• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.6. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Secara umum akan memberikan kontribusi positif pada penelitian di bidang material khususnya bidang sensor gas di Indonesia.

2. Menghasilkan nanokomposit Fe3O4-ZnO melalui metode hidrotermal untuk aplikasi sensor gas etanol.

6 3. Menghasilkan karakteristik nanokomposit Fe3O4-ZnO sebagai aplikasi sensor

gas etanol.

4. Diharapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti lainnya.

7 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Material Semikonduktor

Ada dua jenis semikonduktor bila ditinjau dari segi kemurniannya yaitu semikonduktor intrinsik dan semikonduktor ekstrinsik. Semikonduktor intrinsik yaitu semikonduktor yang tidak dicampur dengan bahan lain sebagai pengotornya (doping) sehingga memiliki jumlah elektron dan hole yang sama. Konduktivitas listrik pada semikonduktor intrinsik dihasilkan oleh adanya elektron yang ter-eksitasi ke pita konduksi dan adanya cacat kisi (defect).

Semikonduktor ekstrinsik adalah semikonduktor yang telah didoping dalam kadar jumlah tertentu sehingga menghasilkan tambahan pembawa muatan serta cacat kisi. Penambahan doping pada semikonduktor ekstrinsik tidak boleh terlalu banyak dan umumnya hanya di bawah 2% dari material utamanya. Dengan adanya penambahan bahan doping ini maka konduktivitas listrik pada semikonduktor ekstrinsik semakin meningkat.

2.2. Material Oksida Sebagai Sensor Gas

Material oksida merupakan senyawa oksida logam dengan karakter strukturnya berikatan kovalen. Banyak jenis oksida logam yang ada saat ini seperti TiO2, ZrO2, ZnO, SnO2 dan lain-lain. Dalam bentuk film tipis material oksida ini transparan terhadap cahaya dikarenakan band gapnya yang moderat.

Semikonduktor oksida logam adalah salah satu jenis material yang banyak digunakan sebagai sensor gas karena lebih fleksibel dalam memproduksinya, harganya lebih murah dan lebih terjangkau, sederhana dalam menggunakannya, bisa mendeteksi berbagai macam gas serta dapat diaplikasikan dalam berbagai bidang.(http://www.google.com/search?q=sintesis+nanopartikel+fe3o4&source=

lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwizxKn1pdnjAhVYiXAKHUm3CDAQ_AUI ESgB&biw=1280&bih=657#imgrc=r8A6wjbGJx2F2M).

Berbagai macam oksida logam diketahui sangat cocok digunakan untuk mendeteksi gas pengoksida dan pereduksi, di mana dalam pemilihan oksida logam yang akan digunakan sebagai sensor telah dikelompokkan menjadi dua kategori berdasarkan sifat elektronik dari material yaitu dari konduktivitas listrik material.

8 Berikut dua kategori material oksida logam yang digunakan sebagai lapisan sensitif pada sensor gas :

1. Oksida logam transisi : Fe2O3, NiO, Cr2O3 dll.

2. Oksida logam non-transisi :

a. Oksida logam pre-transisi : Al2O3,dll.

b. Oksida logam post-transisi : ZnO, SnO2, dll.

Mekanisme kerja dari sensor gas secara esensial disebabkan oleh adanya peristiwa adsorpsi dan desorpsi molekul gas terhadap permukaan semikonduktor oksida logam. Akibatnya terjadi perubahan nilai resistansi atau konduktansi dari sensor gas. Permukaan oksida logam pada umumnya terbentuk dari butiran-butiran partikel oksida logam nanostruktur yang saling melekat satu sama lain, yang terdapat pada pori-pori pada tiap pertemuan butiran-butiran partikel oksida logam. Ketika permukaan semikonduktor oksida logam terekspos oksigen, maka molekul oksigen akan teradsorpsi pada permukaan semikonduktor oksida logam dan akan menangkap sebuah elektron.

2.3. Karakteristik Sensor Gas Berbasis Oksida Logam

Sensor gas memiliki beberapa karakteristik yang menjadi parameter penting dalam menentukan performa sensor gas, di antaranya adalah :

a. Respon Gas

Respon gas dapat didefenisikan sebagai perubahan relatif dari resistansi sensor gas. Hal ini disebabkan karena sensor gas oksida logam memiliki prinsip kerja berdasarkan chemiresistivity. Artinya adalah sensitivitas dari sensor gas oksida logam dapat direpresentasikan dalam perubahan konduktansi dan resistansi. Penentuan nilai respon sensor gas dari material semikonduktor tipe-n terhadap gas pereduksi dan material semikonduktor tipe-p terhadap gas pengoksidasi dapat dinyatakan sebagai berikut :

R (%) = │ │x 100 %

R adalah nilai respon gas, Ra merupakan resistansi dari sensor gas ketika tidak diberi gas target (hanya diberi udara) dan Rg adalah resistansi ketika diberi gas target.

9 b. Selektivitas

Sensor gas seharusnya memiliki kemampuan untuk mendeteksi hanya pada molekul gas tertentu dari campuran berbagai gas yang berada di udara. Agar suatu sensor memiliki kemampuan tersebut maka sensor harus memiliki karakteristik selektivitas yang baik. Selektivitas dari sensor gas terhadap molekul tertentu dapat dinyatakan sebagai rasio dari respon terhadap molekul gas tertentu dengan sensitivitas molekul gas yang dominan berada di udara.

c. Waktu Respon

Waktu respon merupakan waktu yang dibutuhkan oleh sensor untuk mencapai 90 % total respon dari sinyal ketika terpapar oleh gas target. Sinyal yang dimaksud adalah merupakan perubahan resistansi material ketika sebelum dan sesudah terpapar gas target, mengingat sensor gas yang digunakan merupakan sensor gas chemoresistive.

d. Waktu Pulih

Waktu pulih merupakan waktu yang dibutuhkan oleh sensor untuk kembali ke 90 % keadaan asalnya dengan kata lain kembali kepada keadaan sinyal atau nilai resistansi sebelum dipaparkan gas target.

e. Rentang Dinamik

Merupakan rentang konsentrasi diantara batas deteksi sensor gas terhadap konsentrasi terendah dan konsentrasi gas tertinggi.

f. Stabilitas

Merupakan kemampuan sensor gas untuk mempertahankan performansinya dalam beberapa waktu tertentu.

2.4. Nanopartikel Magnetit (Fe3O4)

Magnetit (Fe3O4) adalah salah satu nanopartikel magnetik memiliki ukuran nanometer baik dari segi ukuran, morfologi serta sifat-sifat magnetiknya.

10 Gambar 2.1. Struktur Kristal Magnetit dengan Fasa Kubik F3dm (Siregar et al., 2021)

Magnetit (Fe3O4) memiliki struktur kristal seperti pada Gambar 2.1 yang terdiri dari 32 ion oksigen, celah-celahnya ditempati oleh ion Fe3+ dan Fe2+. Fe3O4

merupakan nanomaterial yang dapat diaplikasikan dalam skala yang luas. Fe3O4

yang mengandung partikel oksida Fe dengan ukuran struktur mikro atau skala nano seperti ukuran, bentuk, permukaan, struktur, dan komposisi dengan perlakuan panas tertentu akan menjadikannya material baru yang dapat meningkatkan sifat penginderaan gas sensor (Grzybowska et al., 2009). Saat ini, berbagai cara dilakukan untuk mengontrol ukuran partikel magnetit (Fe3O4) hingga mencapai skala nanometer. Salah satunya yaitu dengan mengubah kondisi proses seperti sumber garam besi (FeCl2, FeCl3 dan FeSO4) dan larutan presipitat (NaOH, NH4OH dan N(CH3)4OH). Namun kondisi proses yang paling sering digunakan adalah garam besi (FeCl2 dan FeCl3) serta larutan presipitat (NaOH dan NH4OH). Jika dilihat saat proses sintesis, nanopartikel magnetit (Fe3O4) berwarna hitam pekat yang didapatkan dari pencampuran larutan FeCl2 dan FeCl3

yang berwarna kuning kecoklatan dengan larutan presipitat.

Beberapa penelitian tentang sensor gas menggunakan bentuk α- dan γ dari Fe2O3, yang merupakan n tipe semikonduktor. Namun juga terdapat penelitian yang menggunakan bahan berbasis Fe3O4 untuk aplikasi sensor gas. Fe3O4 adalah half metal dan memiliki struktur elektronik berbeda dari bahan yang biasa dieksploitasi sebagai chemoresistor. Sebagai contoh yaitu nanokomposit Polypyrrole-Fe3O4 yang menunjukkan sensitivitas tinggi terhadap kelembaban

11 relatif serta beberapa digunakan secara umum untuk gas (N2, O2, dan CO2) (Guo et al., 2015). Nanopartikel Fe3O4 murni berstruktur nano pernah digunakan untuk mendeteksi etanol dan gas Volatile Organic Compounds (VOC) lainnya.

Nanokomposit Fe3O4 / γFe2O3 juga berhasil disintesis untuk mendeteksi gas seperti NO2, CO dan gas lainnya (Cuong et al., 2012). Nanokomposit tersebut menunjukkan kinerja sensor (sensitivitas) yang sangat baik.

Beberapa penelitian terdahulu yang telah berhasil melakukan sintesis nanopartikel magnetik melalui berbagai metode seperti kopresipitasi dan hidrotermal. Untuk mengontrol ukuran dan morfologi dari nanostruktur yang diperoleh, berbagai cara dilakukan seperti memvariasikan pH dari larutan, lama waktu pertumbuhan (growth time), konsentrasi larutan, komposisi, suhu, dan tekanan. Namun, untuk menghasilkan nanopartikel dengan berbagai variasi ukuran dan morfologi masih terus dilakukan hingga saat ini (Koutu et al., 2016).

Hasil sintesis nanopartikel Fe3O4 menggunakan metode kopresipitasi mempunyai ukuran partikel berkisar 10 nm (Vistak et al., 2015). Namun, variabel sintesis untuk menghasilkan nanostruktur dan morfologi tertentu masih terbuka lebar untuk dapat dilakukan.

Sintesis nanopartikel Fe3O4 dengan metode presipitasi dapat juga di modifikasi misalnya dengan menggunakan kitosan. Adsorpsi dan modifikasi kitosan pada permukaan nanopartikel Fe3O4 diteliti untuk mengoptimalkan stabilitas koloid nanopartikel Fe3O4. Struktur dan sifat magnetik Fe3O4 sintetik diteliti menggunakan cara yang lebih baik. (Shokry Hassan et al., 2014).

Selanjutnya Fe3O4 dan Fe3O4-kitosan yang disintesis diubah menjadi fase -Fe2O3

dengan perlakuan panas diatmosfer udara pada suhu tinggi untuk aplikasi sensor gas. Efek dari Fe3O4 dan Fe3O4-kitosan nanopartikel tentang kinerja sensor Fe2O3

yang disintesis dapat digunakan untuk mendeteksi gas H2, CO, C2H5OH, dan NH3

(Paliwal et al., 2017).

Interaksi karbon monoksida dengan nanopartikel Fe3O4 sangat kuat. Hal ini termasuk sebagai alasan bahwa nanopartikel Fe3O4 juga dapat diaplikasikan sebagai sensor gas karbon monoksida. Magnetit memasuki reaksi aktif dengan molekul karbon monoksida, di mana oksida besi direduksi menjadi besi murni, yang disertai dengan pembentukan karbon dioksida sesuai dengan reaksi :

12 Fe3O4 + 4CO → 3Fe + 4CO2

Pada saat yang sama, bentuk dan simetri nanopartikel Fe3O4 dapat mempengaruhi sifat elektronik sehingga terjadi mekanisme interaksi dengan karbon monoksida (Firdaus et al., 2012). Magnetit (Fe3O4) merupakan nanopartikel magnetik yang dijadikan berukuran nanometer. Agar dapat diaplikasikan dalam penelitian berkaitan dengan ukuran-ukuran nanometer maka sangat penting untuk mempertimbangkan ukuran, morfologi serta sifat magnetik dari nanopartikel magnetik (Fe3O4).

Penemuan-penemuan baru dalam bidang nanomaterial tidak terlepas dari berkembangnya metode sintesis. Oleh karena itu kontrol terhadap ukuran partikel, morfologi ataupun nano struktur menjadi lebih mudah dilakukan. Salah satu metode yang digunakan untuk mensintesis nanopartikel Fe3O4 dalam penelitian ini adalah adalah metode sonokimia. Sonokimia adalah salah satu metoda sintesis yang dapat mensintesis berbagai material anorganik. Sonokimia adalah metoda sintesis material oksida logam dengan memanfaatkan kondisi ekstrim yang diperoleh dari gelombang ultrasonik. Reaksi dengan menggunakan metoda sonokimia memungkinkan proses sintesis yang murah, cepat dan suhu yang rendah.

Dalam suatu reaksi kimia selalu melibatkan adanya peran energi untuk bereaksi. Energi tersebut dibutuhkan dalam beberapa bentuk seperti kalor, cahaya, iradiasi dan potensial listrik. Setiap bentuk energi memiliki karakter tersendiri terhadap kondisi reaksi yang dihasilkan sesuai dengan parameter inherent reaksi tersebut. Dengan sonokimia maka pengaruh iradiasi ultrasonik dapat memperlihatkan kondisi tidak biasa yaitu reaksi dengan temperatur dan tekanan yang sangat tinggi (ekstrim) berlangsung dalam durasi sangat singkat dan tidak dimiliki oleh metode lainnya (Bang & Suslick, 2010). Kondisi ekstrim ini tidak langsung berasal dari gelombang ultrasonik yang panjang gelombang akustiknya jauh lebih besar dibandingkan dengan dimensi molekul. Kondisi tersebut secara tidak langsung berasal dari adanya interaksi pada level molekular antara gelombang ultrasonik dengan molekul-molekul material yang menyebabkan terjadinya akustik kavitasi. Gelombang ultrasonik berintensitas tinggi

13 menyebabkan gelembung-gelembung (kavitasi) yang kemudian pecah. Ketika gelombang ultrasonik diiradiasikan pada cairan, pengulangan keadaan rapatan renggangan yang simultan pada gelombang ultrasonik akan menimbulkan gelembung. Gelembung tersebut akan terus membesar dengan siklus yang berturut-turut hingga mencapai keadaan tidak stabil dan kemudian pecah.

Bersamaan dengan pecahnya gelembung tersebut energi yang terkonsentrasi didalamnya dilepaskan dalam waktu yang sangat singkat (dengan kecepatan pemanasan dan pendinginan sekitar > 1010 K. s-1 ). (Bang & Suslick, 2010).

Gelombang ultrasonik yang diiradiasikan ke dalam larutan akan menyebabkan munculnya gelembung kavitasi. Pada saat gelembung kavitasi tersebut membesar, ion-ion pada larutan akan menempel pada permukaan gelembung kavitasi akibat adanya perbedaan tekanan. Sesaat ketika pecahnya gelembung kavitasi menyebabkan terjadinya tumbukan ion-ion dalam larutan.

Selanjutnya, sesaat setelah proses tumbukan ion-ion terjadi, partikel yang terbentuk akan terdirpersi. Peristiwa pecahnya gelembung kavitasi itulah yang menghasilkan nanopartikel terdispersi secara merata.

2.5. Nanopartikel Zink Oxide (ZnO)

Material yang hingga kini terus dipelajari dan sering digunakan sebagai aplikasi sensor gas adalah semikonduktor oksida logam. Karena fenomena reduksi dan oksidasi yang terjadi secara alami pada semikonduktor oksida logam saat proses adsorpsi dan desorpsi gas. Proses penyerapan/adsorpsi (saat gas target dialirkan) dan pelepasan/desorpsi (saat aliran gas dihentikan) mampu mengubah property electric semikonduktor oksida logam yaitu perubahan nilai resistansi yang menunjukan sensitifitas semikonduktor oksida logam terhadap ada dan tidaknya gas target (Heo et al., 2006).

Salah satu material metal oxide yang sangat menjanjikan dalam aplikasi sensor gas adalah Zinc Oxide (ZnO), karena ZnO memiliki karakteristik yang unggul. Penelitian ZnO sebagai sensor gas seperti gas VOC juga sangat berkembang pada masa kini. Nanopartikel ZnO digunakan dalam berbagai aplikasi seperti pemancar sinar ultraviolet (UV), laser nano gelombang pendek, perangkat piezoelektrik, ultrasensitif, spin elektronik, sensor gas, transistor efek

14 medan, dan pemancar lapangan (Madhubala & Kalaivani, 2018). Sensor gas ZnO memiliki karakteristik yang baik seperti sensitivitas kimia berbeda pada gas yang teradsorpsi, kemampuan menerima doping, stabilitas kimia yang tinggi, non-toksisitas, dan biaya rendah. ZnO masih menarik karena pembuatannya yang mudah dalam bentuk film tipis dengan berbagai metode dan kinerjanya yang ditingkatkan dengan penambahan sensor dopants (Madhubala & Kalaivani, 2018).

ZnO memiliki lebar celah pita sebesar 3,37 eV, merupakan semikonduktor kelompok material II-VI, penelitian terkait material ini juga telah dilakukan secara luas dan banyak ditemukan hal baru dalam penginderaan atau pendeteksian gas bila dibandingkan dengan aplikasi lainnya (Zarringhadam & Farhadi, 2018). ZnO merupakan nanopartikel yang memiliki konduktivitas listrik sangat baik apalagi saat terpapar gas beracun seperti CO dan lain-lain. ZnO memiliki mobilitas elektron yang lebih tinggi sekitar 60 MeV pada suhu kamar (Zainul et al., 2018).

ZnO memiliki karakterisasi morfologi yang sangat bervariasi sehingga juga berpengaruh pada karakteristik dari material yang telah difabrikasi dan pengaplikasiannya (Özgür et al., 2005). Variasi karakteristik morfologi dari ZnO dapat diperoleh dengan memvariasikan parameter-parameter ketika melakukan proses sintesis. Berbagai macam ZnO nanostruktur telah berhasil disintesis seperti nanodtos, nanorods, nanowires, nanobelts, nanowalls, nanotubes dan sebagainya.

Pada temperatur ruang, material ZnO memiliki resistansi yang sangat besar sehingga dapat dikategorikan sebagai insulator, akan tetapi ketika temperatur lingkungan material meningkat maka resistansi tersebut akan menurun (Zhang et al., 2015). Namun ZnO juga dapat memiliki sifat semikonduktor tipe - p dan tipe - n, yang bergantung pada stoikiometri dari ZnO dan akan sangat mempengaruhi jumlah dan jenis pembawa muatan yang berarti akan mempengaruhi pula sifat listrik dari ZnO itu sendiri. (Zhang et al., 2015). Namun ZnO dengan sifat semikonduktor tipe - n lebih banyak digunakan dan diketahui.

Sifat semikonduktor tipe - p dan tipe - n muncul akibat terjadinya kekosongan atom O dan kelebihan atom Zn pada material ZnO, kekosongan pada atom oksigen tersebut akan menjadi donor dan menggeser level fermi mendekati pita konduksi (Zhang et al., 2015).

15 2.6. Sintesis Nanokomposit Fe3O4-ZnO dengan metode Hidrotermal

Saat ini sangat banyak metode yang digunakan untuk menghasilkan nanokomposit Fe3O4-ZnO, seperti ko-presipitasi, hidrotermal, mikroemulsi dan biosintesis (Putri et al., 2018). Dalam penelitian ini yang digunakan adalah metode hidrotermal untuk mensintesis Fe3O4-ZnO sebagai bahan aplikasi sensor.

Metode hidrotermal diyakini sangat hemat biaya dan ramah lingkungan.

Hidrotermal merupakan suatu teknik pengkristalan dari temperatur tinggi pada keadaan campuran dan tekanan tinggi (Ma et al., 2014). Sintesis hidrotermal dapat juga didefinisikan metode yang menggunakan panas dan air. Pada praktiknya, metode ini melibatkan pemanasan reaktan dalam wadah tertutup (autoclave) menggunakan air. Dalam wadah tertutup, tekanan meningkat dan air tetap sebagai cairan. Ada beberapa metode hidrotermal yaitu reaksi hidrotermal, hidrolisis hidrotermal, metode elektrocemical hidrotermal, reactive elektrode submerged Arc, proses mechanocemical hidrotermal, proses hidrotermal microwave, metode sonochemical hidrotermal. Metode hidrotermal dapat menghasilkan kristalinitas dan kemurnian yang lebih tinggi. Dalam beberapa penelitian metode hidrotermal dilakukan untuk meneliti suatu objek, yang dapat dilihat pada pengaruh jenis dan konsentrasi (Ma et al., 2014). Karena hal ini dapat mempengaruhi kristalinitas produk yang akan dihasilkan dari metode hidrotermal tersebut. Prinsip teknik hidrotermal yaitu pemanasan reaktan dalam wadah tertutup dengan menggunakan medium air dimana sistem yang tertutup ini memungkinkan tekanan dan suhu yang meningkat dengan cepat. Sintesis hidrotermal secara umum dapat diartikan sebagai sintesis kristal atau pertumbuhan kristal pada temperatur dan tekanan tinggi. Sintesis hidrotermal dilakukan pada suhu dibawah 300 ℃. Kelebihan dari teknik sintesis hidrotermal diantaranya adalah

1. Terbentuk serbuk secara langsung dari larutan, karena sudah dikaltanasi pada suhu tinggi (1100 ℃) selama 10 jam sehingga terjadinya serbuk dalam larutan secara langsung.

2. Ukuran partikel dan bentuknya dapat dikontrol dengan menggunakan material awal dan kondisi hidrotermal yang berbeda.

16 3. Kereaktifan bubuk yang dihasilkan tinggi, ini disebabkan oleh penggunaan

suhu yang sangat tinggi.

4. Pada kondisi super-heated water, oksida logam yang tidak larut dalam air dapat menjadi larut. Atau bila temperatur dan tekanan tersebut belum mampu, maka dapat ditambahkan garam alkali atau logam yang anionnnya dapat membentuk kompleks dengan padatan sehingga padatan menjadi larut (Ma et al., 2014).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pembentukan material nanokomposit dengan menggunakan metode hidrotermal.

2.7. Volatile Organic Compound (VOC)

Volatile Organic Compound (VOC) adalah senyawa kimia organik yang tersusun dari rantai hydro carbon dengan tekanan uap yang cukup tinggi.

Beberapa jenis dari VOC juga berikatan dengan senyawa lain seperti oksigen, fluoride, chlorine, bromine, sulfur atau nitrogen.

Beberapa contoh senyawa VOC yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah acetone, benzene, ethanol, formaldehyde, isopropanol, toluene, xylene dan lain-lain. Senyawa ini berperan penting sebagai bahan pelarut atau bahan tambahan dalam beberapa proses di industri seperti pembuatan bahan perekat, cat, biodiesel, kulit, instansi pengobatan dan industri pengembangan bahan bakar alternatif kendaraan bermotor.

Senyawa organik VOC muncul di atmosfer sebagai hasil dari aktifitas manusia, gas buang kendaraan bermotor, penguapan bahan bakar minyak, pelarut, penyulingan minyak, pembuatan makanan dan pertanian. VOC merupakan senyawa organik yang berbahaya terhadap manusia jika terkena paparan melewati ambang batas. Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA), kadar aman maksimum untuk etanol dan aceton adalah 1000 ppm selama 8 jam.

Efek terhadap kesehatan jika melewati ambang batas antara lain iritasi pada mata, hidung dan tenggorokan, sakit kepala atau pusing, kehilangan koordinasi, mual, kerusakan hati, ginjal dan sistem saraf pusat. Organ yang terkena dampak jika mendapat paparan terus menerus dan berulang ulang yaitu mata, kulit, sistem pernafasan, hati dan sistem reproduksi. Bahaya yang ditimbulkan VOC saat terhirup bergantung dari jenis senyawa kimianya, besarnya konsentrasi yang

17 terhirup serta seberapa lama dan seberapa sering seseorang terkontaminasi oleh gas tersebut.

2.8. Etanol

Etanol memiliki penampakan berwarna jernih, tidak berwarna. Etanol banyak digunakan menjadi pelarut atau menjadi bahan utama dalam minuman beralkohol. Adapun rumus kimia dari etanol adalah C2H5OH dan juga sering disebut dengan EtOH. Etanol Paling banyak diproduksi dari fermentasi gula yang dihasilkan dari ragi, atau dengan proses petrokimia. Etanol merupakan obat yang membuat penggunanya menjadi ketergantungan, yang dampaknya memberikan efek mabuk dan penurunan kesadaran ketika mengkonsumsinya dalam jumlah banyak (Brust, 2010).

Berikut diuraikan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh etanol sebagai sumber gas uji dari penelitian ini.

▪ Berdampak serius jika terhirup atau tertelan,

▪ Dapat menyebabkan iritasi pada mata dan kulit,

▪ Menyebabkan ketidaknyamanan gastrointestinal, dan

▪ Dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan.

Data fisis etanol adalah :

1. Tekanan uap : 59.3 mmHg pada 25 ℃ ; 2. Titik didih : 78.5 ℃ ;

3. Sifat kelarutan : terlarut ;

4. Wujud dan bau : tidak berbau dan tidak berwarna ; Ada beberapa jenis etanol di antaranya adalah :

a) A 95% (95.6%) etanol: merupakan etanol dengan konsentrasi tertinggi yang dapat dicapai dengan distilasi, 95.6% etanol bersifat azeotrope, yang di mana fasa gas memiliki ratio ethanol : air yang sama dengan fasa liquidnya. Etanol ini sering ditemui pada industri makanan dan obat-obatan.

b) Absolute (99-100%) etanol : merupakan etanol yang dapat diproduksi dengan menggunakan bahan campuran lain, seperti toluene, heptane, cyclohexane dan 2-butanone yang dimana bahan tersebut akan mengganggu komposisi azeotrope sehingga dapat dilakukan distilasi lanjutan. Etanol ini banyak digunakan untuk pro analisis pada keperluan penelitian.

18 c) Denatured etanol: merupakan etanol yang dicampurkan dengan satu atau lebih larutan kimia lainnya. ethanol ini tidak aman untuk dikonsumsi dan biasanya digunakan untuk campuran disinfectant atau campuran dalam industri parfum.

2.9. Sensor Gas Berbasis Material Komposit

Dalam mendeteksi suatu gas, beberapa material memiliki kelemahan seperti selektivitas yang rendah dan temperatur operasi tinggi yang dapat meningkatkan konsumsi energi. Material oksida logam sebagian besar memiliki masalah dalam selektivitas karena sebagian besar gas dapat menyebabkan perubahan resistansi. Penggabungan dua material atau lebih membentuk suatu komposit diyakini dapat mengatasi masalah tersebut (Miller et al., 2014).

Pembuatan komposit biasanya bertujuan untuk mendapatkan kelebihan dari kedua material tersebut.

Pada material komposit, antarmuka dua material yang berbeda sering disebut sebagai heterojunction dan dua material tersebut sering disebut heterostructure (Miller et al., 2014). Ketika dua material bergabung dan terjadi kontak antar permukaan material tersebut, maka pada keduanya terjadi pergeseran tingkat energi sehingga tingkat fermi menjadi sama. Fenomena ini mengakibatkan terjadinya transfer muatan dan menimbulkan adanya lapisan deplesi pada sambungan tersebut. Hal ini menjadi dasar dan diyakini dapat meningkatkan performa sensor gas. Peningkatan performa sensor gas dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pemisahan pembawa muatan, manipulasi lapisan deplesi dan peningkatan energi potensial barrier pada antarmuka material, efek kimia seperti penurunan energi aktivasi, aktivitas katalis, reaksi energi dan efek geometri seperti perbaikan butir. (Miller et al., 2014).

Penggabungan dua material menjadi komposit dapat menghasilkan sambungan yang berbeda-beda tergantung dari jenis material yang digabungkan.

Sambungan yang dapat terjadi adalah sambungan p-n, sambungan n-n dan sambungan p-p. Ketiga sambungan tersebut dapat menimbulkan fenomena band

Sambungan yang dapat terjadi adalah sambungan p-n, sambungan n-n dan sambungan p-p. Ketiga sambungan tersebut dapat menimbulkan fenomena band

Dokumen terkait