• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Diharapkan memberi informasi tambahan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita rinitis alergi.

2) Bagi Masyarakat

Diharapkan menambah pengetahuan masyarakat mengenai perbedaan kualitas hidup penderita dan bukan penderita rinitis alergi.

3) Bagi Penulis

1) Menambah pengetahuan penulis secara teoritis, metodologis maupun praktis mengenai perbedaan kualitas hidup penderita dan bukan penderita rinitis alergi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun 2020.

2) Menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai perbedaan kualitas hidup penderita dan bukan penderita rinitis alergi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun 2020.

4) Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 RINITIS ALERGI

2.1.1 DEFINISI RINITIS ALERGI

Rinitis alergi merupakan suatu kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi pada mukosa hidung akibat terpapar alergen, yang dimediasi oleh IgE spesifik (Pitarini et al., 2015). Sedangkan menurut WHO-ARIA, rinitis alergi adalah suatu kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, hidung berair, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE (Nisa, 2017)

2.1.2 EPIDEMIOLOGI RINITIS ALERGI

Rinitis alergi mempengaruhi 10% hingga 40% dari total populasi (Brożek et

al., 2017). Laporan berdasarkan NHANES (2005-2006) menyatakan angka prevalensi populasi rinitis alergi sebanyak dua pertiga berusia 20 tahun, dan menunjukkan prevalensi hay fever seumur hidup sebanyak 11,3%, dengan 6,6%

mengalami gejala dalam 12 bulan terakhir. Pada awal 1990-an ECRHS membuat studi orang dewasa yang berusia 20 hingga 44 tahun di 23 negara di Eropa Barat, Australia dan Selandia Baru dengan menggunakan kuesioner yang diisi sendiri untuk memperkirakan prevalensi alergi hidung. Prevalensi bervariasi diantara 10%-40% dari seluruh yang berpartisipasi, dengan sekitar 12-65% partisipan melaporkan bahwa mereka mengalami pilek atau tersumbat atau mulai bersin terhadap paparan sumber allergen.

Studi The Swiss Study of Air Pollution and Lung Disease in Adults (SAPALDIA) melaporkan penderita rinitis alergi pada orang dewasa berusia 18 hingga 60 tahun adalah 17,9%. Di Eropa, prevalensi rinitis alergi pada orang dewasa cenderung berkisar di antara 10% - 41%, tergantung pada negara tertentu (Wise et al., 2018). Baru-baru ini studi kohort retrospektif di AS melaporkan

prevalensi rinitis alergi sebesar 19,9% dan melaporkan rinitis pada orang dewasa lebih dari 30% (Wallace & Dykewicz, 2017).

Prevalensi rinitis alergi di dunia semakin meningkat termasuk di Indonesia.

Prevalensi rinitis alergi di Indonesia mencapai 1,5-12,4% (Rafi et al., 2015) Peningkatan prevalensi 9% menjadi 12,3% terjadi di Jakarta, sedangkan 17,3%

terjadi di Semarang (Wuryanti et al., 2016). Berdasarkan catatan medis di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Divisi THT-KL diperoleh angka sebesar 66.4%

pasien dengan Rinitis alergi berusia 10 – 29 tahun dan 45.1% di antaranya adalah pelajar (Nurhutami et al., 2020). Pada penelitian yang dilakukan mahasiswa Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Junaedi (2015) prevalensi rinitis alergi pada mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yaitu sebesar 41.4%.

2.1.3 ETIOLOGI RINITIS ALERGI 1) Alergen

Alergen hirupan adalah alergen terbanyak pada rinitis alergi (Harsono &

Endaryanto, 2009). Paparan alergen terutama aeroallergen, menjadi alergen yang paling umum adalah alergen luar dan dalam ruangan, Di negara beriklim tropis seperti Indonesia, paparan tungau dan debu rumah merupakan faktor paling penting pada perkembangan penyakit alergi terutama alergi pernapasan (Yudhistira et al, 2019)

2) Polutan

Fakta epidemiologi menyatakan bahwa polutan memperberat gejala rinitis.

Polusi terdapat dari dalam ruangan seperti asap rokok dan gas dan juga diluar ruangan seperti carbon dioksida, nitrogen, gas buang disel dan sulfur dioksida (Harsono & Endaryanto, 2009).

3) Obat obatan tertentu

Riwayat pengunaan beberapa obat dapat menyebabkan atau memperburuk gejala rinitis. Contoh obat yang dapat memicu seperti antihipertensi, aspirin, obat anti inflamasi nonsteroid (Harsono & Endaryanto, 2009) dan kontrasepsi oral (Scadding & Scadding, 2016).

2.1.4 FAKTOR RISIKO RINITIS ALERGI

Faktor risiko rinitis alergi adalah riwayat atopi keluarga, dikatakan bahwa jika seorang ayah atau ibu memiliki rinitis alergi, anak-anak mereka memiliki risiko risiko rinitis alergi yang lebih tinggi. Sebuah studi epidemiologi menemukan stres adalah faktor risiko rinitis alergi pada anak-anak dan dewasa. Demikian juga paparan debu adalah faktor risiko rinitis alergi (An et al., 2015).

Selain itu faktor risiko rinitis alergi termasuk jenis kelamin laki-laki, kelahiran selama musim serbuk sari, status anak sulung, penggunaan antibiotik sejak awal, ibu yang merokok aktif, paparan alergen dalam suatu ruangan, kadar serum IgE yang meningkat sebelum usia 6 tahun (> 100 IU / mL), dan adanya IgE spesifik alergen (Schuler IV & Montejo, 2019). Sementara pengaruh paparan infeksi terhadap anak usia dini (the hygiene hypothesis), hewan, dan perokok pasif pada perkembangan atopi dan rinitis alergi masih belum dapat dibuktikan kebenenarannya (Meltzer, 2016).

2.1.5 KLASIFIKASI RINITIS ALERGI

Menurut klasifikasi asli pada tahun 1997, rinitis alergi dibagi menjadi 2 kategori yaitu pesistent (Gejala yang timbul sepanjang tahun dan gejala berlangsung setidaknya 6 bulan per satu tahun) dan seasonal (timbulnya gejala secara musiman) (Cheng et al., 2018). Semakin kompleks seiring berkembangnya waktu dan kebutuhan pengobatan, rinitis alergi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

2.1.5.1 Berdasarkan waktu serangan dan jenis paparan (Brożek et al., 2017):

1) Rinitis alergi musiman (seasonal allergic rhinitis), disebabkan oleh alergen yang berada di luar ruangan seperti serbuk sari dan spora jamur.

2) Rinitis alergi menahun (perennial allergic rhinitis), disebabkan oleh alergen yang berada di dalam ruangan seperti tungau debu rumah, jamur, kecoak, dan bulu binatang.

3) Rinitis alergi oleh karena pekerjaan (occupational allergic rhinitis) 2.1.5.2 Berdasarkan frekuensi gejala (Brożek et al., 2017)

1) Intermiten (<4 hari per minggu atau <4 minggu per tahun) 2) Persisten (> 4 hari per minggu dan> 4 minggu per tahun) 2.1.5.3 Berdasarkan tingkat keparahan (Dykewicz et al., 2017)

1) Mild (ringan) Ketika gejalanya tidak mengganggu kualitas hidup.

2) Moderate-severe (sedang-berat) Ketika gejalanya cukup buruk sehingga mengganggu kualitas hidup. Faktor yang dapat menyebabkan klasifikasi severe termasuk gangguan tidur, penurunan nilai harian, olahraga, atau rekreasi kegiatan; dan penurunan kinerja sekolah atau pekerjaan.

2.1.6 PATOFISIOLOGI RINITIS ALERGI

Rinitis alergi adalah penyakit akibat paparan allergen yang diperantarai IgE yang pada individu yang memiliki kecenderungan genetik, dan sebagian karena perubahan pada sistem kekebalan tubuh individu tersebut. Alergen yang umum terlibat dalam rinitis alergi terutama adalah protein dan glikoprotein yang ditemukan dalam partikel di udara. Kotoran tungau, kecoak dan bulu binatang adalah alergen yang dapat memicu gejala intermiten atau persisten sepanjang tahun di daerah beriklim sedang (Eifan & Durham., 2016).

Pada rinitis alergi, banyak sel inflamasi, termasuk sel mast, sel T positif CD4, sel B, makrofag, dan eosinofil, menyusup ke lapisan hidung setelah terpapar alergen. Pada penderita alergi, sel T yang menginfiltrasi mukosa hidung secara dominan adalah T helper 2 (Th2) dan melepaskan sitokin (mis. Interleukin [IL] -3, IL-4, IL-5, dan IL-13) yang mempromosikan imunoglobulin E (IgE) produksi

berkepanjangan. Berbagai mediator dan sel terlibat dalam fase ini. Beberapa produk sel mast seperti TNF-α, IL-5, dan IL-8 memiliki potensi untuk mengaktifkan sel imun lainnya seperti monosit, sel T, eosinofil dan basofil. Di sisi lain, beberapa produk sel mast mis. IL-10 memiliki fungsi antiinflamasi atau imunosupresif. Sel-sel imun yang teraktifkan dapat menyebabkan beberapa kerusakan jaringan dan remodeling, misalnya, protein dasar eosinofil menginduksi cedera sel epitel, dan sitokin Th2 (IL-4, IL-5, dan IL-9) memicu lebih banyak produksi IgE, hiperplasia sel, dan produksi lendir yang berlebihan (Cheng et al., 2018).

2.1.7 DIAGNOSIS RINITIS ALERGI

2.1.7.1 ANAMNESA

Anamnesis dimulai dengan riwayat medis umum yang menyeluruh dan harus ditindaklanjuti dengan pertanyaan yang lebih spesifik untuk alergi termasuk informasi lingkungan, pekerjaan, informasi tentang riwayat pribadi dan keluarga pasien dengan penyakit alergi. Riwayat keluarga dengan rinitis alergi, asma, atau dermatitis atopik memperkuat diagnosis rinitis alergi pada pasien dengan gejala yang sesuai. Tingkat keparahan gejala harus dinilai untuk membantu memandu keputusan pemberian pengobatan (Michael et al., 2015).

Gejala yang paling sering termasuk bersin, rinore anterior, obstruksi hidung bilateral dan pruritus hidung pada pasien dengan rinitis alergi. Gejala yang kurang khas seperti epistaksis, gejala hidung unilateral, sakit kepala yang parah, atau anosmia. Dokter juga harus memperhatikan obat-obatan pasien, seperti obat antihipertensi, agen psikotropika, dan dekongestan topikal, yang dapat menyebabkan gejala yang berkaitan dengan rinitis alergi (Seidman et al., 2015).

Umumnya 96% pasien rinitis alergi akan datang dengan dua gejala atau lebih (Linneberg et al., 2016).

2.1.7.2 PEMERIKSAAN FISIK

Pada pasien dengan rinitis alergi penggunaan rhinoskopi anterior dan endoskopi hidung adalah pendekatan yang banyak digunakan. Endoskopi hidung adalah langkah selanjutnya, yang berguna untuk pasien dengan kegagalan pengobatan atau untuk pengecualian dalam kondisi lain (Cheng et al., 2018).

Temuan pada pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis rinitis alergi meliputi beberapa temuan klasik, seperti hidung berair dan pembengkakan berwarna merah muda pucat atau kebiruan pada mukosa hidung. Pada mata sering ditemukan mata berair, pembengkakan konjungtiva dan, terutama pada anak-anak,

―allergic shiner‖ dengan penggelapan dan pembengkakan kelopak mata bagian bawah yang menandakan adanya penggumpalan di pembuluh darah vena (Seidman et al., 2015).

Pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dijumpai adalah (Schuler IV &

Montejo, 2019) :

Gambar 2.2 Temuan pada pemeriksaan fisik rinitis alergi. (a) facial grimacing or twitching (gatal pada hidung) (b) allergic shiners. (c) dennie-morgan lines. (d) the allergic salute. (e) nasal creasing related to the allergic salute. (f) allergic facies. (g) mukosa hidung.

1) Allergic shiners: Terjadi karena edema infraorbital akibat venodilasi terkait dengan perubahan pembuluh darah dalam konteks peradangan alergi.

2) Line Dennie-Morgan: Terdiri dari lipatan yang meningkat atau garis di bawah yang lebih rendah kelopak mata dan lebih sering terjadi pada pasien rinitis alergi.

3) Allergic salute: Ini adalah perilaku yang berhubungan dengan hidung gatal dan rinore yang terdiri dari menggosok hidung berulang kali. Ini berulang mendorong ujung hidung dengan tangan mengarah ke lipatan hidung melintang.

4) Fasies alergi: Khas terdiri dari langit-langit melengkung yang tinggi, mulut pernapasan, dan maloklusi gigi. Ini umumnya terlihat pada anak-anak dengan rinitis alergi.

5) Mukosa hidung: Dengan rinoskopi anterior, mukosa hidung mungkin terlihat pucat dan berwarna biru dengan edema turbinate.

6) Cobblestoning: Orofaring posterior dapat menyebabkan jaringan limfoid hiperplastik yang mengarah ke penampilan ―cobblestoning” atau "batu" pada mukosa.

7) Membran timpani dapat dijumpai dalam keadaan abnormal, baik dengan retraksi atau dengan akumulasi cairan serosa. Ini berkaitan dengan pembengkakan mukosa hidung dan disfungsi tuba eustachius.

2.1.7.2 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Uji tusuk

Uji tusuk atau Skin prick test (SPT) adalah tes standar yang banyak digunakan dalam diagnosis dugaan kasus alergi yang diperantarai IgE. SPT sebagai standar emas dalam diagnosis alergi. Ini memberikan informasi entang keberadaan IgE spesifik terhadap protein dan alergen (Ibekwe & Ibekwe, 2016).

2) Pengukuran serum spesifik IgE

Berbeda dengan nilai prediksi rendah pengukuran IgE serum total dalam diagnosis penyakit alergi, pengukuran IgE spesifik alergen dalam serum dinilai

penting. Selain itu, pengukuran IgE spesifik tidak dipengaruhi oleh obat atau penyakit kulit. (Cheng et al., 2018).

3) Imaging

Computerized tomography (CT) adalah penyelidikan radiologis utama untuk sebagian besar gangguan sinonasal, tetapi penggunaannya terbatas dalam diagnosis. CT-scan harus dilakukan hanya pada pasien yang tidak menanggapi pengobatan, dan pada pasien dengan rinitis unilateral (Mafee et al., 2006).

Pelayan kesehatan tidak harus melakukan pencitraan sinonasal pada pasien yang datang dengan gejala yang konsisten pada diagnosis rinitis alergi (Seidman et al., 2015).

2.1.8 TATALAKSANA RINITIS ALERGI 2.1.8.1 TERAPI NON FARMAKOLOGI

Tujuan terapi di rinitis alergi adalah untuk meringankan gejala dan memulihkan kualitas hidup (Royal, 2019). Langkah-langkah non-farmakologis bertujuan untuk mengurangi paparan iritasi dan atau agen alergen. Paparan terhadap alergen dan iritan, seperti tungau debu, jamur, serbuk sari, hewan peliharaan, dan asap tembakau harus diminimalkan (Kakli & Riley, 2016).

2.1.8.2 TERAPI FARMAKOLOGI 1) Antihistamin oral

Dari empat reseptor histamin yang diketahui sejauh ini (H1, H2, H3 dan H4), reseptor H1 terutama bertanggung jawab untuk reaksi alergi langsung dan menjadi target dari pengobatan (Klimek et al., 2016). Antihistamin oral terdiri dari generasi pertama dan kedua. Antihistamin generasi pertama (mis.

Diphenhydramine, chlorpheniramine, dan hydroxyzine) melintasi sawar darah-otak dengan mudah dan mengikat reseptor H1 yang dapat menyebabkan sedasi.

Antihistamin generasi pertama kurang spesifik karena mengikat reseptor kolinergik, a-adrenergik, dan serotonergik, yang dapat menyebabkan mulut

kering, mata kering, retensi urin, sembelit, dan takikardia. Penggunaan kumulatif dengan sifat antikolinergik yang kuat dikaitkan dengan risiko demensia yang lebih tinggi. Sebaliknya, antihistamin generasi kedua (misalnya, fexofenadine, cetirizine, levocetirizine, loratadine, desloratadine, ebastine, epinastine, dan bilastine) lebih spesifik untuk reseptor H1 perifer dan terbatas penetrasi terhadap sawar darah-otak, sehingga mengurangi sedasi. (Cheng et al., 2018).

Karena profil keamanannya yang sangat baik dan keunggulan terapi dalam pengobatan rinitis alergi, anti-H1 generasi kedua menjadi pilihan utama pengobatan (Sakano et al, 2018).

2) Antihistamin Intranasal

Antihistamin intranasal memiliki aksi yang cepat dan dapat membantu secara signifikan mengurangi hidung tersumbat, bersin dan hidung berair. Seperti halnya antihistamin oral, antihistamin intranasal juga memiliki target reseptor H1.

Antihistamin intranasal dianggap mencapai tingkat obat yang lebih tinggi di hidung dan memiliki efek antiinflamasi, seperti stabilisasi sel mast yang tidak ada dalam antihistamin oral (Schuler IV & Montejo, 2019).

3) Dekongestan hidung

Dekongestan adalah stimulan adrenergik atau adrenomimetik sebagai vasokonstriksi utama, yang menghilangankan sumbatan hidung dengan cepat pada rinitis alergi (Laccourreye et al., 2015). Dekongestan hidung dibagi menjadi dua kelompok: yaitu penggunaan secara topikal oral dan hidung. Dekongestan hidung harus digunakan maksimal hingga 5-7 hari, karena penggunaan jangka panjang meningkatkan risiko rinitis yang resisten terhadap obat.

Kombinasi oxymetazoline dan mometasone furoate untuk penggunaan topikal hidung mencapai onset aksi yang cepat, bekerja lebih baik pada sumbatan hidung, dan mengurangi ukuran polip pada pasien dengan rinitis alergi musiman dan polip hidung dibandingkan dengan dua obat yang diberikan secara terpisah (Cheng et al., 2018).

4) Kortikosteroid intranasal

Kortikosteroid intranasal memiliki antiinflamasi sifat yang mengurangi gejala bersin, gatal, hidung berair dan kemacetan. Data menunjukkan bahwa kortikosteroid intranasal dapat mengurangi gejala alergi mata, seperti gatal, kemerahan, dan bengkak. Kortikosteroid intranasal menghasilkan pengurangan mediator dan pelepasan sitokin yang signifikan, sehingga mengurangi perekrutan basofil, eosinofil, neutrofil, dan sel mononuklear untuk sekresi hidung (Sakano et al., 2018). Meskipun diindikasikan aman, penggunaan pada wanita hamil membutuhkan pertimbangan yang lebih besar, karena kekhawatiran tentang embriogenesis (Nowicka & Samoliński, 2015).

5) Antagonis Reseptor Leukotrine

LTRA (Leukotriene Receptor Antagonists) dapat dibagi menjadi dua jenis terdasarkan pada mekanisme kerja yaitu: bertindak sebagai penghambat kompetitif reseptor (contoh: montelukast, zafirlukast, pranlukast) dan yang menghambat enzim 5-lipoksigenase (contoh: zileuton) (Klimek et al., 2016).

LTRA memblokir reseptor cysteinyl leukotriene 1 (CysLT1) yang menghambat leukotrien, mediator inflamasi yang diproduksi oleh mast sel, eosinofil, basofil, makrofag, dan monosit, yang berkontribusi pada gejala rinitis alergi. Montelukast adalah satu-satunya LTRA disetujui oleh FDA untuk pengobatan (Mark, 2017).

Gambar 2.3 Rekomendasi pengobatan rinitis alergi.

2.1.9 KOMPLIKASI RINITIS ALERGI 1) Polip hidung

Beberapa penelitian menyatakan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. Polip hidung terbentuk sebagai akibat peradangan kronis pada mukosa sinus paranasal.

Khasnya adalah jinak, biasanya berkembang secara bilateral pada orang dewasa (Kakli & Riley., 2016)

2) Asma

Rinitis alergi adalah faktor risiko independen untuk timbulnya asma, dan 40%

pasien rinitis alergi memiliki atau akan menderita asma. Karena respons inflamasi jalan napas atas dan bawah memiliki persamaan dan saling terkait satu sama lain.

Untuk pasien rinitis alergi, diagnosis untuk asma harus didasari riwayat medis pasien, gejala dan pemeriksaan fungsi paru (Cheng et al., 2018). Hal yang sama juga didukung oleh penelitian lain yang menyatakan bahwa rinitis alergi juga sering dikaitkan dengan asma yang dapat ditemukan di 15% hingga 38%

penderita rinitis alergi, dan gejala hidung yang dapat dijumpai pada 6% sampai 85% penderita asma (Brożek et al., 2017)

3) Konjungtivitis alergi

Mata gatal, berair, kemerahan dan gejala mata lainnya adalah gejala utama pasien rinitis alergi dengan konjungtivitis alergi, terutama pasien rinitis alergi musiman, yang insidensinya bisa mencapai 85%. Survei rinitis alergi selama tahun 2005-2011 menunjukkan bahwa kejadian tersebut gejala mata pada pasien rinitis alergi adalah 32% -59% berdasarkan riwayat medis dan manifestasi klinis (Cheng et al., 2018).

4) Rinosinusitis kronis

Peradangan alergi adalah faktor utama yang terkait dengan rinosinusitis kronis. Prevalensi rhinosinusitis kronis ditemukan menjadi 30% pada pasien

rinitis alergi dan 23% pada pasien asma, dibandingkan dengan masing-masing hanya 6% dan 7%, pada subyek tanpa rinitis alergi atau asma (Cheng et al., 2018).

5) Otitis media

Secretory otitis media (SOM) adalah penyakit inflamasi nonsuppuratif. Efusi telinga tengah yang meliputi cairan serosa dan lendir seperti pulpa dan gangguan pendengaran adalah fitur utama dan rinitis alergi dianggap sebagai salah satu faktor risiko yang mungkin menyebabkan SOM pada anak-anak. Memang, satu studi dari Inggris menemukan bahwa prevalensi rinitis alergi pada pasien dengan otitis media kronis atau berulang berkisar antara 24% hingga 89% (Cheng et al., 2018).

2.1.10 KUESIONER SFAR

Kuesioner SFAR (Score for Allergic Rhinitis) telah digunakan di Prancis dan digunakan enam negara di Afrika. Kuesioner SFAR mudah digunakan dan membutuhkan waktu kurang dari 3 menit untuk setiap individu. SFAR adalah instrumen yang tervalidasi dengan 8 item yang sangat singkat. Dibandingkan dengan semua instrumen lain yang ada, SFAR memiliki dua keunggulan yaitu lebih informatif daripada instrumen yang biasa digunakan. SFAR juga memiliki sensitivitas, spesifisitas yang lebih baik dan positive predictive value yang lebih baik dalam menegakkan rinitis alergi pada individu dibandingkan dengan instrumen lain.

Kuesioner SFAR terdiri dari 8 pertanyaan yaitu:

(1) Gejala pada hidung dalam 12 bulan terakhir, seperti bersin, pilek, dan hidung tersumbat.

(2) Gejala hidung disertai dengan mata gatal dan berair (rhinoconjunctivitis).

(3) Bulan atau musim terjadinya gejala (musiman atau sepanjang tahun)

(4) Faktor pemicu terjadinya gejala hidung seperti debu rumah, serbuk sari, dll.

(5) Kesadaran diri akan status alergi.

(6) Tes alergi positif sebelumnya.

(7) Diagnosis medis alergi sebelumnya (Asma, alergi kulit, rinitis alergi).

(8) Riwayat alergi pada keluarga.

Sensitivitas dan spesifisitas serta predictive value menunjukkan bahwa cut-off value dari kuesioner SFAR adalah ≥ 7 yang dengan optimal dapat membedakan antara individu penderita rinitis alergi dan yang bukan penderita rintis alergi (Annesi-Maesano et al., 2002).

Setiap pertanyaan diberi skor antara 1-2 dengan total skor maksimum 16.

Hasil penelitian tentang sensitivitas dan spesifisitas SFAR sebagai alat diagnostik untuk rinitis alergi di Rumah Sakit Umum H. Adam Malik Medan, menunjukkan sensitivitas kuesioner SFAR sebesar 97% dan spesifisitas 33% sedangkan positive predictive value sebesar 95% dan negative predictive value sebesar 50%. Oleh karena itu, kuesioner SFAR dapat digunakan untuk mengidentifikasi rinitis alergi (Devi et al., 2019).

2.2 KUALITAS HIDUP

2.2.1 DEFINISI KUALITAS HIDUP

Menurut WHO kualitas hidup adalah persepsi individu terhadap kehidupan yang dijalaninya sesuai dengan budaya, nilai dan perilaku tempat individu tersebut tinggal serta membandingkan kehidupannya tersebut dengan tujuan, harapan dan standar yang telah ditetapkan oleh individu (WHO, 1994).

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu yang berfokus terhadap kondisi kesehatan fisik dan mental serta hubungannya dengan risiko dan kondisi kesehatan, status fungsional, dukungan sosial dan status sosial ekonomi (CDC, 2000).

2.2.2 KONSEP HEALTH-RELATED QUALITY OF LIFE (HRQoL)

Konsep health-related quality of life (HRQoL) dan faktor-faktor penentunya telah berkembang sejak tahun 1980an. Istilah kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (HRQoL) umumnya digambarkan sebagai suatu istilah yang mengacu pada aspek kesehatan dari kualitas hidup. Umumnya dianggap sebagai dampak penyakit dan perawatan pada kecacatan dan fungsi sehari-hari, juga dampak kesehatan yang dirasakan individu pada kemampuan untuk hidup kehidupan yang memuaskan meliputi aspek-aspek pada kualitas hidup yang jelas mempengaruhi kesehatan fisik maupun mental.

Pada level individu, HRQoL mencakup persepsi terhadap kesehatan fisik dan mental dan korelasinya termasuk risiko dan kondisi kesehatan, status fungsional, dukungan sosial, dan status sosial ekonomi. Namun, HRQoL secara spesifik adalah suatu ukuran nilai yang ditetapkan untuk waktu tertentu kehidupan yang dimodifikasi oleh gangguan, keadaan fungsional, persepsi dan peluang, sebagaimana dipengaruhi oleh penyakit, cedera, perawatan dan kebijakan (Haraldstad et al., 2019).

HRQoL sebenarnya ukuran status kesehatan yang dipersepsikan sendiri yang dapat dijelaskan kuesioner kesehatan untuk mengambarkan fungsi dan kesejahteraan (Karimi & Brazier., 2016). Pada level komunitas, HRQoL mencakup sumber daya, kondisi, kebijakan, dan praktik yang mempengaruhi persepsi kesehatan populasi dan status fungsional (CDC, 2000).

2.2.3 KUALITAS HIDUP PENDERITA RINITIS ALERGI

Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi seseorang terhadap kepuasan dalam hidupnya yang berhubungan dengan kesehatan tentang penyakit dan gangguan yang memiliki dampak signifikan pada kehidupan seorang pasien.

Mayoritas pasien dengan rinitis alergi melaporkan bahwa kualitas hidup mereka (sempurna, 11%; sangat baik, 29%; dan baik, 34%) jika dibandingkan dengan orang dewasa tanpa alergi hidung yang mengambarkan kualitas kesehatan mereka

secara sempurna sebanyak 23%. Terbukti bahwa pasien rinitis alergi signifikan lebih rendah kualitas kesehatannya. Hampir dua kali lipat pasien rinitis alergi menilai kesehatan mereka dalam kondisi yang buruk (27%) dibandingkan dengan pasien tanpa alergi pada hidung (15%) (Meltzer, 2016).

1) Dampak terhadap tidur

Meskipun gejala utama rinitis alergi adalah bersin, keluarnya cairan dari hidung, dan hidung sumbatan, namun rinitis alergi juga dikaitkan dengan kondisi gangguan tidur. Gejala rinitis alergi meyebabkan kesulitan untuk memulai tidur dan bangun lebih dini telah dilaporkan pada penderita dengan rinitis alergi.

Peningkatan interleukin IL-6 dan sekresi TNF (Tumor Nekrosis Factor) dapat menjelaskan kesulitan unuk memulai tidur. Dilaporkan adanya hubungan insomnia dengan pergeseran dominasi T helper tipe 2 (Th2) yang memicu respons alergi. Hal ini menyatakan bahwa inflamasi dan sitokin yang disebabkan oleh rinitis alergi, menyebabkan gangguan pada kualitas tidur (Suzuki et al., 2018).

Gejala rinitis menyebabkan obstruksi hidung yang telah terbukti berkontribusi pada resistensi pada saluran nafas atas. Ketika ada peningkatan resistensi hidung, maka akan mengurangi aliran udara melalui meningkatnya tekanan di sekitar jalan napas yang dikenal sebagai faktor risiko sleep apnea obstruktif (OSA). Demikian rinitis alergi telah lama diakui sebagai faktor risiko OSA (Cao et al., 2018).

Gangguan tidur yang disebabkan oleh rinitis alergi harus dipertimbangkan dengan serius, karena dapat menyebabkan kelelahan, lesu badan, gangguan ingatan, lekas marah, depresi, dan lain-lain. (Hoehle et al., 2017). Selain itu gejala rinitis alergi juga menyebabkan kantuk di siang hari yang menyebabkan

Gangguan tidur yang disebabkan oleh rinitis alergi harus dipertimbangkan dengan serius, karena dapat menyebabkan kelelahan, lesu badan, gangguan ingatan, lekas marah, depresi, dan lain-lain. (Hoehle et al., 2017). Selain itu gejala rinitis alergi juga menyebabkan kantuk di siang hari yang menyebabkan

Dokumen terkait