BAB I PENDAHULUAN
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.3 Manfaat untuk Mahasiswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi dan pengetahuan bagi mahasiswa tentang pemeriksaan Pap smear dan Tes IVA sebagai upaya deteksi dini kanker serviks, dan dapat memotivasi mahasiswa untuk dapat lebih aktif memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya Pap smear dan Tes IVA.
1.4.4 Manfaat Untuk Penulis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk mengembangkan kemampuan penulis dan dapat menjadi motivasi untuk melakukan penelitian penelitian selanjutnya.
5 terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan meliputi lima pancaindra manusia, yakni indra pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2014).
2.1.2 TINGKAT PENGETAHUAN
Menurut Notoatmodjo 2014, terdapat 6 tingkat pengetahuan, yaitu:
1. Tahu (know)
Tahu artinya sebagai recall atau memanggil memori yang telah ada sebelumnya setelah mempelajari suatu memori. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah dan pada tingkatan ini pengetahuan yang dimiliki ialah menguraikan, menyebutkan dan mendefinisikan materi dengan benar.
2. Memahami (comprehension)
Tidak hanya sekedar tahu namun mampu untuk menjelaskan, menyimpulkan serta menginterpretasikan secara benar sesuai fakta.
3. Aplikasi (application)
Kemampuan untuk mengaplikasikan atau mempraktekan materi yang sudah dipahami pada kondisi nyata atau sebenarnya.
4. Analisis (analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan atau menjelaskan materi ke dalam
komponen-komponen yang masih ada kaitannya satu sama lain. Di tingkat ini pengetahuan yan dimiliki adalah membedakan, membandingkan, memisahkan, dan mengelompokkan materi yang telah dipahami.
5. Sintesis (synthesis)
Suatu kemampuan untuk menghubungkan dan menciptakan pola baru dari pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
6. Evaluasi (evaluation)
Pengetahuan untuk melakukan penilaian atau justifikasi terhadap materi atau objek tertentu.
2.1.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGETAHUAN Menurut Notoatmodjo (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu :
a) Usia
Mempengaruhi pola pikir dan daya tangkap seseorang. Semakin bertambahnya usia pola pikir dan daya tangkap seseorang akan semakin berkembang sehingga pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin membaik. Pandangan masyarakat bahwa seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang – orang yang belum tinggi tingkat kedewasaanya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwa ( Budiman, 2013).
b) Pengalaman
Pengalaman merupakan guru terbaik, pepatah tersebut dapat diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan dan suatu cara untuk memperoleh suatu kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan di masa lalu (Notoatmodjo, 2010).
c) Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat intelegensinya dan semakin mudah informasi yang diterima sehingga semakin banyak pengetahuan yang dimiliki (Budiman, 2013).
d) Lingkungan
Interaksi manusia dengan lingkungan akan membentuk watak atau perilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo, 2014).
e) Intelegensi
Kemampuan seseorang untuk berpikir dan menerapkan pengetahuan yang sudah ada untuk memecahkan berbagai masalah, intelegensi merupakan salah satu modal untuk berfikir dan mengolah informasi sehingga mampu untuk menguasai kondisi lingkungannya (Notoatmodjo, 2014).
f) Pekerjaan
Pengalaman akan lebih banyak dimiliki oleh orang yang memiliki pekerjaan dibandingkan orang yang tidak memiliki pekerjaan (Notoatmodjo, 2014).
2.1.4 PENGUKURAN PENGETAHUAN
Menurut Arikunto (2010), pengukuran tingkat pengetahuan dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
a. Pengetahuan baik jika responden dapat menjawab 76-100% dengan benar dari total jawaban pertanyaan.
b. Pengetahuan cukup jika responden dapat menjawab 56-75% dengan benar dari total jawaban pertanyaan.
c. Pengetahuan kurang jika responden dapat menjawab <56% dengan benar dari total jawaban pertanyaan.
2.2 SIKAP
Menurut Secord & backman (1964) dalam Azwar (2013) menyebutkan bahwa sikap merupakan keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.
Allport (1924) dalam Notoatmodjo (2014) menyebutkan bahwa sikap merupakan konsep yang sangat penting dalam komponen sosio-psikologis, karena merupakan kecenderungan bertindak dan berpersepsi.
2.2.1 KOMPONEN SIKAP
Menurut Azwar (2016), sikap memiliki 3 komponen yang saling bertautan, yaitu :
a) Komponen kognitif
Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap. Komponen kognitif terdiri dari persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu.
Komponen kognitif seringkali disamakan dengan suatu opini, terutama apabila menyangkut suatu masalah atau isu.
b) Komponen afektif
Kompnen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin mengubah sikap seseorang.
c) Komponen konatif.
Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Komponen konasi menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan mempengaruhi perilaku.
2.2.2 TINGKATAN SIKAP
Menurut Notoatmodjo (2014) terdapat 4 tingkatan sikap, yaitu : 1) Menerima (receiving)
Diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
2) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
3) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mendiskusikan atau mengerjakan suatu masalah merupakan indikasi sikap tingkat tiga.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tiggi.
2.2.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP
Faktor – faktor yang mempengaruhi sikap antara lain pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh dari kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosional individu (Azwar, 2013).
2.2.4 PENGUKURAN SIKAP
Pengukuran sikap dapat dilakukan dalam beberapa cara. Menurut Sunaryo (2013) pengukuran sikap dibedakan menjadi 2, yaitu :
A. Pengukuran secara langsung
Pengukuran secara langsung dilakukan dengan cara mengamati bagaimana sikap subjek terhadap suatu masalah secara langsung. Pengukuran sikap secara langsung terdiri dari :
1. Cara pengukuran langsung berstruktur
mengukur sikap dengan menyusun pertanyaan sedemikian rupa dalam suatu instrument yang telah ditentukan dan diberikan kepada subjek yang diteliti. Instrumen pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menggunakan skala Likert. Pada penggunaan skala Likert dikenal teknik
“Summated rating “ . kategori jawaban pada skala Likert terbagi atas 4 kategori jawaban, yaitu sangat setuju (4), setuju (3), kurang setuju (2),
tidak setuju (1). Nilai 4 merupakan hal yang Favorable (menyenangkan) dan nilai 1 merupakan hal yang unfavorable (tidak menyenangkan).
2. Cara pengukuran langsung tidak berstruktur
Merupakan pengukuran sikap yang bersifat sederhana dan tidak memerlukan persiapan yang cukup mendalam, seperti mengukur sikap dengan wawancara bebas atau free interview dan pengamatan langsung (survey).
B. Pengukuran secara tidak langsung
Pengukuran secara tidak langsung merupakan pengukuran sikap dengan menggunakan tes. Cara pengukuran sikap yang digunakan adalah skala yang dikembangkan oleh Charles E. Osgood.
2.3 KANKER SERVIKS 2.3.1 PENGERTIAN
Serviks merupakan bagian bawah uterus yang menonjol ke dalam liang vagina sekitar 2 cm sebagai porsio vaginalis dan menghubungkan serviks ke vagina melalui kanal servikalis, dibagi atas porsio yang menonjol ke dalam vagina (porsio vaginalis) dan diatas vagina (porsio suprvaginalis). Orifisium internum adalah kanalis servikalis yang bermuara ke dalam uterus dan orifisium eksternum adalah kanalis servikalis yang bermuara ke dalam vagina (Cunningharm, 2013).
Gambar 2.1 : Anatomi Serviks (Gray’s anatomy, 2010).
Kanker adalah penyakit yang ditandai dengan sel – sel yang mengalami pertumbuhan dan penyebaran secara abnormal dan tidak terkendali, sel-sel kanker dapat tumbuh di bagian tubuh manapun. Tipe dari suatu sel kanker dinamakan berdasarkan tempat awal pertumbuhannya. Jika kanker tersebut berasal dari leher Rahim (serviks), maka kanker itu disebut kanker serviks (University of Miami, 2018).
Maka dapat disimpulkan kanker serviks merupakan pertumbuhan sel yang abnormal dan tidak terkendali yang berasal dari leher Rahim (serviks) dan dapat menyebar ke bagian tubuh yang lain.
2.3.2 ETIOLOGI
Kanker serviks disebabkan oleh HPV (Human Papilloma Virus). HPV menular terutama melalui hubungan seksual dan dapat bertahan dalam jaringan vulva, vagina, dan serviks wanita. Virus HPV mempunyai lebih dari 150 jenis, HPV tipe 16 dan 18 menjadi penyebab kanker serviks dan mempunyai peranan penting dalam replikasi virus melalui sekuensi gen E6 dan E7 dengan mengkode pembetukan protein-proteinyang penting (Runge dan Greganti, 2010).
HPV terbagi dalam 3 grup, yaitu tipe high risk oncogenic (tipe 16, 18, 45, 56), tipe intermediate risk oncogenic (tipe 31, 33, 35, 51, 52 54) dan tipe
low risk onconegic (tipe 6, 11, 42, 43, 44). Tipe high risk oncogenic merupakan tipe yang lebih berperan dalam terbentuknya lesi prakanker dan kanker serviks (Doebritz, et al., 1991).
Karsinogenesis dimulai ketika DNA HPV tipe high risk oncogenic berintegrasi dengan genom sel serviks dan menyebabkan kemungkinan terjadinya mutasi. Bila mutasi terjadi pada gen p53 yang berfungsi untuk menekan proses pertumbuhan neoplasma, maka fungsi gen p53 akan terganggu dan menyebabkan terbentuknya neoplasma (Tiro et al., 2007).
2.3.3 FAKTOR RISIKO KANKER SERVIKS a. Infeksi Human Papilloma Virus (HPV)
Besar kemungkinan kanker serviks disebabkan karena adanya infeksi virus (HPV). Virus ini dapat menginfeksi sel di permukaan serviks, genital, tenggorokan dan mulut, serta menyebabkan metaplasia sel secara tidak terkendali yang pada akhirnya akan menjadi kanker. Perilaku seks bebas dan berganti ganti pasangan menjadi salah satu faktor resiko seorang wanita terinfeksi virus ini. Human Papilloma Virus tipe low risk oncogenic contohnya tipe HPV 6 dan HPV 11 dapat menyebabkan kutil di bagian genital pria dan wanita sementara Human Papilloma Virus tipe high risk oncogenic contonhnya tipe HPV 16 dan HPV 18 merupakan penyebab terbanyak kanker serviks (American Cancer Society, 2016).
b. Perilaku seksual
Perilaku seksual dengan bergonta ganti pasangan seksual dapat menyebabkan kejadian kanker serviks skuamosa. Bila saat berhubungan seks pertama kali ber usia dibawah 15 tahun dan memiliki partner seksual yang banyak (6 atau lebih) memiliki resiko lebih 10 kali lebih besar.
Risiko akan lebih meningkat jika berhubungan seks dengan pria yang mempunyai risiko tinggi mengidap kondiloma akuminatum. Pria yang berisiko tinggi mengidap kondiloma akuminatum ialah pria yang sering melakukan hubungan seksual dengan banyak wanita
c. Merokok
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan bahawa wanita yang merokok dapat beresiko dua kali lebih besar untuk mengalami kanker serviks. Bahan-bahan kimia yeng terdapat dalam rokok akan diserap oleh paru dan menyebar keseluruh tubuh melalui aliran darah. Para peneliti sebelumnya mengatakan bahwa pada wanita perokok dijumpai bahan karsinogenik tembakau pada mukosa serviks, zat kimia ini akan merangsang pertumbuhan kanker di serviks dan merusak sel – sel DNA pada permukaan serviks. Akibat dari perilaku merokok maka kekebalan sistem imun tubuh akan menurun dan tidak dapat melawan infeksi virus HPV (Fitrisia et al., 2020).
d. Immunosupresi
Sistem imun tubuh sangat berperan penting dalam melawan berbagai jenis infeksi. Wanita yang terinfeksi dengan virus seperi Human Immunodeficiency Virus (HIV) akan lebih mudah terinfeksi oleh HPV, hal ini dikarenakan HIV menyebabkan sistem kekebalan tubuh akan menurun sehingga tubuh akan lebih mudah terinfeksi oleh virus – virus yang lain seperti Human Papilloma Virus yang menyebabkan kanker serviks.
Menurunnya system imun juga dapat menyebabkan sel – sel di serviks berkembang dengan cepat. Penggunaan obat penyakit autoimun yang dapat menurunkan ssstem imun juga merupakan salah satu fakor risiko terinfeksi HPV (Torre, 2015).
e. Infeksi Chlamydia
Chlamydia merupakan suatu bakteri yang dapat menyebabkan infeksi menular seksual. Beberapa penelitian mengatakan bahwa wanita yang terinfeksi chlamydia lebih berisiko terkena kanker serviks. Pada penelitian yang melibatkan 150 penderita kanker serviks menunjukkan bahwa 27%
dari mereka mempunyai antibody Chlamydia Trachomatis (Silva, 2013).
f. Umur
Umur > 35 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita kanker serviks, semakin dewasa umur seseorang maka risiko untuk terjadinya kanker serviks semakin meningkat (Fitrisia et al., 2020).
g. Paritas
Menurut beberapa literatur, seorang wanita yang sering melahirkan (memiliki banyak anak) termasuk risiko tinggi menderita kanker serviks.
h. Pemakaian kontrasepsi
Memakai alat kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama atau lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko terkena kanker serviks 1,5 – 2,5 kali. Hal ini dikarenakan salah satu sasaran alat kontrasepsi oral adalah jaringan serviks, meskipun demikian hubungan penggunaan alat kontrasepsi oral dengan peningkatan risiko kejadian kanker serviks masih kontroversional (Yuviska and Amirus, 2015).
2.3.4 GEJALA KLINIS
Pasien yang berada di tahap prakanker sering tidak menimbulkan gejala apapun. Gejala pada tahap prakanker biasanya berupa keputihan dan perdarahan sedikit yang dapat hilang. Di tahap kanker gejala yang timbul dapat berupa keputihan yang disertai dengan vagina yang berbau dan terjadinya perdarahan hebat yang diluar dari siklus haid (Hoffmann, 2012).
2.3.5 KLASIFIKASI STADIUM KANKER SERVIKS
Tabel 2.1 Klasifikasi Stadium Kanker Serviks Menurut FIGO 2018
Stadium Deskripsi
I Karsinoma masih terbatas di serviks dan belum menyerang kelenjar getah bening disekitarnya
IA Karsinoma invasif didiagnosis hanya dengan mikroskop. Semua lesi yang terlihat secara makroskopik, meskipun invasi hanya superfisial dimasukkan ke dalam stadium IB
IA1 invasi kanker ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan lebar kurang dari 7 mm
IA2 invasi kanker ke stroma lebih dari 3 mm tetapi tidak lenih dari 5 mm dengan lebar 7 mm atau kurang
IB Lesi terlihat secara klinik dan terbatas di serviks atau secara mikroskopik lesi lebih besar dari IA2
IB1 Invasi stroma dengan kedalaman lebih atau sama dengan 5 mm dan dimensi terbesar kurang dari 2 cm.
IB2 Invasi stroma dengan kedalaman lebih atau sama dengan 2 cm dan dimensi terbesar kurang dari 4 cm.
IB3 Invasi stroma dimensi terbesar lebih atau sama dengan 4 cm.
II Kanker telah menyebar keluar leher Rahim (serviks) tetapi belum sampai ke bagian dinding panggul dan sepertiga bagian bawah vagina.
IIA1 Kanker dengan dimensi terbesar kurang dari 4 cm.
IIA2 Kanker dengan dimensi terbesar lebih atau sama dengan 4 cm.
IIB Kanker sudah menginvasi daerah perimetrium tetapi belum mencapai bagian dinding panggul
III Kanker telah menginvasi sepertiga bagian bawah vagina dan telah terjadi penyebaran ke bagian dinding panggul dan/atau dapat menyebabkan hidronefrosis atau afungsi ginjal
IIIA Kanker menginvasi sepertiga bawah vagina dan parametrium tetapi belum mencapai bagian dinding panggul
IIIB Terjadi perluasan invasi kanker ke bagian dinding panggul dan adanya hidronefrosis atau afungsi ginjal
IIIC Keterlibatan kelenjar getah bening panggul dan / atau paraaorta IIIC1 Metastasis ke kelenjar getah bening panggul.
IIIC2 Metastasis ke kelenjar getah bening paraaorta.
IV Penyebaran tidak hanya pada serviks, tetapi sudah ke kelenjar getah bening dan organ di sekitarnya
IVA Sel kanker menyebar ke kandung kemih dan rektum.
IVB Sel kanker telah metastasis jauh ke bagian tubuh seperti hati, paru, tulang, dan mediastinal (Bhatla et al., 2018).
Gambar 2.2 Stadium kanker serviks.
(Sumber: Longo, D. L., 2017, Harrisons’s Hematology and Oncology, 3rd edn, McGraw-Hill Education, p. 613.)
2.4 DETEKSI DINI KANKER SERVIKS 2.4.1 PENGERTIAN
Deteksi dini merupakan suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan tanpa menunggu adanya keluhan. Dengan melakukan deteksi dini maka akan semakin cepat suatu kanker teridentifikasi sehingga angka harapan hidup juga akan semakin tinggi (Anggraini et al., 2016).
Deteksi dini kanker serviks adalah usaha untuk mengidentifikasi penyakit atau kelainan yang secara klinis belum jelas dengan menggunakan tes, pemeriksaan, atau prosedur yang dapat digunakan secara cepat (Savitri, 2015).
2.4.2 TUJUAN
Tujuan deteksi dini kanker serviks adalah untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman serta perhatian terhadap gejala kanker serviks. Deteksi dini juga sebagai bentuk preventif sejak awal terhadap indikasi-indikasi akan terjadinya gangguan (Saraswati, 2017).
2.4.3 METODE DETEKSI DINI KANKER SERVIKS a. Pap smear
Merupakan pemeriksaan sitologi yang dilakukan dengan cara mengamati sel-sel epitel yang dieksfoliasi dari leher rahim (serviks) (Purwoto &
Nuranna, 2002).
b. Tes IVA :
Merupakan teknik pemeriksaan leher rahim (serviks) dengan cara mengoleskan asam asetat 3-5% ke kapas lidi kemudian diusapkan ke daerah serviks. Pada lesi prakanker akan terlihat warna bercak putih yang disebut aceto white epithelium dan dinyatakan IVA postif (Sari, 2019).
c. Pap net
Merupakan slide pemeriksaan pap smear untuk mengidentiifkasi sel yang abnormal dibantu menggunakan komputerisasi (Pantanowitz, 2020).
d. Servikografi
Merupakan pemeriksaan untuk melihat kelainan porsio. Untuk membuat foto pembesaran porsio dipulas dengn menggunakan asam asetat 3-5%
(Harahap, 2019).
e. Kolposkopi
Merupakan alat deteksi kanker serviks dan lebih sering digunakan sebagai pemeriksaan lanjuta dari hasil tes pap smear yang abnormal. Namun, kolposkopi jarang digunakan karena memerlukan biaya yang mahal, kurang praktis dan memerlukan biopsy (Phiadelvira, 2021).
f. Tes DNA Human Papilloma Virus
Merupakan suatu metode skrining dengan menggunakan alat khusus untuk mengambil spesimen cairan di sekitar ostium serviks. Indikasi pemeriksaan ini ialah kelompok resiko tinggi paparan terhadap infeksi HPV (Rebolj et al, 2015).
2.5 PAP SMEAR
2.5.1 PENGERTIAN
Pap (Papanicolau) smear merupakan pemeriksaan sitologi yang dilakukan dengan cara mengamati sel-sel epitel yang dieksfoliasi dari leher rahim (serviks). Pap smear pertama sekali dikemukakan oleh Dr.
George Papanicolou dan Dr. Aurel Babel pada tahun 1928 (Purwoto &
Nuranna, 2002). Sel-sel epitel serviks yang telah dieksfoliasi kemudian diwarnai secara khusus dan diamati dibawah mikroskop apakah sel epitel serviks dalam keadaan normal atau sudah menunjukkan tanda-tanda sel abnormal bahkan kanker.
2.5.2 TUJUAN PAP SMEAR Tujuan tes Pap smear adalah :
1. Mencoba menemukan sel-sel yang tidak normal dan dapat berkembang menjadi kanker serviks.
2. Sebagai Alat untuk mendeteksi adanya gejala pra kanker leher Rahim bagi seseorang yang belum menderita kanker.
3. Untuk mengetahui kelaina-kelainan yang terjadi pada sel-sel kanker leher Rahim.
4. Mengetahui tingkat berapa keganasan serviks (Mastutik et al., 2015).
2.5.3. MANFAAT PAP SMEAR
Manfaat pemeriksaan pap smear menurut (Handayani, 2018), yaitu : 1. Untuk dapat mendiagnosis kelainan pra ganas atau keganasan
portio atau serviks, dan yang paling utama untuk penemuan dini kanker serviks.
2. Membantu mendiagnosis adanya proses peradangan beserta penyebab terjadinya peradangan.
3. Mengetahui fungsi hormonal akibat pengaruh estrogen dan progesteron menyebabkan perubahan-perubahan khas pada sel selaput lender vagina.
2.5.4 INDIKASI PAP SMEAR
Pap smear seharusnya mutlak dilakukan oleh setiap wanita yang sudah menikah atau yang sudah pernah melakukan hubungan seksual aktif. Pap smear hendak dilakukan jika memiliki faktor-faktor resiko seperti yang dikemukakan oleh (Azmi, 2017), yaitu :
1. Wanita yang sudah melakukan hubungan seksual pada usia dibawah 20 tahun.
2. Wanita yang memiliki pasangan seksual yang banyak (Multiple).
3. Wanita yang memiliki riwayat penyakit menular seksual.
4. Wanita yang mengalami perdarahan setiap berhubungan seksual.
5. Wanita yang mengalami keputihan atau adanya rasa gatal pada vagina.
6. Wanita yang sudah mengalami menopause dan mengeluarkan darah pervaginam.
7. Wanita yang aktif merokok.
8. Wanita yang memakai alat kontrasepsi lebih dari 5 tahun, terutama memakai IUD dan pil KB.
2.5.5 PERSIAPAN SEBELUM PAP SMEAR
Persiapan sebelum melakukan Pap smear (Julisar, 2009), yaitu :
1. Datang untuk melakukan pemeriksaan Pap smear dua minggu setelah haid.
2. Pada saat pengambilan spesimen lendir diusahakan agar otot-otot vagina dalam keadaan rileks.
3. Tidak melakukan hubungan seksual 48 jam sebelum pengambilan spesimen lendir pada serviks.
4. Tidak menggunakan pembasuh antiseptic atau sabun antiseptik pada daerah sekitar vagina selama 72 jam sebelum pemeriksaan pap smear.
2.5.6 PROSEDUR PAP SMEAR
Prosedur pemeriksaan Pap smear menurut (Manuaba, 2007), yaitu : 1. Mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan, meliputi spekulum
bivalve (cocor bebek), spatula Ayre, kaca objek yang telah diberi label atau tanda, dan alkohol 95%.
2. Pasien berbaring dengan posisi litotomi.
3. Pasang spekulum hingga bagian vagina atas, forniks posterior, serviks uterus, dan kanalis servikalis tampak jelas.
4. Periksa serviks apakah normal atau tidak.
5. Spatula dengan ujung yang pendek dimasukkan ke dalam endoserviks, dimulai dari arah jam 12 dan diputar 360o searah jarum jam.
6. Sediaan yang telah didapat lalu dioleskan di atas objek kaca pada sisi yang telah diberi tanda sebelumnya dengan membentuk sudut 45o satu kali usapan.
Gambar 2.3 pemeriksaan Pap smear
(Sumber : https://www.mayoclinic.org/tests-procedures/pap-smear/about/pac-20394841)
7. Mencelupkan kaca objek kedalam larutan alkohol 95% selama 10 menit.
8. Kemudian sediaan dimasukkan kedalam wadah transpor dan dikirim ke ahli patologi anatomi.
2.5.7. INTERPRETASI HASIL PAP SMEAR
Pada interpretasi hasil pap smear dikenal beberapa sistem, yaitu sistem Papanicolaou, sistem Cervica Intraepithel Neoplasm (CIN), dan sistem Bethesda.
Sistem Papaniolaou dikemukakan oleh Dr. George Papanicolaou, sistem papanicolaou membagi hasil pemeriksaan menjadi 5 kelas (Manuaba, 2007), yaitu:
Kelas I : Tidak ada sel atipik atau sel abnormal.
Kelas II : Gambaran sitologi atipik, tetapi tidak ada bukti keganasan.
Kelas III : Gambaran sitologi dicurigai keganasan.
Kelas IV : Gambaran sitologi dijumpai sel ganas dalam jumlah sedikit.
Kelas V : Gambaran sitologi dijumpai sel ganas dalam jumlah banyak.
Berkembangnya sitologi di bidang diagnostik, para ahli menganjurkan mengganti sistem Papanicolaou, karena sistem Papanicolaou tidak mencerminkan pengertian neoplasia serviks/vagina, tidak mempunyai padanan dengan terminologi histopatologi, tidak mencantumkan diagnosis non kanker, tidak menggambarkan interpretasi yang seragam, dan tidak menunjukkan suatu pernyataan diagnosis.
Sistem Cervical Intraepithel Neoplasm (CIN) pertama sekali dikemukakan oleh Richart RM pada tahun 1973 di Amerika Serikat.
Klasifikasi CIN terdiri dari CIN grade I sesuai dengan displasia ringan, CIN grade II sesuai dengan displasia sedang, dan CIN grade III sesuai dengan displasia berat dan karsinoma in situ. Sistem CIN menyatakan bahwa lesi prekursor kanker serviks akan membentuk rangkaian berkelanjutan menuju karsinoma, oleh karena itu semua derajat CIN wajib diobati (Tierner &
Whooley, 2002).
Sistem Bethesda pertama sekali dikemukakan oleh Bethesda pada tahun 1988, menurut Rosevear (2002) klasifikasi sistem Bethesda ialah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Klasifikasi Sistem Bethesda
Klasifikasi Sistem Bethesda
Sel Squamous
1. Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASCUS).
2. Low Grade Squamous Intraepithelial Lesions (LGSIL), meliputi displasia ringan (CIN I), koilositosis, dan flat condyloma.
3. High Grade Squamous Intraepithelial Lesions (HSGIL), meliputi (CIN II) dan (CIN III).
4. Squamous Cells Carcinoma
Sel Glandular
1. Sel endometrial (pada wanita menopause).
2. Atypical Glandular Undetermined Significance (AGUS).
3. Lesi intraepitel glandular 4. Adenokarsinoma endoserviks 5. Adenokarsinoma endometrium 6. Adenokarsinoma ekstrauterin
7. Adenokarsinoma yang tidak dapat ditentukan asalnya
Sistem Bethesda lebih sering digunakan karena lebih mampu memfasilitasi komunikasi antara laboratorium dengan klinikus, sistem Bethesda juga mampu menjelaskan derajat abnormalitas sel yang tidak jelas.
Sistem Bethesda lebih sering digunakan karena lebih mampu memfasilitasi komunikasi antara laboratorium dengan klinikus, sistem Bethesda juga mampu menjelaskan derajat abnormalitas sel yang tidak jelas.