• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Oleh: KIRANDEEP KAUR NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Oleh: KIRANDEEP KAUR NIM:"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA SOSIAL EKONOMI ORANG TUA DAN PERILAKU MEMBERSIHKAN GIGI DENGAN STATUS KEBERSIHAN RONGGA MULUT

(ORAL HYGIENE) PADA ANAK SINDROMA DOWN USIA 6-18 TAHUN DI SEKOLAH LUAR BIASA

(SLB-C) KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

KIRANDEEP KAUR NIM: 080600166

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Tahun 2013

Kirandeep Kaur

Hubungan antara sosial ekonomi dan perilaku membersihkan gigi dengan status kebersihan rongga mulut (oral hygiene) pada anak sindroma down usia 6-18 tahun di Sekolah Luar Biasa (SLB-C) Kota Medan.

ix + 40 Halaman

Sindroma Down merupakan salah satu kelainan kromosom yang disebabkan oleh trisomi 21 dan merupakan penyebab umum dari 25-30% retardasi mental di dunia. Didapati kebersihan rongga mulut pada anak Sindroma Down lebih buruk dibandingkan anak normal. Hal ini dipengaruhi oleh faktor seperti sosial ekonomi orang tua dan perilaku membersihkan gigi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara sosial ekonomi orang tua dan perilaku membersihkan gigi dengan status kebersihan rongga mulut (oral hygiene) pada anak sindroma down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik observasi dengan rancangan penelitian cross-sectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling dengan jumlah sampel 79 orang. Pengambilan data dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan wawancara orang tua dengan kuensioner. Data yang diperoleh dianlisis dengan uji T ( T-test) dan uji oneway annova karena data terdistribusi normal.

Hasil penelitian didapat ada hubungan yang bermakna antara perilaku membersihkan gigi dengan status kebersihan rongga mulut. Tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin, ekonomi orang tua, dan pendidikan ibu dengan status kebersihan rongga mulut.

Dapat disimpulkan bahwa anak yang memiliki perilaku membersihkan gigi buruk menunjukkan nilai OHIS yang paling tinggi. Hal ini berkaitan dengan peranan

(3)

orang tua dalam menanamkan kedisplinan kepada anak mereka dalam membersihkan rongga mulut.

Daftar rujukan : 27 (1997 - 2012)

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 6 Februari 2013

Pembimbing: Tanda tangan

1. Siti Salmiah , drg., Sp.KGA ...

NIP: 197906262005012006

(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 6 Februari 2013

TIM PENGUJI

KETUA : Yati Roesnawi, drg.

ANGGOTA : 1. Siti Salmiah, drg., Sp.KGA

2. Taqwa Dalimunthe, drg., Sp.KGA

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa skripsi ini selesai disusun sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Yati Roesnawi, drg., Sp. KGA, selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak atas segala keluangan waktu, saran, bantuan, dukungan dan motivasi serta bimbingan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Siti Salmiah drg., Sp.KGA, selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian dan telah rela meluangkan waktu untuk membimbing, memberi pengarahan serta memberikan dorongan semangat kepada penulis selama penulisan skripsi ini hingga selesai.

4. MayaFitria, SKM, M.Kes dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, selaku dosen dan narasumber, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

5. Taqwa Dalimunthe, drg., Sp.KGA; Essie Octiara drg., Sp.KGA; Ami Angela Harahap drg., Sp.KGA; Luthfiani, drg. dan Zulfi Amalia, drg., karena memberikan bimbingan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

6. Zulkarnain, drg., M.Kes, selaku penasehat akademik, yang telah banyak memberikan motivasi, nasihat dan arahan selama penulis menjalani masa pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh pegawai Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera Utara, terutama di Departemen IKGA, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sumatera

(7)

Utara, atas masukan dan bantuan yang diberikan sehingga penyelesaian skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

Rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga penulis persembahkan kepada orang tua penulis, Ayah Harmail Singh dan Ibu Kuldeep Kaur atas segala kasih sayang, doa, bimbingan serta dukungan baik moral maupun materil yang selama ini diberikan kepada penulis. Sahabat-sahabat tersayang penulis Ika, Sulochana, Theeba, Siti Aishah, Ylavanya, Astri, Khairul, dan teman-teman seperjuangan skripsi IKGA serta teman-teman stambuk 2008 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan dan motivasi selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan skripsi ini dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi dikemudian hari. Akhirnya penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, 6 Februari 2013 Penulis,

Kirandeep Kaur 080600166

(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL………..

HALAMAN PERSETUJUAN………...

KATA PENGANTAR………....…… iv

DAFTAR ISI……….. vi

DAFTAR TABEL……….. viii

DAFTAR GAMBAR………. ix

DAFTAR LAMPIRAN……….. x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………... 1

1.2 Rumusan Masalah……….. 3

1.3 Tujuan Penelitian……….... 3

1.4 Hipotesis………... 4

1.5 Manfaat Penelitian……….. 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Sindroma Down……….…..… 5

2.2 Etiologi Sindroma Down……….….. 5

2.3 Retardasi Mental pada Anak Sindroma Down…………... 6

2.4 Karakteristik Kraniofasial Anak Sindroma Down…………. 8

2.5 Anomali Gigi pada Anak Sindroma Down……… 9

2.6 Kebersihan Rongga Mulut Anak Sindroma Down…………. 10

2.7 Efek Samping yang Terjadi pada Rongga Mulut akibat Pengobatan………... 14 2.8 Pendekatan Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut pada Anak Sindroma Down……… 15 2.9 Kerangka Teori………...… 18

2.10 Kerangka Konsep………... 18

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian………..…. 19

(9)

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian………...…. 19

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian………... 20

3.4 Variabel- Variabel Penelitian………... 20

3.5 Definisi Operasional………... 20

3.6 Alat dan Bahan………... 26

3.7 Cara Pengambilan Data………..… 26

3.7.1 Alur Penelitian………... 27

3.7.2 Pengolahan dan Analisis Data………... 27

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden Anak………..…. 28

4.2 Karakteristik Responden Ibu………..… 28 4.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Status Kebersihan

Rongga Mulut………....….

30 4.4 Hubungan Antara Ekonomi Orang Tua dengan Status

Kebersihan Rongga Mulut………...…...

30 4.5 Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Status Kebersihan

Rongga Mulut………...

31 4.6 Hubungan Antara Perilaku Membersihkan Gigi dengan

Status Kebersihan Rongga Mulut………...……

31 4.7 Status Kebersihan Rongga Mulut di Masing-masing SLB-C

Kota Medan………....

32

BAB 5 PEMBAHASAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

34 37

DAFTARA PUSTAKA 38

LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Definisi Operasional Sosial Ekonomi Orang Tua……….. 24

2 Definisi Operasional Perilaku Membersihkan Gigi………... 25

3 Karakteristik Responden Anak……….. 29

4 Karakteristik Responden Orang Tua……….. 30 5 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Status Kebersihan

Rongga Mulut………...

30 6 Hubungan Antara Ekonomi Orang Tua dengan Status

Kebersihan Rongga Mulut……….……

31 7 Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Status Kebersihan

Rongga Mulut………

31 8 Hubungan Antara Perilaku Membersihkan Gigi dengan Status

Kebersihan Rongga Mulut……….

32 9 Status Kebersihan Rongga Mulut di Masing-masing SLB-C

Kota Medan………

33

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Karyotype Individu dengan Trisomi 21………... 6

2 Gambaran Fisik Anak Sindroma Down………... 9

3 Gambaran Indeks Oral Debris……….. 21

4 Gambaran Elemen Gigi……… 22

5 Gambaran Indeks Kalkulus……….. 23

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1 Informasi kepada Orang tua/ Wali Subjek Penelitian 2 Surat Pernyataan Kesediaan Menjadi Subjek Penelitian 3 Lembar Pemeriksaan Gigi

4 Kuesioner Orang Tua Hubungan antara Sosial Ekonomi Orang Tua dan Perilaku Membersihkan Gigi dengan Status Kebersihan Rongga Mulut (Oral Hygiene) pada Anak Sindroma Down Usia 6-18 Tahun di Sekolah Luar Biasa (SLB-C)

5 Kota Medan

6 Output Analisis Perhitungan Statistik

7 Surat Persetujuan Komisi Etik tentang Penelitian Bidang Kesehatan 8 Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB Muzdalifah

9 Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB Taman Pendidikan Islam (TPI)

10 Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB-E Negeri Pembina 11 Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB-C YPAC Adinegoro 12 Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB Markus

13 Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB Al-Azhar 14 Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB Abdi Kasih 15 Surat Keterangan Melakukan Penelitian di SLB Santa Lusia

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindroma Down pertama kali ditemukan oleh John Langdon Down pada tahun 1866. Menurut Lejeune, dkk pada tahun 1959 penyebab utama Sindroma Down adalah trisomi 21. Sindroma Down atau trisomi 21 ini terjadi pada satu di antara 800 hingga 1000 kelahiran hidup, dan merupakan penyebab umum dari 25-30% retardasi mental di dunia. Hingga kini, tercatat ada sekitar 250 anak Sindroma Down yang terdaftar sebagai anggota Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI).1- 4

Karakteristik umum Sindroma Down terlihat adanya tubuh yang pendek, karakteristik fasial dengan lidah yang protrusi, menghadapi masalah belajar, penyakit jantung kongenital, dan adanya gangguan gastrointestinal. Karakteristik dental meliputi bentuk mahkota gigi disisi labial yang membulat secara abnormal, parsial anodonsia, erupsi gigi terlambat dan adanya maloklusi gigi seperti crowding, cross- bite posterior, dan gigitan terbuka anterior. Hampir 50% anak Sindroma Down yang terkena penyakit periodontal pada gigi permanen dan sulung masing-masing akibat inflamasi yang terjadi dengan cepat dan secara terus-menerus. Penyakit periodontal yang sering terjadi pada anak Sindroma Down adalah gingivitis. Penyebab utama dari gingivitis yang terjadi karena adanya akumulasi plak bakteri pada atau dekat margin gingiva. Mikroorganisme ini menyebabkan rusaknya jaringan dan menimbulkan kelainan dengan jalan memproduksi toksin (eksotoksin dan endotoksin), enzim (kolagenase dan protease), antigen, produk sisa (ammonia, hidrogen sulfida) yang berperan sebagai iritan sehingga menghasilkan perubahan pada jaringan periodontal.

5,6

Kebersihan mulut yang buruk pada anak Sindroma Down dibandingkan dengan individu normal telah mengakibatkan timbulnya penyakit periodontal.

Penyakit periodontal juga dapat disebabkan diet makan yang buruk dan kurangnya

(14)

pemeliharaan di rumah. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh obat-obatan yang dimakan, seperti dilantin untuk mengatasi kekejangan.Pada tahun 2011, suatu studi telah dijalankan di Riyadh, Saudi Arabia dan didapati bahwa sebanyak 66% anak Sindroma Down mempunyai status oral hygiene atau Oral Hygiene Index Simplified (OHIS) yang sedang, dimana 25% yang memiliki status oral hygiene yang jelek dan hanya sebanyak 9% dari mereka yang mempunyai status oral hygiene yang baik.

Penelitian yang dijalankan pada individu retardasi mental di Sekolah Luar Biasa di kota Udaipur, India individu usia 12- 30 tahun didapati bahwa status oral hygiene keseluruhan populasi tersebut adalah rendah dengan 18,7% status yang baik, diikuti 44,0% status yang sedang dan 37,3% status yang jelek. 5,7

Penelitian lain juga dilakukan di Udaipur, India dengan membandingkan anak-anak yang memiliki retardasi mental yaitu Sindroma Down dengan Cerebral Palsy dengan total sampel 171 orang pada usia 8 hingga 19 tahun. Dari hasil penelitian, menunjukkan rerata oral hygiene dan status periodontal lebih jelek pada anak Sindroma Down dibandingkan dengan anak Cerebral Palsy. Rerata OHIS Sindroma Down 12,82 (95% CI 5,09-18,23) dan Cerebral Palsy 11,78 (95% CI 3,98- 14,72). Di samping itu, penelitian yang telah dilakukan diantara bulan Februari dan April 2012 di South Canara, India telah melaporkan bahwa anak yang retardasi mental yang berat memiliki nilai mean OHIS yang tertinggi yaitu sebanyak 3,22 dan yang retardasi mental yang sedang yaitu sebanyak 2,87.8,9

Menurut hasil studi pendahuluan yang dilakukan di SLB Negeri Cileunyi dan beberapa lainnya di Kota Bandung, peneliti mengobservasi kebersihan gigi dan mulut 10 anak Sindroma Down dari total jumlah 24 anak Retardasi Mental dari tingkat TK dan SD dan didapati rata-rata kebersihan mulut mereka kurang. Selain itu, hasil penelitian Oeripto dan Taqwa tentang keadaan oral hygiene pada anak-anak cacat mental YPAC Medan menunjukkan bahwa rata-rata anak tersebut mempunyai oral hygiene yang jelek. Indeks oral hygiene rata-rata murid di YPAC Medan adalah 3,43 dengan indeks debris rata-rata 2,30 dan indeks kalkulus rata-rata 1,13.10,11

Melihatnya tingginya prevalensi OHIS pada anak Sindroma Down serta kurang tersedianya data, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang

(15)

berhubungan dengan OHIS anak Sindroma Down. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara sosial ekonomi orang tua dan perilaku membersihkan gigi dengan status kebersihan rongga mulut (oral hygiene) pada anak Sindroma Down di Kota Medan. Sampel yang diambil adalah seluruh anak penderita Sindroma Down usia 6- 18 tahun yang bersekolah di SLB-C Kota Medan, dikarenakan pendataan anak Sindroma Down di SLB lebih mudah jika dibandingkan dengan pendataan dari rumah ke rumah.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara sosial ekonomi orang tua dan perilaku membersihkan gigi dengan status kebersihan rongga mulut (oral hygiene) pada anak Sindroma Down usia 6-18 tahun di Sekolah Luar Biasa (SLB-C) Kota Medan?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis hubungan antara sosial ekonomi orang tua dan perilaku membersihkan gigi dengan status kebersihan rongga mulut (oral hygiene) pada anak Sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menganalisis hubungan antara jenis kelamin dengan status kebersihan rongga mulut pada anak Sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

2. Menganalisis hubungan antara sosial ekonomi orang tua dengan status kebersihan rongga mulut pada anak Sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

3. Menganalisis hubungan antara pendidikan Ibu dengan status kebersihan rongga mulut pada anak Sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

4. Menganalisis hubungan antara perilaku membersihkan gigi dengan status kebersihan rongga mulut pada anak Sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

(16)

1.4 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan status kebersihan rongga mulut pada anak Sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

2. Ada hubungan antara sosial ekonomi orang tua dengan status kebersihan rongga mulut pada anak Sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

3. Ada hubungan antara pendidikan Ibu dengan status kebersihan rongga mulut pada anak Sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

4. Ada hubungan antara perilaku membersihkan gigi dengan statuskebersihan rongga mulut pada anak Sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C Kota Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat untuk masyarakat

Memberikan informasi kepada orang tua mengenai status kebersihan rongga mulut pada anak mereka untuk memotivasi orang tua untuk memperhatikan, menjaga dan memberikan pengarahan kepada anak sejak dini untuk menjaga kebersihan mulut yang baik dan benar.

1.5.2 Manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan

1. Untuk mendapatkan data mengenai status kebersihan rongga mulut pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di seluruh SLB Kota Medan.

2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar bagi program pemerintah dalam bidang kesehatan gigi dan mulut anak dengan menambah dana untuk meningkatkan kualitas hidup anak sindroma Down.

1.5.3 Manfaat kebutuhan klinis

Dengan diketahuinya status kebersihan rongga mulut pada anak sindroma Down usia 6-18 tahun di SLB-C kota Medan maka dapat direncanakan usaha pencegahan dan perawatan terhadap karies dan penyakit periodontal pada anak Sindroma Down.

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sindroma Down

Sindroma Down merupakan salah satu kelainan kromosom dengan insiden 0,3- 3,4 dalam 1000 kelahiran pada beberapa bagian di dunia dan merupakan penyebab umum dari 25-30 % retardasi mental di dunia. Frekuensi terjadinya penderita Sindroma Down di Indonesia adalah 1 dalam 600 kelahiran hidup. Angka kejadian Sindroma Down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan. Rasio kejadian untuk ibu muda <20 tahun adalah 1:2000 setiap kelahiran. Frekuensi akan meningkat menjadi 1:100 pada usia ibu >45 tahun. Meningkatnya usia ibu saat kehamilan sampai di atas 45 tahun akan meningkatkan resiko melahirkan anak dengan sindroma Down sebesar 1:50.3, 12

2.2 Etiologi Sindroma Down

John Langdon Down, seorang keturunan Inggris yang pertama kali menemukan gambaran klinik dari Sindroma Down, menyatakan bahwa sindrom ini merupakan akibat dari kelainan kromosom. Lejeune dkk mengkonfirmasi adanya trisomi 21 pada Sindrom Down. Trisomi 21 ini terjadi apabila adanya kromosom 21 yang lebih ataupun merupakan sebagian dari fusi kromosom Robertsonian atau dikenali sebagai isokromosom, sehingga berpengaruh pada sekitar 700-800 kelahiran hidup. Karyotype merupakan susunan kromosom individu berdasarkan panjang dan bentuknya. 3,13,14,26

Karyotype individu dengan trisomi 21 digambarkan pada Gambar 1.

(18)

Gambar 1: Karyotype individu dengan trisomi 21.26

2.3 Retardasi Mental pada Anak Sindroma Down

Retardasi mental merupakan ciri-ciri yang berkaitan dengan anak Sindroma Down dan merupakan kelompok retardasi mental pada kisaran ringan hingga sedang.

Penggolongan tingkat retardasi mental didasarkan pada hasil pengukuran inteligensi (IQ). Tes inteligensi sendiri dimaksudkan untuk mengukur kemungkinan keberhasilan orang dibidang akademik. Maka, pembagian tingkat retardasi mental pada dasarnya merupakan pembagian tingkat kemampuan mengikuti dan menyelesaikan pendidikan formal di sekolah. Selain itu, pembagian tingkat retardasi tersebut memang mengandung penilaian tentang kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, khususnya menyangkut kemandirian dan tanggungjawab sosial. IQ individu Sindroma Down ini biasanya tidak lebih dari 60. Pada umumnya dikenal empat tingkat retardasi mental yaitu, retardasi mental ringan, sedang, berat dan sangat berat.15,16

a. Retardasi Mental Ringan :

Penderita ini memiliki IQ antara 52-67 dan meliputi bagian terbesar populasi retardasi mental. Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak berusia 8-11 tahun.

Penyesuaian sosial mereka hampir setara dengan remaja normal, namun kalah dalam hal imajinasi, kreativitas, dan kemampuan membuat penilaian-penilain. Mereka ini edukabel atau dapat dididik. Artinya, bila kasus mereka diketahui sejak dini dan

(19)

selanjutnya mendapatkan pendampingan dari orang tua serta mendapatkan program pendidikan luar biasa, sebagian besar dari mereka mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan, mampu menguasai keterampilan akademik dan keterampilan kerja sederhana, dan dapat menjadi warga masyarakat yang mandiri.

b. Retardasi Mental Sedang :

Golongan ini memiliki IQ 36-51. Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak-anak usia 4-7 tahun. Secara fisik mereka tampak “wagu” dan biasanya memiliki sejumlah cacat fisik. Koordinasi motornya buruk, sehingga gerakan tangan-kaki maupun tubuhnya tidak luwes. Ada yang agresif dan menunjukkan sikap bermusuh terhadap orang yang belum mereka kenal. Mereka lamban belajar dan kemampuan mereka membentuk konsep amat terbatas. Namun mereka trainable atau dapat dilatih. Artinya, bila kasus mereka diketahui secara dini, selanjutnya didampingi oleh orang tua dan mendapatkan latihan secukupnya, mereka dapat cukup mandiri dalam mengurus dirinya, termasuk bisa produktif secara ekonomis, baik dalam perawatan di rumah atau di panti asuhan.

c. Retardasi Mental Berat :

Golongan ini memiliki IQ 20-35. Mereka sering disebut “dependent retarded”

atau penderita lemah mental yang tergantung. Perkembangan motor dan bicara mereka sangat terbelakang, sering disertai gangguan pengindraan dan motor. Mereka dapat dilatih untuk menolong diri sendiri secara terbatas. Mereka juga dapat dilatih untuk melakukan tugas-tugas sederhana, sedangkan untuk semua hal lain yang lebih kompleks mereka sangat tergantung pada pertolongan orang lain.

d. Retardasi Mental Sangat Berat :

Golongan ini memiliki IQ kurang dari 20. Mereka sering disebut golongan

“life support retarded”, golongan lemah mental yang perlu disokong secara penuh agar dapat bertahan hidup. Kemampuan adaptasi dan bicara mereka sangat terbatas.

Biasanya mereka memiliki cacat tubuh berat dan mengalami patologi pada sistem saraf pusat mereka, sehingga pertumbuhan mereka sangat terhambat. Sering mereka juga dihinggapi kejang-kejang, mutisme, ketulian, dan kelainan tubuh lain. Kesehatan

(20)

mereka cenderung buruk dan rentan terhadap penyakit, sehingga biasanya tidak berumur panjang.

2.4 Karakteristik Kraniofasial Anak Sindroma Down

Terdapat beberapa karakteristik kraniofasial yang dimiliki oleh anak Sindroma Down yang membedakan mereka dengan anak yang normal (Gambar 2). Antaranya, adalah displasia pada tengah wajah yang merupakan karakteristik utama pada anak Sindroma Down ini. Seterusnya, ciri-ciri kepala dan leher anak Sindroma Down meliputi brachicephaly, hidung yang berbentuk datar dan kecil, leher yang pendek dan luas, peningkatan lipatan kulit nuchal, dan telinga yang kecil dan displastik.

Pembentukan hidung yang berbentuk datar ini telah dilaporkan dimiliki oleh 59-78%

anak Sindroma Down.17,18

Selain itu, malformasi telinga anak Sindroma Down meliputi telinga berbentuk lop, pasangan telinga yang rendah, dan telinga dengan atau tidak berbentuk spiral yang dilaporkan sebanyak 54% pada anak-anak tersebut. Terjadi juga malformasi mata pada anak Sindroma Down yaitu memiliki mata miring berbentuk almond dengan adanya lipatan epichantal sehingga dikenali sebagai individu mongoloid. Sebanyak 14-54% dilaporkan pula memiliki mata juling. Karakteristik lain ditemui sinus frontal atau kekurangan sinus maksila. Penyempitan septum nasal pada anak Sindroma Down menyebabkan obstruksi parsial aliran udara. Keadaan ini yang mengakibatkan munculnya masalah bernafas melalui mulut.17

Manifestasi oral pada anak Sindroma Down meliputi bagian mulut dan lidah.

Anak Sindroma Down memliliki bibir yang tidak kompeten sehingga mulut mereka terbuka, dengan bibir atas dan bawah tidak kontak satu sama lain. Selain itu, lidah kelihatan besar dan menjulur keluar dari mulut anak tersebut. Makroglosia juga dijumpai dimana lidahnya dalam ukuran yang normal tetapi rongga mulut berukuran kecil akibat adanya ketidaksempurnaan pembentukan bagian tengah wajah. Palatum pada anak Sindroma Down berbentuk kubah dan sempit dimana palatum keras memiliki ketebalan yang abnormal, mengakibatkan kekurangan ruangan bagi lidah dalam rongga mulut sehingga mengganggu percakapan dan proses mastikasi pada

(21)

anak Sindroma Down. Selain itu, dengan bertambahnya usia anak Sindroma Down, lidah dan bibirnya akan mulai retak dan berfisur, dan ini terjadi akibat pernafasan melalui mulut yang kronik, yang menyebabkan aliran saliva dalam mulut berkurang sehingga timbulnya mulut yang kering dan terjadi halitosis.19

Gambar 2: Gambaran Fisik Anak Sindroma Down.27

2.5 Anomali Gigi pada Anak Sindroma Down

Anak Sindroma Down memiliki kelainan bentuk dan struktur gigi yang mengakibatkan oral hygiene mereka tidak dapat dijaga dengan baik. Karakteristik gigi tersebut meliputi mikrodontia, (mahkota gigi berbentuk konikal, lebih kecil dan pendek dari ukuran normal), hipodonsia (ukuran rasio akar terhadap mahkota gigi berbeda), agenesis, parsial anodonsia, dan maloklusi. Terlambatnya erupsi gigi sulung dan adanya gigi supernumerari juga terjadi pada anak Sindroma Down. Diastema turut muncul karena adanya mikrodonsia dan bisa dikoreksi dengan restorasi gigi ataupun perawatan ortodonti. Anak-anak dan remaja Sindroma Down sering mempunyai insidens penyakit periodontal dan xerostomia yang tinggi.13,20

Maloklusi yang sering terjadi pada anak Sindroma Down adalah maloklusi Klas III. Insidens maloklusi ini terjadi karena ketidaksempurnaan pembentukan bagian tengah wajah yaitu meliputi bagian nasal, premaksila dan tulang maksila.

Peningkatan insidens maloklusi pada anak Sindroma Down ini adalah seperti yang

(22)

dilaporkan : Klas III, 32-70%; Klas II, 3-32% ; posterior unilateral dan gigitan silang bilateral sebanyak 71% dan gigitan terbuka, 5%.17

Gigi-gigi anak Sindroma Down bisa hilang, malformasi, kurang berklasifikasi, dan berfusi. Tidak tumbuhnya gigi telah dilaporkan sebanyak 50% dari keseluruhan populasi Sindroma Down tersebut. Gigi yang paling sering tidak tumbuh adalah gigi tetap yaitu gigi molar tiga, gigi premolar kedua, dan insisivus lateralis. Sekitar 35- 55% pasien Sindroma Down dikatakan memiliki gigi yang ukurannya sangat kecil yaitu mikrodonsia dan 10% anak Sindroma Down memiliki gigi berbentuk pasak pada gigi insisivus lateralis.21

2.6 Kebersihan Rongga Mulut Anak Sindroma Down

Kebersihan rongga mulut memegang peranan yang penting dalam menciptakan pola hidup sehat. Jika kebersihan rongga mulut tidak terpelihara maka akan menimbulkan berbagai penyakit di rongga mulut seperti karies gigi dan penyakit periodontal. Kebersihan rongga mulut dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya status sosial ekonomi, tingkat pendidikan, jenis kelamin dan perilaku membersihkan gigi.

a. Sosial Ekonomi

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kumar S dkk (2009) pada anak retardasi mental usia 8-19 tahun yang terdiri atas anak Sindroma Down dan Cerebral Palsy di Udaipur, India didapati status kebersihan rongga mulut ( oral hygiene ) sangat berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi anak-anak tersebut. Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa keluarga dengan ekonomi rendah menyebabkan oral hygiene anak bertambah buruk.8

b. Tingkat Pendidikan

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kumar S dkk (2009) pada anak retardasi mental usia 8-19 tahun yang terdiri atas anak Sindroma Down dan Cerebral Palsy di Udaipur, India didapati status kebersihan rongga mulut ( oral hygiene ) sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu. Penelitian lain yang dilakukan pada anak Sindroma Down di Riyadh membuktikan kebanyakan ibu dengan tingkat pendidikan rendah didapati menggunakan air sahaja sebagai metoda membersihkan

(23)

gigi anak mereka dibandingkan anak dengan ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi.8

c. Jenis Kelamin

Penelitian yang dijalankan pada individu retardasi mental di Sekolah Luar Biasa di kota Udaipur, India pada individu usia 12- 30 tahun memperlihatkan bahwa individu laki-laki mempunyai oral hygiene serta status periodontal yang lebih jelek dibandingkan dengan individu perempuan. Denloye telah mengobservasi juga tentang status OHIS yang lebih tinggi pada laki-laki dari perempuan di dalam studinya pada anak retardasi mental di Nigeria.7,8

d. Perilaku Membersihkan Gigi

Hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Oliveria AC pada tahun 2010 di Brazil tentang persepsi ibu mengenai kesehatan mulut pada anaknya yang mengalami Sindroma Down yaitu para ibu cenderung memiliki tanggungjawab terbatas dalam status kesehatan anak-anak mereka dan mengenai pengalaman dalam merawat kesehatan mulut anak-anak mereka mengalami kesulitan. Faktor- faktor lain yang menjadi kendala adalah masalah keuangan, waktu, dan akses terhadap pelayanan rujukan kesehatan yang dapat menghambat pencarian dalam perawatan gigi untuk individu dengan kebutuhan khusus.10

Menurut Eriska Riyanti (2005) keberhasilan perawatan gigi dan mulut serta pencegahan penyakit periodontal pada anak Sindroma Down sangat berpengaruh pada perilaku orang tua. Artinya para orang tua harus menanamkan kedisiplinan kepada mereka dalam membersihkan rongga mulut. Bila sejak dini sang anak terbiasa membersihkan rongga mulut, dia tidak akan berontak atau teriak sekuat tenaga jika suatu hari dibawa ke pelayanan kesehatan gigi. Orang tua harus gigih dan terus menerus memperkenalkan sikap membersihkan gigi pada anak Sindroma Down ini agar mereka mengerti cara sikat gigi yang baik dan benar agar rongga mulutnya senantiasa sehat.10

Penyikatan gigi, flossing dan profesional profilaksis disadari sebagai komponen dasar dalam menjaga keberishan mulut. Keterampilan penyikatan gigi harus diajarkan dan ditekankan pada anak di segala umur. Anak dibawah umur 5

(24)

tahun tidak dapat menjaga kebersihan mulutnya secara benar dan efektif maka orang tua harus melakukan penyikatan gigi anak setidaknya sampai anak berumur 6 tahun kemudian mengawasi prosedur ini secara terus-menerus. Penyikatan gigi anak mulai dilakukan sejak erupsi gigi pertama anak dan tatacara penyikatan gigi harus ditetapkan ketika molar susu telah erupsi. Metode penyikatan gigi pada anak lebih ditekankan agar mampu membersihkan keseluruhan giginya bagaimanapun caranya namun dengan bertambahnya usia diharapkan metode bass dapat dilakukan.22

Pemakaian sikat gigi elektrik lebih ditekankan pada anak yang mempunyai masalah khusus. Pasta gigi yang mengandung 1000-2800 ppm menunjukkan hasil yang baik dalam pencegahan karies tinggi pada anak di antara umur 6-16 tahun. Anak sebaiknya tiga kali sehari menyikat gigi segera sesudah makan dan sebelum tidur malam.Pemakaian benang gigi dianjurkan pada anak yang berumur 12 tahun ke atas di mana selain penyakit periodontal meningkat pada umur ini, flossing juga sulit dilakukan dan memerlukan latihan yang lama sebelum benar-benar menguasainya.

Profesional profilaksis (skeling, aplikasi flour) dilakukan oleh dokter gigi atau tenaga kesehatan anak. Pada anak cacat dan keterbelakangan mental, hal ini harus lebih ditekankan.19,22

2.6.1 Oral Hygiene :

Pemeriksaan intra oral yang dilakukan untuk mengetahui oral higiene meliputi Indeks oral hygiene (OHIS) yang terdiri atas Indeks kalkulus dan Indeks debris.

2.6.2 Indeks Oral Hygiene (OHIS)

Indeks oral hygiene (OHIS) adalah indeks digunakan untuk mengukur tingkat kebersihan gigi dengan mengukur indeks kalkulus dan indeks debris dan kemudiannya dijumlahkan untuk mendapatkan indeks oral higienenya. Jumlah gigi yang diperiksa hanya 6 gigi dengan permukaan yang tertentu yaitu :

(25)

bukal labial bukal 6 1 6 6 1 6

lingual labial lingual Indeks Debris

Indeks debris turut dikenali sebagai Simplified Debris Index (D.I.S). Kriteria indeks debris adalah seperti berikut:

0: tidak ada debris atau stain.

1: a) debris menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi.

b) ada extrinsic stain yang tidak tergantung pada luas permukaan gigi yang ditutupi walaupun tanpa debris.

2: debris menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi, tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi.

3: debris menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi.

Tingkat kebersihan oral debris dapat digolongkan sebagai berikut : Baik : 0,0-0,6

Sedang: 0,7-1,8 Jelek : 1,9-3,0

Indeks Kalkulus

Indeks kalkulus turut dikenali sebagai Simplified Calculus Index (C.I.S).

Kriteria indeks kalkulus meliputi seperti berikut:

0: tidak ada kalkulus gigi.

1: kalkulus gigi supragingiva yang menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi.

2: kalkulus gigi supragingiva yang menutupi lebih dari 1/3 tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi dan/ atau adanya bercak karang gigi subgingiva yang tidak melingkari leher gigi.

3: kalkulus gigi supragingiva yang menutupi lebih dari 2/3 dari permukaan gigi dan/

atau karang gigi subgingiva yang dengan tidak putus-putus melingkari leher gigi.

(26)

Tingkat kebersihan oral kalkulus dapat digolongkan sebagai berikut : Baik : 0,0-0,6

Sedang: 0,7-1,8 Jelek : 1,9-3,0

Jadi, untuk mengetahui masing-masing Indeks Debris dan Indeks Kalkulus, skor total masing-masing debris dan kalkulus dibahagikan dengan jumlah gigi yang diperiksa.

Jumlah angka C.I.S / D.I.S =

Jumlah gigi yang diperiksa

Sedangkan, untuk mengetahui Indeks Oral Higiene, dijumlahkan Indeks Debris dan Indeks Kalkulus yang telah diperoleh.

Tingkat kebersihan oral hygiene dapat digolongkan sebagai berikut : Baik : 0,0-1,2

Sedang: 1,3-3,0 Jelek : 3,1-6,0

2.7 Efek Samping yang Terjadi pada Rongga Mulut akibat Pengobatan Selain memiliki penampilan fisik yang berbeda, anak-anak Sindroma Down seringkali memiliki masalah kesehatan yang spesifik. Oleh karena itu, mereka harus mengonsumsi obat tertentu. Namun, obat-obat yang dikonsumsi oleh anak Sindroma Down ini telah menimbulkan efek samping pada rongga mulut mereka seperti xerostomia dan pembesaran gingiva.

Xerostomia atau dry mouth yang terjadi akibat dari konsumsi obat antikonvulsant seperti carbamazepine dan valproate adalah sensasi kering yang

O.H.I.S = D.I.S + C.I.S

(27)

terjadi pada rongga mulut karena penurunan kualitas dan kuantitas saliva. Gambaran klinis pada xerostomia sangat tampak pada rongga mulut dimana terlihat ulserasi mukosa, halitosis, dan penyakit periodontal. Xerostomia dapat menyebabkan penyakit periodontal karena dengan kurangnya produksi saliva di rongga mulut dapat menyebabkan kurangnya reaksi pembersihan sehingga membuka jalan bagi bakteri dan mikroorganisme patogen untuk hidup yang dapat menyebabkan pembentukan plak pada gigi. Plak pada gigi inilah yang akan menyebabkan terjadinya penyakit periodontal seperti gingivitis. 23

Pembesaran gingiva yang terjadi pula akibat mengonsumsi obat verapamil didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana ukuran gingiva bertambah dari normal yang dapat menimbulkan masalah kebersihan gigi geligi. Bertambah besarnya gingiva merupakan gambaran klinis adanya kelainan gingiva yang disebabkan oleh hiperplasia dan hipertrofi gingiva. Hiperplasia gingiva yang terjadi ini diinduksi oleh obat-obatan yang dikonsumsi oleh anak Sindroma Down. 24

2.8 Pendekatan Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut pada Anak Sindroma Down

Biasanya manajemen perilaku anak Sindroma Down tidak menjadi masalah bagi orang dewasa, hal ini karena anak tersebut cenderung ramah serta berperilaku baik. Namun ada juga yang bersikap nakal, memberontak serta tidak kooperatif.

Tetapi, hal ini bisa diatasi dengan meluangkan waktu dan memberikan perhatian lebih pada anak Sindroma Down sehingga memperoleh kepercayaan si anak. Hal ini merupakan kunci keberhasilan perawatan.

Berikut ini adalah cara-cara pendekatan yang bisa dilakukan oleh dokter gigi dalam merawat anak Sindroma Down:

a) Berkomunikasi serta berdiskusi terlebih dahulu dengan orang tua, penjaga si anak ataupun dokter umum tentang teknik yang mereka pikir efektif dalam mengurus dan mengontrol perilaku si anak. Berikan pendapat anda serta cari pendekatan yang bisa memotivasi si anak tersebut misalnya dengan memberikan

(28)

hadiah sikat gigi yang baru setiap kali kunjungan anak tersebut ke dokter gigi supaya anak akan menjadi lebih kooperatif.

b) Jadwal menemui pasien anak Sindroma Down ini sebaiknya dilakukan pada pagi hari. Hal ini membantu dalam menjamin anak tersebut masih aktif dan menunjukkan perhatian serta minatnya pada perawatan gigi dan mulutnya.

c) Kunjungan ke praktek bisa sukses jika semua pekerja praktek dokter gigi tersebut berkerjasama. Sebagai contoh, perawat gigi menunjukkan rasa prihatin terhadap perawatan gigi anak Sindroma Down tersebut serta penerima tamu berperilaku manis serta ramah dalam menjemput si anak yang datang berobat dengan dokter gigi.

d) Perawatan gigi harus dilakukan dalam lingkungan kerja yang tidak banyak hambatannya. Sebagai contohnya, kurangi pencahayaan di kursi dental serta mengurangi volume musik atau apa saja yang bisa mewujudkan keadaan kurang nyaman bagi pasien. Namun demikian didapati bahwa kebanyakkan anak Sindroma Down menyukai musik. Mereka akan merasa gembira dan aman apabila mendengar musik saat perawatan gigi sedang dilakukan.

e) Evaluasi terhadap anak Sindroma Down ini harus dilakukan satu demi satu, mulai dari cara mendudukkan pasien tersebut ke kursi dental sampai pemeriksaan dental dengan hanya menggunakan jari, kemudian baru menggunakan peralatan dental. Setelah itu, lakukan profilaksis serta pengambilan gambaran radiografi.

Kunjungan berkali-kali mungkin diperlukan dalam melakukan permasalahan diatas.

f) Seorang dokter gigi juga harus bersikap konsisten dalam melakukan parawatan dental. Ini bisa dilakukan dengan memastikan jam kunjungan anak ke dokter gigi ditetapkan pada waktu yang sama setiap kali. Dengan ini pasein anak akan menjadi lebih koperatif dalam perawatan gigi dan mulutnya.

g) Dokter gigi harus pandai dalam mendekati anak yang kurang koperatif dalam menjalankan perawatan dentalnya. Teknik yang biasa digunakan disini adalah memberikan hadiah serta kata-kata pujian selama dalam perawatan.

h) Teknik imobilisasi hanya digunakan apabila diperlukan dalam melindungi pasien serta pekerja dental tersebut. Namun demikian sebelum menggunakan cara ini,

(29)

dokter gigi harus mendapatkan konsultasi petunjuk tertentu yang bisa diperoleh dari artikel yang dipublikasi oleh American Academy of Pediatric Dentistry mengenai petunjuk yang telah ditetapkan. Memperoleh inform concern dari orang tua si pasien juga sangat penting. Dokter gigi harus mencoba menggunakan teknik yang paling aman bagi anak tersebut untuk menghindari kecelakaan dalam perawatan dental.25

(30)

2.9 Kerangka Teori

2.10 Kerangka Konsep

Anak Sindroma

Down

- Jenis kelamin - Sosial ekonomi

orang tua - Pendidikan Ibu - Perilaku

membersihkan gigi

Indeks Oral Hygiene Simplified

(OHIS) Anak Sindroma Down

Indeks Oral Hygiene Simplified

(OHIS) Karakteristik

Fisik

Manifestasi Oral

Gigi Jaringan

lunak

Oral Hygiene

(31)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasi dengan rancangan penelitian cross sectional.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB-C) di seluruh Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia.

i) SLB Muzdalifah

ii) Taman Pendidikan Islam (TPI) iii) SLB Abdi Kasih.

iv) SLB Marcus

v) SLB-C YPAC Adinegora vi) SLB-E Negeri Pembina vii) SLB Al-Azhar

viii) SLB Santa Lusia

3.2.2 Waktu penelitian

Waktu penelitian berlangsung selama 2 bulan yaitu bulan September-Oktober 2012. Pengumpulan data 3 minggu, pengolahan dan analisis data 3 minggu, dan penyusunan laporan 2 minggu.

(32)

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah anak-anak Sindroma Down usia 6-18 tahun yang bersekolah di seluruh SLB-C Kota Medan, Sumatera Utara. (8 SLB-C)

3.3.2 Sampel Penelitian

Besar sampel pada penelitian ini diambil seluruh populasi (total sampling) yaitu anak yang bersekolah di seluruh Sekolah Luar Biasa (SLB-C) Kota Medan, Sumatera Utara, Indonesia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria Inklusi:

- Anak Sindroma Down di SLB-C Kota Medan.

- Usia 6- 18 tahun.

- Disetujui oleh orang tua dengan pengisian informed consent.

Kriteria Eksklusi:

- Anak yang tidak berkooperatif.

3.4 Variabel-variabel Penelitian

a. Variabel terikat : Status oral hygiene (OHIS)

b. Variabel bebas : Sosial ekonomi orang tua, pendidikan ibu dan perilaku membersihkan gigi

c. Variable terkendali : Usia anak 6-18 tahun

3.5 Definisi Operasional

a. Anak Sindroma Down adalah anak yang bersekolah di delapan buah SLB- C masing-masing di kota Medan.

b. Usia anak adalah usia 6-18 tahun, merupakan usia anak yang dihitung dari tanggal lahir 6-18 tahun sampai waktu dilakukannya penelitian. Usia 6 tahun dipilih karena anak biasanya mulai bersekolah pada usia 6 tahun dan usia 18 tahun dipilih karena menurut UU Kesehatan RI No.23 tahun 1992 menetapkan anak adalah individu sampai dengan usia 18 tahun ke bawah.

(33)

c. Oral hygiene adalah kebersihan gigi dan mulut anak yang diukur dari skor indeks kalkulus dan indeks debris.

Indeks pengukuran oral hygiene yang dipakai pada penelitian ini adalah Oral Hygiene Index Simplified (OHIS) dari Greene dan Vermillion, 1964.

1. Indeks Oral Debris

Skor Kriteria 0

1

2

3

Tidak ada debris atau stain.

a. Debris menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan.

b. Ada extrinsic stain yang tidak tergantung pada luas permukaan gigi yang ditutupi walaupun tanpa debris.

Debris menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi, tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi.

Debris menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi.

a. Gigi yang diperiksa adalah yang telah erupsi sempurna. Jika gigi yang dipilih untuk diperiksa itu tidak ada, maka yang diperiksa gigi tetangga atau gigi yang bersebelahan.

b. Jumlah gigi yang diperiksa adalah 6 buah gigi tertentu dengan permukaan yang diperiksa tertentu pula.

(34)

Bukal Labial Bukal

6 1 6

6 1 6 Lingual Labial Lingual

Jumlah angka DIS =

Jumlah gigi yang diperiksa

(35)

2. Indeks Kalkulus

Skor Kriteria 0

1

2

3

Tidak ada kalkulus gigi.

Kalkulus gigi supra gingival menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi.

Kalkulus gigi supra gingival yang menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi, tetapi tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi dan/atau adanya bercak supra gingival yang tidak melingkari leher gigi.

Kalkulus gigi supra gingival menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi dan/atau karang gigi sub gingival yang dengan tidak putus- putus melingkari bagian leher gigi.

Jumlah angka CIS =

Jumlah gigi yang diperiksa

Cara pemeriksaan indeks kalkulus sama dengan indeks oral debris. Indeks Oral Hygiene Simplified adalah Indeks Oral Debris Simplified ditambah dengan Indeks Calculus Simplified.

d. Sosial ekonomi orang tua dan perilaku membersihkan gigi diukur dengan kuesioner seperti dalam tabel 1 dan 2 di bawah ini.

O.H.I.S = D.I.S + C.I.S

(36)

Tabel 1. Definisi operasional sosial ekonomi orang tua Variabel Definisi

operasional

Hasil ukur Skala ukur

Pendidikan ibu Pendidikan formal terakhir yang tertinggi yang ditamatkan oleh ibu responden.

-Pendidikan rendah (tidak sekolah, tamat SD) (1)

-Pendidikan sedang (tamat SMP, tamat SMA) (2)

-Pendidikan tinggi (tamat diploma, tamat sarjana) (3)

Ordinal

Perekonomian orang tua

Perbandingan total pendapatan orang tua perbulan dalam satuan rupiah dibagi jumlah anggota keluarga dengan

pengeluaran rata- rata perkapita sebulan (BPS September 2011)

-Perekonomi rendah

<Rp.880.000 (perkapita) (1)

-Perekonomi tinggi > Rp.880.000 (perkapita) (2)

Nominal

(37)

Tabel 2. Definisi operasional perilaku membersihkan gigi Variabel Definisi

Operasional

Hasil Ukur Skala ukur

Frekuensi menyikat gigi

Berapa kali dalam sehari anak menyikat gigi.

-Satu kali sehari (1) - Dua kali sehari (2) -Lebih dari dua kali sehari (3)

Ordinal

Pengawasan/

bantuan orang tua

Pengawasan/

bantuan orang tua ketika anak menyikat gigi.

-Tidak pernah (1) -Kadang-kadang (2) -Selalu (3)

Ordinal

Waktu menyikat gigi

Kapan saja anak melakukan sikat gigi setiap harinya.

-Tidak tentu/jawaban lain (1)

-Setelah makan pagi/sebelum tidur malam/saat mandi (2) -Setelah makan pagi dan sebelum tidur malam (3)

Ordinal

Menyikat gigi dengan pasta gigi

Menggunakan pasta gigi setiap anak menyikat gigi

-Tidak pernah(1) -Kadang-kadang(2) -Selalu(3)

Ordinal

Jenis sikat gigi yang digunakan

Anak meggunakan sikat gigi elektrik atau biasa setiap kali menyikat gigi.

-Biasa(1) -Elektrik(2)

Ordinal

Nilai Total Maksimum 14

(38)

Kriteria perilaku kebersihan rongga mulut:

a. Baik : nilai 12-14 b. Sedang : nilai 9-11 c. Jelek : nilai 0-8

3.6 Alat dan Bahan a. Alat penelitian

1. Kaca mulut 2. Pinset 3. Sonde 4. Senter b. Bahan penelitian

1. Handscoon disposable 2. Masker disposable 3. Kapas

4. Alkohol 70%

5. Disclosing solution

3.7 Cara Pengambilan Data

Peneliti akan meminta izin kepada kepala sekolah luar biasa (SLB) yang akan diteliti, lalu memberikan informed consent kepada orang tua anak Sindroma Down tersebut. Peneliti melakukan wawancara pada ibu dengan menggunakan kuesioner dengan menjelaskan isi kuesioner pada ibu untuk mendapatkan data mengenai sosial ekonomi orang tua dan perilaku membersihkan gigi. Pemeriksaan debris dilakukan pada anak yang telah dipilih sebagai sampel dengan menggunakan disclosing solution untuk memeriksa debris yang terbentuk pada permukaan mahkota gigi. Pada beberapa sampel karena adanya keterbatasan motorik pada anak Sindroma Down ini, disclosing solution tidak digunakan dan hanya penggunaan sonde sahaja pada saat pemeriksaan klinis. Pada pemeriksaan kalkulus disupra gingival dan sub gingival sonde digunakan.

(39)

Kemudian, hasil pemeriksaan dicatat sebagai indeks debris dan kalkulus di lembar pemeriksaan. Setelah itu, kedua indeks debris dan indeks kalkulus ditambah dan dihitung indeks oral hygiene simplified (OHIS) pada anak Sindroma Down yang diteliti. Selanjutnya, dilakukan pengolahan dan analisa data.

3.7.1 Alur Penelitian

3.7.2 Pengolahan dan Analisis Data a. Pengolahan Data

- Editing (Pengeditan Data). Editing adalah memeriksa dan meneliti kembali kelengkapan kuensioner dan hasil pemeriksaan klinis.

Mencari sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi

Meminta kesediaan sampel untuk mengikuti penelitian dengan memberikan lembar persetujuan kepada orang tua. Kemudian, peneliti mewawancara orang tua

dan menjelaskan isi kuensioner kepada orang tua.

Melakukan pemeriksaan klinis:

1. Indeks Debris 2. Indeks Kalkulus

3. Indeks Oral Hygiene Simplified (OHIS)

Analisis data

Pencatatan hasil pemeriksaan

(40)

- Coding (Pengkodean Data). Pengisian kotak dalam daftar pertanyaan untuk pengkodean yang berdasarkan jawaban yang telah diisikan dalam kuensioner.

- Entry Data (Pemasukan Data). Data yang selesai decoding selanjutnya dimasukkan dalam tabulasi untuk dianalisis.

- Cleaning Data (Pembersihan Data). Tahap ini data yang ada ditandai diperiksa kembali untuk mengkoreksi kemungkinan suatu kesalahan yang ada.

b. Analisis Data.

Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan Uji T (T-test) untuk melihat hubungan antara jenis kelamin dan ekonomi orang tua dengan status kebersihan rongga mulut, dan Oneway Anova digunakan untuk melihat hubungan antara pendidikan ibu dan perilaku membersihkan gigi dengan status kebersihan rongga mulut pada nilai kemaknaan p <0,05.

(41)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di delapan Sekolah Luar Biasa (SLB-C) di seluruh Kota Medan dengan jumlah sampel 79 orang anak Sindroma Down usia 6-18 tahun berserta ibunya. Pengambilan data dilakukan selama 2 bulan yaitu bulan September dan Oktober 2012.

4.1 Karakteristik Responden Anak

Karakteristik responden anak meliputi jenis kelamin dimana didapati persentase anak laki-laki 60% dan perempuan 40% (Tabel 3).

Tabel 3. Persentase Responden Anak Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (n) %

Laki-laki Perempuan

47 32

60 40

4.2 Karakteristik Responden Ibu

Karakteristik responden ibu meliputi ekonomi keluarga dan pendidikan ibu.

Persentase keluarga ekonomi rendah 34,2% dan ekonomi tidak rendah 65,8%.

Berdasarkan pendidikan ibu, persentase pendidikan rendah 6,3%, sedang 48,1% dan tinggi 45,6% (Tabel 4).

(42)

Tabel 4. Persentase Responden Ibu Berdasarkan Ekonomi Keluarga dan Pendidikan

Karakteristik Jumlah (n) %

Ekonomi keluarga Rendah Tidak rendah

27 52

34,2 65,8 Pendidikan

Rendah (tidak sekolah, tamat SD) Sedang (tamat SMP/ SMA)

Tinggi (tamat diploma, tamat sarjana)

5

38 36

6,3 48,1 45,6

4.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Status Kebersihan Rongga Mulut

Berdasarkan jenis kelamin, rerata status kebersihan rongga mulut untuk anak laki-laki adalah 1,75 dengan SD 0,889 dan anak perempuan adalah 1,62 dengan SD 0,789. Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan status kebersihan rongga mulut (p= 0,491) (Tabel 5).

Tabel 5. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Status Kebersihan Rongga Mulut Jenis Kelamin N Status Kebersihan Rongga Mulut

± SD

Hasil Analisis Statistik Laki-laki

Perempuan

47 32

1,75 ± 0,889 1,62 ± 0,789

p = 0,491

4.4 Hubungan Antara Ekonomi Orang Tua dengan Status Kebersihan Rongga Mulut

Berdasarkan ekonomi orang tua, rerata status kebersihan rongga mulut untuk anak yang berasal dari ekonomi rendah adalah 1,73 dengan SD 0,797, dan anak yang berasal dari ekonomi tidak rendah adalah 1,68 dengan SD 0,879. Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara ekonomi orang tua dengan status kebersihan rongga mulut (p= 0,794) (Tabel 6).

(43)

Tabel 6. Hubungan Antara Ekonomi Orang Tua dengan Status Kebersihan Rongga Mulut

Ekonomi Orang Tua

N Status Kebersihan Rongga Mulut Hasil Analisis Statistik ± SD

Rendah Tidak rendah

27 52

1,73 ± 0,797 1,68 ± 0,879

p = 0,794

4.5 Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Status Kebersihan Rongga Mulut

Berdasarkan pendidikan ibu, anak yang pendidikan ibunya rendah, rerata status kebersihan rongga mulut adalah 1,13 dengan SD 0,446, anak yang pendidikan ibunya sedang 1,62 dengan SD 0,730, dan anak yang pendidikan ibunya tinggi 1,86 dengan SD 0,967. Secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan status kebersihan rongga mulut (p= 0,149) (Tabel 7).

Tabel 7. Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Status Kebersihan Rongga Mulut Pendidikan Ibu N Status Kebersihan Rongga

Mulut

Hasil Analsis Statistik ± SD

Rendah (tidak sekolah, tamat SD)

Sedang (tamat SMP/ SMA) Tinggi (tamat diploma, tamat

S1,S2)

5 38 36

1,13 ± 0,446 1,62 ± 0,730 1,86 ± 0,967

p = 0,149

4.6 Hubungan Antara Perilaku Membersihkan Gigi dengan Status Kebersihan Rongga Mulut

Berdasarkan perilaku membersihkan gigi, rerata status kebersihan rongga mulut pada anak yang berperilaku baik yaitu 0,96 dengan SD 0,686, anak yang berperilaku sedang yaitu 1,60 dengan SD 0,720, dan anak yang berperilaku buruk 2,71 dengan SD 0,859. Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara perilaku membersihkan gigi dengan status kebersihan rongga mulut (p = 0,001*) (Tabel 8).

(44)

Tabel 8. Hubungan Antara Perilaku Membersihkan Gigi dengan Status Kebersihan Rongga Mulut

Perilaku Membersihkan Gigi

N Status Kebersihan Rongga Mulut

± SD

Hasil Analisis Statistik Baik

Sedang Buruk

6 62 11

0,96 ± 0,686 1,59 ± 0,713 2,71 ± 0,859

p = 0,001*

Analisis Post-Hoc dilakukan untuk mengetahui perbedaan antara kelompok yaitu dengan menggunakan uji LSD dan diperoleh hasil sebagai berikut yaitu kelompok antara buruk dan sedang diperoleh nilai p = 0,001, kelompok antara buruk dan baik diperoleh nilai p = 0,001 dan kelompok antara sedang dan baik diperoleh nilai p = 0,001. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kelompok yang mempunyai perbedaan rerata status kebersihan rongga mulut adalah kelompok anak yang berperilaku membersihkan gigi buruk dan sedang, kelompok anak yang berperilaku membersihkan gigi buruk dan baik dan kelompok yang berperilaku membersihkan gigi sedang dan baik.

4.7 Status Kebersihan Rongga Mulut di Masing-Masing SLB-C Kota Medan

Secara keseluruhannya, didapati rerata status kebersihan rongga mulut (Indeks OHIS) di SLB-C Kota Medan pada 79 orang anak Sindroma Down adalah 1,70 dengan SD 0,847 . Berdasarkan status kebersihan rongga mulut, didapati SLB Santa Lusia memiliki rerata yang terendah 1,05 dengan SD 0,585. SLB Muzdalifah memiliki rerata yang tertinggi 2,02 dengan SD 0,991. Selain itu, masing-masing SLB dapat diketahui tingkat kebersihan oral hygienenya yaitu tingkat oral hygiene baik pada SLB Santa Lusia dan SLB Pembina dan tingkat oral hygiene sedang pada SLB YPAC, Markus, Muzdalifah, Abdi Kasih, TPI dan Al-Azhar. Tabel dibawah ini menunjukkan masing-masing rerata Indeks OHIS di setiap SLB-C Kota Medan (Tabel 9).

(45)

Tabel 9. Status Kebersihan Rongga Mulut di Masing-Masing SLB-C Kota Medan SLB-C N Status Kebersihan Rongga

Mulut ± SD

Tingkat Kebersihan Oral Hygiene

YPAC 19 1,95 ± 0,780 Sedang

Santa Lusia 14 1,05 ± 0,585 Baik

Pembina 8 1,21 ± 0,550 Baik

Markus 5 1,75 ± 0,835 Sedang

Muzdalifah 6 2,02 ± 0,991 Sedang

Abdi Kasih 11 2,00 ± 1,003 Sedang

TPI 10 1,93 ± 0,841 Sedang

Al-Azhar 6 1,72 ± 0,781 Sedang

(46)

BAB 5 PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data OHIS seluruh anak penderita Sindroma Down usia 6-18 tahun yang bersekolah di SLB-C Kota Medan adalah sebanyak 79 orang dengan rerata OHIS 1,70 dengan SD 0,847. Hasil ini berbeda dengan penelitian Nancy (cit Oeripto dan Taqwa) tentang keadaan oral hygiene pada anak-anak cacat mental YPAC Medan yang menunjukkan bahwa rata-rata anak tersebut mempunyai oral hygiene yang jelek. Indeks oral hygiene rata-rata murid di YPAC Medan adalah 3,43.11 Ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan status kebersihan rongga mulut pada anak cacat mental di Kota Medan dari tingkat kebersihan rongga mulut jelek ke tingkat kebersihan rongga mulut sedang. Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya peningkatan pelayanan pada anak Sindroma Down di Kota Medan.

Hasil penelitian didapat bahwa jenis kelamin tidak ada hubungan yang bermakna dengan status kebersihan rongga mulut (p= 0,491) (Tabel 5). Ini berbeda dengan penelitian yang dijalankan di Udaipur, India pada individu retardasi mental di Sekolah Luar Biasa yang memperlihatkan bahwa individu laki-laki mempunyai oral hygiene serta status periodontal yang lebih jelek dibandingkan dengan individu perempuan. Denloye telah mengobservasi juga tentang status OHIS yang lebih tinggi pada laki-laki dari perempuan di dalam studinya pada anak retardasi mental di Nigeria.7-8 Dalam penelitian ini tidak dijumpai perbedaan yang signifikan antara status kebersihan rongga mulut laki-laki dan perempuan. Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya keterbatasan motorik yang sama pada keduanya.

Pada penelitian ini ditemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara perekonomian keluarga dengan status kebersihan rongga mulut (p= 0,794) (Tabel 6).

Hal ini berlawanan dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumar S dkk (2009) pada anak retardasi mental usia 8-19 tahun yang terdiri atas anak Sindroma

(47)

Down dan Cerebral Palsy di Udaipur, India didapati status kebersihan rongga mulut (oral hygiene) sangat berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi anak-anak tersebut. Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa keluarga dengan ekonomi rendah menyebabkan oral hygiene anak bertambah buruk.8 Hal ini berarti walaupun perekonomian keluarga tinggi atau rendah, kemungkinan mereka lebih mementingkan perawatan pada penyakit kongenital yang diderita oleh anak Sindroma Down daripada penyakit mulut. Kebanyakan orang tua menghabiskan uang mereka untuk merawat penyakit kongenital dan kurang memperhatikan masalah kesehatan gigi dan mulut anak mereka.

Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan status kebersihan rongga mulut (p= 0,149) (Tabel 7). Hal ini berlawanan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumar S dkk (2009) pada anak retardasi mental usia 8-19 tahun yang terdiri atas anak Sindroma Down dan Cerebral Palsy di Udaipur, India didapati status kebersihan rongga mulut (oral hygiene) sangat berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu. Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa ibu dengan pendidikan rendah menyebabkan oral hygiene anak bertambah buruk.8 Pada penelitian ini didapati walaupun tingkat pendidikan ibu tinggi atau rendah, kemungkinan ibu mempunyai pengetahuan dan sikap yang sama terhadap perilaku membersihkan gigi anak mereka.

Hasil uji statistik antara perilaku membersihkan gigi dengan status kebersihan rongga mulut ditemukan ada hubungan yang bermakna (p= 0,001) (Tabel 8). Ini berarti anak dengan perilaku membersihkan gigi yang buruk mempunyai nilai OHIS paling tinggi. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Eriska Riyanti (2005) bahwa keberhasilan perawatan gigi dan mulut serta pencegahan penyakit periodontal pada anak Sindroma Down sangat berpengaruh pada perilaku membersihkan gigi.

Semakin baik perilaku membersihkan gigi, maka semakin baik tingkat kebersihan oral hygiene anak tersebut. Perilaku tersebut dipengaruhi oleh orang tua yang telah menanamkan kedisiplinan kepada anak mereka dalam membersihkan rongga mulut sejak dini.11

(48)

Berdasarkan status kebersihan rongga mulut, didapati SLB Santa Lusia memliliki rerata yang terendah 1,05 dengan SD 0,585 yaitu tingkat kebersihan oral hygiene baik sedangkan SLB Muzdalifah memiliki rerata yang tertinggi 2,02 dengan

SD 0,991 yaitu tingkat kebersihan oral hygiene sedang. Selain itu, pada masing-masing SLB dapat diketahui tingkat kebersihan oral hygienenya yaitu tingkat

oral hygiene baik pada SLB Santa Lusia dan SLB Pembina dan tingkat oral hygiene yang sedang pada SLB YPAC, Markus, Muzdalifah, Abdi Kasih, TPI dan Al-Azhar.

Perbedaan tingkat kebersihan oral hygiene ini kemungkinan terjadi karena adanya pengaruh yang diberikan oleh guru-guru di setiap SLB-C tersebut melalui penyuluhan tentang cara menyikat gigi yang baik.

(49)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Data OHIS seluruh anak penderita Sindroma Down usia 6-18 tahun yang bersekolah di SLB-C Kota Medan adalah sebanyak 79 orang dengan rerata OHIS 1,70 dengan SD 0,847 yaitu memiliki tingkat kebersihan oral hygiene sedang.

2. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara jenis kelamin, ekonomi orang tua, dan pendidikan ibu dengan status kebersihan rongga mulut.

Sementara ditemukan adanya hubungan antara perilaku membersihkan gigi dengan status kebersihan rongga mulut.

3. Berdasarkan status kebersihan rongga mulut, didapati SLB Santa Lusia memliki rerata yang terendah 1,05 dengan SD 0,585yaitu tingkat kebersihan oral hygiene baik sedangkan SLB Muzdalifah memiliki rerata yang tertinggi 2,02 dengan SD 0,991 yaitu tingkat kebersihan oral hygiene sedang.

6.2 Saran

1. Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada orang tua anak Sindroma Down di setiap SLB-C Kota Medan mengenai cara menjaga kesehatan gigi dan mulut anaknya. Misalnya sebaiknya ibu meluangkan waktu untuk mengawasi dan mengajarkan anak saat menyikat gigi sehingga anak mengetahui bagaimana cara menyikat gigi yang baik dan benar.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menentukan tingkat kebersihan rongga mulut pada anak Sindroma Down dan faktor yang mempengaruhinya serta menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya yang lebih terarah dan mendalam sehingga didapatkan hasil yang lebih baik dan lebih akurat.

(50)

DAFTAR PUSTAKA

1. Cheng, Yiu, Leung K. Oral health in individuals with down syndrome.

http://cdn.intechopen.com/pdfs/17991/InTechOral_health_in_individuals_wit h down_syndrome.pdf (April 2012)

2. Davidson, Melissa A. Primary care for children and adolescents with down syndrome. Pediatr Clin N Am., 2008: 1099-111.

3. Andrianti V. Distribusi kelainan kromosom sindrom down dan usia ibu saat melahirkan di SLB Negeri Semarang. http://eprints.undip.ac.id/24327/1 /Vidyaningsih.pdf ( April 2012)

4. Baidhowi A. Perjuangan Aryanti R. Yacub memimpin ikatan sindroma down Indonesia. Radar Lampung, Juni 2010. http://radarlampung.co.id/read/radar /berita-foto/25456-perjuangan-aryanti-r-yacub-memimpin-ikatan-sindroma- down-indonesia (April 2012)

5. Al-Khadra, Thamer A. Prevalence of dental caries and oral hygiene status among down’s syndrome patients in Riyadh-Saudi Arabia. Pakistan Oral &

Dental Journal 2011; 31(1): 115-7.

6. Ruhadi I. Pengaruh pasta gigi yang mengandung bahan cloxifenol 0,3%, arnica tincture, oleum caryophylli dan sodium monofluorophosphate 0,8%

terhadap gingivitis. Maj. Ked. Gigi (Dent. J.) 1997; 30(4): 151-5.

7. Jain M, Mathur A, Sawla L, dkk. Oral health status of mentally disabled subjects in India. Journal of Oral Sci 2009; 51(3): 333-5.

8. Kumar S, Sharma J, Duraiswamy P, dkk. Determinants for oral hygiene and periodontal status among mentally disabled children and adolescents. Journal Indian Soc Pedod Prevent Dent 2009; 27(3): 151-7.

9. Rao D, Amitha H, Munshi A. Oral hygiene status of disabled children and adolescents attending special schools of South Canara, India. Hong Kong Dental Journal 2005; 2(2): 107-13.

(51)

10. Susanti, Lukman, Triandini. Gambaran faktor-faktor yang berkontribusi terhadap intensi ibu merawat kesehatan gigi dan mulut anak down syndrome di SLB-C Kota Bandung. Jurnal Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat 2012: 3-5.

11. Hutagalung N. Perbandingan oral hygiene pada anak retardasi mental dan autism. Skripsi. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, 2007.

12. Wijaya S. Prevalensi karies gigi dan relasi gigi anterior pada anak sindroma down di Kota Makassar. http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/1886 ( Mei 2012)

13. Izhar F, Chaudhry S, Mirza BA, Khan AA. Oral health related quality of life in individuals with down syndrome. Journal Of The Pakistan Dent Assoc (JPDA) 2009; 18(3): 127-9.

14. Hennequin M, Faulks D, Veyrune J, Bourdiol P. Significance of oral health in persons with down syndrome. Development Medicine & Child Neurology 1999; 41: 275-83.

15. Dr. A. Supratiknya. Mengenal perilaku abnormal. 1st ed. Kanisius, 2012 : 77- 78.

16. Ford D. Children with down syndrome. 1st ed. Paediatric Dentistry, 2009:1- 6.

17. Southern Association Of Institutional Dentists. Down syndrome a review for dental professionals.http://www.saiddent.org/modules/11_module3.pdf (Mei 2012)

18. Sureshbabu R, Kumari R, Ranugha S, dkk. Phenotypic and dermatological manifestations in down syndrome. Dermatology Online Journal 2011; 17(2):

1-12.

19. Pilcher ES. Dental care for the patient with down syndrome. Down Syndrome Research and Practice 1998; 5(3): 111-6.

20. Syarif W. Mikrodontia insisif lateral sebagai salah satu manifestasi oral penderita sindrom down tipe mosaik dan penuh. Majalah Kedokteran Bandung (MKB) 2009; 41(1): 33.

Gambar

Gambar 1: Karyotype individu dengan trisomi 21. 26
Gambar 2: Gambaran Fisik Anak Sindroma Down. 27
Tabel 1.  Definisi operasional sosial ekonomi orang tua  Variabel  Definisi
Tabel 2. Definisi operasional perilaku membersihkan gigi  Variabel  Definisi
+6

Referensi

Dokumen terkait

Prof.Trimurni Abidin,drg.,M.Kes., Sp.KG(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen pembimbing penulis

Pada daerah perkotaan menunjukkan adanya hubungan yang signifikan p = 0.005 sedangkan pada daerah pedalaman menunjukkan tidak adanya hubungan persepsi rasa pahit dengan karies p

Setelah mendapat penjelasan mengenai penelitian dengan sadar dan tanpa paksaan, dan paham akan apa yang akan dilakukan, diperiksa, didapatkan pada penelitian yang berjudul

Pada tingkat kualitas hidup perempuan menopause, yang berpengaruh sangat kuat berkaitan dengan kondisi gigi geligi terbanyak yaitu pada Stage IV Grade B dan pada fase menopause

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi atau sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan kepada instansi kesehatan maupun menjadi bahan ajar

Bersama dengan surat ini saya mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengizinkan anak Bapak/Ibu berpartisipasi sebagai subjek penelitian saya yang berjudul: “Perbandingan

Ditinjau dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa HAp cangkang keong unam dengan suhu kalsinasi 900ºC merupakan sampel yang paling baik di antara ketiga

Tarigan AN melakukan penelitian mengenai sintesis hidroksiapatit dari cangkang keong unam (Pugilina cochlidium) hasil sintesis metode sol-gel dengan suhu