• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat untuk masyarakat

Memberikan informasi kepada orang tua mengenai status kebersihan rongga mulut pada anak mereka untuk memotivasi orang tua untuk memperhatikan, menjaga dan memberikan pengarahan kepada anak sejak dini untuk menjaga kebersihan mulut yang baik dan benar.

1.5.2 Manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan

1. Untuk mendapatkan data mengenai status kebersihan rongga mulut pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di seluruh SLB Kota Medan.

2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar bagi program pemerintah dalam bidang kesehatan gigi dan mulut anak dengan menambah dana untuk meningkatkan kualitas hidup anak sindroma Down.

1.5.3 Manfaat kebutuhan klinis

Dengan diketahuinya status kebersihan rongga mulut pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C kota Medan maka dapat direncanakan usaha pencegahan dan perawatan terhadap karies dan penyakit periodontal pada anak Sindroma Down.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sindroma Down

Sindroma Down merupakan salah satu kelainan kromosom dengan insiden 0,3- 3,4 dalam 1000 kelahiran pada beberapa bagian di dunia dan merupakan penyebab umum dari 25-30 % retardasi mental di dunia. Frekuensi terjadinya penderita Sindroma Down di Indonesia adalah 1 dalam 600 kelahiran hidup. Angka kejadian Sindroma Down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan. Rasio kejadian untuk ibu muda <20 tahun adalah 1:2000 setiap kelahiran. Frekuensi akan meningkat menjadi 1:100 pada usia ibu >45 tahun. Meningkatnya usia ibu saat kehamilan sampai di atas 45 tahun akan meningkatkan resiko melahirkan anak dengan sindroma Down sebesar 1:50.3, 12

2.2 Etiologi Sindroma Down

John Langdon Down, seorang keturunan Inggris yang pertama kali menemukan gambaran klinik dari Sindroma Down, menyatakan bahwa sindrom ini merupakan akibat dari kelainan kromosom. Lejeune dkk mengkonfirmasi adanya trisomi 21 pada Sindrom Down. Trisomi 21 ini terjadi apabila adanya kromosom 21 yang lebih ataupun merupakan sebagian dari fusi kromosom Robertsonian atau dikenali sebagai isokromosom, sehingga berpengaruh pada sekitar 700-800 kelahiran hidup. Karyotype merupakan susunan kromosom individu berdasarkan panjang dan bentuknya. 3,13,14,26

Karyotype individu dengan trisomi 21 digambarkan pada Gambar 1.

Gambar 1: Karyotype individu dengan trisomi 21.26

2.3 Retardasi Mental pada Anak Sindroma Down

Retardasi mental merupakan ciri-ciri yang berkaitan dengan anak Sindroma Down dan merupakan kelompok retardasi mental pada kisaran ringan hingga sedang.

Penggolongan tingkat retardasi mental didasarkan pada hasil pengukuran inteligensi (IQ). Tes inteligensi sendiri dimaksudkan untuk mengukur kemungkinan keberhasilan orang dibidang akademik. Maka, pembagian tingkat retardasi mental pada dasarnya merupakan pembagian tingkat kemampuan mengikuti dan menyelesaikan pendidikan formal di sekolah. Selain itu, pembagian tingkat retardasi tersebut memang mengandung penilaian tentang kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, khususnya menyangkut kemandirian dan tanggungjawab sosial. IQ individu Sindroma Down ini biasanya tidak lebih dari 60. Pada umumnya dikenal empat tingkat retardasi mental yaitu, retardasi mental ringan, sedang, berat dan sangat berat.15,16

a. Retardasi Mental Ringan :

Penderita ini memiliki IQ antara 52-67 dan meliputi bagian terbesar populasi retardasi mental. Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak berusia 8-11 tahun.

Penyesuaian sosial mereka hampir setara dengan remaja normal, namun kalah dalam hal imajinasi, kreativitas, dan kemampuan membuat penilaian-penilain. Mereka ini edukabel atau dapat dididik. Artinya, bila kasus mereka diketahui sejak dini dan

selanjutnya mendapatkan pendampingan dari orang tua serta mendapatkan program pendidikan luar biasa, sebagian besar dari mereka mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan, mampu menguasai keterampilan akademik dan keterampilan kerja sederhana, dan dapat menjadi warga masyarakat yang mandiri.

b. Retardasi Mental Sedang :

Golongan ini memiliki IQ 36-51. Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak-anak usia 4-7 tahun. Secara fisik mereka tampak “wagu” dan biasanya memiliki sejumlah cacat fisik. Koordinasi motornya buruk, sehingga gerakan tangan-kaki maupun tubuhnya tidak luwes. Ada yang agresif dan menunjukkan sikap bermusuh terhadap orang yang belum mereka kenal. Mereka lamban belajar dan kemampuan mereka membentuk konsep amat terbatas. Namun mereka trainable atau dapat dilatih. Artinya, bila kasus mereka diketahui secara dini, selanjutnya didampingi oleh orang tua dan mendapatkan latihan secukupnya, mereka dapat cukup mandiri dalam mengurus dirinya, termasuk bisa produktif secara ekonomis, baik dalam perawatan di rumah atau di panti asuhan.

c. Retardasi Mental Berat :

Golongan ini memiliki IQ 20-35. Mereka sering disebut “dependent retarded”

atau penderita lemah mental yang tergantung. Perkembangan motor dan bicara mereka sangat terbelakang, sering disertai gangguan pengindraan dan motor. Mereka dapat dilatih untuk menolong diri sendiri secara terbatas. Mereka juga dapat dilatih untuk melakukan tugas-tugas sederhana, sedangkan untuk semua hal lain yang lebih kompleks mereka sangat tergantung pada pertolongan orang lain.

d. Retardasi Mental Sangat Berat :

Golongan ini memiliki IQ kurang dari 20. Mereka sering disebut golongan

“life support retarded”, golongan lemah mental yang perlu disokong secara penuh agar dapat bertahan hidup. Kemampuan adaptasi dan bicara mereka sangat terbatas.

Biasanya mereka memiliki cacat tubuh berat dan mengalami patologi pada sistem saraf pusat mereka, sehingga pertumbuhan mereka sangat terhambat. Sering mereka juga dihinggapi kejang-kejang, mutisme, ketulian, dan kelainan tubuh lain. Kesehatan

mereka cenderung buruk dan rentan terhadap penyakit, sehingga biasanya tidak berumur panjang.

2.4 Karakteristik Kraniofasial Anak Sindroma Down

Terdapat beberapa karakteristik kraniofasial yang dimiliki oleh anak Sindroma Down yang membedakan mereka dengan anak yang normal (Gambar 2). Antaranya, adalah displasia pada tengah wajah yang merupakan karakteristik utama pada anak Sindroma Down ini. Seterusnya, ciri-ciri kepala dan leher anak Sindroma Down meliputi brachicephaly, hidung yang berbentuk datar dan kecil, leher yang pendek dan luas, peningkatan lipatan kulit nuchal, dan telinga yang kecil dan displastik.

Pembentukan hidung yang berbentuk datar ini telah dilaporkan dimiliki oleh 59-78%

anak Sindroma Down.17,18

Selain itu, malformasi telinga anak Sindroma Down meliputi telinga berbentuk lop, pasangan telinga yang rendah, dan telinga dengan atau tidak berbentuk spiral yang dilaporkan sebanyak 54% pada anak-anak tersebut. Terjadi juga malformasi mata pada anak Sindroma Down yaitu memiliki mata miring berbentuk almond dengan adanya lipatan epichantal sehingga dikenali sebagai individu mongoloid. Sebanyak 14-54% dilaporkan pula memiliki mata juling. Karakteristik lain ditemui sinus frontal atau kekurangan sinus maksila. Penyempitan septum nasal pada anak Sindroma Down menyebabkan obstruksi parsial aliran udara. Keadaan ini yang mengakibatkan munculnya masalah bernafas melalui mulut.17

Manifestasi oral pada anak Sindroma Down meliputi bagian mulut dan lidah.

Anak Sindroma Down memliliki bibir yang tidak kompeten sehingga mulut mereka terbuka, dengan bibir atas dan bawah tidak kontak satu sama lain. Selain itu, lidah kelihatan besar dan menjulur keluar dari mulut anak tersebut. Makroglosia juga dijumpai dimana lidahnya dalam ukuran yang normal tetapi rongga mulut berukuran kecil akibat adanya ketidaksempurnaan pembentukan bagian tengah wajah. Palatum pada anak Sindroma Down berbentuk kubah dan sempit dimana palatum keras memiliki ketebalan yang abnormal, mengakibatkan kekurangan ruangan bagi lidah dalam rongga mulut sehingga mengganggu percakapan dan proses mastikasi pada

anak Sindroma Down. Selain itu, dengan bertambahnya usia anak Sindroma Down, lidah dan bibirnya akan mulai retak dan berfisur, dan ini terjadi akibat pernafasan melalui mulut yang kronik, yang menyebabkan aliran saliva dalam mulut berkurang sehingga timbulnya mulut yang kering dan terjadi halitosis.19

Gambar 2: Gambaran Fisik Anak Sindroma Down.27

2.5 Anomali Gigi pada Anak Sindroma Down

Anak Sindroma Down memiliki kelainan bentuk dan struktur gigi yang mengakibatkan oral hygiene mereka tidak dapat dijaga dengan baik. Karakteristik gigi tersebut meliputi mikrodontia, (mahkota gigi berbentuk konikal, lebih kecil dan pendek dari ukuran normal), hipodonsia (ukuran rasio akar terhadap mahkota gigi berbeda), agenesis, parsial anodonsia, dan maloklusi. Terlambatnya erupsi gigi sulung dan adanya gigi supernumerari juga terjadi pada anak Sindroma Down. Diastema turut muncul karena adanya mikrodonsia dan bisa dikoreksi dengan restorasi gigi ataupun perawatan ortodonti. Anak-anak dan remaja Sindroma Down sering mempunyai insidens penyakit periodontal dan xerostomia yang tinggi.13,20

Maloklusi yang sering terjadi pada anak Sindroma Down adalah maloklusi Klas III. Insidens maloklusi ini terjadi karena ketidaksempurnaan pembentukan bagian tengah wajah yaitu meliputi bagian nasal, premaksila dan tulang maksila.

Peningkatan insidens maloklusi pada anak Sindroma Down ini adalah seperti yang

dilaporkan : Klas III, 32-70%; Klas II, 3-32% ; posterior unilateral dan gigitan silang bilateral sebanyak 71% dan gigitan terbuka, 5%.17

Gigi-gigi anak Sindroma Down bisa hilang, malformasi, kurang berklasifikasi, dan berfusi. Tidak tumbuhnya gigi telah dilaporkan sebanyak 50% dari keseluruhan populasi Sindroma Down tersebut. Gigi yang paling sering tidak tumbuh adalah gigi tetap yaitu gigi molar tiga, gigi premolar kedua, dan insisivus lateralis. Sekitar 35-55% pasien Sindroma Down dikatakan memiliki gigi yang ukurannya sangat kecil yaitu mikrodonsia dan 10% anak Sindroma Down memiliki gigi berbentuk pasak pada gigi insisivus lateralis.21

2.6 Kebersihan Rongga Mulut Anak Sindroma Down

Kebersihan rongga mulut memegang peranan yang penting dalam menciptakan pola hidup sehat. Jika kebersihan rongga mulut tidak terpelihara maka akan menimbulkan berbagai penyakit di rongga mulut seperti karies gigi dan penyakit periodontal. Kebersihan rongga mulut dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan perilaku membersihkan gigi.

a. Sosial Ekonomi

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kumar S dkk (2009) pada anak retardasi mental usia 8-19 tahun yang terdiri atas anak Sindroma Down dan Cerebral Palsy di Udaipur, India didapati status kebersihan rongga mulut ( oral hygiene ) sangat berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi anak-anak tersebut. Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa keluarga dengan ekonomi rendah menyebabkan oral hygiene anak bertambah buruk.8

b. Tingkat Pendidikan

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kumar S dkk (2009) pada anak retardasi mental usia 8-19 tahun yang terdiri atas anak Sindroma Down dan Cerebral Palsy di Udaipur, India didapati status kebersihan rongga mulut ( oral hygiene ) sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu. Penelitian lain yang dilakukan pada anak Sindroma Down di Riyadh membuktikan kebanyakan ibu dengan tingkat pendidikan rendah didapati menggunakan air sahaja sebagai metoda membersihkan

gigi anak mereka dibandingkan anak dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi.8

c. Jenis Kelamin

Penelitian yang dijalankan pada individu retardasi mental di Sekolah Luar Biasa di kota Udaipur, India pada individu usia 12- 30 tahun memperlihatkan bahwa individu laki-laki mempunyai oral hygiene serta status periodontal yang lebih jelek dibandingkan dengan individu perempuan. Denloye telah mengobservasi juga tentang status OHIS yang lebih tinggi pada laki-laki dari perempuan di dalam studinya pada anak retardasi mental di Nigeria.7,8

d. Perilaku Membersihkan Gigi

Hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Oliveria AC pada tahun 2010 di Brazil tentang persepsi ibu mengenai kesehatan mulut pada anaknya yang mengalami Sindroma Down yaitu para ibu cenderung memiliki tanggungjawab terbatas dalam status kesehatan anak-anak mereka dan mengenai pengalaman dalam merawat kesehatan mulut anak-anak mereka mengalami kesulitan. Faktor- faktor lain yang menjadi kendala adalah masalah keuangan, waktu, dan akses terhadap pelayanan rujukan kesehatan yang dapat menghambat pencarian dalam perawatan gigi untuk individu dengan kebutuhan khusus.10

Menurut Eriska Riyanti (2005) keberhasilan perawatan gigi dan mulut serta pencegahan penyakit periodontal pada anak Sindroma Down sangat berpengaruh pada perilaku orang tua. Artinya para orang tua harus menanamkan kedisiplinan kepada mereka dalam membersihkan rongga mulut. Bila sejak dini sang anak terbiasa membersihkan rongga mulut, dia tidak akan berontak atau teriak sekuat tenaga jika suatu hari dibawa ke pelayanan kesehatan gigi. Orang tua harus gigih dan terus menerus memperkenalkan sikap membersihkan gigi pada anak Sindroma Down ini agar mereka mengerti cara sikat gigi yang baik dan benar agar rongga mulutnya senantiasa sehat.10

Penyikatan gigi, flossing dan profesional profilaksis disadari sebagai komponen dasar dalam menjaga keberishan mulut. Keterampilan penyikatan gigi harus diajarkan dan ditekankan pada anak di segala umur. Anak dibawah umur 5

tahun tidak dapat menjaga kebersihan mulutnya secara benar dan efektif maka orang tua harus melakukan penyikatan gigi anak setidaknya sampai anak berumur 6 tahun kemudian mengawasi prosedur ini secara terus-menerus. Penyikatan gigi anak mulai dilakukan sejak erupsi gigi pertama anak dan tatacara penyikatan gigi harus ditetapkan ketika molar susu telah erupsi. Metode penyikatan gigi pada anak lebih ditekankan agar mampu membersihkan keseluruhan giginya bagaimanapun caranya namun dengan bertambahnya usia diharapkan metode bass dapat dilakukan.22

Pemakaian sikat gigi elektrik lebih ditekankan pada anak yang mempunyai masalah khusus. Pasta gigi yang mengandung 1000-2800 ppm menunjukkan hasil yang baik dalam pencegahan karies tinggi pada anak di antara umur 6-16 tahun. Anak sebaiknya tiga kali sehari menyikat gigi segera sesudah makan dan sebelum tidur malam.Pemakaian benang gigi dianjurkan pada anak yang berumur 12 tahun ke atas di mana selain penyakit periodontal meningkat pada umur ini, flossing juga sulit dilakukan dan memerlukan latihan yang lama sebelum benar-benar menguasainya.

Profesional profilaksis (skeling, aplikasi flour) dilakukan oleh dokter gigi atau tenaga kesehatan anak. Pada anak cacat dan keterbelakangan mental, hal ini harus lebih ditekankan.19,22

2.6.1 Oral Hygiene :

Pemeriksaan intra oral yang dilakukan untuk mengetahui oral higiene meliputi Indeks oral hygiene (OHIS) yang terdiri atas Indeks kalkulus dan Indeks debris.

2.6.2 Indeks Oral Hygiene (OHIS)

Indeks oral hygiene (OHIS) adalah indeks digunakan untuk mengukur tingkat kebersihan gigi dengan mengukur indeks kalkulus dan indeks debris dan kemudiannya dijumlahkan untuk mendapatkan indeks oral higienenya. Jumlah gigi yang diperiksa hanya 6 gigi dengan permukaan yang tertentu yaitu :

bukal labial bukal 6 1 6 6 1 6

lingual labial lingual Indeks Debris

Indeks debris turut dikenali sebagai Simplified Debris Index (D.I.S). Kriteria indeks debris adalah seperti berikut:

0: tidak ada debris atau stain.

1: a) debris menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi.

b) ada extrinsic stain yang tidak tergantung pada luas permukaan gigi yang ditutupi walaupun tanpa debris.

2: debris menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi, tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi.

3: debris menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi.

Tingkat kebersihan oral debris dapat digolongkan sebagai berikut : Baik : 0,0-0,6

Sedang: 0,7-1,8 Jelek : 1,9-3,0

Indeks Kalkulus

Indeks kalkulus turut dikenali sebagai Simplified Calculus Index (C.I.S).

Kriteria indeks kalkulus meliputi seperti berikut:

0: tidak ada kalkulus gigi.

1: kalkulus gigi supragingiva yang menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi.

2: kalkulus gigi supragingiva yang menutupi lebih dari 1/3 tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi dan/ atau adanya bercak karang gigi subgingiva yang tidak melingkari leher gigi.

3: kalkulus gigi supragingiva yang menutupi lebih dari 2/3 dari permukaan gigi dan/

atau karang gigi subgingiva yang dengan tidak putus-putus melingkari leher gigi.

Tingkat kebersihan oral kalkulus dapat digolongkan sebagai berikut : Baik : 0,0-0,6

Sedang: 0,7-1,8 Jelek : 1,9-3,0

Jadi, untuk mengetahui masing-masing Indeks Debris dan Indeks Kalkulus, skor total masing-masing debris dan kalkulus dibahagikan dengan jumlah gigi yang diperiksa.

Jumlah angka C.I.S / D.I.S =

Jumlah gigi yang diperiksa

Sedangkan, untuk mengetahui Indeks Oral Higiene, dijumlahkan Indeks Debris dan Indeks Kalkulus yang telah diperoleh.

Tingkat kebersihan oral hygiene dapat digolongkan sebagai berikut : Baik : 0,0-1,2

Sedang: 1,3-3,0 Jelek : 3,1-6,0

2.7 Efek Samping yang Terjadi pada Rongga Mulut akibat Pengobatan Selain memiliki penampilan fisik yang berbeda, anak-anak Sindroma Down seringkali memiliki masalah kesehatan yang spesifik. Oleh karena itu, mereka harus mengonsumsi obat tertentu. Namun, obat-obat yang dikonsumsi oleh anak Sindroma Down ini telah menimbulkan efek samping pada rongga mulut mereka seperti xerostomia dan pembesaran gingiva.

Xerostomia atau dry mouth yang terjadi akibat dari konsumsi obat antikonvulsant seperti carbamazepine dan valproate adalah sensasi kering yang

O.H.I.S = D.I.S + C.I.S

terjadi pada rongga mulut karena penurunan kualitas dan kuantitas saliva. Gambaran klinis pada xerostomia sangat tampak pada rongga mulut dimana terlihat ulserasi mukosa, halitosis, dan penyakit periodontal. Xerostomia dapat menyebabkan penyakit periodontal karena dengan kurangnya produksi saliva di rongga mulut dapat menyebabkan kurangnya reaksi pembersihan sehingga membuka jalan bagi bakteri dan mikroorganisme patogen untuk hidup yang dapat menyebabkan pembentukan plak pada gigi. Plak pada gigi inilah yang akan menyebabkan terjadinya penyakit periodontal seperti gingivitis. 23

Pembesaran gingiva yang terjadi pula akibat mengonsumsi obat verapamil didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana ukuran gingiva bertambah dari normal yang dapat menimbulkan masalah kebersihan gigi geligi. Bertambah besarnya gingiva merupakan gambaran klinis adanya kelainan gingiva yang disebabkan oleh hiperplasia dan hipertrofi gingiva. Hiperplasia gingiva yang terjadi ini diinduksi oleh obat-obatan yang dikonsumsi oleh anak Sindroma Down. 24

2.8 Pendekatan Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut pada Anak Sindroma Down

Biasanya manajemen perilaku anak Sindroma Down tidak menjadi masalah bagi orang dewasa, hal ini karena anak tersebut cenderung ramah serta berperilaku baik. Namun ada juga yang bersikap nakal, memberontak serta tidak kooperatif.

Tetapi, hal ini bisa diatasi dengan meluangkan waktu dan memberikan perhatian lebih pada anak Sindroma Down sehingga memperoleh kepercayaan si anak. Hal ini merupakan kunci keberhasilan perawatan.

Berikut ini adalah cara-cara pendekatan yang bisa dilakukan oleh dokter gigi dalam merawat anak Sindroma Down:

a) Berkomunikasi serta berdiskusi terlebih dahulu dengan orang tua, penjaga si anak ataupun dokter umum tentang teknik yang mereka pikir efektif dalam mengurus dan mengontrol perilaku si anak. Berikan pendapat anda serta cari pendekatan yang bisa memotivasi si anak tersebut misalnya dengan memberikan

hadiah sikat gigi yang baru setiap kali kunjungan anak tersebut ke dokter gigi supaya anak akan menjadi lebih kooperatif.

b) Jadwal menemui pasien anak Sindroma Down ini sebaiknya dilakukan pada pagi hari. Hal ini membantu dalam menjamin anak tersebut masih aktif dan menunjukkan perhatian serta minatnya pada perawatan gigi dan mulutnya.

c) Kunjungan ke praktek bisa sukses jika semua pekerja praktek dokter gigi tersebut berkerjasama. Sebagai contoh, perawat gigi menunjukkan rasa prihatin terhadap perawatan gigi anak Sindroma Down tersebut serta penerima tamu berperilaku manis serta ramah dalam menjemput si anak yang datang berobat dengan dokter gigi.

d) Perawatan gigi harus dilakukan dalam lingkungan kerja yang tidak banyak hambatannya. Sebagai contohnya, kurangi pencahayaan di kursi dental serta mengurangi volume musik atau apa saja yang bisa mewujudkan keadaan kurang nyaman bagi pasien. Namun demikian didapati bahwa kebanyakkan anak Sindroma Down menyukai musik. Mereka akan merasa gembira dan aman apabila mendengar musik saat perawatan gigi sedang dilakukan.

e) Evaluasi terhadap anak Sindroma Down ini harus dilakukan satu demi satu, mulai dari cara mendudukkan pasien tersebut ke kursi dental sampai pemeriksaan dental dengan hanya menggunakan jari, kemudian baru menggunakan peralatan dental. Setelah itu, lakukan profilaksis serta pengambilan gambaran radiografi.

Kunjungan berkali-kali mungkin diperlukan dalam melakukan permasalahan diatas.

f) Seorang dokter gigi juga harus bersikap konsisten dalam melakukan parawatan dental. Ini bisa dilakukan dengan memastikan jam kunjungan anak ke dokter gigi ditetapkan pada waktu yang sama setiap kali. Dengan ini pasein anak akan menjadi lebih koperatif dalam perawatan gigi dan mulutnya.

g) Dokter gigi harus pandai dalam mendekati anak yang kurang koperatif dalam menjalankan perawatan dentalnya. Teknik yang biasa digunakan disini adalah memberikan hadiah serta kata-kata pujian selama dalam perawatan.

h) Teknik imobilisasi hanya digunakan apabila diperlukan dalam melindungi pasien serta pekerja dental tersebut. Namun demikian sebelum menggunakan cara ini,

dokter gigi harus mendapatkan konsultasi petunjuk tertentu yang bisa diperoleh dari artikel yang dipublikasi oleh American Academy of Pediatric Dentistry mengenai petunjuk yang telah ditetapkan. Memperoleh inform concern dari orang tua si pasien juga sangat penting. Dokter gigi harus mencoba menggunakan teknik yang paling aman bagi anak tersebut untuk menghindari kecelakaan dalam perawatan dental.25

2.9 Kerangka Teori

2.10 Kerangka Konsep

Anak Sindroma

Down

- Jenis kelamin - Sosial ekonomi

orang tua - Pendidikan Ibu - Perilaku

membersihkan gigi

Indeks Oral Hygiene Simplified

(OHIS) Anak Sindroma Down

Indeks Oral Hygiene Simplified

(OHIS) Karakteristik

Fisik

Manifestasi Oral

Gigi Jaringan

lunak

Oral Hygiene

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasi dengan rancangan penelitian cross sectional.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB-C) di seluruh Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia.

i) SLB Muzdalifah

ii) Taman Pendidikan Islam (TPI) iii) SLB Abdi Kasih.

iv) SLB Marcus

v) SLB-C YPAC Adinegora vi) SLB-E Negeri Pembina vii) SLB Al-Azhar

viii) SLB Santa Lusia

3.2.2 Waktu penelitian

Waktu penelitian berlangsung selama 2 bulan yaitu bulan September-Oktober 2012. Pengumpulan data 3 minggu, pengolahan dan analisis data 3 minggu, dan penyusunan laporan 2 minggu.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

Dokumen terkait