BAB I PENDAHULUAN
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini yaitu:
1. Manfaat teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengembangan ilmu sastra, khususnya kajian novel dalam hal analisis emosi dalam tinjauan psikologi. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan digunakan sebagai usaha pembinaan dan peningkatan apresiasi, serta meningkatkan kemampuan kognitif dan efektif, baik bagi masyarakat pembaca maupun masyarakat pencipta sastra.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pemerhati dan penikmat sastra, hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk menambah khasanah pengetahuan dan pemahaman suatu karya sastra;
b. Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan kajian dalam menganalisis suatu karya sastra; dan
c. Bagi peneliti lanjut, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai acuan atau referensi jika meneliti topik yang relevan dengan penelitian ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka
1. Penelitian yang Relevan
Sebuah penelitian agar mempunyai orisinalitas perlu didukung oleh adanya tinjauan pustaka, tinjauan pustaka berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian dan analisis sebelumnya yang berkaitan dengan menganalisis ekspresi emosi tokoh dalam novel.
Analisis mengenai Ekspresi emosi oleh Rahmawati (2008) dalam skiripsinya yang berjudul ekspresi emosional tokoh dalam novel Cinta tak Berkelamin karya Andi Stevenio. Penelitian lain yang memiliki relevansi
dengan judul penelitian ini oleh Ikhwani Kasim (2012) dalam analisisnya yang berjudul Analisis Struktur Emosi Tokoh Dalam Kumpulan Cerpen Jangan Main-main Dengan Kelaminmu Karya Djenar Maesa Ayu
2. Struktur yang Membangun Karya Sastra
Sebuah karya sastra tidak terlepas dari unsur yang membangunnya, unsur tersebut terbagi atas dua hal, yaitu unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik meliputi masalah sosial/kejiwaan, pendidikan sejarah, agama dan sebagainya. Sedangkan unsur intrinsik, yaitu unsur yang membangun karya sastra dari dalam, yaitu tema, alur, penokohan, gaya bahasa, setting, dan sudut pandang.
Pembicaraan mengenai struktur karya sastra, tentu masuk dalam wilayah anatomi sastra itu sendiri. Menurut Culler (Rahmawati , 2008: 6), kalau sekiranya
6 6
cerita rekaan merupakan suatu sistem, maka subsistem yang terpenting adalah alur (plot), tokoh (penokohan), dan tema. Menurutnya, ketiga subsistem utama tersebut berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya.
Ketiga unsur yang dikemukakan oleh Culler di atas, tidak dapat disangkal perannya dalam sebuah karya sastra yang merupakan sistem.
Meskipun demikian, tidak dapat pula dipandang bahwa beberapa unsur lain diluar tidak penting dalam jalinan sebuah fiksi.
Sehubungan dengan masalah di atas, Semi (dalam Rahmawati 2008: 6) mengemukakan pandangannya secara lebih lengkap bahwa struktur dalam intrinsik adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra, seperti tokoh dan penokohan, alur, latar, tema dan amanat, sudut pandang, dan gaya bahasa. Kalau kita kembali pada suatu sistem, maka dapat dikatakan bahwa berbagai elemen yang membangun sebuah sistem masing-masing memiliki fungsi yang berbeda dalam jalinan cerita. Sekiranya salah satu elemen yang ada itu dihilangkan fungsinya maka sudah tentu mengganggu berfungsinya sistem tersebut secara sempurna, sehingga kualitas sebuah karya sastra menjadi tidak maksimal.
a) Tokoh dan Penokohan
Tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin cerita, atau tokoh ialah pelaku dalam karya sastra Tanpa tokoh alur tidak akan pernah sampai pada bagian akhir cerita (Fida Naza, online).Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda, Seseorang tokoh memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang tidak memiliki
peranan penting dan permunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu (Aminuddin , 2013:
79-80).
Menurut Pradoto Kusumo (dalam Rahmawati, 2008: 7-8), dalam sebuah cerita, tokoh datar kadang-kadang disebut „tipe‟ karena dibina seputar gagasan atau sifat tertentu sehingga mudah dipahami sifatnya (misalnya: hitam atau putih/
jahat atau baik), lain halnya dengan tokoh bulat, ia biasanya memperlihatkan segi-segi baru dari wataknya dengan membuat kejutan yang meyakinkan; dalam arti tokoh ini dapat berbuat sesuatu yang diharapkan.
b) Alur (plot)
Di dalam sebuah cerita rekaan, peristiwa-peristiwa disajikan dengan urutan-urutan tertentu yang biasa disebut alur.
Alur adalah rangkaian cerita yang terbentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 2013: 83)
Jalinan berbagai unsur atau berbagai peristiwa sebaiknya dianalisis fungsinya dalam kerangka keutuhan alur (plot). Kaum formalis berpandangan bahwa plot adalah penyajian motif-motif yang telah disusun secara artistik dengan urutan peristiwa yang terjalin dalam hubungan sebab akibat.
Menurut E.M. Forster (dalam Rahmawati, 2008: 8), alur adalah sebuah cerita sesungguhnya suatu narasi dari peristiwa-peristiwa yang disusun secara kronologis (time-sekuence), dengan kata lain, cerita adalah suatu rantai motif-motif dalam urutan kronologis atau hubungan waktu, sedangkan alur merupakan
suatu narasi dari berbagai peristiwa, akan tetapi dengan penekanan pada penyebabnya.
Untuk memahami alur dengan baik menurut Forster, dibutuhkan intelegesi dan daya ingat/memori yang kuat. Sedangkan Pradotokusumo (dalam Rahmawati, 2008: 8), mengemukakan bahwa alur atau plot juga merupakan sebuah narasi dari berbagai peristiwa, tetapi dengan penekanan pada hubungan kausalitasnya. Alur atau plot dalam sebuah drama atau karya naratif merupakan struktur dari berbagai aksi atau tindakan, dan berbagai aksi disusun dengan maksud untuk membangkitkan emosi serta efek artistik tertentu. Alur dapat dianggap sebagai aspek organik dari bentuk sebuah epik, sedangkan tokoh cerita merupakan suatu fungsi yang diciptakan olehnya.
M. Saleh Saad (dalam Dola, 2006: 17) membagi alur (plot) itu atas 6 bagian, yaitu :
1. Permulaan , yang merupakan perkenalan para tokohnya (pelaku);
2. Pertikaian, sebagai akibat pertentangan para tokoh (pelaku);
3. Perumitan, yaitu pertikaian yang timbul karena manusia berhadapan dengan manusia lainnya, yaitu dengan alam;
4. Klimaks (puncak peristiwa);
5. Peleraian;
6. Akhir
Namun, unsur alur yang terpenting adalah konflik dan klimaks. Konflik dalam fiksi terdiri dari : konflik internal, yaitu pertentangan dua keinginan di dalam diri seorang tokoh, dan konfliks eksternal, yaitu konflik antara tokoh
dengan lingkungannya. Menurut Semi (dalam Rahmawati, 2008: 9), bahwa diantara konflik kecil terdapat dalam alur cerita, terdapat pula satu konflik sentral.
Konflik sentral mungkin merupakan konflik internal ataukah konflik eksternal yang kuat, mungkin pula gabungan dari keduanya. Konflik sentral inilah yang merupakan inti dari struktur cerita dan secara umum merupakan pusat pertumbuhan alur.
c) Latar (setting)
Menurut Robert Stanton (dalam Sukada, 1993: 61), latar dalam sebuah cerita, merupakan lingkungan tentang kejadian, dunia dekat dengan tempat kejadian itu terjadi. Bagian-bagiannya merupakan latar belakang (background) yang bisa kelihatan, tetapi juga bisa faktor waktu, musim, atau periode kesejarahan.
Meskipun latar tidak dinyatakan sebagai bagian yang bersifat prinsipal untuk perwatakan, namun ia bisa menyatakan adanya manusia di dalam latar belakang tersebut. Kadang-kadang latar langsung menjadi bagian perwatakan, kadang-kadang menunjukkan tema. Dalam kebanyakan cerita, latar juga menimbulkan suasana emosional atau mood, yang mengitari perwatakan.
Pendapat Wellek & Warren (dalam Sukada, 1993: 61) juga senada dengan pendapat di atas, yang menyatakan bahwa latar berfungsi untuk mengekspresikan perwatakan dan kemauan, memiliki hubungan erat dengan alam dan manusia.
d) Tema dan Amanat
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Sehingga, peranannya juga seebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya (Aminuddin, 2013: 91).
Cerita yang tergolong karya fiksi biasanya mengandung tema yang ingin disampaikan pengarang atau pencerita atau kepada pembaca. Dalam pembahasan mengenai novel, Pradotokusumo (dalam Rahmawati, 2008: 11) mengemukakan dua pengertian tema dalam dua makna yaitu :
1). Tema adalah gagasan sentral atau gagasan yand dominan dalam karya sastra;
2). Pesan atau nilai moral yang terdapat secara implisit di dalam karya seni.
Thomashevsky (dalam Sukada, 1993: 70) membuktikan bahwa prinsip pemersatu dalam struktur fiksional, merupakan suatu pemikiran umum, yang disebut tema.
Tema menjadi salah satu unsur cerita rekaan yang memberikan kekuatan, dan sekaligus sebagai unsur pemersatu semua fakta, dan sarana cerita yang mengungkapkan permasalahan kehidupan. Dengan demikian, tema dapat dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum sebuah karya sastra yaitu novel (Sugihastuti, 2002: 45).
Dalam karya sastra yang bermutu, tema mengandung gagasan sentral yang biasa mendominasi atau mewarnai seluruh bagian cerita. Selain itu, adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral, atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang itulah yang disebut amanat.
Amanat dapat dilihat secara implisit apabila ajaran moral itu disiratkan di dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Sedangkan, amanat menjadi cerita eksplisit bila pengarang pada akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan, dan sebagainya.
e) Sudut Pandang (point of view)
Sudut pandang (point of view) digunakan untuk menyatakan gagasan, atau sikap batin pengarang yang dijelmakan di dalam karya sastranya. Point of view memang hanya mempermasalahkan siapa yang bercerita. Tapi, ketentuan yang dipilih oleh pengarang akan menentukan sekali gaya dan corak cerita.
Menurut Aminuddin (2013: 90-91) titik pandang (sudut pandang) meliputi:
a. Narrator omniscient
Narrator atau pengisah yang juga berfungsi sebagai pelaku cerita. Karena
pelaku juga adalah pengisah, maka akhirnya pengisah juga merupakan penutur yang serba tahu tentang apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya baik secara fisikal maupun psikologis. Dalam narrator omniscient pengarang menyebut pengarang atau pelaku utama dengan nama
sendiri saya, atau aku.
b. Narrator observer
Bila pengisah hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap permunculan para pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu tentang prilaku batiniah para
pelaku. Dalam narrator observer pengarang menyebutkan nama pelakunya dengan, ia, dia, nama-nama lain maupun mereka.
c. Narrator observer omniscient
Berkebalikan dengan narrator observer, dalam narrator omniscient pengarang, meskipun pengisah juga masih menyebut nama pelaku dengan ia, mereka, maupun dia. Hal itu memang mungkin terjadi Karena pengarang prosa fiksi adalah juga pencipta dari para pelaku dalam prosa fiksi yang dipaparkannya.
d. Narrator the third person omniscient
Dalam cerita fiksi, mungkin saja pengarang hadir di dalam cerita yang diciptakannya sebagai pelaku ketiga yang serba tahu. Dalam hal ini sebagai pelaku ketiga, pengarang masih mungkin menyebutkan namanya sendiri, saya atau aku.
f) Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah alat teretentu yang menggunakan bahasa untuk mengekspresikan pikiran, dan perasaan pengarang, sehingga pembaca dan penikmat dapat tertarik atau terpukau atas karya yang dihasilkan (Dola, 2006: 7).
Bahasa sastra menurut kaum formalis Rusia, adalah bahasa yang mempunyai ciri deotomatisasi, penyimpangan dari cara penuturan yang telah bersifat otomatis, rutin,biasa dan wajar (Nurgiyantoro, 2005: 274).
Dalam mengungkapkan atau melukiskan sesuatu, pengarang menyampaikan dengan cara yang berbeda-beda, dalam menyampaikan pikiran dan perasaan. Dengan demikian, pengungkapan pikiran dan perasaan bervariasi.
Variasi dalam menggunakan kata, susunan kata lain, atau bahasa (berupa kalimat) dengan kata lain pengungkapan pikiran dan perasaan adanya gaya dalam berbahasa yang disebut gaya bahasa (Zainuddin , 1992: 51)
Gaya bahasa adalah pemakaian ragam bahasa dalam mewakili atau melukiskan sesuatu., sesuai dengan pemilihan dan penyusunan kata dalam kalimat unutk memperoleh efek tertentu (Zainuddin, 1992: 51).
Penuturan dalam karya sastra selalu diusahakan dengan cara lain, dan cara baru. Cara yang mungkin belum pernah digunakan orang lain. Menurut Abrams (dalam Dola, 2006: 22), gaya bahasa adalah cara pengungkapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Gaya bahasa ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pemilihan kata (diksi), struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi , dan lain-lain.
Gaya bahasa yang baik tumbuh dari pengertian, pengenalan, dan ketelitian (sensing, knowing, and caring), bukan karena tersedianya kesempatan Irmcher
(dalam Sukada, 1993: 85). Hollis Summer dan Edgar Whan (dalam Sukada, 1993:85) menyatakan pendapat yang bersamaan yaitu bahwa tulisan yang baik, seperti bacaan yang baik, dan pikiran yang baik, semua itu merupakan bagian dari penulis dan tindakan-tindakannya.
3. Novel
Novel berasal dari kata latin novelis yang diturunkan pula dari kata
“novles” yang berarti baru, dan dalam bahasa inggris disebut novel, dan kata
inilah yang kemudian masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa Jerman disebut novelle), secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai cerita, cerita pendek dalam bentuk prosa (Nurgiyantoro, 2005: 9).
Dewasa ini, istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris “Novelette”), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek (Nurgiyantoro, 2005: 9-10).
Novel merupakan bentuk karya sastra yang sering disebut dengan fiksi.Novel menawarkan sebuah dunia, yang berisi model kehidupan ideal, dunia imajiner. Sebagai karya imajinatif, fiksi menawarkan berbagai persoalan manusia dan kemanusiaan. Hidup dan kehidupan, cinta dan pencintaan, alam dan kenyataan. Altenbernd dan Lewis (dalam Rimang, 2011: 20) mendefinisikan fiksi sebagai prosa naratif yang bersifat imajiner tetapi kadang dapat masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasi hubungan-hubungan antar manusia.
Tarigan (dalam Azis, 2012: 11) bahwa novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta dengan adegan nyata representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang kacau atau kusut. H.B Jasin menyatakan novel sama dengan roman, kata novel berasal dari bahasa Italia dan berkembang di Inggris dan Amerika Serikat.
Novel memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara menyajikan sesuatu lebih banyak, lebih merinci, lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang kompleks.
2. Kelebihan novel yang khas adalah kemampuannya menyampaikan permasalahan yang kompleks secara penuh mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”.
3. Novel memiliki unsur pembangun intrinsik dan ekstrinsik, memiliki lebih dari satu plot. Plot utama berisi konflik utama karya itu, sedangkan sub-subplot berisi konflik tambahan yang bersifat menopang, menegaskan, pengintefsikan konflik utama untuk sampai ke klimaks.
4. Penokohan ditampilkan secara lebih lengkap.
5. Keutuhan cerita sebuah novel meliputi keseluruhan bab.
4. Jenis- jenis Novel
Jenis novel berdasarkan nyata atau tidaknya suatu cerita, novel terbagi dua jenis yaitu :
a. Novel Fiksi
Sesuai namanya, novel berkisah tentang hal yang fiktif dan tidak pernah terjadi, tokoh, alur, maupun latar belakangnya hanya rekaan penulis saja.
b. Novel non Fiksi
Novel ini kebalikan dari novel fiksi yaitu novel yang bercerita tentang hal nyata, sudah pernah terjadi, berdasarkan pengalaman seseorang, kisah nyata atau berdasarkan sejarah.
Jenis novel berdasarkan genre cerita, yaitu : a. Novel Romantis
Cerita novel ini berkisah seputar percintaan dan kasih sayang dari awal hingga akhir
b. Novel Horor
Jenis novel ini memiliki cerita yang menegangkan, dan menyeramkan serta umumnya bercerita tentang hal-hal yang mistis atau seputar dunia gaib.
c. Novel Misteri
Cerita dan jenis novel ini lebih rumit karena akan menimbulkan rasa penasaran hingga akhir cerita.
d. Novel Komedi
Jenis novel ini mengandung unsur kelucuan atau membuat orang benar- benar tertawa.
e. Novel Inspiratif
Jenis novel yang mampu menginspirasi banyak orang, umumnya novel ini sarat akan pesan moral atau hikmah tertentu yang bisa diambil oleh para pembaca sehingga pembaca merasa mendapat suatu dorongan dan motivasi untuk melakukan hal yang lebih baik.
5. Pendekatan Psikologi
Menurut asal katanya, psikologi berasal dari kata-kata Yunani: psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu jiwa (Sarwono, 2013:1).
Dalam bahasa Indonesia diartikan ilmu jiwa, arti jiwa dalam ilmu jiwa tidak sama dengan arti roh, istilah roh lebih berhubungan dengan istilah bidang agama. Psikologi adalah keseluruhan sifat-sifat dan prilaku manusia dan juga makhluk yang lain.
Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologi tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi oleh karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya, Roekhan (dalam Endraswara, 2013: 97-98).
Menurut Endraswara (2013: 96) mengemukakan, kajian psikologi sastra disamping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga aspek-aspek pemikiran dan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya menjadi semakin hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui dialog ataupun pemilihan kata,
sebenarnya merupakan gambar kekalutan dan kejernihan batin pencipta.
Kejujuran batin itulah yang menyebabkan orisinalitas karya.
Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa.
Karya sastra mengandung aspek-aspek kejiwaan yang sangat kaya, maka analisis psikologi sastra perlu dimodifikasikan dan dikembangkan secara serius dan definitif. Tujuan psikolgi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa sesuai dengan hakikatnya, karya satra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung.
Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan psikologi dengan sastra, yaitu : 1) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis; 2) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra; 3) memahami unsur-unsur kejiwaan. Pembicraan pertama berhubungan dengan proses kreatif. Oleh karena itu, Wellek dan Waren (dalam Ratna,2013:
343), membedakan analisis psikologis pertama itu menjadi dua macam, yaitu studi psikologis yang semata-mata berkaitan dengan pengarang, seperti kejiwaan sebagai jenis neurosis yang semata-mata berkaitan dengan pengarang seperti kelainan kejiwaan sebagai sejenis gejala neurosis, sedangkan studi yang kedua berhubungan dengan inspirasi , ilham, dan kekuatan-kekuatan supernatural lainnya.
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah kedua yaitu, pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra. Sebagai dunia dalam kata karya sastra yang memasukkan aspek kehidupan kedalamnya, khususnya manusia. Pada umumnya, aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra.
Sebab, semata-mata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. Dalam analisis pada umumnya, yang menjadi tujuan adalah tokoh utama, tokoh kedua, dan seterusnya.
Pendekatan psikologi sastra adalah pendekatan pelaahan sastra yang menekankan pada segi-segi kejiwaan tingkah laku yang terdapat pada suatu karya sastra (Wahid, 2004: 134). Jadi, dapat disimpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang semua tingkah laku individu dan segala perbuatannya baik dalam masyarakat, terhadap lingkungan dan terhadap kerabatnya.
6. Emosi dan Emosional
a. Pengertian Emosi dan Emosional
Emosi merupakan bagian dari kehidupan yang selalu muncul pada saat seseorang menghadapi berbagai peristiwa.Hal ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Burnham (dalam Wahid, 2004: 136) :
“Emosi adalah tanggapan batiniah yang dirasakan atas peristiwa-peristiwa kehidupan yang terjadi. Seperti anggota keluarga, emosi adalah bagian dari diri
kita dan tidak dapat diingkari atau diabaikan. Perasaan adalah kepunyaan kita, dapat dirasakan dan aktif betapa pun dalamnya kita menguburkan perasaan itu”.
Tidak seorang pun yang dapa\
t menguasai sepenuhnya apa yang dirasakan. Akan tetapi, seseorang dapat memutuskan apa yang akan diperbuat dengan perasaan itu. Perbedaan antara perasaan dan emosi tidak dapat dinyatakan secara tegas karena keduanya merupakan suatu kelangsungan kualitatif, yaitu tidak jelas batasnya.
Sarwono (2013: 124) mendefinisikan emosi sebagai reaksi penilaian (positif dan negatif) yang kompleks dari sistem syaraf seseorang terhadap rangsangan dari luar atau dari dalam dirinya sendiri. Definisi itu menggambarkan bahwa emosi diawali dengan adanya suatu rangsangan, baik dari luar (benda, manusia, situasi, cuaca), maupun dari dalam diri kita (tekanan darah, kadar gula, ngantuk, segar, dan lain-lain), pada indera-indera kita.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah luapan perasaan yang dimiliki oleh setiap orang yang dipicu dari respon yang berasal dari dalam maupun dari luar. Definisi emosional (Depdikbud, 2003:
261) adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai respon yang datang dari luar.
Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada. Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada. Reaksi emosional itu mungkin akan muncul dikemudian hari, dengan adanya kematangan dan sistem indokrin. Kematangan dan indokrin akan berperan
penting untuk mematangkan perilaku yang diperlukan untuk menopang reaksi fisiologi terhadap segala jenis-jenis emosi (Daruma, 2004: 166-167).
Pada dasarnya, emosional merupakan suatu dorongan-dorongan dan minat yang terpenuhi dan merupakan dasar dari pengalaman emosional seseorang (Daruma, 2004: 157). Apalagi, disaat dorongan-dorongan atau keinginan terpenuhi dan tercapai dengan berhasil, maka cenderung emosinya stabil. Tetapi , jika dorongan dan keinginannya tidak terpenuhi karena kurangnya kemampuan untuk memenuhinya atau karena kondisi lingkungan yang kurang menunjang.
Sehingga, emosionalnya kemungkinan mengalami gangguan.
Emosionalnya juga berkaitan dengan banyak respon individu yang diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan objektif . Namun, ada saatnya di dalam kehidupan dorongan-dorongan emosional hampir sepenuhnya mempengaruhi pikiran dan tingkah laku. Sikap berkaitan dengan motif dan
Emosionalnya juga berkaitan dengan banyak respon individu yang diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan objektif . Namun, ada saatnya di dalam kehidupan dorongan-dorongan emosional hampir sepenuhnya mempengaruhi pikiran dan tingkah laku. Sikap berkaitan dengan motif dan