• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4. Manfaat Penelitian

Diharapkan dengan melakukan penelitian ini, memberikan informasi tambahan bagi peneliti mengenai karakteristik penderita stroke. Penelitain ini juga merupakan paparan pertama bagi peneliti, sehingga diharapkan

4

menjadi dasar peneliti untuk memahami dan mengaplikasikan mata kuliah metodologi penelitian.

2. Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan bagi pihak RSUP H Adam Malik Medan tentang karakteristik penderita stroke hemoragik yang di rawat inap dalam upaya penyediaan fasilitas, pengobatan dan perawatan penderita stroke hemoragik.

3. Masyarakat

Bagi masyarakat umum diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai bagimana gejala umum dan faktor risiko penyakit ini.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI PEMBULUH DARAH OTAK

Menurut American Heart Association (AHA) dalam Family Guide to Stroke, otak adalah organ manusia yang kompleks. Setiap area dari otak mempunyai fungsi khusus. Otak merupakan organ tubuh yang ikut berpartisipasi pada semua kegiatan tubuh, yang dapat berupa bergerak, merasa, berfikir, berbicara, emosi, mengenang, berkhayal, membaca, menulis, berhitung, melihat, mendengar, dan lain-lain. Bila bagian-bagian dari otak ini terganggu, misalnya suplai darah berkurang, maka tugasnya pun dapat terganggu (Soeharto, 2004).

Otak membutuhkan banyak oksigen. Berat otak hanya 2,5% dari berat badan seluruhnya, namun oksigen yang dibutuhkan hampir mencapai 20% dari kebutuhan badan seluruhnya. Oksigen ini diperoleh dari darah. Pada keadaan normal, darah yang mengalir ke otak (CBF) Cerebro Blood Flow adalah 50-60 ml/100 g otak/menit. Ada 3 selaput yang melapisi otak, yaitu duramater, araknoid dan pia mater (Lumbantobing, 2003). (dapat dilihat pada gambar 2.1.).

Gambar 2.1. Selaput Otak (gambar dikutip dari: Lumabantobing, 2003)

Suplai darah ke otak melalui dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis (kanan dan kiri) dan arteri karotis interna (kanan dan kiri). Arteri vertebralis menyuplai

6

darah ke area belakang dan area bawah dari otak, sampai di tempurung kepala dan arteri karotis interna menyuplai darah ke area depan dan area atas otak (Harsono, 2003). (dapat dilihat pada gambar 2..2)

Gambar 2.2. Aliran darah arteri yang menuju otak (dikutip dari: Harsono, 2003)

Cabang-cabang dari arteri vertebralis dan arteri karotis interna bersatu membentuk sirkulus willisi. Sistem ini memungkinkan pembagian darah di dalam kepala untuk mengimbangi setiap gerakan leher jika aliran darah dalam salah satu pembuluh nadi leher mengalami kegagalan (Harsono, 2003). (dapat dilihat pada gambar 2.3)

Gambar 2.3. Sirkulus Wilisi (dikutip dari: Harsono, 2003)

7

Ada dua hemisfer serebri (belahan otak), yaitu hemisfer serebri sinistra (kiri) dan hemisfer serebri dextra (kanan). Hemisfer serebri sinistra (kiri) berfungsi dalam mengendalikan gerakan sisi kanan tubuh, seperti berbicara, berhitung dan menulis, sedangkan hemisfer serebri dextra (kanan) berfungsi dalam mengendalikan gerakan sisi kiri tubuh, seperti perasaan, kemampuan seni, keterampilan dan orientasi (Harsono, 2003).

2.2 STROKE

2.2.1 DEFENISI STROKE

Stroke adalah hilangnya sebagian fungsi otak yang terjadi secara mendadak atau tiba-tiba akibat dari sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak. Tanpa oksigen dan nutrisi penting yang dialirkan bersama dengan darah, sel otak akan rusak atau mati dalam beberapa menit (Lumbantobing, 2003).

Stroke atau gangguan aliran darah di otak disebut juga sebagai serangan otak (brain attack), merupakan penyebab cacat (disabilitas, invaliditas), utama pada kelompok usia di atas 45 tahun (Harsono, 2003).

2.2.2 KLASIFIKASI STROKE

1. Stroke non hemoragik (cerebral infarction) a. Klinis terdiri dari (Lumbantobing, 2001) :

1) TIA (Transient Ischemic Attack)

2) RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit) 3) Progressing stroke = stroke in evolusi

4) Complete stroke b. Secara kausal :

1) Stroke trombotik

2) Stroke emboli/non trombotik.

2. Stroke hemoragik

a. PSD (Perdarahan Sub Dural ) b. PSA (Perdarahan Sub Araknoid ) c. PIS (Perdarahan Intra Serebral )

8

2.3 STROKE HEMORAGIK

2.3.1 DEFINISI STROKE HEMORAGIK

Stroke hemoragik merupakan stroke yang disebabkan oleh perdarahan ke dalam jaringan otak (disebut hemoragia intraserebrum atau hematom intraserebrum) atau kedalam ruang subaraknoid, yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan yang menutupi otak (disebut hemoragia subaraknoid). Ini adalah jenis stroke yang paling mematikan dan merupakan sebagian kecil dari stroke total yaitu 10-15% perdarahan intraserebrum dan sekitar 5% untuk perdarahan subaraknoid. Terjadi apabila lesi vascular intraserebrum mengalami rupture sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vascular yang dapat menyebabkan perdarahan subaraknoid (PSA) adalah aneurisma sakular dan Malformasi Arteriovena (MAV). Keadaan ini mengakibatkan gangguan fungsi neurologis melalui mekanisme patofisiologi yang berbeda di dalam jaringan otak yang menimbulkan gejala-gejala dan tanda-tanda neurologis secara mendadak (Felgin, 2006).

2.3.2 KLASIFIKASI STROKE HEMORAGIK 1. Perdarahan Sub Dural (PSD)

Perdarahan subdural terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam dura mater atau karena robeknya araknoid (Harsono, 2003).

2. Perdarahan Sub Araknoid (PSA)

Perdarahan Subaraknoid (PSA) adalah keadaan akut dimana terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan subaraknoid, atau perdarahan yang terjadi di pembuluh darah di luar otak, tetapi masih di daerah kepala seperti di selaput otak atau bagian bawah otak. 6 PSA menduduki 7-15% dari seluruh kasus Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO). PSA paling banyak disebabkan oleh pecahnya aneurisma (50%) (Harsono, 2003).

9

3. Perdarahan Intra Serebral (PIS)

Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma, dimana 70% kasus PIS terjadi di kapsula interna, 20% terjadi di fosa posterior Universitas Sumatera Utara (batang otak dan serebelum) dan 10% di hemisfer (di luar kapsula interna). PIS terutama disebabkan oleh hipertensi (50-68%) (Harsono, 2003).

2.3.3 EPIDEMIOLOGI STROKE HEMORAGIK

Insiden stroke hemoragik meningkat signifikan seiring dengan pertambahan usia, yaitu dari 1,9 kasus per 100.000 jiwa per tahun pada orang berusia dibawah 45 tahun hingga 196 kasus pada orang berusia diatas 84 tahun. Penelitian-penelitian menunjukan bahwa 44,4% dari seluruh insiden stroke hemoragik timbul pada usia diatas 60 tahun, usia median dari seluruh pasien stroke hemoragik adalah 61, dan angka insiden bertambah dua kali lipat setiap pertambahan usia 10 tahun setelah usia 35 tahun (Elliot dan Smith, 2010 ; Van Asch, et al., 2010)

Berdasarkan laporan Riskesdas tahun 2007 ditemukan bahwa prevalensi stroke di Indonesia sebanyak 8,3 kasus per 1000 jiwa dengan prevalensi tertinggi ditemui di Aceh (16,6 kasus per 1000 jiwa) dan di Papua (3,8 per 1000 penduduk).

Prevalensi stroke di atas angka nasional dijumpai pada 13 provinsi. Prevalensi stroke cenderung meningkat pada laki-laki, usia lebih tua, tingkat pendidikan rendah, dan yang tidak bekerja (Hu, Wang, dan Luo, 2013).

Perdarahan pada parenkim otak yang tidak disebabkan oleh trauma atau stroke hemoragik paling sering pada basal ganglia dan kapsula interna antara 35-70%, kemudian di posterior fossa (batang otak dan serebelum) antara 5-10%, dan di area kortikal-subkortikal hemisfer antara 15-30% (Yudiarto et al., 2014).

2.3.4 FAKTOR RISIKO STROKE HEMORAGIK

Faktor risiko stroke adalah faktor yang menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan atau mudah terkena stroke, antara lain:

10

1. Usia

Usia merupakan faktor risiko paling penting pada semua jenis stroke. Dimana semakin meningkatnya usia seseorang, maka risiko untuk terkena stroke juga semakin meningkat. Menurut hasil penilitian pada Framingham Study menunjukkan risiko stroke meningkat sebesar 20% pada kelompok usia 45-55 tahun, 32% pada kelompok usia 55-64 tahun dan 83% pada kelompok usia 65-74 tahun (Grysiewicz, Thomas dan Pandey, 2008).

2. Jenis Kelamin

Kejadian stroke diamati lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Akan tetapi, karena usia harapan hidup wanita lebih tinggi daripada laki-laki, maka tidak jarang pada studi-studi tentang stroke didapatkan pasien wanita lebih banyak. Menurut SKRT 1995, prevalensi penyakit stroke pada laki- laki sebesar 0,2% dan pada perempuan sebesar 0,1%. Prevalensi stroke di 3 wilayah Jakarta didapatkan bahwa prevalensi stroke pada laki-laki sebesar 7,1% dan perempuan sebesar 2,8% (Wahjoepramono, 2005).

3. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat pada keluarga yang pernah mengalami serangan stroke atau penyakit yang berhubungan dengan kejadian stroke dapat menjadi faktor risiko untuk terserang stroke juga. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor , diantaranya faktor genetik, pengaruh budaya, dan gaya hidup dalam keluarga, interaksi antara genetik dan pengaruh lingkungan (Hull, 1993).

4. Ras

Orang kulit hitam, Hispanik Amerika, Cina, dan Jepang memiliki insiden stroke yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih (Wahjoepramono, 2005). Di Indonesia sendiri, suku Batak dan Padang lebih rentan terserang stroke dibandingkan dengan suku Jawa. Hal ini disebabkan oleh pola dan jenis makanan yang lebih banyak mengandung kolesterol (Americant Heart, 2004).

5. Tekanan Darah Tinggi

Tekanan darah merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam kejadian stroke. Tekanan darah yang tinggi atau lebih sering dikenal dengan

11

istilah hipertensi merupakan faktor risiko utama, baik pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Hal ini disebabkan oleh hipertensi memicu proses aterosklerosis oleh karena tekanan yang tinggi dapat mendorong Low Density Lipoprotein (LDL) kolesterol untuk lebih mudah masuk ke dalam lapisan intima lumen pembuluh darah dan menurunkan elastisitas dari pembuluh darah tersebut (Depkes RI, 2007).

6. Kadar Kolesterol Darah

Pemeriksaan kadar kolesterol darah sangat penting untuk dilakukan, karena tingginya kadar kolesterol dalam darah merupakan faktor risiko untuk terjadinya stroke. Hal ini disebabkan oleh kolesterol darah yang ikut berperan dalam penumpukkan lemak di dalam lumen pembuluh darah yang dapat mengakibatkan terjadinya aterosklerosis. Oleh karena itu, jika kadar kolesterol dalam darah meningkat, maka risiko untuk aterosklerosis meningkat juga.

Kolesterol tidak larut dalam cairan darah, sehingga untuk proses transportasinya ke seluruh tubuh perlu “dikemas” bersama protein menjadi partikel yang disebut “lipoprotein” (Hull, 1993).

7. Diabetes Melitus

Gula darah yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah yang berlangsung secara progresif. Pada orang yang menderita Diabetes Mellitus risiko untuk terkena stroke 1,5-3 kali lebih besar (risiko relatif) (Nurzakiah, 2000).

8. Obesitas

Jika seseorang memiliki berat badan yang berlebih, maka jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Obesitas juga dapat mempercepat terjadinya proses aterosklerosis pada remaja dan dewasa muda. Oleh karena itu, penurunan berat badan dapat mengurangi risiko terserang stroke (Madiyono, Suharti, dan Suherman, 2003). Prevalensi obesitas meningkat seiring dengan peningkatan usia.. Penurunan berat badan menjadi berat badan yang normal merupakan cerminan dari aktivitas fisik dan pola makan yang baik. Oleh

12

karena itu, berat badan memiliki korelasi yang baik dalam pengukuran aktivitas fisik dan pola makan seseorang.

9. Merokok

Rokok merupakan salah satu faktor yang signifikan untuk meningkatkan risiko terjadinya stroke. Orang yang memiliki kebiasaan merokok cenderung lebih berisiko untuk terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan orang yang tidak merokok (Pearson et al., 1994).

10. Riwayat Stroke

Bila seseorang telah mengalami stroke, hal ini akan meningkatkan terjadinya serangan stroke kembali/ulang. Dalam waktu 5 tahun, kemungkinan akan terjadi stroke kembali sebanyak 35-42% (Bambang dan Suhartik, 2003).

2.3.5. PATOFISIOLOGI STROKE HEMORAGIK

Stroke hemoragik merupakan proses dinamik dengan tiga fase yaitu pecahnya pembuluh darah, ekspansi hematom, dan perkembangan dari edema perihematomal. Perdarahan awal menyebabkan sejumlah kerusakan parenkim yang penting. Pertambahan jumlah perdarahan didefinisikan sebagai penambahan jumlah hematoma lebih dari 12,5 ml atau 33% dan cenderung timbul beberapa jam setelah perdarahan awal dan berhubungan dengan perburukan klinis sebesar 26% dalam satu jam, 36% dalam 3 jam, dan 47% dalam 24 jam setelah iktus.

Pertambahan jumlah darah sangat jarang sekali terjadi setelah 24 jam setelah iktus (Stroke Association, 2010).

Mekanisme dari petambahan awal perdarahan masih belum jelas namun berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial yang mendadak sehingga menyebabkan distorsi dan gangguan jaringan lokal, pembengkakan pembuluh darah akibat dari obstruksi aliran vena, gangguan sawar darah otak, dan koagulopati lokal akibat dari perlepasan dari jaringan thromboplastin.

Pertambahan perdarahan adalah penyebab umum dari perburukan neurologis awal, peningkatan kematian, dan hasil akhir yang jelek. Laju dari pertambahan dan ukuran dari perdarahan original berhubungan dengan perburukan neurologis.

13

Jumlah perdarahan parenkim yang lebih tinggi dan intraventrikel saat perawatan berhubungan dengan perburukan neurologis. Diabetes, tekanan darah sistolik yang tinggi saat pasien dirawat, dan peningkatan protein reaktif C berhubungan dengan pertambahan perdarahan (Broderick et al., 2007 ; Sjoblom et al., 2001).

Edema perihematoma berkembang seiring pertambahan hari dan merupakan penyebab utama dari perburukan neurologis dengan mengganggu kerja dari area otak sekitar, menyebabkan iskemik akibat dari penekanan pembuluh darah, dan meningkatkan tekanan intrakranial.Edema dari cairan plasma utamanya disebabkan oleh respon inflamasi sekunder melalui pelepasan local dari thrombin dan produk akhir koagulasi dari hematom, oleh mediator sitotoksik, oleh kerusakan sawar darah otak, pompa natrium, dan neuron.Puncak edema antara hari ke 3 hingga ke 7 setelah perdarahan sesuai dengan proses lisis dari sel-sel darah merah, akan tetapi dapat juga dijumpai hingga dua minggu pada hewan penelitian. Keparahan edema berhubungan dengan volume hematom. Telah terbukti bahwa hemoglobin dan produk degradasinya memunyai efek neurotoksik baik secara langsung dan tidak langsung.Penelitian retrospektif menunjukan bahwa jumlah edema besar yang relative dengan perdarahan awal berhubungan dengan hasil akhir klinis jelek, tetapi tidak berhubungan secara independen dari kadar hematoma (Mayer dan Rincon, 2005 ; Arima et al., 2009).

2.3.6 MANIFESTASI KLINIS STROKE HEMORAGIK 1. Perdarahan Sub Dural

Gejala-gejala perdarahan sub dural adalah nyeri kepala progresif, ketajaman penglihatan mundur akibat edema papil yang terjadi, tanda-tanda defisiensi neorologik daerah otak yang tertekan (Harsono, 2003).

2. Perdarahan Sub Araknoid

a. Gejala prodormal : nyeri kepala hebat dan akut hanya 10%, 90% tanpa keluhan sakit kepala.

b. Kesadaran sering terganggu, dari tidak sadar sebentar, sedikit delirium sampai koma.

14

c. Fundus okuli : 10% penderita mengalami papil edema beberapa jam setelah perdarahan.

d. Gangguan fungsi saraf otonom, mengakibatkan demam setelah 24 jam karena rangsangan meningeal, muntah, berkeringat, menggigil, dan takikardi.

e. Bila berat, maka terjadi ulkus peptikum disertai hamtemesis dan melena (stress ulcer), dan sering disertai peningkatan kadar gula darah, glukosuria dan albuminuria (Butcher et al., 2004).

3. Perdarahan Intra Serebral

Gejala prodormal tidak jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertensi. Serangan seringkali di siang hari, waktu bergiat atau emosi/ marah. Pada permulaan serangan sering disertai dengan mual, muntah dan hemiparesis. Kesadaran biasanya menurun dan cepat masuk koma (65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara ½ - 2 jam, dan 12% terjadi setelah 2 jam sampai 19 hari) (Morgenstern et al., 2010).

2.3.7 DIAGNOSIS STROKE HEMORAGIK

Konsensus Nasional Pengelolaan Stroke di Indonesia 1999 mengemukakan bahwa diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Wibowo, 2001 ; Elliot dan Smith, 2010 ; Morgenstern et al., 2010)

1. Anamnesis

Anamnesis dapat dilakukan pada penderita sendiri, keluarga yang mengerti tentang penyakit yang diderita. Anamnesis dilakukan dengan mengetahui riwayat perjalanan penyakit, misalnya waktu kejadian, penyakit lain yang diderita, faktor-faktor risiko yang menyertai stroke.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain : pemeriksaan fisik umum (yaitu pemeriksaan tingkat kesadaran, suhu, denyut nadi, anemia, paru dan jantung), pemeriksaan neurologis dan neurovaskuler.

15

3. Pemeriksaan Penunjang

Penilaian klinis saja tidak mencukupi untuk membedakan stroke hemoragik dengan stroke iskemik dan menentukan karakteristik dan kemungkinan penyebab stroke hemoragik.Oleh karena itu pencitraan dari otak diperlukan dan penilaian diagnostik pilihan pertama untuk stroke hemoragik adalah CT scan otak non kontras. Tindakan ini dapat memberikan informasi yang signifikan tentang ukuran dan lokasi dari perdarahan, serta ada tidaknya perdarahan intraventrikular, subaraknoid, atau subdural, dan keberadaan efek massa dengan ancaman herniasi atau hidrosefalus. CT dapat membedakan antara stroke hemoragik dari infark dengan sensitivitas tinggi.Pada CT gambaran perdarahan berwarna terang akibat adanya hemoglobin. CT juga mampu memberikan prediksi kemungkinan ekspansi hematom berdasarkan pola perdarahan.

Gambar 2.4. CT-Scan pada pendarahan infratentorial. Gambar menunjukkan lesi hiperdens (Gambar dikutip dari Kolvunen, R. J., 2015)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki sensitivitas seperti CT dalam mendeteksi perdarahan serebral, tetapi lebih superior dalam mengidentifikasi edema perihematom, arteriovenous malformation (AVM), amyloid angiopathy, atau akibat neoplasma. MRi dapat memberikan informasi penting terkait patologi penyebab perdarahan, seperti perdarahan mikro, infark lakunar, dan perubahan

16

kronik lapisan putih yang mengarah pada mikroangiopati. MRI juga dapat memberikan informasi mengenai perjalanan waktu perdarahan.Namun dibandingkan dengan CT, MRI memiliki kelemahan yaitu memerlukan waktu yang panjang dan keterbatasan untuk monitoring dan pengobatan pada pasien saat difoto. Sehingga CT masih menjadi standar baku, tetapi MRI tetap menjadi metode utama untuk seluruh pasien stroke hemoragik yang muda (Arima et al., 2009 ; Manno et al., 2005)

Gambar 2.5. Gambaran MRI pada pasien dengan stroke hemoragik dengan onset 1 jam yang lalu (Gambar dikutip dari Linfante, I., 1991)

2.3.8 TATALAKSANA STROKE HEMORAGIK 1. Tatalaksana Non-Bedah

Hal terpenting pada tatalaksana non bedah pada kasus stroke hemoragik adalah tatalaksana awal di IGD. Mayoritas penderita stroke hemoragik memiliki keadaan yang tidak stabil pada fase akut dan memerlukan monitoring yang ketat, terutama pada sistem kardiorespirasi dan neurologis.

Sistem respirasi dan hemodinamik dapat memburuk pada pasien dengan penurunan kesadaran. Instabilitas kardiovaskular biasanya diasosiasikan dengan peningkatan tekanan intrakranial dan membutuhkan perhatian segera untuk mencegah kerusakan yang disebabkan hipotensi maupun hipertensi pada

17

pasien dengan autoregulasi yang terbatas. Pada pasien yang masuk dengan nilai GCS yang rendah (<8), disarankan untuk dilakukan intubasi untuk memproteksi jalan nafas (Flower dan Smith, 2011).

Kejang pada fase awal terjadi pada 4-8% pasien dengan stroke hemoragik.

Sesuai dengan guideline dari American Stroke Association(ASA) 2010, manajemen dari kejang yang disertai dengan perubahan status mental harus ditatalaksana dengan obat anti epilepsi.

Sampai sekarang ini, tidak ada studi yang menyebutkan tekanan darah optimum pada stroke hemoragik akut. Akan tetapi, tekanan darah yang tingg meningkatkan resiko untuk pendarah ulang atau ekspansi dari hematoma.

Guideline dari ASA menyarankan penurunan tekanan darah secara agresif bila tekanan darah sistolik > 200 mmHg dengan obat antihipertensi intravena.

Rekomendasi dari ASA adalah menurunkan tekanan darah sistolik sampai dibawah 160 mmHg untuk mencegah pendarahan ulang (Pudiastuti, 2011).

2. Tatalaksana Operatif

Evakuasi dari pendarahan intraserebral masih menuai kontroversi. Hanya pendarahan pada infratentorial, akibat resiko dari hidrocephalus obstruktif, kompresi batang otak, dan detoriasi neurologis, evakuasi paling disarankan.

Sampai sekarang, indikasi operatif pada stroke hemoragik yang paling banyak didukung adalah apabila pendarahan yang terjadi superfisial, volume pendarahan antara 20-80 ml, penurunan status neurologis, pasien usia muda, dan terjadi midline shift dan peningkatan TIK. Pendarahan yang terjadi pada batang otak ataupun pada thalamus umumnyatidak dilakukan evakuasi akibat risiko dan luaran yang buruk pada pasien (Pudiastuti, 2011).

2.3.9 PENCEGAHAN STROKE

Tujuan umum pencegahan stroke adalah untuk menurunkan kecacatan dini, kematian, serta memperpanjang hidup dengan kualitas yang baik. Dikenal dua macam pencegahan pada penyakit stroke, pencegahan yaitu pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer dilakukan bagi mereka yang belum pernah mengalami TIA atau stroke, sedangkan pencegahan sekunder adalah

18

pencegahan yang ditujukan bagi mereka yang pernah atau sudah mengalami TIA atau stroke (Morgenstern et al., 2010).

1. Pencegahan Premordial

Tujuan pencegahan premordial adalah mencegah timbulnya faktor risiko bagi individu yang belum mempunyai faktor risiko. Pencegahan premordial dapatdilakukan dengan cara melakukan promosi kesehatan, seperti berkampanye tentang bahaya rokok terhadap stroke dengan membuat selebaran atau poster yang dapat menarik perhatian masyarakat (Elliot dan Smith, 2010).

2. Pencegahan Primer

Dalam pencegahan primer, dimana pasien belum pernah mengalami TIA ataupun stroke dianjurkan untuk melakukan, yaitu :

a. Menghindari : rokok, stress mental, minum kopi dan alkohol, kegemukan, dan golongan obat-obatan yang dapat mempengaruhi serebrovaskuler (amfetamin, kokain, dan sejenisnya)

b. Mengurangi : asupan lemak, kalori, garam, dan kolesterol yang berelebih c. Mengontrol atau mengendalikan : hipertensi, diabetes melitus, penyakit

jantung dan aterosklerosis, kadar lemak darah, konsumsi makanan seimbang, serta olah raga teratur 3-4 kali seminggu.

d. Mengatur pola makan yang sehat seperti kacang-kacangan, susu dan kalsium ikan, serat, vitamin yang diperoleh dari makanan dan bukan suplemen (vit C,E, B6, B12 dan beta karoten), teh hijau dan teh hitam serta buah-buahan dan sayur-sayuran.

e. Menganjurkan konsumsi gizi yang seimbang dan berolahraga secara teratur, minimal jalan kaki selama 30 menit, cukup istirahat dan check up kesehatan secara teratur minimal 1 kali setahun bagi yang berumur 35 tahun dan 2 kali setahun bagi yang berumur di atas 60 tahun (Van Asch et al., 2010 ; Pudiastuti, 2011).

3. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dilakukan pada mereka yang pernah mengalami TIA atau memiliki riwayat stroke sebelumnya, yaitu dengan cara :

19

a. Mengontrol faktor risiko stroke atau aterosklerosis, melalui modifikasi gaya hidup, seperti mengobati hipertensi, diabetes melitus dan penyakit jantung dengan obat dan diit, stop merokok dan minum alkohol, turunkan berat badan dan rajin olahraga, serta menghindari stress.

b. Menggunakan obat-obatan dalam pengelolaan dan pencegahan stroke, seperti anti-agregasi trombosit dan anti-koagulan.

c. Asetosal (asam asetil salisilat) digunakan sebagai obat antiagregasi trombosit pilihan pertama. Tiklopidin diberikan pada penderita yang tidak tahan asetosal (Elliot dan Smith, 2010).

4. Pencegahaan Tersier

Berbeda dari pencegahan primer dan sekunder, pencegahan tersier ini dilihat dari 4 faktor utama yang mempengaruhi penyakit, yaitu gaya hidup, lingkungan, biologis, dan pelayanan kesehatan. Pencegahan tersier ini merupakan rehabilitasi yang dilakukan pada penderita stroke yang telah mengalami kelumpuhan pada tubuhnya agar tidak bertambah parah dan dapat mengalihkan fungsi anggota badan yang lumpuh pada anggota badan yang masih normal, yaitu dengan cara :

a. Gaya hidup: reduksi stress, exercise sedang, dan berhenti merokok

b. Lingkungan: menjaga keamanan dan keselamatan (tinggal di rumah lantai pertama, menggunakan wheel-chair) dan dukungan penuh dari keluarga c. Biologi: kepatuhan berobat, terapi fisik dan bicara

d. Pelayanan kesehatan: emergency medical technic dan asuransi(Elliot dan Smith, 2010).

2.3.10 KOMPLIKASI STROKE HEMORAGIK

Pada pasien stroke yang berbaring lama dapat terjadi masalah fisik dan emosional diantaranya:

1. Bekuan darah (Trombosis)

Mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh menyebabkan penimbunan cairan, pembengkakan (edema) selain itu juga dapat menyebabkan embolisme paru

20

yaitu sebuah bekuan yang terbentuk dalam satu arteri yang mengalirkan darah ke paru.

2. Dekubitus

Bagian tubuh yang sering mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat dengan baik maka akan terjadi ulkus dekubitus dan infeksi.

3. Pneumonia

3. Pneumonia

Dokumen terkait