• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Manfaat ilmiah :

- Memberikan informasi mengenai pemberian asam α-lipoat dapat menghambat peningkatan kadar MMP-1, yang bersifat destruktif terhadap kolagen, setelah paparan ekstrak asap rokok dan kemungkinan dapat dipergunakan sebagai dasar untuk dilakukan penelitian in vivo lebih lanjut pada manusia.

Manfaat klinis :

13. Dapat digunakan sebagai dasar untuk praktek sehari-hari bagi pasien.

Manfaat sosial :

Sebagai acuan bagi masyarakat untuk memahami pentingnya antioksidan dan bahkan agar bagi para perokok boleh menyadari begitu buruknya dampak terhadap khususnya kulit dan kesehatan secara menyeluruh yang diakibatkan oleh rokok dan dapat berhenti merokok.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Aging

Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi

biologik dari usia kronologik. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan masing-masing individu (Fowler, 2003).

Menurut A4M (American Academy of Anti-Aging Medicine) aging adalah kelemahan dan kegagalan baik fisik maupun mental yang berhubungan dengan aging normal disebabkan oleh disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz, 2003). Aging dapat dibagi menjadi dua konsep yang berbeda, yaitu : usia kronologis dan usia biologis. Usia kronologis yaitu usia berdasarkan urutan waktu, terhitung sejak tanggal lahir, sedangkan usia biologis merupakan fungsi fisik dan mental seseorang, yang terkadang dapat lebih muda atau lebih tua bila dibandingkan orang lain yang seusianya (Goldman dan Klatz, 2007;

Pangkahila, 2007).

Perkembangan ilmu kedokteran, dalam hal ini Ilmu Kedokteran Anti-Penuaan (KAP) atau Anti-Aging Medicine (AAM) telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Penuaan diperlakukan sebagai penyakit, sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman dan Klatz, 2007;

Pangkahila, 2007). Dengan mencegah proses penuaan, fungsi berbagai organ tubuh dapat dipertahankan agar tetap optimal. Hasilnya organ tubuh dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih muda, walaupun usia bertambah. Dengan demikian penampilan dan kualitas hidupnya lebih muda dibandingkan dengan usia sebenarnya (Pangkahila, 2007).

Konsep dan definisi ilmu KAP atau AAM pada awalnya diperkenalkan oleh A4M ( American Academy of Anti-Aging Medicine) pada tahun 1993, definisinya adalah

“Kedokteran Anti-Penuaan (KAP) adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada

penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat ” (Pangkahila, 2007)

2.1.1 Teori-teori aging

Teori terbaru dari aging dari tingkat seluler hingga molekuler secara umum terdiri dari 2 latar belakang, yaitu aging sebagai sesuatu yang terprogram dan aging merupakan sesuatu yang kebetulan. Teori program berdasarkan pemikiran bahwa sejak konsepsi hingga kematian, perkembangan manusia diperintah oleh jam biologis. Jam ini mengatur waktu yang tepat untuk sejumlah perubahan. Teori kebetulan menyatakan organisme menjadi tua oleh sejumlah kejadian acak. Contohnya kerusakan DNA oleh radikal bebas atau hanya wear and tear dari kehidupan sehari-hari. Ada 4 teori pokok dari aging (Goldman dan Klatz, 2007)

Teori “wear and tear”

Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan yang lainya, menurun karena toksin didalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin, karena sinar ultraviolet dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.

Teori neuroendokrin

Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.

Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonya. Dengan bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.

Teori Kontrol Genetik

Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup.

Teori Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan.

Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan

sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak dan protein (Suryohudoyo, 2000).

Bersamaan dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007).

2.2 Anatomi dan Fisiologi Kulit

2.2.1 Anatomi dan fisiologi kulit manusia

Kulit terdiri dari tiga lapisan besar, yaitu epidermis, dermis dan hipodermis.

1. Epidermis

Epidermis merupakan lapisan berfungsi untuk proteksi, yang terdiri akan keratinosit sebagai komponen yang terutama, kemudian melanosit, sel Langerhans, sel Merkel dan akson yang tidak bermyelin.

Epidermis merupakan struktur yang terus memperbaharui diri secara kontinyu, yang memberikan tempat tumbuh bagi struktur turunan yang disebut appendage

(kelompok pilosebaseus, kuku, dan kelenjar keringat). Ketebalan epidermis berkisar antara 0,4 sampai 1,5 mm dibandingkan dengan kedalaman kulit 1,5 sampai 4,0 mm.

Sebagian besar epidermis terdiri dari sel keratinosit yang mengelompok menjadi empat lapisan, yang diberi nama sesuai dengan posisi atau sel pembentuk strukturnya. Sel tersebut berdiferensiasi progresif dari sel basal proliferatif, melekat dengan epidermal membran basal, menuju diferensiasi akhir stratum korneum terkeratinisasi, yang merupakan lapisan terluar dan barier kulit.

Dermal-epidermal junction adalah daerah membran basal yang membentuk batas antara epidermis dan dermis. Fungsi utamanya adalah melekatkan antara epidermis dan dermis sehingga memberikan resistensi terhadap bahaya dari luar.

Ini menunjang epidermis, membedakan polaritas pertumbuhan, organisasi sitoskleton sel basal, memberikan sinyal pertumbuhan, dan bertindak sebagai barier semipermiabel.

2. Dermis

Dermis terdiri dari kelenjar ekrin dan apokrin, folikel rambut, pembuluh darah, syaraf dan jaringan halus dari serabut-serabut kolagen, serat-serat elastin dan komponen-komponen lainnya dari matriks ekstraseluler.

Dermis merupakan sistem integrasi dari fibrus, filamentus, difus, dan elemen seluler jaringan penghubung yang mengakomodasi saraf, jaringan pembuluh darah, appendage epidermal, dan terdiri dari berbagai tipe sel, termasuk fibroblas, makofag, sel mast, dan sel yang berperan pada sistem imun.

Dermis merupakan komponen terbesar pembentuk kulit sehingga mempertahankan pliabilitas, elastisitas dan kekuatan peregangan kulit. Ini melindungi tubuh dari trauma mekanik, mengikat air, dan berperan pada termoregulasi, dan mengandung reseptor berbagai stimulus. Dermis bekerjasama dengan epidermis dalam mempertahankan komponen masing-masing serta berinteraksi dalam perbaikan dan pembentukan kembali kulit setelah perlukaan.

Dermis terdiri dari dua bagian, yaitu : papiler dermis dan retikuler dermis.

Kedua bagian tersebut dapat dibedakan secara histologis, dan keduanya berbeda dalam hal organisasi jaringan penunjang, densitas sel, bentuk saraf dan pembuluh darah. Papiler dermis berbatasan dengan epidermis, sedangkan retikuler dermis terbentuk sebagian besar dari serat kolagen berdiameter besar, menyatu membentuk rangkaian, cabang serat elastin mengelilingi rangkaian tersebut. Pada orang normal, serat elastin dan rangkaian kolagen meningkat ukurannya secara progresif sampai ke hipodermis. Bagian terbawah dari retikuler dermis dikatakan transisi dari jaringan penunjang fibrus dengan jaringan penunjang lemak dari hipodermis.

3) Hipodermis (subkutis)

Jaringan hipodermis menyekat tubuh, sebagai bantalan dan pelindung kulit, dan memungkinkan mobilitas kulit dari jaringan di bawahnya. Jaringan ini juga memberikan efek kosmetik dengan memberikan bentuk tubuh.

Kulit merupakan organ kompleks yang melindungi dari lingkungan, pada saat bersamaan memungkinkan interaksi dengan lingkungannya. Kulit merupakan

perpaduan yang dinamis, kompleks, terintegrasi dari sel, jaringan, dan elemen matriks yang memediasi berbagai fungsi, yaitu : kulit merupakan barier permeabilitas fisik, menjaga dari agen infeksius, termoregulasi, proteksi sinar ultraviolet, penyembuhan luka dan regenerasi, dan memberikan penampilan fisik luar (Kochevar et al., 2008).

2.2.2 Kolagen

Kolagen merupakan komponen struktural penting pada jaringan pengikat kulit, memberi kekuatan peregangan pada kulit. Sekitar 70-80% berat kering kulit terdiri dari kolagen. Tipe kolagen yang paling banyak didapatkan di kulit adalah tipe I dan III, tipe I ini membentuk sekitar 80% dari kolagen total yang terdapat di kulit dan tipe III sekitar 15% (Raitio, 2005).

Tipe kolagen lainnya yang ditemukan di dermis termasuk kolagen tipe IV, yang banyak didapatkan pada membran dasar, kolagen tipe V, terletak pada periseluler, kolagen tipe VI, berperan pada pembentukan matriks dan sebagai mikrofibril-mikrofibril di antara serat-serat kolagen, dan kolagen tipe VII, merupakan komponen struktural dari anchoring fibrils.

Sebuah molekul kolagen terdiri dari tiga rantai-α, yang dapat bergantian rantai polipeptida yang sama maupun tidak sama. Sebagai contoh, kolagen tipe I terdiri dari dua rantai α1(I) identik, yang disintesis dari gen yang sama, dan rantai α2(I), yang disintesis oleh gen yang lain, sedangkan kolagen tipe III terdiri dari tiga rantai α1(III)

identik yang dikode oleh gen tunggal (Raitio, 2005). Pembentukan triple helix pada molekul kolagen memerlukan glisin pada setiap asam amino ketiga pada rantai polipeptida, yang menghasilkan suatu rangkaian Gly-X-Y, dimana X dan Y dapat berupa asam amino apapun kecuali glisin. Asam amino esensial yang lain untuk pembentukan struktur triple helix adalah prolin dan 4-hidroksiprolin. Prolin sering ditemukan pada posisi X dan 4-hidroksiprolin pada posisi Y dari urutan asam amino.

Sintesis kolagen kulit terutama terjadi pada fibroblas. Sintesis dari kolagen tersebut dibagi menjadi fase intraseluler dan ekstraseluler, yang kedua-duanya melibatkan modifikasi post-translasi yang sangat diperlukan untuk pembentukan triple helix dari molekul kolagen yang stabil, dengan cross-link yang tepat.

Modifikasi intraseluler termasuk juga hidroksilasi residu prolin pada posisi Y menjadi 4-hidroksiprolin dan beberapa residu pada posisi X menjadi 3-hidroksiprolin begitu juga hidroksilasi residu lisin pada posisi Y menjadi hidroksilisin (Myllyharju dan Kivirikko 2001; Raitio, 2005). Askorbat sangat diperlukan dalam biosintesis dari kolagen dan berperan sebagai kofaktor pada hidroksilasi prolin dan lisin. Glikosilasi dari residu hidroksilisin dan asparagin juga terjadi pada intraseluler. Keduanya, baik hidroksilasi maupun glikosilasi terus berlanjut sampai pembentukan triple helix yang diinginkan dari molekul diperoleh.

Molekul prokolagen yang terbentuk intraseluler dikeluarkan ke ruang ekstraseluler, dimana gugus amino dan gugus karboksi pada propeptida pada prokolagen dipecah dan kemudian diblokir ujung-ujungnya oleh berbagai endoproteinase yang spesifik (Raitio, 2005).

2.2.3 Elastin

Serat elastin sangat penting untuk kelentingan dan elastisitas kulit, meskipun mereka ini hanya berjumlah sekitar 1-2% dari berat kering kulit (Raitio, 2005). Serat elastis terdiri dari elastin, yang terhitung sekitar 90% dari serat yang matur, dan komponen mikrofibriler, yang terletak di sekitar elastin dan berselang-seling di antaranya.

Serat elastin berhimpun pada dermis sebagai jaringan tiga dimensi (Lewis et al., 2004).

Elastin merupakan polipeptida yang berukuran sekitar 70kDa, yang dikode oleh kopi suatu gen tunggal yang didapatkan pada kromosom 7. Elastin dan protein mikrofibriler disintesis terutama oleh fibroblas (Lewis et al, 2004). Gen yang mengkode elastin, mengkode tropoelastin, protein prekursor untuk elastin. Tropoelastin disintesis intraseluler dan kemudian dikeluarkan ke ruang ekstraseluler, dimana cross-linking terjadi (Raitio, 2005).

Faktor-faktor pertumbuhan dan berbagai sitokin mengambil bagian dalam regulasi dari ekspresi gen dan biosintesis elastin. Ekspresi elastin diregulasi meningkat secara invitro, contohnya, oleh insulin-like growth factor I dan transforming growth factor β1. Sitokin-sitokin lainnya seperti tumor necrosis factor α (TNFα) dan interferon γ

(IFNγ) meregulasi turun akan ekspresi gen elastin (Raitio, 2005). Elastin dimetabolisme oleh enzim-enzim proteolitik, seperti serine-type elastases dan matrix metalloproteinases, yaitu stromelysin, macrophage metalloelastase (MMP-12), matrilysin (MMP-7) dan gelatinase (MMP-2 dan MMP-9) yang paling aktif bagi serat elastis (Lewis et al., 2004).

2.2.4 MMP ( Matrix metalloproteinase )

Terdapat tiga famili besar dari protease yang merupakan komponen untuk mendegradasi matriks ekstraseluler, yaitu serin, sistein dan metalloproteinases, mereka ini sangat penting berperan dalam perbaikan jaringan dan inflamasi maupun dalam invasi tumor dan metastase. Matrix metalloproteinases (MMPs) dan tissue inhibitors of matrix metalloproteinases (TIMPs) meregulasi degradasi kolagen, elastin dan komponen

matriks ekstraseluler lainnya. Matrix metalloproteinases merupakan endopeptidase netral yang tergantung zinc, yang terbagi menjadi empat grup utama tergantung pada struktur primer dan spesifisitas substratnya, yaitu kolagenase, gelatinase, stromelysin dan membrane-type matrix metalloproteinases (Raitio, 2005).

Kolagenase, MMP-1, MMP-8 dan MMP-13 merupakan proteinase utama yang mampu memulai degradasi serabut kolagen tipe I, II, III dan V, tetapi 72-kDa gelatinase (MMP-2) dan MT-1 MMP (MMP-14) juga mampu memotong serabut kolagen, sedangkan 92-kDa gelatinase (MMP-9) berperan dalam degradasi akhir dari serabut kolagen setelah proses pemotongan dan meregulasi re-epitelialisasi dari kulit (Mohan et al., 2002). MMP-1 mendegradasi kolagen tipe III dengan kecepatan yang lebih cepat

daripada tipe I dan II, sedangkan MMP-8 mendegradasi kolagen tipe I dengan kecepatan yang lebih cepat daripada tipe III (Raitio, 2005).

Proses penyembuhan luka dimulai dengan pembentukan fibrin clot, diikuti dengan pelepasan berbagai macam faktor-faktor pertumbuhan dari sel-sel yang mengalami cedera dan matriks ekstraseluler, inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, epitelialisasi dan pada akhirnya produksi matriks dan remodelling (Ravanti dan Kähäri,

2000). Re-epitelialisasi dimulai dalam beberapa jam setelah kerusakan jaringan, dan manifestasi awalnya berupa proliferasi keratinosit. Sel epitelial yang baru terbentuk bermigrasi pada membran dasar, dan jika memungkinkan akan menyebrang matriks transien dari fibrin dan fibronektin disaat membran dasar sedang dalam perbaikan (Raitio, 2005).

Selama masa remodelling, matriks ekstraseluler yang sementara didegradasi dan digantikan oleh kolagen. MMP-1 dan MMP-8 sangat penting berperan dalam regulasi akan proses penyembuhan luka, sedangkan MMP lainnya, seperti MMP-2, MMP-9 dan MMP-19, berperan juga pada perbaikan luka ( Mohan et al., 2002; Hieta et al., 2003).

MMP-1 ditandai dengan bermigrasinya keratinosit basal pada semua tipe luka kutaneous dan penyempurnaan proses re-epitelialisasi menyebabkan menurunnya ekspresi dari MMP-1 (Raitio, 2005).

2.2.5 Penuaan intrinsik kulit

Penuaan kulit intrinsik/kronologis meliputi segala perubahan yang terjadi pada kulit akibat dari perjalanan waktu saja. Perubahan-perubahan ini terjadi sebagai bagian dari hasil kumulasi kerusakan endogen dari pembentukan ROS (reactive oxygen species) secara terus-menerus yang terbentuk selama metabolisme oksidasi seluler.

Pembentukan ROS merusak beberapa unsur seluler termasuk membran, enzim dan DNA dan juga turut campur dalam interaksi antara DNA-protein dan protein-protein meskipun dengan adanya sistem antioksidan seluler yang cukup rumit. Pemendekan

telomer pada pembelahan sel juga dikatakan salah satu penyebab penuaan intrinsik kulit, selain oleh karena penurunan faktor pertumbuhan dan hormon. Manifestasi klinis penuaan kronologis kulit dapat berupa serosis, kekenduran, kerutan dan gambaran tumor jinak seperti keratosis seboroik dan angioma buah cherry (Gilchrest dan Kurtmann, 2006).

2.3 Penurunan Fungsi Kulit yang Berkaitan dengan Bertambahnya Usia

2.3.1 Pergantian sel dan penyembuhan luka

Keratinosit meliputi 90% dari populasi sel di epidermis, dengan bertambahnya waktu, mereka kehilangan kapasitas proliferatif, kemampuan berdiferensiasi dengan tepat untuk membentuk stratum korneum yang bersifat protektif (Yaar dan Gilchrest, 2003) dan kemampuan untuk menguraikan sitokin-sitokin dan sinyal sel-sel lainnya pada respon terhadap rangsangan lingkungan (Gilchrest dan Kurtmann, 2006).

2.3.2 Fungsi sensoris

Seiring dengan bertambahnya usia, terdapat penurunan sensori persepsi cahaya, sensasi getar, kemampuan untuk membedakan dua titik dan ketajaman ruang dan terjadi peningkatan ambang nyeri (Gilchrestdan Kurtmann, 2006). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan usia 60 tahun atau lebih tua mengalami penurunan densitas serat-serat saraf baik yang bermyelin maupun yang tak bermyelin yang menjalarkan sensasi panas dan nyeri (Gibson dan Farrell, 2004).

2.3.3 Perbaikan kerusakan DNA

Telah tercatat dengan baik bahwa kerusakan DNA dan frekuensi terjadinya mutasi meningkat dengan bertambahnya usia. Walaupun akumulasi mutasi dapat merupakan hasil dari bertambahnya waktu itu sendiri, ada data yang mendukung bahwa kapasitas perbaikan DNA menurun juga dengan bertambahnya usia. Bersamaan dengan itu beberapa penelitian menunjuk pada menurunnya kemampuan perbaikan DNA menjadi salah satu predisposisi dalam berkembangnya kanker pada orang tua (Gilchrest dan Kurtmann, 2006).

2.3.4 Fungsi imunitas

Dengan bertambahnya usia, terdapat pengurangan jumlah sel Langerhans pada epidermis, yang merupakan skin's immune antigen-presenting effector cells (Yaar dan Gilchrest, 2003). Terdapat juga penurunan produksi dari sitokin epidermis interleukin (IL)-1α dan begitu juga terjadi penurunan produksi sitokin-sitokin selanjutnya termasuk IL-6, granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan IL-8. Berbagai bukti juga menunjukkan dengan bertambahnya usia, terjadi penurunan imunitas seluler dan humoral. Penurunan pada sistem imunitas ini, menyebabkan orang tua lebih rentan terkena infeksi (Mouton et al., 2001) dan sebagai akibat penurunan sistem kekebalan ini memungkinkan kanker lebih mudah berkembang pada orang tua (Gilchrest dan Kurtmann, 2006).

2.3.5 Produksi vitamin D

Epidemis kulit manusia berperan dalam pembentukan dari bentuk aktif vitamin D, 1,25(OH)2D3 (Yaar dan Gilchrest, 2003). Disamping perannya dalam menjaga homeostasis kalsium dan pemeliharaan tulang, 1,25(OH)2D3 juga terlibat dalam respon imun, mempengaruhi fungsi makrofag dan memodulasi pelepasan sitokin inflamatori (Gilchrest dan Kurtmann, 2006) dan mungkin pada pencegahan jenis kanker tertentu yang berasal dari jaringan epitelial seperti payudara dan kolon (Lowe et al., 2003).

Dalam konteks ini perlu dicatat bahwa orang tua mengalami penurunan tingkat vitamin D, sebagian dikarenakan penurunan konsumsi vitamin D pada diet mereka, sebagian lainnya karena kekurangan paparan sinar matahari. Lebih jauh lagi tingkat dari prekursor vitamin D pada epidermis, 7-dehydrocholesterol per unit skin surface menurun secara linier mencapai 75% diantara dewasa muda sampai dewasa tua, diduga dikarenakan kekurangan prekursornya, individu yang lebih tua gagal mensintesa dengan jumlah yang cukup akan 1,25(OH)2D3 (Gilchrest dan Kurtmann, 2006).

2.3.6 Fungsi pertahanan dan proteksi mekanis

Kemampuan termoregulasi yang menurun menyebabkan orang tua dapat menghadapi suatu kondisi yang mengancam jiwa termasuk heat stroke dan hipotermi.

Penurunan produksi keringat dengan bertambahnya usia menambah kemungkinan orang tua mengalami heat stroke. Pada akhirnya, dengan menurunya androgen baik yang dihasilkan oleh gonad maupun androgen, menyebabkan penurunan produksi sebum mencapai 23% per dekade yang dimulai pada dekade kedua – terjadi penurunan sekitar 60% selama masa hidup dewasa (Yaar dan Gilchrest, 2003).

2.4 Radikal Bebas

2.4.1 Definisi radikal bebas

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan (unpaired electron). Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas yang tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas diproduksi secara endogen dan diperoleh pula secara eksogen. Secara endogen, radikal bebas diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma dan inti sel. Secara eksogen, radikal bebas berasal dari asap rokok, polutan, radiasi ultraviolet, obat-obatan dan pestisida (Suryohudoyo, 2000).

2.4.2 Tahapan pembentukan radikal bebas

Reaksi radikal bebas dapat dibagi menjadi tiga tahap (Setiati, 2003), yaitu:

1. Tahap inisiasi, yaitu tahapan yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas.

Cu

RH + O2 R+ + HOO+

2. Tahap propagasi, yaitu tahap dimana radikal bebas cenderung bertambah banyak dengan membuat reaksi rantai dengan molekul lain.

R+ + O2 ROO+

3. Tahap terminasi, yaitu apabila terjadi reaksi antara radikal bebas dengan radikal bebas lain atau antara radikal bebas dengan suatu senyawa pembasmi radikal (scavenger).

R+ + R+ R : R

Reduksi oksigen memerlukan pengalihan 4 elektron (electron transfer).

Pengalihan ini tidak dapat sekaligus, tetapi dalam 4 tahapan yang setiap tahapannya hanya melibatkan pengalihan 1 elektron kendala yang mengharuskan oksigen hanya dapat menerima satu elektron setiap tahap menyebabkan terjadinya dua hal, yaitu kurang reaktifnya oksigen dan terbentuknya senyawa-senyawa oksigen reaktif seperti O2- (ion peroksida), H2O2 (hidrogen peroksida), OOH- (radikal peroksil), dan OH- (radikal hidroksil).

2.4.3 Sifat radikal bebas

Radikal bebas memiliki dua sifat, yaitu :

1. Reaktivitasnya tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron.

2. Dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal

Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan terletak pada kecenderungannya untuk menarik elektron. Jadi sama halnya dengan oksidan, radikal bebas adalah penerima elektron. Itulah sebabnya dalam kepustakaan kedokteran, radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun perlu diingat bahwa radikal bebas adalah oksidan tetapi tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya

dibanding dengan oksidan yang bukan radikal. Hal ini disebabkan oleh kedua sifat radikal bebas di atas, yaitu reaktivitas yang tinggi dan kecenderungan membentuk radikal baru, yang pada gilirannya nanti apabila menjumpai molekul lain akan membentuk radikal baru lagi, sehingga terjadilah reaksi rantai (chain reaction).

2.4.4 ROS (Reactive Oxygen Species)

Kulit merupakan organ tubuh yang terbesar, menyediakan suatu pertahanan diantara tubuh dengan lingkungan, dan secara terus menerus terpapar oleh serangan berbagai polutan lingkungan baik yang fisik maupun kimiawi (Athar, 2002). Sebagai tambahan, sejumlah besar dari kontaminan dalam diet dan obat-obatan dapat

Kulit merupakan organ tubuh yang terbesar, menyediakan suatu pertahanan diantara tubuh dengan lingkungan, dan secara terus menerus terpapar oleh serangan berbagai polutan lingkungan baik yang fisik maupun kimiawi (Athar, 2002). Sebagai tambahan, sejumlah besar dari kontaminan dalam diet dan obat-obatan dapat

Dokumen terkait