BAB 1 PENDAHULUAN
1.4 Manfaat Penelitian
1. Dapat mengetahui prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015.
2. Dapat menjadi masukan tentang perencanaan program pelayanan kesehatan gigi dan mulut khususnya dalam hal komplikasi pasca pencabutan gigi, yaitu dry socket di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencabutan Gigi
Pencabutan gigi adalah prosedur yang menggabungkan prinsip-prinsip bedah dan mekanik fisik dasar. Pencabutan gigi juga melibatkan penggunakan kekuatan yang dikendalikan dengan cara sedemikian rupa. Ketika prinsip-prinsip ini diterapkan dengan benar, gigi biasanya dapat dicabut dari tulang alveolar.9,10
Pencabutan gigi yang ideal didefinisikan sebagai minimalnya rasa sakit pencabutan gigi dan minimalnya trauma ke jaringan, sehingga luka dapat sembuh tanpa masalah pasca pencabutan gigi.1
Pencabutan gigi dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu yang pertama dengan teknik tertutup atau intra alveolar, pada teknik ini pencabutan gigi dilakukan dengan cara yang sederhana dengan kekuatan yang terkontrol. Teknik yang kedua adalah dengan teknik terbuka atau transalveolar, pada teknik ini pencabutan gigi dilakukan dengan cara pembedahan. Pencabutan gigi dengan pembedahan dilakukan apabila pencabutan dengan teknik tertutup tidak dapat dilakukan. Tahap-tahap pembedahan biasanya relatif sama, yaitu diawali dengan pembuatan flep, lalu pengambilan tulang, kemudian pengambilan gigi. Pengambilan gigi dapat dilakukan secara utuh atau separasi. Pada akhir pembedahan jaringan lunak dikembalikan ke tempatnya dengan cara penjahitan.1,9,10
2.2 Proses Penyembuhan Soket
Proses penyembuhan soket pencabutan gigi hampir sama dengan penyembuhan secara umum, hanya saja ada sedikit karakteristik khusus karena melibatkan tulang dan jaringan lunak. Tahap penyembuhan dari soket setelah pencabutan gigi adalah:
1. Sesaat setelah dilakukan pencabutan gigi, soket akan diisi dengan darah dari pembuluh darah yang terputus, yang mengandung protein dan sel-sel yang rusak. Sel-sel yang rusak bersama dengan platelet memulai serangkaian peristiwa yang
5
mengarah pada pembentukan jaringan fibrin, kemuadian membentuk gumpalan darah atau koagulum dalam 24 jam pertama. Gumpalan ini bertindak sebagai matriks yang mengarahkan perpindahan sel mesenkimal dan growth factors.
2. Pada minggu pertama, fase inflamasi akan terjadi, sel darah putih masuk ke soket untuk menghilangkan bakteri dan mulai menghilangkan debris seperti fragmen tulang yang tersisa di dalam soket. Tahap fibroplasia juga dimulai pada minggu pertama dengan pertumbuhan yang belum sempurna dari fibroblas dan pembuluh kapiler. Epitel bermigrasi ke dinding soket sampai berkontak dengan epitel dari sisi lain dari soket (jaringan terisi dengan pembuluh kapiler dan fibroblas yang belum matang). Selama minggu pertama penyembuhan, osteoklas berakumulasi di pada puncak tulang alveolar.
3. Pada minggu kedua, penyembuhan ditandai dengan banyaknya jaringan granulasi yang mengisi soket. Deposisi osteoid telah dimulai di sepanjang lapisan tulang alveolar pada soket.
4. Pada minggu ketiga penyembuhan, proses penyembuhan yang terjadi pada minggu kedua akan terus berlanjut dengan epitelisasi pada soket sudah sempurna pada minggu ini. Tulang kortikal akan diresorpsi dari puncak dan dinding soket dan tulang trabekula terbentuk pada soket.
5. Setelah 4 atau 6 bulan pasca pencabutan gigi, tulang kortikal sepenuhnya akan diresorpsi, epitel bergerak ke arah puncak dan akhirnya menjadi sejajar dengan puncak gingiva yang berdekatan.10 pencabutan gigi. Ini biasanya dikarenakan ukuran flep yang tidak tepat, sehingga jaringan tertarik dan dipaksa untuk meregang mengakibatkan laserasi flep.
6
b. Luka tusuk
Instrumen di bidang bedah, seperti elevator dapat tergelincir ketika digunakan dan dapat menusuk atau merobek jaringan lunak yang berdekatan. Cedera ini dikarenakan kita menggunakan kekuatan yang tidak terkendali.
2. Masalah dengan gigi yang diekstraksi gigi molar maksila dicabut dengan menggunakan elevator dengan tekanan yang berlebih ke arah apikal, akar gigi dapat masuk ke sinus maksila
c. Gigi hilang ke orofaring meluksasi gigi yang akan dicabut dengan menggunakan elevator.
b. Dislokasi dari gigi yang berdekatan
Dislokasi dari gigi yang berdekatan selama pencabutan ini dapat dihindari dengan menggunakan elevator yang tepat.
c. Ekstraksi gigi salah
Mencabut gigi yang salah ini biasanya terjadi ketika dokter gigi diminta untuk mencabut gigi dengan tujuan ortodonti, terutama dari pasien yang berada dalam tahap pertumbuhan gigi bercampur.
4. Cedera tulang
a. Fraktur tulang alveolar
Pencabutan gigi mengindikasikan untuk pengambilan tulang alveolar sebagian untuk menghilangkan hambatan ketika pencabutan gigi. Namun, dalam beberapa
7
situasi, tulang alveolar dapat mengalami fraktur dan tercabut bersama dengan gigi.
Penyebab dari fraktur tulang alveolar adalah penggunaan kekuatan yang berlebihan, yang mana fraktur tulang sebagian besar dari cortical plate.
b. Fraktur tuberositas maksila
Fraktur tuberositas maksila terkadang dapat terjadi karena penggunaan elevator yang tidak terkontrol.
5. Cedera struktur yang berdekatan a. Cedera syaraf
Cabang-cabang syaraf kranial kelima yang mensyarafi pada mukosa dan kulit.
Cabang tertentu yang paling sering terlibat adalah syaraf mental dan lingual. Jika pencabutan dilakukan pada area syaraf mental dan foramen mental harus dilakukan dengan hati-hati. Jika syaraf ini terluka akan mengalami parastesi pada bibir dan dagu. Syaraf lingual yang secara anatomis terletak langsung terhadap aspek lingual mandibula di wilayah retromolar pad. Syaraf lingual jarang beregenerasi jika mengalami trauma. Syaraf alveolar inferior dapat mengalami trauma sepanjang kanalnya. Tempat yang paling umum dari cedera adalah area molar ketiga rahang bawah. Pencabutan molar ketiga yang impaksi dapat mencederai saraf di kanalnya.
b. Cedera pada sendi temporomandibula
Sendi temporomandibula dapat mengalami trauma ketika pencabutan gigi mandibula. Pencabutan gigi molar mandibula sering membutuhkan kekuatan yang besar. Jika rahang tidak cukup didukung selama ekstraksi, pasien mungkin mengalami rasa sakit pada daerah ini.
6. Perdarahan pasca bedah
Ekstraksi gigi adalah prosedur pembedahan yang menghadirkan tantangan berat untuk mekanisme hemostatik bagi tubuh. Pertama, jaringan mulut dan rahang sangat vaskular. Kedua, pasien cenderung memainkan lidah pada daerah bekas pencabutan dan kadang-kadang mengeluarkan gumpalan darah, yang memulai perdarahan sekunder. Lidah juga dapat menyebabkan perdarahan sekunder dengan menciptakan tekanan negatif yang menghisap bekuan darah dari soket. Ketiga, obat-obatan seperti
8
antikoagulan dapat menyebabkan perdarahan setelah pencabutan. Keempat, beberapa penyakit sistemik juga dapat menyebabkan perdarahan.
7. Penyembuhan yang tertunda dan infeksi a. Infeksi
Infeksi disebabkan karena masuknya mikroorganisme yang patogen.
b. Wound dehiscence
Jika flep jaringan lunak dikembalikan ke posisi semula dan dijahit tanpa landasan tulang yang memadai, flep jaringan lunak yang tidak didukung sering mengendur dan terpisah sepanjang garis sayatan. Penyebab kedua dari wound dehiscence adalah menjahit dibawah tegangan, jahitan menyebabkan iskemia dari flep margin dengan nekrosis jaringan berikutnya, ini yang menungkinkan jahitan untuk tertarik sepanjang flep margin dan meyebabkan wound dehiscence.
c. Dry socket
Pada pemeriksaan, soket gigi tampak kosong dengan bekuan darah sebagian atau seluruhnya hilang dan permukaan tulang alveolar terlihat.9,10
2.4 Dry Socket
Dry socket merupakan komplikasi paling umum setelah pencabutan gigi. Dry socket terjadi karena disintegrasi bekuan darah dengan fibrinolisis. Dry socket didefinisikan sebagai nyeri pasca pencabutan gigi di dalam dan disekitar lokasi pencabutan gigi dan rasa nyeri ini meningkat keparahannya pada setiap waktu antara hari kedua sampai hari ketiga setelah pencabutan gigi, disertai dengan hancurnya gumpalan darah sebagian atau seluruhnya akibatnya tulang alveolar terekspos.11-14
Gambar 1. Gambaran klinis dry socket19
9
2.4.1 Etiologi dan Patofisiologi
Etiologi dari dry socket multifaktorial dan sampai saat ini masih belum jelas diketahui, tetapi terdapat beberapa faktor predisposisi. Etiologi yang diketahui adalah terjadinya peningkatan aktivitas fibrinolisis sehingga melarutkan bekuan darah yang sudah terbentuk.
Birn mengungkapkan dua teori terjadinya dry socket, yaitu:
1. Teori fibrinolitik
Studi klinis dan eksperimental Birn telah menjelasakan mengenai peningkatan aktivitas lokal fibrinolitik sebagai faktor terjadinya dry socket. Birn mengamati terjadinya peningkatan aktivitas fibrinolitik pada alveolus dengan dry socket dibandingkan dengan alveolus normal. Birn memperkuat pernyataannya bahwa lisis total atau sebagian dan hancurnya bekuan darah disebabkan oleh pelepasan mediator selama inflamasi oleh aktivasi plasminogen direct atau indirect ke dalam darah.
Ketika mediator dilepaskan oleh sel-sel pada tulang alveolar pasca trauma, plasminogen akan berubah menjadi plasmin yang menyebabkan pecahnya bekuan darah oleh disintegrasi fibrin. Perubahan ini terjadi oleh adanya proaktivator selular atau plasmatik atau aktivator lainnya. Aktivator-aktivator tersebut diklasifikasikan menjadi direct (fisiologik) dan indirect (nonfisiologik) aktivator dan juga telah dibagi ke dalam subklasifikasi berdasarkan sumbernya, yaitu aktivator intrinsik dan ekstrinsik.
Aktivator direct intrinsik berasal dari komponen plasma seperti aktivator faktor XII dan urokinase. Direct aktivator ekstrinsik berasal dari luar plasma dan termasuk aktivator jaringan dan plasminogen endothelial. Indirect aktivator termasuk streptokinase dan stafilokinase. Substansi-substansinya dihasilkan dari interaksi antara bakteri dengan plasminogen dan bentuk aktivator kompleks tersebut yang mengubah plasminogen menjadi plasmin.
Rasa sakit yang khas pada dry socket berhubungan dengan pembentukan senyawa kinin di dalam alveolus. Kinin mengaktifkan terminal nervus primer afferen yang peka terhadap mediator inflamasi dan substansi allogenik lainnya yang pada konsentrasi 1ng/ml dapat menyebabkan rasa sakit yang hebat. Plasmin juga
10
menyebabkan perubahan kallikrein menjadi kinin di dalam sumsum tulang alveolar.
Sehingga, adanya plasmin dapat menjelaskan kemungkinan terjadinya dry socket dari berbagai aspek.1,4,13,15
2. Teori bakterial
Teori ini didukung dengan adanya jumlah yang tinggi dari bakteri disekitar lokasi pencabutan gigi pada pasien yang menderita dry socket dibandingkan dengan yang tidak menderita dry socket. Mikroorganisme anaerob umumnya ditemukan dan nyeri alveolar adalah karena efek dari racun bakteri pada ujung syaraf alveolar. Dry socket juga lebih sering terjadi pada pasien dengan oral hygiene yang buruk.
Sebuah penelitian mengemukakan bahwa bakteri anaerob penyebab terjadinya dry socket yang dilihat dari aktivitas fibrinolitik dari bakteri treponema denticola.
Actinomyces viscous dan streptococcus mutans dapat memperlambat penyembuhan pasca pencabutan gigi.1
2.4.2 Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari dry socket adalah : 1,4,6,12,15-18
1. Dry socket ditandai dengan timbulnya rasa nyeri antara hari kedua sampai ketiga, rasa nyeri ini menyebar sampai ke telinga dan leher.
2. Soket kosong yang tidak memiliki gumpalan darah dan tulang alveolar terlihat.
Soket dapat terisi oleh sisa-sisa makanan dan air liur.
3. Permukaan tulang sangat sensitif, ditutupi oleh lapisan kuning keabu-abuan dan jaringan nekrotik. tulang kortikal pada rahang bawah tebal yang mengakibatkan perforasi pasokan darah
11 kelompok usia 30 dan 40 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Umar K dkk (2012), menyatakan bahwa dry socket terjadi sebesar 2,2% pada usia 11-20 tahun, 22,2%
pada usia 21-30 tahun, 36,6% terjadi pada usia 31-40 tahun, 16,7% terjadi pada usia 41-50 tahun, 13,4% pada usia 51-60 tahun dan 8,9% pada usia lebih dari 60 tahun.
Dry socket lebih sering terjadi pada usia 31-40 tahun dikarenakan pembentukan tulang alveolar sudah sempurna dan banyak terjadi penyakit periodontal sehingga adanya trauma pencabutan yang kemungkinan menimbulkan terjadinya dry socket.
4. Trauma
Trauma bedah yang cukup besar menyebabkan tulang alveolar melepaskan aktivator-aktivator jaringan dan mengubah plasminogen menjadi plasmin yang menghancurkan bekuan fibrin sehingga soket kering dan terasa nyeri.
5. Merokok
Merokok menyebabkan kemotaksis neutrofil dan fagositosis sehinga mengganggu produksi immunoglobulin. Nikotin dalam tembakau diserap melalui enterococcus, streptococcus viridians, bacillus coryneform, proteus vulgaris, pseudomonas aeruginosa, citrobacter freundi, escheria coli ke mukosa mulut.
Nikotin dapat mengganggu suplai oksigen yang menyebabkan berkurangnya aliran darah pada jaringan, sehingga resiko dry socket semakin besar.
6. Vasokonstriktor
Vasokonstriktor dalam anastesi lokal yang digunakan untuk pencabutan gigi juga dapat menyebabkan dry socket. Vasokonstriktor menyebabkan iskemia lokal sementara yang meningkatkan resiko dry socket.
12
7. Mikroorganisme
Tertundanya penyembuhan dapat terjadi karena adanya mikroorganisme. Nisan et al (1983) menyatakan bahwa bakteri anaerob treponema denticola menunjukkan plasminogen seperti aktivitas fibrinolisis.
8. Kontrasepsi oral
Lily (2014) mengamati bahwa dry socket terjadi tiga kali lebih sering pada wanita yang mengkonsumsi obat kontrasepsi oral dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsi. Kontasepsi oral meningkatkan aktivitas fibrinolitik yang mempengaruhi stabilitas bekuan darah setelah pencabutan gigi. Kontrasepsi oral meningkatkan faktor II, VII, VIII, X dan plasminogen sehingga meningkatkan lisis dari bekuan darah.
9. Radioterapi
Radioterapi head and neck menurunkan suplai darah ke mandibula.8,13,18-20
2.4.4 Pencegahan
Ada beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya dry socket, yaitu:
1. Lakukan pembersihan rongga mulut sebelum operasi untuk mengurangi jumlah plak di dalam rongga mulut.
2. Riwayat klinis dan pemeriksaan radiografi disarankan khususnya pada pencabutan gigi yang sulit.
3. Profilaksis antibiotik yang tepat untuk pasien immunocompromise, pencabutan molar tiga yang sulit dan pada pasien dengan riwayat perikoronitis.
4. Untuk pasien yang merokok disarankan sebelum dan sesudah operasi untuk tidak merokok.
5. Bagi pasien wanita yang mengkonsumsi obat kontrasepsi oral, pencabutan gigi harus dilakukan pada hari ke 23 melalui 28 siklus tablet.
6. Disarankan untuk tidak berkumur-kumur terlalu keras dan menyikat gigi dengan lembut.
13
7. Penggunaan klorheksidin
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa penggunaan pra dan perioperatif dari 0,12% klorheksidin dapat mengurangi frekuensi terjadinya dry socket setelah pencabutan molar tiga rahang bawah.1
2.4.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dry socket dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Irigasi
Irigasi soket dengan normal salin dan pemberian analgesik yang potensial telah digunakan dalam penatalaksanaan dry socket. Pemeliharaan kebersihan rongga mulut yang baik dan berkumur dengan normal salin hangat membantu dalam penyembuhan soket. Irigasi soket dengan larutan salin berguna untuk membuang fragmen gigi dan tulang, membuang jaringan nekrotik dan debris makanan. Nyeri dapat dikontrol dengan pemberian analgesik yang potensial.4,15
2. Medicated dressing
Turner berpendapat bahwa kemasan dari soket dapat menunda penyembuhan luka dan meningkatkan kemungkinan infeksi. Fazakerley dan Field menyarankan pelepasan jahitan lalu irigasi dengan larutan salin hangat dibawah anastesi lokal sebelum aplikasi dari bahan dressing. Bahan dressing mengandung zinc oxide, eugenol, anastetik dan antibiotik diaplikasikan ke kasa. Setiap 2-3 hari, kasa harus diganti dan dilepas setelah nyeri reda. 1,4,13,15
14
2.5 Kerangka Teori
Pencabutan Gigi
Proses Penyembuhan Soket
Komplikasi Pencabutan Gigi
Dry Socket
Etiologi dan Gambaran Faktor Pencegahan Penatalaksanaan Patofisiologi Klinis Predisposisi
2.6 Kerangka Konsep
Prevalensi Dry Socket
Prevalensi pada Prevalensi pada rahang atas rahang bawah
15
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survei yang bertujuan untuk menggambarkan prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU jalan Alumni no.2 USU, Medan.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 1 Februari 2016 – 18 Februari 2016.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang mengalami dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015.
3.3.2 Sampel Penelitian
Teknik pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total sampling, diamana sampel merupakan keseluruhan dari populasi. Besar sampel sebanyak 61 kasus dry socket.
16
3.4 Variabel dan Definisi Operasional Tabel 1. Variabel dan Definisi Operasional
Variabel Penelitian Definisi Operasional
Dry Socket Komplikasi setelah pencabutan gigi,
karena tidak terbentuknya bekuan darah normal sehingga menyebabkan terbukanya tulang alveolar.
Rahang atas Tulang rahang bagian atas dan tidak dapat digerakkan.
Rahang bawah Tulang rahang bagian bawah dan
dapat digerakkan.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara mencatat data sekunder rekam medis pasien yang mengalami dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015.
3.6 Pengolahan dan Analisis data 3.6.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dari hasil penelitian dilakukan secara komputerisasi.
3.6.2 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara menghitung persentase hasil pencatatan data sekunder rekam medis dari pasien yang mengalami dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015.
17
3.7 Ethical Clearance
Ethical Clearance adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh Komisi Etik Penelitian untuk penelitian yang melibatkan mahluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan) yang menyatakan bahwa suatu proposal riset layak dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
18 pasien pada tahun 2014 dan 2015. Dalam penelitian ini diambil berupa prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang bawah. Dari data sekunder tersebut diperoleh : 1. Pada tahun 2014 terdapat 3.417 kasus pencabutan gigi dengan 33 pasien yang sebanyak 61 orang dengan data yang lengkap.
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa pada tahun 2014 terdapat 3.417 kasus pencabutan gigi dengan 33 pasien yang mengalami dry socket yang setara dengan persentase sebesar 0,9%. Sedangkan pada tahun 2015 terdapat 3.778 kasus pencabutan gigi dengan 28 pasien yang mengalami dry socket yang setara dengan pesentase sebesar 0,7%.
Tabel 2. Prevalensi dry socket di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada Tahun 2014 dan 2015
19
Diagram 1. Prevalensi dry socket di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU Pada tahun 2014 dan 2015
4.2 Prevalensi Dry Socket Pada Rahang Atas Dan Rahang di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU Pada Tahun 2014 dan 2015
Berdasarkan rekam medis pada tahun 2014 terdapat 33 kasus dry socket, dengan uraian 15 kasus dry socket terjadi pada rahang atas dengan persentase sebesar 45,5%
dan 18 kasus dry socket terjadi pada rahang bawah dengan persentase sebesar 54,5%.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa kasus dry socket lebih sering terjadi pada rahang bawah.
Tabel 3. Prevalensi Dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014
Jumlah Persentase
20
Diagram 2. Prevalensi Dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014
Berdasarkan rekam medis pada tahun 2015 terdapat 28 kasus dry socket, dengan uraian 10 kasus dry socket terjadi pada rahang atas dengan persentase sebesar 35,7%
dan 18 kasus dry socket terjadi pada rahang bawah dengan persentase sebesar 64,3%.
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa kasus dry socket lebih sering terjadi pada rahang bawah.
Tabel 4. Prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2015
Jumlah Persentase
Rahang Atas 10 35,7%
Rahang Bawah 18 64,3%
Total 28 100%
Rahang Atas 45,5%
Rahang Bawah
54,5%
21
Diagram 3. Prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2015
Rahang Atas 35,7%
Rahang Bawah
64,3%
22
BAB 5 PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015, diperoleh sebanyak 61 kasus dry socket. Pada tabel 2 bab 4 pada tahun 2014 terdapat 3.417 kasus pencabutan gigi dengan 33 kasus dry socket yang setara dengan persentase sebesar 0.9%. Pada tahun 2015 terdapat 3.778 kasus pencabutan gigi dengan 28 kasus dry socket yang setara dengan persentase sebesar 0,7%. Dari tahun 2014 ke tahun 2015 terjadi penurunan prevalensi dry socket dari persentase sebesar 0,9% menjadi 0,7%.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Barbatunde O dkk, dari rekam medis pada Januari 2010 sampai Desember 2013, terdapat perbedaan prevalensi dry socket disetiap tahunnya, pada tahun 2010 prevalensi dry socket sebesar 2,4%, pada tahun 2011 prevalensi dry socket sebesar 1,1% dan pada tahun 2012 prevalensi dry socket sebesar 0,6%. Ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan, bahwa terjadi penurunan prevalensi dry socket, tetapi terdapat perbedaan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Barbatunde O dkk pada tahun 2012 ke tahun 2013 yang mengalami kenaikan prevalensi dari 0,6% menjadi 1%.5 Ini tidak sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan, dimana berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa prevalensi dry socket mengalami penurunan. Ini disebabkan, pertama, berbedanya cara anamnesis, ketika melakukan anamnesis operator harus menanyakan apakah pasien seorang perokok, apabila pasien wanita ditanyakan apakah pasien sedang mengkonsumsi obat kontrasepsi oral, ada kemungkinan operator tidak menanyakan hal tersebut. Kedua, berbedanya keahlian dari setiap operator. Ketiga, berbedanya penanganan preoperatif dan postoperatif, dimana pembilasan dengan menggunakan chlorhexidin 0,12% sebelum dan setelah pencabutan gigi dapat mengurangi resiko dry socket, menurut beberapa penelitian terdahulu pemberian antibiotik setelah pencabutan gigi juga dapat mengurangi resiko terjadinya dry socket. Keempat, kurang
23
patuhnya pasien dalam melaksanakan instruksi setelah pencabutan gigi, seperti jangan terlalu keras ketika berkumur, jangan menghisap dan menggerakkan lidah ke daerah bekas pencabutan gigi dikarenakan dapat merusak bekuan darah yang telah terbentuk, hindari merokok, hindari menyikat gigi pada daerah bekas pencabutan gigi.
Terakhir, berbedanya jumlah kasus teknik pencabutan gigi (bedah dan tanpa bedah), dimana pencabutan dengan teknik bedah lebih beresiko menimbulkan dry socket karena dapat menimbulkan trauma yang lebih besar. 21
Pada tabel 3 dan tabel 4 bab 4 hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu, prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015 diperoleh hasil pada tahun 2014
Pada tabel 3 dan tabel 4 bab 4 hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu, prevalensi dry socket pada rahang atas dan rahang bawah di Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU pada tahun 2014 dan 2015 diperoleh hasil pada tahun 2014