan secara tepat dan dengan secara terus menerus karena public relation merupakan kelangsungan hidup organisasi yang bersangkutan.

Hal ini didukug oleh pendapat Alma (2002) yang mengatakan bahwa:

“Public relation adalah kegiatan komunikasi yang dimaksud untukmembangun citra yang baikterhadap perusahaan”.

Pengertian Public relation secara umum dan khusus sebagai berikut:

Pengertia Umum, Public relation adalah proses interaksi dimana public relation menciptakan opini publik sebagai input yang menguntungkan kedua belah pihak, dan menanamkan pengertian, menumbuhkan motivasi dan pertisipasi publik, bertujuan menanamkan keinginan baik, kepercayaan saling adanya pengertian, dan citra yang baik dari publiknya. Crystallizing Publik Opinion menyebutkan bahwa Public relation adalah profesi yang mengurusi hungan antara suatu perusahaan dan publiknya yang menentukan hidup perusahaan itu (Widjaja,”

Komunikasi dan Humas”,2001).Pengertian Khusus, Public relation adalah fungsi

khusus manajemen yang membantu membangun dan memelihara komunikasi bersama, pengertian, dukungan, dan kerjasama antara komunikasi dan publik, melibatkan masalah menejemen, membantu manajemen untuk mengetahui dan merespon opini publik, menjelaskan dan menekankan, tanggung jawab menajemen untuk melayani minat publik, membantu manajemen untuk tetap

mengikuti dan memanfaatkan perubahan secara efektif, berguna sebagai sistem peringatan awal untuk membantu mengantisipasi trend, dan menggunakan penelitian dan teknik suara yang layak dalam komunikasi sebagai alat utama (Maria,”Dasar-dasar Public relation teori dan praktik”,2002.)

Jadi Public relation (Humas) adalah usaha yang direncanakan secara berkesinambungan, guna membangun dan mempertahankan pengertian timbal balik antara organisasi dan masyarakatnya. Public relation dianggap sebuah proses atau aktifitas yang betujuan untuk menjalin komunikasi antara organisasi dan pihak luar organisasi dalam rangka menjalin kerjasama yang lebih produktif, untuk memenuhi kepentingan bersama yang lebih efisien, dan dilakukan secara profesional guna membangun citra yang baik.

Bentuk-bentuk, Model dan Sifat Kemitraan/Hubungan

Model-model Kemitraan dikembangkan berdasarkan pengamatan yang dilakukan dalam hubungan kerjasama antar organisasi. Menurut Sulistiyani (2004) terdapat 3 model kemitraan yang mampu menggambarkan hubungan antarorganisasi, yakni :

1) Pseudo partnership, atau Kemitraan Semu

Kemitraan semu adalah merupakan sebuah persekutuan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, namun tidak sesungguhnya melakukan kerjasama secara seimbang satu dengan yang lainnya. Bahkan pada suatu pihak belum tentu memahami secara benar akan makna sebuah persekutuan yang dilakukan, dan untuk tujuan apa itu semua serta disepakati. Ada suatu yang unik dalam kemitraan semacam ini, bahwa kedua belah pihak atau lebih

sama-sama merasa penting untuk melakukan kerjasama, akan tetapi pihak-pihak yang bermitra belum tentu memahami subtansi yang diperjuangkan dan manfaatnya apa.

2) Mutualism partnership, atau Kemitraan mutualistik

Kemitraan mutualistik adalah merupakan persekutuan dua pihak atau lebih yang sama-sama menyadari aspek pentingnya melakukan kemitraan, yaitu untuk saling memberi manfaat dan mendapatkan manfaat lebih, sehingga akan dapat mencapai tujuan secara optimal.

3) Conjugation partnership atau Kemitraan konjugasi

Kemitraan Konjugasi adalah kemitraan yang dianalogikan dari kehidupan “paramecium”. Dua paramecium melakukan konjugasi untuk mendapatkan energi dan kemudian terpisah satu sama lain, dan selanjutnya dapat melakukan pembelaan diri. Bertolak dari analogi tersebut maka organisasi, agen-agen, kelompok-kelompok atau perorangan yang memiliki kelemahan usaha atau mencapai tujuan organisasi dapat melakukan kemitraan dengan model ini. Dua pihak atau lebih dapat melakukan konjugasi dalam rangka meningkatkan kemampuan masing-masing.

B. Konsep Kebijaan Publik

Teori yang akan digunakan sebagai landasan pemikiran adalah teori kebijakan dari Dye. Berbicara tentang persfektif kebijakan publik mengarahkan perhatian kita untuk mengkaji proses pembuatan kebijakan (policy making process) oleh pemerintah (government) atau pemegang kekuasaan dan dampaknya terhadap masyarakat luas. (Esmi Warasih, 2004).

Secara sederhana pengertian kebijakan publik dirumuskan dalam kalimat sebagai berikut:

1. Apa yang dilakukan oleh pemerintah (What goverment do?) 2. Mengapa dilakaukan tindakan itu (why goverment do?)

3. Dan apa terjadi kesenjangan antara apa yang ingin diperbuat dengan kenyataan (What defference it makes?)

Menurut Rose (2008) mendefenisikan kebiajakan publik (publik policies) sebagai rangkaian pilihan yang kurang lebih satu unsur dengan unsur lainnya saling berhubungan termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang di buat oleh badan-badan pejabat pemerintah yang diformulasikan ke dalam isu-isu public dari masalah pertahanan, energi, kesehatan sampai kepada permasalahan pendidikan, kesejahteraan dan kejahatan. Sistem kebijakan publik adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan sekaligus realitas objektif yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang dapat diamati akibat yang ditimbulkannya, setidak-tidaknya menyangkut 3 (tiga) unsur penting yaitu:

1. Pelaku kebijakan 2. Kebijkan publik 3. Lingkungan kebijakan

Ketertiban antara hukum dan kebijakan publik akan semakin relevan pada saat hukum diimplementasikan. Proses implementasi selalu melibatkan lingkungan dan kondisi yang berbeda disetiap tempat, karena memiliki ciri-ciri struktur sosial yang tidak sama. Demikian pula keterlibatan lembaga didalam

proses implementasi selalu akan bekerja didalam konteks sosial tertentu sehingga terjadi hubungan timbal-balik yang dapat saling mempengaruhi. Proses implementasi kebanyakan diserahkan kepada lembaga pemerintah dalam berbagai jenjang/tingkat, baik propinsi maupun tingkat kabupaten. Setiap jenjang pelaksanaan pun masih membutuhkan pembentukan kebijaksanaan lebih lanjut dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan untuk memberikan penjabaran lebih lanjut.

Mengantisipasi hal ini diperlukan langkah-langkah kebijaksanaan meliputi:

1. Menggabungkan rencana tindakan dari suatu program dengan menetapkan tujuan, standard pelaksana, biaya dan waktu yang jelas.

2. Melaksanakan program dengan memobilisasi struktur, staf, biaya, resources, prosedur, dan metode.

3. Membuat jadwal pelaksanaan (time schedule) dan monitoring untuk menjamin bahwa program tersebut berjalan terus sesuai rencana.

C. Pengertian Implementasi Kebijakan

Hakekat dari implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang terencana dan bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan didasarkan pada kebijakan yang telah ditetapkan oleh eksekutif dan legislatif. Sebagaimana rumusan dari Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabartier mengemukakan bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk Undang-Undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.

Lazimnya keputusan itu mengidentifikasikan masalah-masalah yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan proses implementasinya. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan Undang-Undang kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan (instansi) pelaksana, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting terhadap Undang-Undang atau peraturan yang bersangkutan.Berdasarkan pemahaman diatas konklusi dari implementasi jelas mengarah kepada pelaksanaan dari suatu keputusan yang dibuat oleh eksekutif.

Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian masalah tersebut. Dalam konsep implementasi ini harus digaris-bawahi ada kata-kata “rangkaian terstruktur” yang memiliki makna bahwa dalam prosesnya implementasi pasti melibatkan berbagai komponen dan instrumen.“Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain,….” Untuk lebih mudah dalam memahami pengertian implementasi kebijakan Lineberry menspesifikasikan proses implementasi setidak-tidaknya memiliki elemen-elemen sebagai berikut :

1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana 2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana

3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran;

pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas/badan pelaksana 4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan

Salah satu komponen utama yang ditonjolkan oleh Lineberry, yaitu pengambilan kebijakan (policy-making) tidaklah berakhir pada saat kebijakan itu dikemukakan atau diusulkan, tetapi merupakan kontinuitas dari pembuatan kebijakan.

Dengan demikian kebijakan hanyalah merupakan sebuah awal dan belum dapat dijadikan indikator dari keberhasilan pencapaian maksud dan tujuan. Proses yang jauh lebih esensial adalah pada tataran implementasi kebijakan yang ditetapkan. Karena kebijakan tidak lebih dari suatu perkiraan (forecasting) akan masa depan yang masih bersifat semu, abstrak dan konseptual. Namun ketika telah masuk di dalam tahapan implementasi dan terjadi interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi kebijakan, barulah keberhasilan maupun ketidak-berhasilan kebjakan akan diketahui.

Bahkan Udoji dalam Abdul Wahab dengan tegas mengatakan “the execution of policies is as important if not more important that policy-making.

Policies will remain dreams or blue prints file jackets unless they are implemented” (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting dari pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan). Oleh karenanya ditarik suatu kesimpulan bahwa implementasi merupakan unsur yang sangat penting sebagai kontinuitas

dari munculnya suatu kebijakan.Setelah kebijakan diimplementasikan terhadap sekelompok objek kebijakan baik itu masyarakat maupun unit-unit organisasi, maka bermunculanlah dampak-dampak sebagai akibat dari kebijakan yang dimaksud. Islamy mengatakan bahwa “Setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang negatif (unintended)”. Untuk itu tinjauan efektifitas kebijakan, selain pencapaian tujuan harus diupayakan pua untuk meminimalisir ketidakpuasan (dissatisfaction) dari seluruh stakeholder. Dengan demikian deviasi dari kebijakan tidak terlampau jauh dan niscaya akan mencegah terjadinya konflik di masa akan datang.

D. Implementasi Kebijakan Publik

Kebijakan tumbuh hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Kebijakan merupakan sarana menciptakan ketertiban dan ketentraman bagi kedamaian dalam hidup sesama warga masyarakat. Oleh karena itu kebijakan melindungi kepentingan manusia, misalnya kemerdekaan, transaksi manusia satu dengan yang lain dalam masyarakat pasar dan sebagainya. Di samping itu juga untuk mencegah selanjutnya menyelesaikan pertentangan yang dapat menumbuhkan perpecahan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan lembaga.

Berdasarkan funsingnya kebijakan, baik sebagai sarana rekayasa social maupun sebagai sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan yang mengatur retribusi diciptakan untuk dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang dikandungnya warga masyarakat (individu) sebagai pihak yang dituju oleh suatu peraturan wajib dengan lapang hati dan penuh pengertian patuh kepada hukum

tersebut. peraturan-peraturan hukum dan lembaga-lembaga serta aparat penegak hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas yang diperlukan tanpa didukung oleh kesadaran warga masyarakat sebagai individu atau anggota masyarakat, maka kemungkinan kebijakan itu mengalami banyak hambatan dalam penerapannya, karena perilaku individu yang bermacam-macam. Dalam suatu masyarakat yang prularistik, penyimpangan yang dilakukan seseorang menjadi kebiasaan bagi lainnya. Dalam keadaan demikian diperlukan kontrol sosial, dalam arti mengendalikan tingkah laku pekerti warga masyarakat agar selalu tetap konfrom dengan keharusan-keharusan norma, hampir selalu dijalankan dengan

berdasarkan kekuatan sanksi (Wignjosoebroto).

Kontrol sosial tidak terlaksanakan secara penuh dan konsekuen, bukan karena kondisi-kondisi objektif yang tidak memungkinkan, tetapi karena sikap toleran agen-agen kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Mengambil sikap toleran yaitu sementara pelanggar norma lepas dari sanksi yang seharusnya dijatuhkan (Soetandyo Wignjoseobroto,58). Di samping itu, kadar ketaatannya juga dipengaruhi oleh sanksi dari peraturannya atau darihukum dan para aparat penegak hukumnya. Sehingga tidak jarang pula terlihat kesenjangan antara perilaku yang diharapkan dngan maksud dan tujuan peraturan dengan perilaku yang diwujudkan.

Keefektifan hukum bila dikaitkan dengan badan-badan penegak hukumnya, maka faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain adalah undang yang mengaturnya harus dirancang dengan baik (perancangan undang-undang) dan mereka yang bekerja sebagai pelaksana kebijakan harus memusatkan

tugasnya dengan baik pula. Kebijakan agar berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat biasa dan masyarakat pejabat (pegawai), maka dapat dipakai pula pendekatan dengan mengambil teori Robert Saidman yang menyatakan bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat itu melibatkan tifa komponen dasar, yaitu pembuatan hukum (Undang-undang), birokrat pelaksana dan pemegang peranan. Dengan mencoba untuk menerapkan pandangan tersebut di dalam analisanya mengenai bekerjanya hukum di dalam masyarakat.

Implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan. Udoji dengan tegas mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakanadalah suatu yang penting, bahkan jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan.

Kebijakan-kebijakan akan sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak di implementasikan. Dunn menyatakan bahwa akan halnya implementasi kebijakan, lebih bersifat kegiatan praktis, termasuk di dalamnya mengeksekusi dan mengarahkan.

Sehubungan dengan sifat praktis yang ada dalam proses implementasi kebijakan di atas, maka hal yng wajar bahwa implementasi ini berkaitan dengan proses administrasi. Konteks implementasi yang demikian baru akan terlihat pengaruhnya setelah kebijakan tersebut dilaksanakan. Hal itu yang menunjukkan bahwa proses pelaksanaan kebijakan merupakan salah satu tahapan penting atau momentum dalam proses perumusan atau pembuatan kebijakan selanjutnya. Oleh karena itu, menurut Jones (1996) “tidak berlebihan jika dikatakan implementasi adalah aspek yang penting dari keseluruhan proses lahirnya kebijakan”. Namun hal senada kebanyakan dari kita sering beranggapan bahwa setelah kebijakan

disahkan oleh pihak yang berwewenang dengan sendirinya kebijakan itu akan dapat dilaksanakan, dan hasilnya pun akan mendekati seperti yang diharapkan oleh pihak pembuatan kebijakan tersebut. Senada juga dikemukakan oleh Salusu (2002) bahwa dalam kasus tertentu, proses implementasi kebijakan dapat terjadi seketika, tapi kebanyakan harus menunggu karena memerlukan persiapan yang cukup matang. Implemetasi dari suatu kebijakan adalah suatu yang sangat peka, menuntut kehati-hatian, dan bahkan pada saat penyusunan alternatif kebijakan dilakukan sudah harus dipertanyakan bagaimana melaksanakan setiap alternatif tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa implemtasi adalah operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai sasaran tertentu.

Pemahaman lebih lanjut tentang konsep implementasi kebijakan dapat pula di lihat dari apa yang di kemukakan oleh Lineberry dalam Putra (2003), dengan mengutip pendapat Van Meter dan Van Horn yang menyatakan bahwa, pernyataan ini memberikan makna bahwa implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu dan kelompok pemerintah dan swasta yang di arahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan. Dengan kata lain pelaksanaan kebijakan didalam praktek sering menjadi suatu proses yang berbelit yang menjurus kepada permulaan baru dari pada seluruh proses kebijakan atau menjadi buyar sama sekali.

Kebijakan implementasi, yang merupakan bentuk kongkrit dari konseptualisasi dalam kebijakan formulasi, tidak secara otomatis merupakan garansi kebijakan suatu program dengan baik. Oleh karena itu suatu kebijakan implementasi pada umumnya satu pake dengan kebijakan pemantauan atau

monitoring. Mengingat kebijakan implementasi adalah sama peliknya dengan kebijakan formulasi, maka perlu diperhatiakan berbagai faktor yang akan mempengaruhinya.

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

Kebiajakn apapun bentuknya sebenarnya mengandung resiko gagal.

Hoogwood dan Gunn membagi pengertian kegagalan kebijakan kedalam dua kategori yaitu non implementasi dan unsucceful implementation. Tidak terimplementasi dengan baik mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka telah bekerja secara tidak efesien, bekerja stegah hati atau tidk sepenuhnya menguasai permasalahan atau permasalahan yang di buat di luar jangkauan kekuasaan, sehingga betapapun gigih dan usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar di penuhi.

2. Model implementasi kebijakan publik

Memperhatikan beberapa pengertian implementasi kebijakan publik yang telah di jelaskan di atas, maka kajian implementasi kebijakan merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan menjalankan perubahan tersebut. Untuk menganalisis bagaimana proses implementai kebijakan itu berlangsung maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan. Pandangan mengenai model (teori) implementasi kebijakan banyak kita temukan dalam

berbagai literatur. Tetapi untuk keperluan penelitian ini, akan diambil beberapa pandangan mengenai model-model implementasi kebijakan publik.

Edward III (10) “menawarkan dan mempertimbangkan empat faktor dalam mengimplementasikan kebijakan publik, yakni: communication, resourches, dispositions, and bureauracitic structure.”

Proses implemmentsi kebijakan, komunikasi memegang peranan penting karena pelaksana harus mengetahui apa yang akan nereka kerjakan. Perintah untuk melaksanakan kebijakan harus diteruskan kepada aparat, tepat, dan konsisten. Kurangnya sumber daya akan berakibat ketidakefektifan penerapan kebijakan. Disposis atau sikap pelaksana diartikan sebagai keinginan kesepakatan dikalangan pelaksana untuk menerapkankebijakan. Jika penerapan kebijakan akan di laksanankan secara efektif, pelaksana bukan hanya mengetahui apa yang harus mereka kerjakan dan memiliki kemampuan untuk menerapkanya, tetapi mereka juga harus mempunyai keinginan untuk menerapkan kebijakan tersebut. Akhirnya struktur birokrasi mempunyai dampak atas penerapan itu tidak akan berhasil jika terdapat kekurangan dalam struktur birokrasi tersebut.

Masing-masing model implementasi tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangn seperti yang diungkapkan Patton dan Savicky bahwa tidak ada satu model terbaik atau model tunggal untuk melakukan studi implementasi. Pada dasarnya faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi suatu kebijakan tergantung pada jenis kebijakan itu sendiri. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh ingram, dimana analisis implementasi kebijkan bergantung pada jenis kebijakannya

Penelitian ini, peneliti menggunakan teori Mazmanian dan Sabtier, dimana implementasi kebijakan diklasifikasikan ke dalam tiga variabel, yaitu:

3. Variabel independen: yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.

4. Variabel intervening: yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan.

5. Variabel dependen: yaitu variabel-variabel yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosial ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

E. P2KP (Percepatan Penganekaragaman komsumsi Pangan)

Secara umum tujuan kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan adalah untuk memfasilitasi dan mendorong terwujudnya pola komsumsi pangan masyarakat yang Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman yang diindikasikan dengan meningkatnya skor pola pangan Harapan. (1) menjadi acuan dalam melaksanakan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan sesuai dengan tujuan, sasaran yang telah ditetapkan bagi pelaksana kegiatan baik di tingkat pusat maupun daerah, sehinggan kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan dapat berjalan optimal dan mencapai sasaran yang diharapkan; (2) meningkatkan kooardinasi, keterpaduan sinkronisasi

dan harmonisasi dalam merencanakan anggaran kinerja pembagunan ketahanan pangan baik antara sub sektor maupun antara pusat dan daerah; dan (3) badan ketahanan pangan daerah baik provinsi maupun kabupaten diharapkan dapat menindaklanjuti dengan menerbitkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Secara khusus (1) meningkatkan kesadaran, peran, dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pola komsumsi pangan yang Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan pokok beras; (2)

dan harmonisasi dalam merencanakan anggaran kinerja pembagunan ketahanan pangan baik antara sub sektor maupun antara pusat dan daerah; dan (3) badan ketahanan pangan daerah baik provinsi maupun kabupaten diharapkan dapat menindaklanjuti dengan menerbitkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Secara khusus (1) meningkatkan kesadaran, peran, dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pola komsumsi pangan yang Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman serta mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan pokok beras; (2)

Dokumen terkait