• Tidak ada hasil yang ditemukan

22 Maret 2013 jam

Dalam dokumen Mushaf KDZA (Halaman 164-166)

KD:

Akang tadi subuh mencoba ber-thawaf bersama rombongan, plus Mamah juga ikut menggunakan kursi roda. Tapi baru langkah awal saja sudah mulai bertumbukan dengan rombongan yang menentang arus. Kalau orang yang datang cuma sediit sih tidak masalah, tapi Ka’bah itu sangat penuh sesak oleh manusia yang mengejar pahala, banyak pula yang menggunakan kursi roda besi menabrak dari belakang dan depan dengan teriakan yang tidak bersahabat. Akhirnya Akang memutuskan berkeliling hanya satu kali saja, untuk menyelamatkan rombongan dari hal buruk, terutama Mamah yang menggunakan kursi roda., meskipun dijaga oleh Tala. Rombongan harus. Diselamatkan dari terpancing ber-Egois. Karena Ritual itu bisa di ulang besok atau lusa atau di kesempatan lain. Jangan korbankan keluarga untuk sebuah ritual yang bisa dilakukan lagi. Islam itu leksible, seperti shalat bisa di satukan bisa diperpendek dan sebagainya. Lebih sayang pada sebuah ritual daripada keluarga juga tidak baik. Lagipula rukun umrah sudah terlaksana. Akhirnya kita berkumpul untuk diskusi.

Mbap, bisa tolong diceritakan ritual thawaf yang dilakukan Rasulullah SAW bersama umat Islam pada jaman dulu?

Apakah saling sikut atau tertib?

15. Sa’i dan Kisah Nabi Ismail

1. Prosesi Sa’i yang sebenarnya adalah merasakan secara emphaty apa yang dirasakan oleh Siti Hajar ketika dengan tidak putus asa mencari air. 2. Ismail dengan akselarasi sel 40%

bisa menyedot air Zam-Zam dari dalam tanah.

3. Waktu sa’i, Seharusnya kita

membayangkan energy Ismail menyedot energy dari dalam tanah, lalu melekatkan semua perasaan yang terpancar atau dipancarkan oleh Siti Hajar ke dalam batu secara lengkap mencapai dua bukit safa dan marwah. 4. Sekarang sa’i yang kita lakukan

dijauhkan dari proses membuka diri pada rekaman alam seperti itu, diganti oleh berbagai macam doa yang hanya sebatas mulut dan tenggorokan saja.

KD jam 20.20:

Rasulullah SAW adalah manusia yang tertib. Tidak ada sikut-sikutan, karena jumlah umat Islam juga masih belum sebanyak sekarang. Dan menjelaskan setiap makna dengan jelas, tidak hanya sekedar prosesi nya saja. Kita mah diberi mimpi bahwa kalau bisa memegang Ka’bah, maka semua dosa diampuni dan mendaapat pahala. Balasannya adalah Surga. Iming- iming seperti ini lalu dijual.

Ternyata prosesi Sa’i yang sebenarnya adalah merasakan secara emphaty apa yang dirasakan oleh Siti Hajar ketika dengan tidak putus asa mencari air. Rasa itu terekam di dalam batu Safa dan Marwah. Dan kita diwajibkan membuka mata hati untuk merasakan apa yang dirasakan oleh Siti Hajar. Rasa itu sangat terpancar dan terekam dengan kuat dan tidak akan lekang oleh zaman. Semua menjadi terekam ketika Ismail mengeluarkan energy. Menyedot air Zam-Zam dari dalam tanah. Sekarang bayangkan energy Ismail menyedot energy dari dalam tanah, lalu melekatkan semua perasaan yang terpancar atau dipancarkan oleh Siti Hajar ke dalam Batu secara lengkap mencapai dua bukit safa dan marwah. Ini sekarang kita dijauhkan dari proses membuka diri pada rekaman alam seperti itu, diganti oleh berbagai macam doa yang hanya sebatas mulut dan tenggorokan saja. Wajar kalau umat sekarang tambah mundur.

23 Maret 2013 jam 21.11 WIB KDM:

Mbap, punten bertanya lebih detail:

(1) Kenapa saat sa’i kita diwajibkan ber-emphaty seperti yang dirasakan Siti Hajar?

(2) Bagaimanakah cara membuka mata batin dan ber- emphaty yang baik dan benar saat melakukan sa’i?

(3) Berapa % kah energi yang dikeluarkan oleh Ismail saat menyedot air Zam Zam?

(4) Harus berapa lama atau berapa kali bolak balik antara Safa & Marwah saat kita melakukan sa’i? Jam 00.33 WIB = 20.33 Mekah

KD:

Kita akan tahu, bahwa Siti Hajar itu berjuang tanpa mengenal lelah dan putus asa. Semangat ini yang akan kita pelajari dan dimasukan ke dalam alam bawah sadar. Meskipun akhirnya masalah terselesaikan oleh Ismail itu sendiri yang kehausan. Energy yang terpancarkan oleh Ismail untuk menyedot Zam-Zam sekitar 40%. Tidak ada ketentuan berapa kali kita harus bolak-balik antara bukit Safa dan Marwah. Tapi karena umum sudah biasa dengan pengertian 7, kita ikuti saja, tapi dengan catatan, kita mampu mengenal semangat dari Sa’i itu sendiri. Banyak yang ke Arab untuk Haji atau Umrah hanya dapat ritualnya saja, tanpa mereka dapat makna spiritual. Tuhan mereka adalah Pahala, bukan Allah SWT. Hati kecil itu tidak bisa dibohongi. Pahala itu adalah “point keutamaan”. Pahala itu apabila tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka tidak akan bermanfaat pula di Dunia maupun di Akhirat. Seharusnya kita berpikir, mengapa Pahala apabila Shalat di Masjidil Haram itu lebih baik, karena ada MAKRHA itu yang akan mengakselerasi sel tubuh kita dengan sangat kencang. Sangat berbeda dengan apabila kita shalat di Rumah masing-masing. Ini tidak pernah diketahui oleh umum, makanya tidak pernah terjadi perubahan pada spiritual, kalau hanya mengandalkan ritual saja tanpa mengerti. Banyak yang merasa bersyukur bisa memegang Hajar Aswad titik start putaran hawaf, seolah-olah itu adalah sesuatu yang luar biasa, karena baru sampai itulah pengetahuannya, tapi ketika diberi tahu, tidak akan masuk ke dalam jiwa mereka.

25 Maret 2013 Jam 20.22 KG:

Ini oleh-oleh dari Umrah bersama KD yang berhasil saya dapatkan:

Ketakwaan butuh keimanan. Keimanan butuh keyakinan. Keyakinan butuh pemahaman. Pemahaman butuh kecerdasan. Kecerdasan butuh sel otak aktif.

Sel otak akti butuh latihan. Latihan butuh pengkondisian.

Shalat, puasa, zakat dan Haji adalah pengkondisiannya.

16. DORPHAL dan MAKRHA

1. Di masjid nabawi ada DORPHAL buatan ADHAMA yang sangat membantu proses aktifasi sel-sel otak jika kita melakukan sujud dimana darah dan oksigen banyak terkonsentrasi di otak.

2. Di Ka’bah ada asteroid MAKRHA yang memancarkan radiasi dimana radiasi ini dapat membantu mengakselerasi mythocondria jika saat Thawaf kita melakukannya dengan benar, yaitu dengan menggesekkan telapak kaki ke lantai selama melakukan thawaf. 3. Dua manfaat ini mendukung penjelasan

bahwa “sel otak yang aktif berbanding lurus dengan Tenaga Dalam”.

4.

Dalam dokumen Mushaf KDZA (Halaman 164-166)