• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.6 Metode Analisis Data

Prinsip pengolahan data dilakukan sebagai berikut: (1) editing, yaitu dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kesesuaian jawaban responden. (2) coding, yaitu data yang telah terkumpul dikoreksi, kemudian pemberian tanda atau kode untuk memudahkan Analisa. (3) entry, yaitu data tersebut dimasukkan ke dalam program computer. (4) cleaning data, yaitu pemeriksaan semua data yang telah dimasukkan ke dalam komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data. (5) saving, yaitu penyimpanan data untuk siap dianalisis dan (6) analisis data.

Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dimasukkan ke dalam komputer menggunakan aplikasi SPSS (Statistical Product and Service Solution). Analisis

secara univariat untuk mendeskripsikan karakteristik subjek penelitian dan disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi kemudian analisis bivariat yang digunakan untuk melihat perbedaan kualitas hidup penderita dan bukan penderita rinitis alergi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara adalah uji analisis parametrik t test independent jika data berdistribusi normal, atau mengunakan uji whitney jika data tidak berdistribusi dengan normal.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 HASIL PENELITIAN

4.1.1 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan secara online dengan mengunakan kuesioner online yang diisi responden sesuai keberadaan atau lokasi tempat kediaman responden. Google form disebarkan kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran USU angkatan 2017 dengan menggunakan social media berupa Whatsapp dan Line. Waktu pengumpulan data dilakukan pada bulan September - Oktober.

4.1.2 KARAKTERISTIK SUBJEK PENELITIAN

Dari pengumpulan responden dengan mengunakan kuesioner online, penulis mengumpulkan 213 respoden yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017 yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan sebelumnya. Adapun karakteristik dari responden yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, riwayat penyakit atopi dan riwayat keluarga atopi. Data lengkap mengenai karakteristik responden dapat dilihat dari tabel sebagai berikut :

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin.

Jenis kelamin n %

Laki-laki 79 37,1 %

Perempuan 134 62,9 %

Total 213 100 %

Berdasarkan tabel 4.1 menunjukan distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, sehingga dapat diuraikan bahwa persentasi perempuan lebih besar yaitu dengan jumlah 134 orang (62,9%), sedangkan laki-laki 79 orang (37,1).

Tabel 4 2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia.

Usia n %

19 6 3%

20 63 30%

21 111 52%

22 26 13%

23 5 2%

Total 213 100%

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukan distribusi usia responden paling banyak adalah usia 21 tahun, dengan jumlah 111 orang (52%) diikuti oleh usia 20 tahun dengan jumlah 63 orang (30 %). Usia terbanyak selanjutnya adalah usia 22 tahun dengan jumlah 26 (13%) dilanjutkan dengan usia 19 tahun dengan jumlah 6 orang (3%) dan usia dengan responden yang paling sedikit berusia 23 orang dengan jumlah 5 orang (2%).

Tabel 4.3 Ditribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat penyakit atopi lain.

Riwayat penyakit atopi n %

Ya 19 8,9 %

Tidak 194 91,1 %

Total 213 100 %

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukan distribusi riwayat penyakit atopi lain pada mahasiswa fakultas Kedokteran Sumatera Utara tahun 2020 sejumlah 19 orang (8,9%) dengan 194 orang (91,1 %) tidak memiliki riwayat penyakit atopi lain.

Tabel 4.4 Ditribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat penyakit atopi keluarga.

Riwayat penyakit atopi keluarga n %

Ya 74 34,7 %

Tidak 139 65,2 %

Total 213 100 %

Berdasarkan tabel 4.4 menunjukan distribusi riwayat penyakit atopi keluarga pada mahasiswa fakultas Kedokteran Sumatera Utara tahun 2020 sejumlah 74 orang (34,7%) dengan 139 orang (65,2%) tidak memiliki riwayat penyakit atopi keluarga.

4.1.3 HASIL ANALISA DATA

Pada penelitian ini terdapat 2 kuesioner yaitu kuesioner SFAR (8 komponen pertanyaan) untuk diagnosis rinitis alergi dan SF-36 (36 pertanyaan) untuk menilai kualitas hidup responden. Pertanyaan – pertanyaan yang ada di dalam kuesioner tersebut telah di uji validitas dan reabilitasnya. Dari hasil penelitian diperoleh distribusi responden sebagai berikut:

Tabel 4.5 Distribusi rinitis alergi berdasarkan jenis kelamin.

Jenis kelamin Mahasiswa penderita rinitis alergi

Mahasiswa bukan penderita rinitis alergi

n % n %

Laki-laki 38 48,1 % 41 51,9 % 79

Perempuan 74 55,2 % 60 44,8% 134

Total 112 101 213

Dari tabel 4.5 dapat dilihat distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, sehingga dapat diuraikan bahwa presentasi penderita rinitis alergi perempuan lebih besar yaitu dengan jumlah 74 orang (55,2%), sedangkan laki-laki sebesar 38 orang (48,1 %). Sementara presentasi bukan penderita rinitis alergi, perempuan sebanyak 60 orang (44,8 %) dan laki-laki sebanyak 41 orang (51,9 %).

Tabel 4.6 Distribusi rinitis alergi berdasarkan usia.

Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa distribusi usia responden terbanyak adalah pada usia 21 tahun, dengan jumlah 111 orang (52%) yaitu sebanyak 54 orang (48,6%) yang menderita rinitis alergi dan 57 orang (51,4%) yang tidak menderita rinitis alergi. Dan diikuti oleh usia 20 tahun dengan jumlah 63 orang (30%) yang terdiri dari 38 orang (60,3%) penderita rinitis alergi dan 25 orang (39,7%) bukan penderita rinitis alergi. Usia responden yang paling sedikit adalah usia 19 tahun dengan jumlah 6 orang yang terdiri dari 2 orang penderita rinitis alergi (33,3%) dan 4 orang (66,7%) bukan penderita rinitis alergi.

Tabel 4.7 Distribusi frekuensi rinitis alergi berdasarkan penyakit atopi lain.

Penyakit Atopi penderita rinitis alergi dan 2 orang bukan penderita rinitis alergi. Selanjutnya diikuti oleh eczema sebanyak 1 orang responden (0,5%) yang dialami oleh penderita rinitis alergi. 194 responden (91,1%) tidak memiliki penyakit atopi

lainnya dengan 95 orang penderita rinitis alergi dan 99 orang bukan penderita rinitis alergi.

Tabel 4.8 Distribusi berdasarkan riwayat keluarga yang memiliki penyakit atopi.

Riwayat penyakit

Dari tabel 4.8 dapat dilihat bahwa distribusi riwayat penyakit atopi keluarga terbanyak adalah asma sebanyak 37 responden (17,4%) dengan 32 orang penderita rinitis alergi dan 5 orang bukan penderita rinitis alergi. Riwayat keluarga atopi selanjutnya adalah rinitis alergi dengan jumlah 32 orang (15%) dengan 26 orang penderita rinitis alergi dan 6 orang bukan penderita rinitis alergi. Riwayat keluarga asma dan eczema berjumlah 1 (0,4%) yaitu responden penderita rinitis alergi. Sejumlah 139 responden (65,3%) tanpa riwayat penyakit atopi keluarga dengan 50 orang penderita rinitis alergi dan 89 bukan penderita rinitis alergi.

4.1.4 DISTRIBUSI KARAKTERISTIK KUALITAS HIDUP

Tabel 4.9 Kualitas hidup pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun 2020 secara umum.

Median

(Minimum-Maksimum)

Kualitas Hidup 77 (9-95)

Komponen Kualitas Hidup

Physical Component 84 (13- 98)

Mental Component 60 (4-100)

Pada tabel 4.9 di atas, di dapati nilai kualitas hidup mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara secara umum yang diukur menggunakan kuesioner SF-36 sebesar 77 (9-95) yang terdiri dari dua domain kualitas hidup yaitu physical component yang memiliki median 84 (13- 98) dan mental component yang memiliki memiliki median 60 (4-100).

Tabel 4.10 Kualitas hidup penderita dan bukan penderita rinitis alergi.

Komponen Kualitas

Pada tabel 4.10 di atas, didapati median kualitas hidup penderita rinitis alergi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara adalah 74 dengan nilai minimum 26 dan nilai maximum 94) dengan median domain kualitas hidup physical component sebesar 82 dan mental component sebesar 74.

sementara kualitas hidup bukan penderita rinitis alergi sebesar 78 (9-95) median domain kualitas hidup physical component sebesar 85 dan mental component sebesar 78. Skor yang lebih besar menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik (Bunevicius, 2017). Skor 0 (buruk) sampai 100 (sempurna). Setelah dilakukan uji normalitas data dengan mengunakan uji whitney didapati nilai p <0,05 (p =0,044) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara kualitas hidup penderita rinitis alergi dan kualitas hidup mahasiswa yang bukan penderita rinitis alergi pada mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun 2020.

4. 2 PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada bulan september sampai Oktober 2020 dengan total 213 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017 didapati hasil yaitu 112 orang (53%) penderita rinitis alergi dan 101 orang (47%) bukan penderita rinitis alergi. Didapati penderita rinitis alergi didominasi oleh perempuan yang terdiri dari 74 orang (55,2%) dan 38 orang (48,1 %) laki-laki.

Hasil ini menunjukkan angka yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rafi (2015) terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau angkatan 2013-2014 terhadap 221 kasus rinitis alergi yang menunjukan lebih banyak pada perempuan yaitu 128 orang (57,92%).

Penelitian yang dilakukan Wardhani (2020) yang menunjukan lebih banyak pada perempuan penderita rinitis alergi sebesar 33,8%. Hal yang sama ditunjukan

Mental Health (MH) 56 (8-100) 68 (4-100) 0,540

Subtotal 56 (8-100) 68 (4-100) 0,054

Total Kualitas Hidup

74(26-94) 78 (9-95) 0,044

pada penelitian Kasim & Buchori (2020) yang menyimpulkan bahwa pasien rinitis alergi lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Didapatkan bukti adanya peranan hormon estrogen dan progesteron pada perempuan terhadap rinitis alergi.

Hormon estrogen dan progesteron pada perempuan mempunyai efek pro inflamasi, sebaliknya hormon testosteron pada laki laki mempunyai efek anti inflamasi.

Berdasarkan distribusi umur, rinitis alergi terbanyak pada usia 21 tahun sebanyak 111 (52%). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan bahwa penderita rinitis alergi pada usia dewasa muda. Hasil penelitian lain yang mendukung, melaporkan 80% rinitis alergi berkembang dengan usia 20 tahun (Nurjannah, 2011).

Distribusi penyakit atopi lain terbanyak adalah asma dengan sejumlah 18 responden (8,4%) hal tersebut diperkuat dengan penelitian yang melaporkan bahwa 30% hingga 90% pasien dengan asma memiliki rinitis bersamaan. Hal yang sama juga dipaparkan bahwa hubungan antara asma dan rinitis pada orang dewasa telah diakui selama beberapa dekade, yang menunjukkan bahwa mayoritas dari 1000 penderita asma juga menderita rinitis (Cingi et al, 2017). Penelitian lain yang dilakukan di lakukan di perguruan tinggi kedokteran di Karnataka Utara, India, dengan studi kasus-kontrol yang dilakukan antara Januari 2019 dan Maret 2019 menyatakan bahwa prevalensi orang dengan rinitis alergi di antara penderita asma adalah 57,5% (Kulkarni, 2020).

Sensitifitas alergi terhadap alergen menjadi penyebab utama faktor risiko penting dalam hubungan antara rinitis dan asma. Sebuah korelasi positif ditemukan antara durasi dan keparahan asma terhadap rinitis alergi. Tingkat keparahan rinitis cenderung sama dengan asma dan pada kebanyakan kasus, kasus rinitis mendahului atau dimulai dengan asma terlebih dahulu (Singh, 2019).

Distribusi riwayat penyakit atopi keluarga terbanyak adalah asma sebanyak 37 responden (17,4%) dan rinitis alergi dengan jumlah 32 responden (15%). Hal ini sesuai dengan penelitian tahun 2019 yang menyatakan bahwa riwayat rinitis dalam keluarga merupakan faktor risiko yang signifikan (OR 11,9; 95% CI, 6,9 - 20,3) (Singh, 2019).

Diperkuat dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa seorang anak yang berasal dari keluarga dengan riwayat penyakit alergi akan berisiko mengalami penyakit alergi dua sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak punya riwayat penyakit alergi di keluarganya (Husni et al, 2020).

Sebuah penelitian yang dilakukan dengan lebih dari 3000 mahasiswa di universitas Jepang juga mengungkapkan hubungan positif antara riwayat keluarga dan rinitis alergi (Nishijima et al, 2018).

Hal tersebut didukung oleh Hampir 90% pasien atopi memiliki riwayat atopi pada salah satu orang tuanya. Bayi yang lahir dari kedua orang tua menderita atopi akan memiliki risiko lebih dari 80% menderita atopi, dan jika hanya salah satu orang tua maka bayi tersebut berisiko lebih dari 60%. Pola ini menunjukkan bahwa adanya kecenderungan menghasilkan antibodi IgE terhadap antigen spesifik baik secara inhalan atau ingestan yang diwariskan secara autosom dominan (Rudolph, 2007).

Berdasarkan hasil analisis, diperoleh perbedaan yang antara skor kualitas hidup mahasiswa penderita rinitis alergi dan kualitas hidup mahasiswa bukan penderita rinitis alergi dengan nilai p value <0,05 (p =0,044). Dalam kedokteran rumusan definisi tentang kualitas hidup adalah kondisi kesehatan dengan mempertimbangkan keadaan fisik, keadaan mental, situasi sosial dan sensasi tubuh (Jarosz et al, 2020).

Penelitian terkait SF-36, secara statistik terdapat perbedaan kualitas hidup antara kelompok rinitis alergi dan kontrol kelompok. Baik status kesehatan fisik dan mental, yang berpengaruh merugikan kepada penderitanya (Cingi et al, 2015).

Sebuah studi tahun 2015 yang dilakukan pada mahasiswa dengan prevalensi rinitis alergi sebesar 58,5% juga melaporkan kualitas hidup yang lebih rendah.

(Kef & Güven, 2020).

Hal yang sama didukung dengan studi yang dilakukan di Korea pada orang dewasa yang melaporkan dampak rinitis alergi pada kesehatan fisik penderitanya, yang menyatakan gejala rinitis alergi miliki efek buruk pada tidur, aktivitas sehari-hari, status fisik, mental dan fungsi sosial. Penderita rinitis alergi juga mengalami kelelahan, sakit kepala, gangguan mood dan tidur, gangguan fisik,

masalah mental, dan disfungsi kognitif. Penelitian tersebut melaporkan lebih banyak stres yang dirasakan kelompok rinitis alergi dibandingkan dengan kelompok kontrol (OR, 1,56, p = 0,003) dan depresi (OR, 1,72, p = 0,024) (Shin et al, 2018).

Penelitian lain yang mengunakan sampel 985 mahasiswa dari universitas di AS barat daya, menumjukan bahwa proses inflamasi pada rinitis alergi dilaporkan menyebabkan kelelahan, anhedonia, kehilangan nafsu makan, dan penarikan sosial atau hilangnya minat dalam kegiatan sosial (Vargas et al, 2018).

Dalam aspek kesehatan mental, hal ini selaras dengan penelitian yang mempelajari hubungan dalam aspek biologi molekuler, psikoneuroimunologi, dan farmakogenetik melaporkan bahwa respon kekebalan intranasal dapat secara langsung mempengaruhi respons biokimia dari sistem saraf pusat, yang dapat menyebabkan gangguan psikologis. Gangguan psikologis pada pasien alergi akibatnya meningkatkan dan memperpanjang gejala rinitis alergi (Tonelli et al, 2009). Hipotesis bahwa alergen dapat memicu gangguan mood, dan sensitisasi alergi melalui adanya peran sitokin. Dalam aspek fisiologis, peran obstruksi hidung dan efeknya merusak kualitas tidur yang mengakibatkan efek negatif pada gangguan kejiwaan. Gangguan fungsi kognitif dan efek kesejahteraan psikologis juga terjadi. Penjelasan lain yang mendukung adalah bahwa risiko genetik bersama dari alergi dan depresi dapat berkontribusi pada fenomena komorbid rinitis alergi dan depresi.

Berdasarkan teori, gejala yang menimbulkan penurunan kualitas hidup pada penderita rinitis alergi disebabkan patofisiologi rinitis alergi setelah mengalami sensitisasi, yaitu IgE disintesis kemudian melekat ke target sel. Adapun Sitokin atau kemokin yang berperan adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor (GM-CSF), eotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES). Yang kemudian Inhalasi antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5 (Surjanto & Purnomo., 2018).

Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan akan menyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit. Gejala pada saluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan rinorea. Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi antigen disebut reaksi tipe lambat. Respons tipe lambat ini menimbulkan gejala obstruksi yang diawali dengan pajanan alergen oleh antigen presenting cell (APC) ke sel Th2CD4, yang selanjutnya terjadi pengeluaran sitokin yaitu IL-3, IL-5 dan GM-CSF. Hal inilah yang sangat berperan dalam timbulnya gejala yang menganggu penderita rinitis alergi (Surjanto & Purnomo., 2018).

Berdasarkan hasil analisis, nilai p <0,05 (p =0,044) menyatakan bahwa ada perbedaan antara kualitas hidup penderita rinitis alergi dan bukan penderita rinitis alergi. Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya terdapat perbedaan antara kualitas hidup antara mahasiswa penderita rinitis alergi dengan mahasiswa yang bukan menderita rinitis alergi.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dari data yang diperoleh, kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Karakteristik penderita rinitis alergi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017 adalah 112 orang (52,6%) dan bukan penderita rinitis alergi sebanyak 101 orang (47,4 %).

2. Karakteristik responden penderita rinitis alergi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017 lebih tinggi pada perempuan yaitu 74 orang (55,2%).

3. Karakteristik penderita rinitis alergi terbanyak pada pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2017 adalah rentang umur 21 tahun yaitu sebanyak 111 rang (52%).

4. Karakteristik riwayat atopi lain pada mahasiswa fakultas Kedokteran Sumatera Utara angkatan 2017 sejumlah 19 orang (8,9%).

5. Karakteristik riwayat penyakit atopi keluarga pada mahasiswa fakultas Kedokteran Sumatera Utara angkatan 2017 sejumlah 74 orang (34,7%).

6. Median skor kualitas hidup mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun 2020 yang menderita rinitis alergi sebesar 74 dengan nilai minimum 26 dan nilai maksimum 94.

7. Median total skor kualitas hidup mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tahun 2020 yang bukan penderita rinitis alergi sebesar 78 dengan nilai minimum 9 dan nilai maksimum 95.

8. Terdapat perbedaan antara kualitas hidup mahasiswa penderita rinitis alergi dan kualitas hidup mahasiswa bukan penderita rinitis alergi, dengan nilai p = 0,044.

Sehingga hipotesa nol (Ho) ditolak.

5.2 SARAN

Dari serangkaian proses penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diberikan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut berupa:

1. Bagi instansi kesehatan

Meningkatkan promosi kesehatan tentang rinitis alergi dilingkungan masyarakat.

2. Bagi masyarakat dan mahasiswa FK USU

Diharapkan bagi penderita rinitis alergi dapat melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis penyakit dan menghindari paparan alergen untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian selanjutnya diharapkan mengunakan sampel yang lebih besar dan populasi yang berbeda untuk mengetahui prevalensi rinitis alergi dan kualitas hidup penderitanya.

Disarankan untuk penelitian selanjutnya, cara melakukan penelitian tidak hanya dengan menggunakan kuesioner, namun dengan menggunakan metode diagnosis yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

An, S. Y., Choi, H. G., Kim, S. W., Park, B., Lee, J. S., Jang, J. H., & Sung, M.

W. (2015). Analysis of various risk factors predisposing subjects to allergic rhinitis. Asian Pacific Journal of Allergy and Immunology, 33(2), 143–151.

https://doi.org/10.12932/ap0554.33.2.2015

Annesi-Maesano, I., Didier, A., Klossek, M., Chanal, I., Moreau, D., & Bousquet, J. (2002). The score for allergic rhinitis (SFAR): A simple and valid assessment method in population studies. Allergy: European Journal of Allergy and Clinical Immunology, 57(2), 107–114.

https://doi.org/10.1034/j.1398-9995.2002.1o3170.x

Bernstein, D. I., Schwartz, G., & Bernstein, J. A. (2016). Allergic Rhinitis:

Mechanisms and Treatment. Immunology and Allergy Clinics of North America, 36(2), 261–278. https://doi.org/10.1016/j.iac.2015.12.004

Blaiss, M. S., Hammerby, E., Robinson, S., Kennedy-Martin, T., & Buchs, S.

(2018). The burden of allergic rhinitis and allergic rhinoconjunctivitis on adolescents: A literature review. Annals of Allergy, Asthma and Immunology, 121(1), 43-52.e3. https://doi.org/10.1016/j.anai.2018.03.028

Brożek, J. L., Bousquet, J., Agache, I., Agarwal, A., Bachert, C., Bosnic-Anticevich, S., Brignardello-Petersen, R., Canonica, G. W., Casale, T., Chavannes, N. H., Correia de Sousa, J., Cruz, A. A., Cuello-Garcia, C. A., Demoly, P., Dykewicz, M., Etxeandia-Ikobaltzeta, I., Florez, I. D., Fokkens, W., Fonseca, J., … Schünemann, H. J. (2017). Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) guidelines—2016 revision. Journal of Allergy

and Clinical Immunology, 140(4), 950–958.

https://doi.org/10.1016/j.jaci.2017.03.050

Cao, Y., Wu, S., Zhang, L., Yang, Y., Cao, S., & Li, Q. (2018). Association of allergic rhinitis with obstructive sleep apnea: A meta-analysis. Medicine (United States), 97(51). https://doi.org/10.1097/MD.0000000000013783 CDC. 2000, Measuring healthy days: Population assessment of health-related

quality of life (pp. 4-6). Atlanta: CDC

Cheng, L., Chen, J., Fu, Q., He, S., Li, H., Liu, Z., Tan, G., Tao, Z., Wang, D., Wen, W., Xu, R., Xu, Y., Yang, Q., Zhang, C., Zhang, G., Zhang, R., Zhang, Y., Zhou, B., Zhu, D., … Zhang, L. (2018). Chinese society of allergy guidelines for diagnosis and treatment of allergic rhinitis. Allergy, Asthma

and Immunology Research, 10(4), 300–353.

https://doi.org/10.4168/aair.2018.10.4.300

Cingi, C. C., Muluk, N. B., Hancı, D., & Şahin, E. (2015). Impacts of allergic rhinitis in social communication, quality of life and behaviours of the patients. J Allergy Disord Ther, 2(002).

Cingi, C., Gevaert, P., Mösges, R., Rondon, C., Hox, V., Rudenko, M., ... &

Fokkens, W. J. (2017). Multi-morbidities of allergic rhinitis in adults:

European academy of allergy and clinical immunology task force report. Clinical and Translational Allergy, 7(1), 17.

Cordier, R., Brown, T., Clemson, L., & Byles, J. (2018). Evaluating the longitudinal item and category stability of the SF-36 full and summary scales

using rasch analysis. BioMed Research International, 2018.

https://doi.org/10.1155/2018/1013453

Devi, S., Munir, D., & Sofyan, F. (2019). The Sensitivity and Specificity of Score for Allergic Rhinitis (SFAR) Questionnaire as a Diagnostic Tool for Allergic Rhinitis in H. Adam Malik General Hospital, Medan. International Journal

of ChemTech Research, 12(02), 174–180.

https://doi.org/10.20902/ijctr.2019.120222

Dykewicz, M. S., Wallace, D. V., Baroody, F., Bernstein, J., Craig, T., Finegold, I., Huang, F., Larenas-Linnemann, D., Meltzer, E., Steven, G., Bernstein, D.

I., Blessing-Moore, J., Dinakar, C., Greenhawt, M., Horner, C. C., Khan, D.

A., Lang, D., Oppenheimer, J., Portnoy, J. M., … Wallace, D. V. (2017).

Treatment of seasonal allergic rhinitis: An evidence-based focused 2017 guideline update. Annals of Allergy, Asthma and Immunology, 119(6),

(2019). A systematic review of quality of life research in medicine and health sciences. Quality of Life Research, 28(10), 2641–2650.

https://doi.org/10.1007/s11136-019-02214-9 Harsono,A & Endaryanto, A. (2009). Rinitis Alergika.

Hays, R. D., Sherbourne, C. D., & Mazel, R. M. (1993). The rand 36‐ item health

survey 1.0. Health Economics, 2(3), 217–227.

https://doi.org/10.1002/hec.4730020305

Heale, R., & Twycross, A. (2015). Validity and reliability in quantitative studies.

Evidence-Based Nursing, 18(3), 66–67. https://doi.org/10.1136/eb-2015-102129

Hoehle, L. P., Speth, M. M., Phillips, K. M., Gaudin, R. A., Caradonna, D. S., Gray, S. T., & Sedaghat, A. R. (2017). Association between symptoms of allergic rhinitis with decreased general health-related quality of life.

American Journal of Rhinology and Allergy, 31(4), 235–239.

https://doi.org/10.2500/ajra.2017.31.4444

Husni TR, T. H. (2020). Perbandingan Kadar Immunoglobulin E Serum Pada Pasien Rinitis Alergi Dengan Faktor Risiko Genetik. Journal of Medical Science, 1(1), 49-53.

Ibekwe, P. U., & Ibekwe, T. S. (2016). Skin Prick Test Analysis in Allergic Rhinitis Patients: A Preliminary Study in Abuja, Nigeria. Journal of Allergy, 2016. https://doi.org/10.1155/2016/3219104

Jarosz, M., Syed, S., Błachut, M., & Brzoza, K. B. (2020). Emotional distress and quality of life in allergic diseases. Wiad Lek, 73(2), 370-373.

Junaedi, I. (2015). Prevalensi rinitis alergi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada tahun ajaran 2014/2015.

Kakli, H. A., & Riley, T. D. (2016). Allergic Rhinitis. Primary Care - Clinics in Office Practice, 43(3), 465–475. https://doi.org/10.1016/j.pop.2016.04.009 Kamel TM, Abdelhai RA, Mowafy MA, Reda AM, Hassan MD. 2015, The effect

of patient education on health related quality of life among allergic rhinitis patients in cairo university outpateint clinics. International Journal Of Scientific & Techonlogy Research.4(02):96-100

Karimi, M., & Brazier, J. (2016). Health, Health-Related Quality of Life, and Quality of Life: What is the Difference? PharmacoEconomics, 34(7), 645–

649. https://doi.org/10.1007/s40273-016-0389-9

Kasim, M., & Buchori, R. M. (2020). Hubungan Rinosinusitis Kronik Dengan Rinitis Alergi. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 11(1), 271-277.

Kef, K., & Güven, S. (2020). The Prevalence of Allergic Rhinitis and Associated Risk Factors Among University Students in Anatolia. Journal of Asthma and Allergy, 13, 589.

Kim, D. H., Park, Y. S., Ji Jang, H., Kim, J. H., & Lim, D. H. (2016). Prevalence and allergen of allergic rhinitis in Korean children. American journal of rhinology & allergy, 30(3), e72-e78.

Klimek, L., Mullol, J., Hellings, P., Gevaert, P., Mösges, R., & Fokkens, W.

(2016). Recent pharmacological developments in the treatment of perennial and persistent allergic rhinitis. Expert Opinion on Pharmacotherapy, 17(5), 657–669. https://doi.org/10.1517/14656566.2016.1145661

Kulkarni, K. D., & Pattankar, T. P. (2020). Prevalence of allergic rhinitis among adult bronchial asthmatic patients of North Karnataka, India. Indian Journal of Respiratory Care, 9(2), 183.

Laccourreye, O., Werner, A., Giroud, J. P., Couloigner, V., Bonfils, P., &

Bondon-Guitton, E. (2015). Benefits, limits and danger of ephedrine and pseudoephedrine as nasal decongestants. European Annals of Otorhinolaryngology, Head and Neck Diseases, 132(1), 31–34.

https://doi.org/10.1016/j.anorl.2014.11.001

Linneberg, A., Dam Petersen, K., Hahn-Pedersen, J., Hammerby, E., Serup-Hansen, N., & Boxall, N. (2016). Burden of allergic respiratory disease: A

Linneberg, A., Dam Petersen, K., Hahn-Pedersen, J., Hammerby, E., Serup-Hansen, N., & Boxall, N. (2016). Burden of allergic respiratory disease: A

Dokumen terkait