BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.9. Sensor Gas Berbasis Material Komposit
Dalam mendeteksi suatu gas, beberapa material memiliki kelemahan seperti selektivitas yang rendah dan temperatur operasi tinggi yang dapat meningkatkan konsumsi energi. Material oksida logam sebagian besar memiliki masalah dalam selektivitas karena sebagian besar gas dapat menyebabkan perubahan resistansi. Penggabungan dua material atau lebih membentuk suatu komposit diyakini dapat mengatasi masalah tersebut (Miller et al., 2014).
Pembuatan komposit biasanya bertujuan untuk mendapatkan kelebihan dari kedua material tersebut.
Pada material komposit, antarmuka dua material yang berbeda sering disebut sebagai heterojunction dan dua material tersebut sering disebut heterostructure (Miller et al., 2014). Ketika dua material bergabung dan terjadi kontak antar permukaan material tersebut, maka pada keduanya terjadi pergeseran tingkat energi sehingga tingkat fermi menjadi sama. Fenomena ini mengakibatkan terjadinya transfer muatan dan menimbulkan adanya lapisan deplesi pada sambungan tersebut. Hal ini menjadi dasar dan diyakini dapat meningkatkan performa sensor gas. Peningkatan performa sensor gas dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pemisahan pembawa muatan, manipulasi lapisan deplesi dan peningkatan energi potensial barrier pada antarmuka material, efek kimia seperti penurunan energi aktivasi, aktivitas katalis, reaksi energi dan efek geometri seperti perbaikan butir. (Miller et al., 2014).
Penggabungan dua material menjadi komposit dapat menghasilkan sambungan yang berbeda-beda tergantung dari jenis material yang digabungkan.
Sambungan yang dapat terjadi adalah sambungan p-n, sambungan n-n dan sambungan p-p. Ketiga sambungan tersebut dapat menimbulkan fenomena band bending yang dapat mengakibatkan terjadinya lapisan deplesi pada sambungan tersebut dan berimbas pada peningkatan performa sensor gas.
19 BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian
3.1.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yaitu di Laboratorium Advanced Functional Materials Laboratory (AFM) Program Studi Teknik Fisika Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Pusat Penelitian Nanosains dan Nanoteknoogi (PPNN) ITB bertempat di Jalan Ganesha No. 10 Bandung.
Proses persiapan material seperti sintesis Fe3O4 dan sintesis nanokomposit Fe3O4-ZnO serta uji sensor gas dilakukan di Laboratorium AFM Teknik Fisika ITB sedangkan karakterisasi XRD dan SEM dilakukan di PPNN ITB.
3.1.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dalam rentang waktu sekitar empat belas bulan, yaitu mulai dari bulan Juli 2019 hingga bulan Agustus 2020 secara bertahap.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya tersedia di Laboratorium AFM Teknik Fisika ITB. Berikut adalah alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya adalah oven listrik, tungku pemanas, gelas ukur, spatula, neraca digital, beaker glass, pipet tetes, sonikator, masker, sarung tangan, kertas tisu, magnetic stirrer, magnetic bar, magnet permanen, stainless steel autoclave, centrifuge, aluminium foil, plastic wrap, selotip scotch tape, squeegee, bubbler, needle valve, cylindrical regulator, flexible hose high pressure, multimeter digital, laptop untuk akuisisi data.
Kemudian alat-alat untuk melakukan karakterisasi tersedia di PPNN ITB seperti X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM).
20
3.3. Prosedur dan Diagram Alir Penelitian
Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen dengan beberapa tahap yang dilakukan, yaitu : (1) Sintesis Fe3O4 dari prekursor FeCl2 dan FeCl3 dengan metode sonikasi; (2) Sintesis nanomaterial Fe3O4-ZnO menggunakan metode hidrotermal dengan perbandingan Fe3O4 : ZnO adalah (1:0), (1:1) dan (0:1) serta karakterisitiknya ; (3) Uji Performansi sistem terhadap gas etanol ;
3.3.1. Sintesis Fe3O4 Dengan Metode Sonikasi
Diagram alir proses sintesis Fe3O4 melalui metode sonikasi ditunjukkan oleh Gambar 3.1. Sebagai prekursor pembentukan Fe3O4 adalah 1 mol FeCl2.4H2O di campur dengan 2 mol FeCl3.6H2O. Lalu kedua prekursor tersebut dilarutkan ke dalam aqua pro injection (H2O) di dalam beaker glass selanjutnya menghasilkan larutan berwarna coklat kekuningan. Kemudian dilakukan proses sonikasi pada campuran prekursor dan H2O tersebut agar menjadi homogen baik kadar zat maupun warna dalam bentuk fisik. Sonikasi dilakukan dengan menggunakan sonikator. Selama proses sonikasi sejumlah zat ammonia (NH4OH) ditambahkan secara berangsur angsur menggunakan pipet tetes untuk mempercepat terbentuknya endapan. Sampai kemudian terbentuk endapan dan larutan berubah menjadi warna hitam lalu diukur kadar pH larutan yang mencapai 10. Kemudian endapan dicuci beberapa kali dengan menggunakan air aqua bidest dan terkahir dengan menggunakan etanol lalu di sentrifugasi dengan alat sentrifugal. Setelah itu endapan dikeringkan pada temperatur 100 ℃ dalam oven untuk menghilangkan pelarut air dan etanol. Sampai kemudian diperoleh serbuk nanopartikel Fe3O4 dalam bentuk serbuk berwarna hitam.
21
Gambar 3.1. Diagram alir proses sintesis Fe3O4 dengan metode sonikasi
3.3.2. Sintesis Fe3O4 - ZnO Dengan Metode Hidrotermal
Dalam penelitian dilakukan variasi perbandingan mol atau komposisi tiap material antara Fe3O4 : ZnO yaitu (1:0), (1:1) dan (0:1). Langkah sintesis dimulai dengan mempersiapkan sejumlah 2 gram polietilena glikol (PEG) ditambah Fe3O4
lalu dilarutkan ke dalam H2O. Kemudian larutan tersebut di sonikasi dengan alat sonikator agar campuran menjadi lebih homogen dan menghasilkan larutan berwarna kecoklatan gelap (larutan A). Secara terpisah kemudian membuat larutan berasal dari campuran zink acetate dehydrate (ZAD) di tambah H2O lalu di stirring menggunakan magnetic stirrer yang berfungsi untuk mengaduk dan menghomogenkan larutan secara magnetik dan mekanik serta menghasilkan larutan bening. Tambahkan ke dalam larutan ZAD - H2O yang telah distirrer sejumlah 0,5 gram Polyvinylpyrolidone (PVP) yang menghasilkan larutan tetap bening (larutan B). Langkah berikutnya adalah menambahkan larutan B secara berangsur-angsur ke dalam larutan A sampai habis (larutan A+B). Setelah itu kemudian membuat larutan 0,6 gram urea tambah H2O lalu di aduk sampai merata (larutan C) selanjutnya ditambahkan pada larutan A+B yang menghasilkan larutan berwarna coklat muda.
Proses selanjutnya adalah memanaskan campuran larutan A+B+C dengan metode hidrotermal. Larutan A+B+C dimasukan ke dalam stainless steel
Sonikasi
Pisahkan dengan magnet Larutkan FeCl2.4H2O (1 mol) + FeCl3.6H2O (2 mol) + H2O
Teteskan Ammonia (NH4OH) → pH 10
di sentrifugal lalu cuci dengan air dan etanol
Keringkan 100℃
Serbuk Fe3O4
22 autoclave yang kemudian di tutup dengan rapat tujuannya agar pemanasan larutan dalam wadah tertutup tersebut yang menggunakan medium air mengalami kenaikan tekanan dan suhu secara cepat ketika dipanaskan. Proses hidrotermal dilakukan sampai mencapai suhu 180 ℃ selama 12 jam. Setelah selesai proses hidrotermal kembali dicuci hasil sintesis menggunakan air dan etanol. Lalu keringkan hasil sintesis tersebut sampai mencapai suhu 120 ℃ selama 6 jam.
Terakhir dilakukan kalsinasi dengan suhu 500 ℃ selama 2 jam. Hasil yang terbentuk adalah nanomaterial Fe3O4 - ZnO yang akan dijadikan sampel untuk aplikasi sensor gas etanol. Sampel nanomaterial Fe3O4 - ZnO ini selanjutnya di karakterisasi XRD, SEM dan diuji responnya terhadap gas etanol. Diagram alir sintesis Fe3O4 - ZnO diperlihatkan pada Gambar 3.2.
SER
Gambar 3.2. Diagram alir sintesis Fe3O4 - ZnO dengan metode hidrotermal Stirring + 0,5 gr PVP
Sonikasi
PEG (2 gram) + Fe3O4+ H2O ; (larutan A)
ZAD + H2O ; (larutan B)
Buat larutan 0,6 gram urea + H2O lalu ditambahkan ke larutan A+B
Campuran seluruh larutan diberikan perlakuan sebagai berikut :
▪ Hidrotermal 180 ℃ selama 12 jam ;
▪ Lalu di cuci menggunakan air dan etanol ;
▪ Keringkan 120 ℃ selama 6 jam ;
▪ Kalsinasi 500 ℃ selama 2 jam ;
Serbuk Fe
3O
4- ZnO
Campurkan larutan A dan B dengan perbandingan komposisi Fe3O4 : ZnO adalah (1:0), (1:1) dan (0:1)
23 3.3.3. Karakterisasi Material
Pada penelitian ini digunakan dua jenis karakterisasi material, dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik material sensor yang telah dibuat. Dua jenis karakterisasi material yang digunakan dalam penelitian ini adalah X-Ray Diffraction (XRD), dan Scanning Electron Microscopy (SEM).
a) X-Ray Diffraction (XRD) ;
XRD merupakan suatu teknik karakterisasi yang memanfaatkan panjang gelombang sinar-x untuk mengidentifikasi fase-fase kristal yang terbentuk dalam suatu material, kristanilitas hingga ukuran partikel dari suatu material. XRD atau difraksi sinar-x merupakan metode analisis yang memanfaatkan interaksi antara sinar-x dengan atom yang tersusun dalam sebuah sistem kristal. Untuk dapat memahami prinsip dari difraksi sinar-x dalam analisis kualitatif maupun kuantitatif, terlebih dahulu diuraikan penjelasan mengenai sistem kristal (Muzakir, 2012). Menurut Mukti (2012), XRD merupakan alat yang digunakan untuk mengkarakterisasi struktur kristal, ukuran kristal dari suatu bahan padat. Semua bahan yang mengandung kristal tertentu ketika dianalisa menggunakan XRD akan memunculkan puncak-puncak yang spesifik. Kelemahan alat ini di antaranya adalah tidak dapat mengkarakterisasi bahan yang bersifat amorf. Struktur kristal merupakan susunan atom-atom atau kumpulan atom yang teratur dan berulang dalam ruang tiga dimensi. Keteraturan susunan tersebut disebabkan oleh kondisi geometris yang dipengaruhi oleh ikatan atom yang memiliki arah (Muzakir, 2012). Kisi ruang kristal (space lattice) didefinisikan sebagai susunan titik dalam ruang tiga dimensi yang memiliki lingkungan identik antara satu dengan lainnya.
Titik dengan lingkungan yang serupa itu disebut simpul kisi (lattice points).
Kesatuan yang berulang didalam kisi ruang disebut sel unit (unit cell) struktur kristal.
b) Scanning Electron Microscopy (SEM) ; Karakterisasi SEM digunakan untuk mengetahui bentuk morfologi dan ukuran tiap sampel secara kualitatif. Hasil dari karakterisasi SEM berupa citra dari sampel pada area dan perbesaran tertentu.
24 3.3.4. Uji Performansi Sensor Fe3O4 - ZnO Terhadap Gas Etanol
Uji performansi sensor Fe3O4 - ZnO terhadap gas etanol adalah menentukan sensitivitas, waktu respon, waktu pulih dan temperatur kerja terhadap gas etanol. Skema sistem uji respon sampel terhadap gas etanol ditunjukkan oleh Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Skema sistem pengujian sensor Fe3O4 - ZnO
Tipe sensor gas etanol adalah berupa sepasang elektroda dan lapisan sensor yang terbuat dari bahan nanokomposit Fe3O4-ZnO. Subtrat alumina ukuran 15 mm x 15 mm x 0,8 mm. Serbuk nanokomposit yang telah di sintesis dengan perbandingan komposisi atau mol antara Fe3O4 : ZnO yaitu 1:0, 1:1 dan 0:1 dideposisikan diatas substrat alumina yang telah dilapisi elektroda perak dengan jarak antara elektroda 5 mm. Pendeposisian dilakukan dengan metode doctor blade yang kecepatan rotasinya adalah 300 rpm dalam 2 detik. Terlebih dahulu serbuk nanokomposit Fe3O4-ZnO dibuat menjadi pasta melalui jalan mencampurnya dengan ethylene glycol tapi diatur supaya pastanya tidak tidak terlalu kental atau terlalu encer. Setelah material berbentuk pasta dideposisikan selanjutnya dipanaskan dengan suhu 200 ℃ selama 2 jam.
Selanjutnya sampel diletakkan di test chamber dan peralatan picotest, komputer, bacharac dan pengontrol suhu dinyalakan. Lalu kompresor dinyalakan dan udaranya dialirkan ke test chamber lalu resistansi sensor direkam dan diamati hingga stabil.
Gas etanol juga dipersiapkan dengan mengalirkan keudara terbuka sembari mengamati levelnya dengan bacharac sehingga mencapai 100 ppm, lalu
Sensor
25 kompresor dimatikan dan selanjutnya gas etanol dialirkan ke test chamber selama 15 menit. Setelah 15 menit aliran gas etanol dihentikan namun kompresor dinyalakan lagi untuk mengalirkan udara kembali ke test chamber. Proses pengujian selesai ketika resistansi sensor selama pengujian disimpan di komputer.
Temperatur operasi pengujian adalah 200 ℃, 250 ℃, 300 ℃ dan 350 ℃ pada konsentrasi gas etanol 100 ppm.
Data hasil pengujian yang merupakan respon dinamik sensor diolah dan dihitung nilai sensitivitas responnya berdasarkan persamaan 3.1
Respon (%) = │ │x 100 % (3.1)
Ra adalah nilai resistansi sebelum dipapar gas uji, Rg adalah nilai resistansi ketika dipapar gas uji. Lalu juga dihitung waktu respon dan waktu pulih. Waktu respon adalah waktu yang diperlukan sensor sehingga responnya mencapai 90 % kondisi tunak. Waktu pulih adalah waktu yang diperlukan sensor untuk mencapai 90 % kondisi awal (sebelum dipapar gas). Perhitungan waktu respon dan waktu pulih demikian merupakan hal yang sudah umum dalam penelitian sensor. Dari persamaan 3.1. serta perhitungan waktu respon dan waktu pulih maka diperoleh persamaan (3.2), (3.3), (3.4) dan (3.5).
Rr = Ra - 0,9 x (Ra - Rg) (3.2)
Rp = Rg + 0,9 x (Ra -Rg) (3.3)
Waktu respon = t2 - t1 (3.4)
Waktu pulih = t4 - t3 (3.5)
Dengan Ra merupakan resistansi sensor sebelum terpapar gas target. Rg adalah resistansi sensor setelah terkena paparan gas target. Rr merupakan resistansi sensor saat telah mencapai waktu respon. Rp merupakan resistansi sensor setelah mencapai waktu pulih.
26 BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini telah menghasilkan publikasi. Pertama dengan judul “XRD chacarterization of Fe3O4-ZnO nanocomposite material by the hydrothermal method”. Publish pada AIP Conference Proceedings 2221, 110008 (2020).
Published Online: 31 March 2020. https://doi.org/10.1063/5.0003210. Kedua dengan judul “A Pollutant Gas Sensor Based On Fe3O4 Nanostructures-A Review”. Telah Accepted pada tanggal 10 Februari 2021 pada Journal Of The Electrochemical Society (Q1). DOI: 10.1149/1945-7111/abd928.
4.1. Hasil Sintesis Material
Sintesis material Fe3O4 dari prekursornya telah berhasil dilakukan. Sampel yang terbentuk setelah proses pencucian dengan n-heksan dan dan re-disperse dalam etanol menghasilkan nanofluida magnetik dan setelah proses pengendapan 24 jam terbentuk nanopartikel. Endapan oksida besi yang dihasilkan berwarna hitam pekat, yang mengindikasikan terbentuknya nanopartikel oksida besi Fe3O4
(B. Permana, T. Saragi, M. Saputri, L. Safriani, I. Rahayu, 2009; Kazeminezhad
& Mosivand, 2014). Selain berwarna hitam, endapan ini juga merupakan partikel magnetik yang terlihat pada proses dekantasi magnet dan partikel sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.1. Nanopartikel magnetik oksida besi Fe3O4 bergerak menuju magnet.
Gambar 4.1. Serbuk nanopartikel Fe3O4 murni
27 Hasil lain yang diperoleh dari penelitian sebelumnya bahwa nanopartikel oksida besi yang disintesis dengan menggunakan metode kopresipitasi menghasilkan morfologi berbentuk bulat (Kazeminezhad & Mosivand, 2014; Ta et al., 2016). Dengan demikian sintesis nanopartikel Fe3O4 telah berhasil dilakukan. Tahapan pembentukan partikel Fe3O4 pada sintesis berlangsung mengikuti persamaan reaksi kimia berikut (Petcharoen & Sirivat, 2012) ;
Fe2+ + 2OH- → Fe(OH)2
2Fe3+ + 6OH- → 2Fe(OH)3
Fe(OH)2 + 2Fe(OH)3 → Fe3O4 + 4H2O
Selain memperhatikan metode sintesisnya, bahan-bahan pembuat atau penyusun nanokomposit juga penting untuk diperhatikan. Penggunaan FeCl3
sebagai prekursor Fe3O4 dinilai lebih ramah lingkungan dan proses pembentukkan Fe3O4 akan terjadi cepat dibandingkan dengan menggunakan prekursor iron(III) acetyl-acetonate (Fe(acac)3) (H. He & Gao, 2010). Penambahan NH4OH dilakukan untuk membentuk ion Fe2+ dan Fe3+ yang kemudian tersusun menjadi nanopartikel magnetit (Fe3O4). Penggunaan NH4OH sebagai agen pembentuk Fe3O4 dinilai lebih stabil dibandingkan dengan menggunakan NaOH karena pH nya lebih mudah untuk dikontrol (Safari et al., 2016). NaOH memiliki konsentrasi OH- dan pH yang lebih besar, sehingga laju reaksinya lebih cepat. Akibatnya, partikel yang terbentuk menjadi lebih besar, sedangkan NH4OH melepaskan OH- terus-menerus, sehingga ukuran partikel lebih terkontrol.
Demikian juga telah berhasil dilakukan sintesis material komposit Fe3O4 -ZnO. Hasil sintesis Fe3O4-ZnO berupa serbuk berwarna putih kecoklatan seperti pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2. Serbuk Nanokomposit Fe3O4-ZnO
28 4.2 Karakterisasi Material
Setelah selesai dilakukan sintesis material, selanjutnya dilakukan karakterisasi material-material tersebut. Karakterisasi material meliputi uji X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy (SEM) terhadap seluruh material.
4.2.1 Analisis XRD Nanokomposit Fe3O4-ZnO
Analisis XRD merupakan contoh analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi keberadaan suatu senyawa dengan mengamati pola pembiasan cahaya sebagai akibat dari berkas cahaya yang dibiaskan oleh material yang memiliki susunan atom pada kisi kristalnya. Secara sederhana, prinsip kerja dari XRD dapat dijelaskan sebagai berikut. Setiap senyawa terdiri dari susunan atom-atom yang membentuk bidang tertentu. Jika sebuah bidang memiliki bentuk yang tertentu, maka partikel cahaya (foton) yang datang dengan sudut tertentu hanya akan menghasilkan pola pantulan maupun pembiasan yang khas. Dengan kata lain, tidak mungkin foton yang datang dengan sudut tertentu pada sebuah bidang dengan bentuk tertentu akan menghasilkan pola pantulan ataupun pembiasan yang bermacam-macam. Sebagai gambaran, bayangan sebuah objek akan membentuk pola yang sama seandainya cahaya berasal dari sudut datang yang sama.
Kekhasan pola difraksi yang tercipta inilah yang dijadikan landasan dalam analisa kualitatif untuk membedakan suatu senyawa dengan senyawa yang lain menggunakan instrumen XRD. Pola unik yang terbentuk untuk setiap difraksi cahaya pada suatu material seperti halnya fingerprint (sidik jari) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa yang berbeda (Muzakir, 2012). Dalam penelitian telah dilakukan uji XRD material Fe3O4, material ZnO dan komposit Fe3O4-ZnO.
4.2.1.1 Perbandingan Fe3O4 : ZnO (1 : 0)
Analisis XRD mengacu pada hasil database dari Lynxeye_Xe (mode 1D) dengan lebar divergensi 0,600 mm, radiasi Cu kα1 1,54060 Å dan radiasi kα2 Cu 1,54439 Å. Panjang gelombang sinar-X adalah 1,54060 Å. Gambar 4.3. adalah hasil XRD nanopartikel Fe3O4. Pada Gambar 4.3 terlihat masih ada fasa pengotor atau amorf sebesar 38,3%. Hal ini menandakan belum terjadi pertumbuhan kristal
29 secara sempurna dan homogen. Adanya impuritas atau amorf pada sintesis ini dapat dilihat pada grafik pola difraksi terutama pada grafik Fe3O4 terdapat beberapa puncak kecil.
Gambar 4.3. Difraktogram Hasil XRD Fe3O4
Untuk mendapatkan beberapa pemahaman kualitatif tentang struktur nanopartikel yang disintesis, maka dilakukan perhitungan dan analisis nanopartikel Fe3O4. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan program perangkat lunak match seperti ditunjukan pada Gambar 4.4.
Analisis menggunakan match telah mengkonfirmasi bahwa sampel yang digunakan adalah nanopartikel magnetit dengan formula Fe3O4. Juga dikonfirmasi bahwa adanya fasa kubik berstruktur spinel dengan gugus ruang FD-3m (227) dan parameter kisi Fe3O4 sebesar a = 8,34400 Å. Analisis XRD menegaskan kembali sifat polikristalin dari sampel magnetit. Puncak difraksi sinar-X dapat diindeks oleh indeks Miller dari struktur mirip magnetit Fe3O4 kubik ((202), (311), (222), (400), (422) (511), dan (404)). Puncak (311), (202) maupun (400) adalah merupakan puncak difraksi khas milik nanopartikel magnetit. Untuk alasan ini, sampel hasil sintesis dapat dianggap sebagai senyawa Fe3O4 polikristalin murni dengan struktur magnetit (Siregar et al., 2021).
Hasil Analisis Pola XRD sintesis Fe3O4 melalui metode sonikasi dengan menggunakan prekursor pembentukan Fe3O4 yaitu FeCl2.4H2O dan FeCl3.6H2O dapat dijelaskan selanjutnya. Nanopartikel Fe3O4 dan juga dapat dilihat struktur kristal Fe3O4 yaitu kubik dengan a = b = c = 8.34400 Å. Dari Gambar 4.4 dapat dilihat adanya puncak-puncak tertinggi yaitu pada 2𝜃 : 30,2720 ; 35,6590 ; 37,3010
30
; 43,4550 ; 53,9220 ; 57,3310 ; 62,9640. Jarak spasi (d) masing-masing puncak tertinggi ini berturut-turut adalah 2,9500 Å ; 2,5158 Å ; 2,4087 Å ; 2,0860 Å ; 1,7032 Å ; 1,6058 Å ; 1,4750 Å. Puncak maksimum terdapat pada sudut 2𝜃 = 35,6590 dengan jarak spasi 2,5158 Å. Puncak maksimum dengan indeks miller (311) ini juga menunjukan bahwa nanopartikel magnetit tetap terbentuk dengan baik setelah melalui proses sintesis menggunakan prekursornya.
20 40 60
Gambar 4.4. Analisis XRD Fe3O4 menggunakan match
Berdasarkan Gambar 4.4, nanopartikel Fe3O4 sebagai hasil sintesis dari prekursornya memiliki fase dominan Fe3O4 (Magnetit), dapat dilihat pola nanopartikel yang dikarakterisasi cocok dengan pola standar untuk fase Fe3O4
Magnetit berdasarkan database pola XRD dengan nomor acuan 96-900-5842.
Terdapat puncak-puncak khas yang merupakan puncak dari Nanopartikel Fe3O4
yang dikarakterisasi pada 2𝜃 : 30,2720 ; 35,6590 ; 37,3010 ; 43,4550 ; 53,9220 ; 57,3310 ; 62,9640 dengan intensitas masing-masing 286,2 ; 1000 ; 71 ; 202,9 ; 92,5 ; 285 ; 395,3.
4.2.1.2 Perbandingan Fe3O4 : ZnO (1 : 1)
Analisis XRD mengacu pada hasil database dari Lynxeye_Xe (mode 1D) dengan lebar divergensi 0,600 mm, radiasi Cu kα1 1,54060 Å dan radiasi kα2 Cu 1,54439 Å. Panjang gelombang sinar-X adalah 1,54060 Å. Pada Gambar 4.5, nanokomposit Fe3O4 - ZnO setelah disintesis dengan metode hidrotermal 180 ℃
31 selama 12 jam kemudian dikeringkan pada suhu 120 ℃ selama 6 jam dan terakhir dikalsinasi 500 ℃ selama 2 jam.
Gambar 4.5. Difraktogram Hasil XRD Komposit Fe3O4-ZnO
Untuk mendapatkan beberapa pemahaman kualitatif tentang struktur nanomaterial komposit Fe3O4-ZnO yang disintesis, maka dilakukan perhitungan dan analisis nanomaterial komposit Fe3O4-ZnO. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan program perangkat lunak match. Hasilnya seperti ditunjukan pada Gambar 4.6.
Gambar 4.6. Analisis XRD Fe3O4-ZnO menggunakan match
Analisis menggunakan match telah mengkonfirmasi bahwa sampel Fe3O4 -ZnO telah berhasil dikarakterisasi menggunakan XRD. Hal tersebut ditunjukan oleh grafik analisis XRD Fe3O4-ZnO pada Gambar 4.6. Grafik menunjukan
(101)
32 puncak-puncak khas dari Fe3O4-ZnO. Juga dikonfirmasi bahwa struktur kristal yang terbentuk adalah trigonal (Hexagonal axes) dengan gugus ruang P312 (149) dan parameter kisi Fe3O4-ZnO sebesar a = 5.63270 Å, c= 5.22090 Å. Analisis XRD menegaskan kembali sifat polikristalin dari sampel Fe3O4-ZnO. Puncak difraksi sinar-X dapat diindeks oleh indeks Miller dari struktur hkl sampel Fe3O4 -ZnO ((110), (002), (101), (112), (300), (113), (220), (302) dan (221)).
Hasil Analisis Pola XRD sintesis Fe3O4-ZnO melalui metode hidrotermal dapat dijelaskan selanjutnya. Nanokomposit Fe3O4-ZnO dan dapat dilihat struktur kristalnya yaitu trigonal (hexagonal axes) dengan a= 5.63270 Å, c= 5.22090 Å.
Dari Gambar 4.6 dapat dilihat adanya puncak-puncak tertinggi untuk nanokomposit Fe3O4-ZnO yaitu pada 2𝜃 : 31,730 ; 34,330 ; 36,210 ; 47,500 ; 56,390
; 62,840 ; 66,270 ; 68,000 ; 69,110. Jarak spasi (d) masing-masing puncak tertinggi ini berturut-turut adalah 2.8163 Å ; 2.6105 Å ; 2.4787 Å ; 1.9145 Å ; 1.6260 Å ; 1.4805 Å ; 1.4082 Å ; 1.3802 Å ; 1.3596 Å. Puncak maksimum terdapat pada sudut 2𝜃 = 36,210 dengan jarak spasi 2,4787 Å. 2.6105 Å ; 2.4787 Å. Puncak maksimum terdapat pada sudut 2𝜃 = 36,210 dengan jarak spasi 2,4787 Å.
Berdasarkan hasil analisa XRD di atas dapat dikatakan bahwa nanopartikel Fe3O4 dan nanomaterial Fe3O4-ZnO telah berhasil disintesis. Juga telah berhasil dilakukan analisis untuk mengamati struktur kristal nanokomposit Fe3O4 dan nanomaterial Fe3O4 - ZnO menggunakan difraksi XRD. Pola XRD nanokomposit nanopartikel Fe3O4 menunjukkan struktur kristal kubik Fe3O4 yang khas.
Demikian juga nanokomposit Fe3O4-ZnO setelah dikalsinasi 500 °C selama 2 jam memperlihatkan struktur kristal trigonal (hexagonal axes). Baik nanopartikel Fe3O4 maupun nanokompsit Fe3O4-ZnO menunjukkan beberapa puncak yang meruncing keatas. Dari data hasil XRD juga menunjukan bahwa bahan sampel nanokomposit Fe3O4-ZnO memiliki struktur kristal 73,9% lebih besar dari pada amorf 26,1%.
Pada penelitian ini, ZnO yang dikompositkan dengan Fe3O4 sebagai upaya mengurangi penggumpalan yang terjadi pada Fe3O4 sehingga dapat meningkatkan nilai respon sensor gas etanol. Dari analisis XRD nanokomposit Fe3O4-ZnO terlihat bahwa puncak-puncak difraksi di dominasi oleh puncak ZnO. Puncak
33 (101), (110) dan (002) merupakan puncak khas ZnO. Puncak (311) sebagai khas Fe3O4 menjadi hampir tidak terlihat. Hal tersebut dapat kita bandingkan dengan hasil analisis XRD pada Fe3O4 murni maupun ZnO murni. Dari Gambar 4.6 kita bisa lihat bahwa puncak difraksi Fe3O4 semakin hampir tidak kelihatan atau semakin tereduksi. Sementara puncak difraksi ZnO terlihat makin jelas dan tajam.
Hal ini wajar terjadi karena penurunan puncak difraksi dapat disebabkan oleh kualitas kristalin atau ukuran kristal yang semakin mengecil. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ZnO merupakan nanopartikel dengan kualitas kristalin sangat lebih baik dibandingkan nanopartikel Fe3O4. Sehingga sangat tepat digunakan untuk bahan komposit Fe3O4 yang akan digunakan sebagai aplikasi sensor gas etanol.
4.2.1.3 Perbandingan Fe3O4 : ZnO (0 : 1)
Analisis XRD mengacu pada hasil database dari Lynxeye_Xe (mode 1D) dengan lebar divergensi 0,600 mm, radiasi Cu kα1 1,54060 Å dan radiasi kα2 Cu 1,54439 Å. Panjang gelombang sinar-X adalah 1,54060 Å. Gambar 4.7 adalah hasil XRD nanopartikel ZnO. Pada Gambar 4.7 terlihat masih ada fasa pengotor atau amorf sebesar 20,2 %. Hal ini menandakan belum terjadi pertumbuhan kristal secara sempurna dan homogen. Adanya impuritas atau amorf pada sintesis ini dapat dilihat pada grafik pola difraksi terutama pada grafik ZnO terdapat beberapa
Analisis XRD mengacu pada hasil database dari Lynxeye_Xe (mode 1D) dengan lebar divergensi 0,600 mm, radiasi Cu kα1 1,54060 Å dan radiasi kα2 Cu 1,54439 Å. Panjang gelombang sinar-X adalah 1,54060 Å. Gambar 4.7 adalah hasil XRD nanopartikel ZnO. Pada Gambar 4.7 terlihat masih ada fasa pengotor atau amorf sebesar 20,2 %. Hal ini menandakan belum terjadi pertumbuhan kristal secara sempurna dan homogen. Adanya impuritas atau amorf pada sintesis ini dapat dilihat pada grafik pola difraksi terutama pada grafik ZnO terdapat beberapa