• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

RESPONSE TUBUH

4) Marker pembentukan tulang dan kolagen

Sirkulasi PICP (Procollagen type I C-terminal Propeptide) mengambarkan pembentukan tulang. Bone alkaline phosphatase adalah marker spesifik untuk pembendaan osteoblast (Doherty 2002). Biomarker yang berkaitan dengan tulang adalah osteocalcin (OC). Biomarker lainnya untuk metabolism tulang antara lain pada proses pembentukan tulang atau oseteoblast biasanya dilakukan di serum (osteocalcin, bone-spesific alkaline phosphatase, procollagen peptides). Biomarker dari resorption atau disebut proses osteoclast yang diambil dari urine seperti hydroxyproline, hydroxylysine glycosides, pyridinium crosslinks.

Pengukuran untuk melihat efek suatu intervensi dengan tujuan pencegahan stunting dapat dilihat dari aspek pengukuran fisik baik dari panjang badan menurut umur secara absolut maupun laju pertumbuhan linier. Perbandingan dengan pengukuran panjang lengan dan tinggi kaki bagian bawah dapat menjadi alternatif untuk melihat proporsional tubuh (Waterlow 1994). Pada populasi kurang gizi masih belum dapat dikonfirmasi bhawa panjang kaki relatif dapat menjadi biomarker dari anak kurang gizi (Kinra et al. 2011).

Seng telah terbukti secara ilmiah menjadi zat gizi mikro yang menghambat pertumbuhan pada negara berkembang dimana anak-anak mengkonsumsi diet berbasis pangan nabati dengan kandungan atau absorpsi rendah (yeudall et al. 2005). Walaupun rasio seng dan protein relatif konstan pada makanan yang biasa dikonsumsi dari sayuran sampai daging namun ketersedian seng lebih kecil dari protein sehingga defisiensi protein selalu didahului defisiensi Seng (Golden 2009). Seng dibutuhkan untuk aktivitas lebih 200 enzim yang terlibat pada kebanyakan jalur metabolik sehingga sangat penting untuk fungsi biokimia, immunogi, dan klinis. Sebagai hasil dari fungsi yang beragam tersebut, defisiensi seng berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik, fungsi imun, fungsi reproduksi, dan perkembangan neuro-behavioral (Hotz dan Brown 2004).

Defisiensi seng dapat menyebabkan gangguan replikasi gen dan ini dapat mempengaruhi keterlambatan pertumbuhan disamping juga mempengaruhi fungsi

15 aktfitas metabolism lainnya. Salah satu indikator dari status seng populasi dari aspek fungsional adalah prevalensi anak pendek (stunted). Prevalensi anak yang pendek berdasarkan tinggi badan menurut panjang badan 20 % di populasi menjadi masalah kesehatan masyarakat karena resiko defisiensi Zn dan harus dilakukan intervensi gizi. Stunting telah terbukti responsif terhadap status seng. Penilaian status seng di tingkat populasi yaitu indikator biokima, dietetik, dan fungsional meliputi prevalensi asupan seng harian yang dibawah estimasi kebutuhan harian (estimated average requirement/EAR), persentase populasi dengan konsentrasi seng serum yang rendah, dan persentase anak dibawah usia lima (5) tahun dengan tinggi badan menurut umur kurang dari 2 SD Z-score (Gibson et al. 2008). Penggunakaan kadar seng rambut masih kontroversi namun bukti ilmiah menyatakan selama anak-anak (childhood), rendahnya konsentrasi seng di rambut menggambarkan status seng suboptimal yang kronis, ketika pengaruh counfonding factor kurang energi protein tidak ada. Rendahnya konsentrasi seng rambut juga ditemukan di beberapa penelitian yang berhubungan dengan indek lainnya dari sub- optimal status seng seperti terganggunya kemampuan indera pengecap, pendek, dan tinggi rasio molar fitat dan Zn di makanan (Gibson 2005).

Konsentrasi seng bervariasi menurut umur, jenis kelamin, musin, kecepatan pertumbuhan rambut, keparahan kurang gizi, dan kemungkinan warna rambut. Kajian mendatang perlu dilakukan untuk melihat seng rambut sebagai indek yang valid bagi indeks status seng rambut sub-optimal yang kronis. Tanda klinis dari defisiensi ringan yang berhubungan dengan nilai seng rambut pada bayi dan anak kurang dari 70 µg/g (1.07 µmol/g) pada musim panas (Vanderkooy dan Gibson 1987) dan kurang dari 110 µg/g (1.68 µmol/g) pada musim dingin (Gibson et al. 1989). Penelitian untuk melihat hubungan status seng rambut dan kejadian stunting untuk mengetahui apakah seng merupakan faktor pembatas pertumbuhan atau tidak. Pengukuran konsentrasi seng sebagai indikator status seng mempunyai beberapa keuntungan dan keterbatasan. Konsentrasi seng di rambut lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dari puasa yang lama, konsumsi makanan dan infeksi akut; kurang invasive disbandingkan pengambilan darah dan lebih tepat pada sasaran yang tidak dapat diterima dengan mudah untuk pengambilan darah seperti anak-anak; dan tidak seperti darah, sampel rambut tidak butuh proses yang spesifik seperti pendingin. Kelemahannya adalah keterbatasan ketersediaan referensi data dan beberapa kendala dalam interpretasi hasil (Habicht et al. 1999).

Keterlambatan pertumbuhan dapat terjadi karena tertunda awal fase childhood dimana bisa jadi GH tinggi namun reseptor GH tidak terekspresikan. Pengukuran hormonal marker menjadi potensial khususnya untuk melihat aktivitas GH dan IGF-1. Suplementasi Zn 10 mg dapat meningkatkan secara signifikan IGF- 1 plasma karena IGF-1 adalah mediator dari aksi untuk meningkatkan pertumbuhan dari growth hormone (Ninh et al. 1996).

Kebutuhan Energi dan Zat Gizi untuk Tumbuh Kembang Anak Pada usia enam bulan pertama telah direkomendasikan bayi diberi ASI eksklusif dan berlanjut menyusui sampai usia 2 tahun dengan pemberian makanan pendamping ASI yang tepat sebagai bagian dari strategi makanan pada bayi dan anak-anak (WHO/UNICEF 2003). Periode usia 6-12 bulan dicirikan dengan

16

pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan membutuhkan vitamin dan mineral yang tinggi (Dewey 2003). Pada periode ini ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tingginya energi dan zat gizi dan perlu makanan selain ASI. Penggunaaan MP ASI yang terfortifikasi atau suplementasi telah direkomendasikan baik pada pedoman MP ASI bagi anak yang minum ASI (PAHO/WHO 2003), maupun pedoman makan bagi anak yang tidak minum ASI (WHO 2005). Pedoman itu juga merekomendasikan energi yang dibutuhkan dari MP ASI dan frekuensi makan atau kudapan yang direkomendasikan dan dapat dilihat pada Tabel 2. Frekuensi makanan harian baik makan utama atau kudapan berdasarkan referensi dari (PAHO/WHO 2004) dan kapasitas lambung.

Tabel 2 Frekuensi makan, energi dari MP ASI dan kapasitas lambung (PAHO/WHO 2003) Umur Anak (bulan) Rekomendasi Frekuensi Makan (makanan utama atau kudapan) Kebutuhan energi dari MP-ASI (Kkal/hari) Kapasitas lambung (mL/makan)a Minum ASI Tidak Minum ASI Minumb ASI Tidak Minum ASI Anak sehat Anak dengan keterlambatan pertumbuhan 6-8 9-11 12-23 2-3 3-4 3-4 4-5 4-5 4-5 200 300 550 600 700 900 249 285 345 192 228 273

aAsumsi berat badan 8.3, 9.5, dan 11.5 kg untuk anak sehat dan 6.4, 7.6, dan 9.1 kg untuk anak yang mengalami keterlambatan pertumbuhan pada anak usia 6-8, 9-11, dan 12-23 bulan dengan kapasitas lambung 30 g/kg berat badan; b Asumsi asupan rata-rata asupan ASI

Rata-rata kebutuhan energi harian pada anak sehat usia 6-8 bulan sebesar 615 Kkal, usia 9-11 bulan 686 Kkal, dan usia 12-23 bulan sebesar 894 Kkal (Dewey dan Brown 2003). Di negara berkembang, jumlah asupan energi yang diharapkan dari MP ASI sebesar 200 Kkal (33 % dari total energi yang dibutuhkan) pada usia 6-8 bulan, 300 Kkal (45%) di usia 9-11 bulan dan 550 (61%) Kkal pada usia 12-23 bulan. Untuk mencapai kebutuhan energi tersebut butuh frekuensi makan dan densitas energi yang cukup. Energi densitas MP ASI < 0.6 Kkal/gram masih

tergolong rendah. Ketika densitas energi ≤ 0.8 Kkal/gram maka rekomendasi untuk

frekuensi makan 2-3 kali makan utama pada anak usia 6-8 bulan dan 3 sampai 4 kali pada anak usia 9-24 bulan dengan penambahan kudapan bergizi satu sampai dua kali sehari tergantung nafsu makan anak dan respon anak terhadap rasa lapar dan kenyang (PAHO/WHO 2003).

Jumlah protein yang dibutuhkan dari MP ASI pada usia 6-8 bulan sebesar 2 gram/hari (21%), usia 12-23 bulan 5-6 gram/hari (50%). ASI kaya akan lemak (30- 50% energi). Dengan meningkatnya umur anak dan berkurangnya kuantitas ASI maka jumlah lemak (fat) yang dibutuhkan dari MP ASI (asumsi setidaknya 30% energi) (Dewey 2005). Kualitas lemak menjadi lebih penting dari kuantitas di MP ASI untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan.

Pada MP ASI tidak hanya kandungan lemak yang digambarkan prosentasi energi dari lemak terhadap total energi namun kandungan dan keseimbangan dari asam lemak essensial (essential fatty acid). Penelitian di Ghana menyatakan kandungan asam lemak essensial di LNS khususnya omega-3 fatty acid alpha-

17 linolenic acid (ALA) berperan dalam menunjang pertumbuhan linier dan meningkatkan kadar ALA di plasma dibandingkan kelompok yang hanya menerima zat gizi mikro saja (Adu-Afarwuah et al. 2007). Tahun 2006 Codex telah merekomendasikan kadar asam linoleat tidak boleh kurang dari 300 mg per 100 Kkal dan tidak boleh lebih dari 1,200 mg per 100 gram produk. Rekomendasi yang diberikan untuk anak yang mengalami MAM (Moderate Acute Malnutrition) kisaran 5:1 sampai 15:1 dari rasio asam linoleat ke asam α-linolenat.

Zat gizi mikro baik vitamin atau mineral dibutuhkan dalam jumlah besar dari MP ASI. Prosentase yang dibutuhkan beragam tergantung kadarnya di ASI. Zat gizi yang sulit untuk terpenuhi dan harus bersumber dari MP ASI meliputi Fe (97- 98%), Zn (80-87%), vitamin B6 (80-90%) (Dewey 2005). WHO/FAO menggunakan RNI (recommended nutrient intake) untuk pengembangan produk pangan. RNI digunakan untuk anak usia 1-3 tahun dan dan akan sedikit lebih tinggi untuk bayi usia 6-11 bulan kecuali RNI Fe bayi lebih tinggi dari anak usia 1-3 tahun. Pada anak kurang gizi di negara berkembang, kebutuhan gizi tipe I lebih tinggi dari RNI karenan paparan stress lingkungan (polusi, asam rokok), dan infeksi. Umumnya anak yang menerima MP ASI terfortifikasi di negara berpendapatan rendah juga mengalami kurang gizi. Akibatnya standar zat gizi dengan RNI terlalu rendah karena tidak memasukkan kebutuhan untuk mengembalikan cadangan tubuh. Permasalahan lainnya adalah bioavabilitas dari zat gizi dan adanya standar CODEX dan regulasi nasional menjadi sulit untuk meningkatkan kadar zat gizi diatas RNI. Angka kebutuhan gizi atau Recommended Nutrient Intake dan upper tolerable nutrient intake level (UL) dari Vitamin dan Mineral pada anak usia 1 sampai 3 tahun dapat dilihat pada Tabel 3. UL pada tabel tersebut dilaporkan oleh WHO/FAO (Allen 2006), kecuali seng dan magnesium (WHO/FAO 2004), sementara mangan dan fosfor oleh IOM (IOM 2005).

UL adalah asupan harian maksimum agar tidak memberikan resiko yang memberikan efek merugikan pada kesehatan (WHO/FAO 2004). WHO/FAO tidak menetapkan UL pada bayi usia 6-11 bulan, namun IOM menetapkan khususnya vitamin A, vitamin D fluorine, Fe, Se, dan Zn. Hanya vitamin D dan selenium, dimana IOM menetapkan UL pada bayi 6-11 bulan lebih rendah dari UL anak usia 1 sampai 3 tahun yang ditetapkan WHO/FAO, sementara zat gizi lainnya UL lebih dari 200% RNI (IOM 2005). Golden menyatakan anak-anak di Negara berkembang, RNI dan UL terlalu rendah pada beberapa zat gizi karena kondisi yang stress dan lingkungan yang tidak mendukung dan kebutuhan untuk catch up growth (Golden 2009).

Pada anak yang mengalami kurang gizi mengalami pertumbuhan dengan kecepatan yang meningkat untuk kejar tumbuh. Kebutuhan menjadi lebih besar proporsi dari total kebutuhan dan keseimbangan untuk perubahan gizi. Diet yang lebih kaya dengan densitas zat gizi tinggi dibutuhkan untuk sintesis jaringan fungsional yang lebih cepat dari normal.

Setelah masa keterbatasan pertumbuhan, maka terjadi kejar tumbuh (catch up growth), baik dari panjang tubuh yang terlihat dari profelirasi growth plate chondrocyte, dan massa organ yang tergambar dari proliferasi jaringan non skleteal yang beragam. Bukti ilmiah terkini menyatakan kejar tumbuh baik growth plate dan jaringan non-skeletal terjasi karena kondisi terhambatnya pertumbuhan ini melambatkan mekanisme fisiologi yang secara normal menyebabkan pertumbuhan tubuh mengurangi kecepatan menurut umurnya dan berhenti. Oleh karena itu, jika

18

kondisi penghambat pertumbuhan ini terpecahkan, mekanisme yang membatasi pertumbuhan kurang berkembang dari normal, membiarkan lebih cepat dan lebih panjang untuk pertumbuhan selanjutnya (Finkielstain et al. 2013).

Tabel 3 Angka kebutuhan individu dan Upper Level vitamin dan mineral (WHO/FAO 2004, Allen 2006)

Zat gizi mikro AKI/RNI anak 1–3 tahun UL 1-3 tahun Vitamin A (µg) Vitamin D (µg) Vitamin E (mg) Vitamin C (mg) Tiamin /Vitamin B1 (mg) Riboflavin /Vitamin B2 (mg) Niacin/Vitamin B3 (mg) Vitamin B6 (mg) Vitamin B12 (µg) Asam Folat (µg) Zat Besi/Fe (mg) Seng/Zn (mg) Tembaga (mg) Selenium (µg) Kalsium (mg) Yodium (µg) Vitamin K (µg) Biotin (µg) Kolin (µg) Asam Panthotenat (mg) Magnesium (mg) Mangan (mg) Fosfor (mg) Kalium (mg) Natrium (mg) 400 5 5 30 0.5 0.5 6 0.5 0.9 150 11.6 8.3 0.56 17 500 90 15 8 20 2 60 1.2 460 Tidak ada Tidak ada 600 50 200 400 Tidak ada Tidak ada 10 30 Tidak ada 300 40 23-38 1 90 2500 200 Tidak ada Tidak ada 1000 Tidak ada 65 2 3,000 Tidak ada Tidak ada AKI/RNI: Angka Kebutuhan Individu (Reference Nutrient Intake), UL: Upper Level

Percepatan pertumbuhan dalam tinggi/panjang badan merupakan indikator kecukupan gizi yang lebih baik dari penambahan berat badan (Golden 2009). Hal ini karena penambahan berat badan itu sendiri tidak dapat menunjukkan kembalinya fisiologi, biokimia, immunologi atau anatomi yang normal. Penambahan energi yang berlebihan untuk mengembalikan kondisi dapat menjadi obesitas. Kejar tumbuh pada anak yang kurang gizi yang tidak parah atau dikenal moderately malnutrition, perlu dipertimbangkan untuk menentukan kebutuhan energi dan zat gizi antara lain: (1) jumlah jaringan baru yang dibutuhkan untuk disintesis agar mencapai komposisi normal; (2) waktu yang dibutuhkan anak untuk proses penyembuhan (recover); (3) komposisi jaringan baru (rasio jaringan adipose terhadap lean dan skeletal untuk kembali ke fungsional yang normal.

Sebagai upaya untuk mengembalikan dari kondisi wasting atau stunting maka harus diberikan baik zat gizi tipe I maupun tipe II. Untuk zat gizi tumbuh (zat gizi tipe II), penambahan diperlukan untuk kejar tumbuh sebesar 5g/kg/hari, untuk mengganti jaringan selama periode 30 hari dengan kondisi diare ringan tanpa dehidrasi. Sementara untuk zat gizi tipe I, peningkatan maksimal diperlukan karena

19 kondisi stress dan oksidasi dari lingkungan seperti kondisi yang tidak higienis dan polusi teramsuk rokok, bakteri atau toksin dari makanan dan air tercemar atau infeksi seperti malaria (Golden 2009).

Stunting adalah suatu proses yang dinamis namun anak menjadi stunting dalam waktu yang lama padahal percepatan panjang badan dapat berlangsung cepat dalam waktu beberap minggu atau bulan. Pada anak yang lebih tua akan butuh waktu lebih lama untuk kejar tumbuh dalam tinggi yang penuh, sementara pada anak dengan umur lebih dini telah teridentifikasi stunting akan lebih mudah dan cepat untuk kejar tumbuh tinggi badan. Menurut Golden (2009) menyatakan anak diatas usia 6 bulan berpotensi untuk penambahan panjang badan dengan kecepatan setidaknya 3 kali dari kecepatan normal dari penambahan panjang badan. Pada anak usia dibawah 1 tahun dapat menambah 1unit z score dalam 2 sampai 4 minggu. Pada anak yang pendek parah (-3 PB/U z-skor) usia 6 bulan dapat kembali normal PB/U (0 z-skor) dalam 6 minggu dan kejar tumbuh secara penuh dalam panjang badan selama 2 bulan (Golden 2009).

Determinan Anak Kurang Gizi (Undernutrition) dan Intervensi Gizi Undernutrition atau kurang gizi adalah dampak dari ketidakcukupan asupan makanan dan terjadinya penyakit infeksi yang berulang. Undernutrition diklasifikasikan underweight, stunting, wasting dan atau kekurangan zat gizi mikro dalam diet yang rendah kualitasnya. Secara global, satu dari empat anak dibawah lima tahun mengalami kependekan (26 % tahun 2011) yaitu sekitar 165 juta. Stunting merupakan proses yang dinamis, aktif, dan kumulatif dalam waktu yang lama san dapat menjadi indikator kurang gizi kronis. Stunting adalah anak dengan tinggi badan atau panjang badan menurut umur yang rendah lebih dari 2 SD dibawah nilai median dari standar pertumbuhan anak WHO dan terjadi karena tidak dapat tumbuh tinggi badan atau panjang badan berdasarkan potensinya.

Sebagai upaya mendukung target penurunan anak stunting sampai 40% pada tahun 2025 (165 juta anak pendek tahun 2012 menjadi 100 juta pada tahun 2025) dari consensus bersama dalam Scalling up Nutrition (SUN), WHO mengembangkan project Promoting Healthy Growth and Preventing Childhood Stunting (Healthy Growth Project). Project ini merubah fokus dari underweight ke stunting sebagai visi gizi dalam pembangunan jangka panjang. Pertumbuhan yang sehat (healthy growth) menggantikan istilah dari pertumbuhan optimal (optimal growth). Pertumbuhan optimal tidak dapat mendefinisikan target absolut dari pertumbuhan atau ukuran yang optimal. Pertumbuhan sehat (healthy growth) didefinisikan sebagai pertumbuhan linier normal sesuai standar pertumbuhan WHO dan berhubungan dengan kesehatan masa depan dan hasil fungsional yang positif (Victoria et al 2008). Pertumbuhan linier pada awal masa anak-anak menjadi marker dari pertumbuhan yang sehat (healthy growth).

Keterlambatan pertumbuhan linier atau stunting pada awal kehidupan berhubungan dengan rendahnya kemampuan kognitif dan performa pendidikan, rendahnya upah saat dewasa, hilangnya produktivitas dan meningkatnya resiko penyakit kronis gizi ketika bersamaan dengan penambahan berat badan yang berlebihan saat masa anak-anak atau childhood (Black et al 2008). Stunting juga sebagai faktor resiko meningkatnya morbiditas dan mortalitas dari penyakit infeksi.

20

Pertumbuhan yang sehat dari masa konsepsi sampai usia dua tahun pertama kehidupan adalah sebagai dasar dari pembentukan dan fungsi organ yang cukup, sistem imun yang kuat, kesehatan fisik, dan perkembangan neurological dan kognitif (Piwoz et al 2012).

Determinan kurang gizi (undernutrition) telah dikembangkan dari kerangka konsep kurang gizi dari UNICEF. Kerangka konsep gizi dan pertumbuhan optimum janin dan anak berdasarkan determinan makanan (dietary), perilaku (behavioural), dan kesehatan (health) untuk gizi, pertumbuhan, dan perkembangan yang optimum, dan pengaruh dari faktor ketahanan pangan, sumberdaya pengasuhan dan kondisi lingkungan. Kerangka konsep ini juga menggambarkan perlunya intervensi gizi spesifik untuk mengatasi penyebab langsung (immediate) dari suboptimum pertumbuhan dan perkembangan dan efek potensial dari intervensi gizi sensitif untuk mengatasi determinan tidak langsung (underlying determinants) dari masalah kurang gizi. Kerangka konsep untuk gizi, pertumbuhan, dan perkembangan optimum janin dan anak dari Lancet Series Maternal and Child Nutrition tahun 2013 (Black et al 2013) dijelaskan pada Gambar 2.

Program & Pendekatan Gizi

Spesifik

· Kesehatan remaja & gizi prekonsepsi · Suplementasi makanan ibu · Suplementasi mikronutrient atau fortifikasi · ASI & MP ASI · Suplementasi makanan untuk anak · Perilaku & stimulasi anak · Penanganan SAM · Pencegahan & penanganan penyakit · Intervensi gizi kedawatdarutan

Program & Pendekatan Gizi Sensitif

· Ketahanan Pangan & Pertanian

· Jaringan Pengamanan Sosial

· Perkembangan di Usia Dini

· Kesehatan Jiwa Ibu

· Pemberdayaan wanita

· Perlindungan Anak

· Pendidikan di kelas

· Air dan Sanitasi

· Pelayanan Kesehatan & KB

Gizi dan Lingkungan Janin dan Anak yang Optimum ASI, makanan kaya gizi, makan yang teratur Praktek pemberian makan dan kepdeulian, pengasuhan, stimulasi Beban penyakit infeksi yang rendah Ketahanan Pangan termasuk ketersediaan, akses ekonomi, & Pemanfaatan pangan Sumberdaya pemberian makan & pengasuhan (level ibu, rumah tangga, masyarakat) Akses & pemanfaatan pelayanan kesehatan Lingkungan yang aman dan higienis

Pengetahuan & evidance Politik & Pemerintahan

Kepemimpinan, kapasitas, dan sumberdaya keuangan Sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan nasional & global Morbiditas & Mortalitas anak menurun Perkembangan kognitif, motorik, sosialemosi meningkat

Performa sekolah & kapasitas pembelajar meningkat Meningkatnya Kapasitas Kerja & Produktivitas Meningkatnya tinggi

badan saat dewasa & menurunnnya Obesitas

dan PTM

Membangun Lingkungan yang mendukung · Evaluasi yang teliti &

tepat

· Strategi advokasi

· Koordinasi horisontal & vertikal · Accountable, dorongan regulasi, perundangan · Program leadership · Investasi kapasitas · Mobilisasi

Gambar 2 Kerangka Konsep Gizi dan Pertumbuhan Optimum Janin dan Anak (Black et al 2013)

21

Faktor etiologi stunting adalah komplek dan multi faktorial. Pada dasarnya etiologi dari stunting adalah faktor genetik dan lingkungan seperti gizi, morbiditas, status sosial ekonomi, dan lain-lain. Pada lingkungan yang bersifat lebih makro penyebab stunting karena pengaruh kemiskinan, kerawanan pangan, rendahnya keragaman pangan, lingkungan dengan paparan untuk infeksi yang tinggi, kurangnya fasilitas cuci tangan dan kurangnya pengetahuan tentang prinsip gizi dan hygiene. Proses menjadi stunting umumnya dimulai dari janin di perut, dan berlanjut sampai usia dua tahun. Penurunan panjang badan menurut umur terbesar selama periode pemberian makanan pendamping ASI antara usia 6 sampai 24 bulan (Dewey dan Huffman 2009; Victora et al 2010).

Selama pertumbuhan postnatal, rendahnya makanan pendamping ASI (MP ASI) baik kuantitas dan kualitas serta infeksi adalah penyebab utama stunting. Pertambahan tinggi badan lebih sensitif terhadap kualitas makanan daripada pertambahan berat badan. MP-ASI yang rendah diidentifikasikan berhubungan langsung dengan stunting (Bhutta et al 2013). Anak usia 6 sampai 24 bulan merupakan periode yang penting karena anak diperkenalkan dengan makanan lain selain ASI dan menjadi lebih mandiri dan aktif, faktor lingkyngan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan secara bersamaan. Hasil penelitian di Malawi perbedaan kumulatif tinggi badan awal dengan standar median WHO saat usia 3 tahun adalah 10 cm dan proporsi perbedaan 20% sudah ada saat lahir, 20% saat usia 6 bulan, 50% usia 6-24 bulan, dan sisanya 10% pada tahun ketiga (Maleta et al 2013; Dewey dan Huffman 2009).

Faktor resiko stunting pada anak usia 0-23 bulan berdasarkan analisa dari data RISKESDAS tahun 2010 adalan umur anak dalam bulan, berat badan lahir, berat badan menurut umur, densitas protein, status sosial ekonomi rumah tangga. Resiko stunting pada anak usia 6-11 dan 12-23 bulan adalah 1.59 dan 2.18 kali lebih besar daripada anak usia 0-5 bulan. Anak dengan berat badan lahir rendah resiko stunting 1.81 kali lebih besar dari anak yang lahir dengan berat badan normal (Hayati 2013).

Penyebab keterlambatan pertumbuhan pada anak adalah multifaktorial namun keterbatasan pertimbuhan janin (fetal) memberikan kontribusi utama stunting dan wasting anak. Kajian sistematik yang telah dilakukan pada 19 studi kohort menyimpulkan odd stunting, wasting, underweight pada anak usia 12-60 bulan berhubungan dengan SGA (small Gestational Age) dan kelahiran prematur (preterm birth) (Christian 2013). Analisa berdasarkan attributable risk maka resiko SGA-term untuk stunting 0.16 (0.12 – 0.19); SGA-preterm untuk stunting 0.04 (0.02

– 0.05) dan AGA-preterm 0.04 (0.02 - 0.06). Kombinasi resiko dari SGA untuk stunting adalah 0.02 dan kelahiran premature (preterm birth) adalah 0.07 dan 20% dari anak stunting pada usia dua tahun dikarenakan SGA. Penelitian yang dilakukan di Jawa Barat, Indonesia menyatakan pada populasi pedesaan berat badan lahir prediktor BB/U Z-score (β=0.285) dan panjang badan lahir prediktor PB/U Z-

score (β=0.492) pada usia 12- 15 bulan (Schmidt et al 2002).

Penyakit infeksi yang berat pada awal masa anak-anak seperti campak (measles), diare, pneumonia, meningitis, dan malaria dapat menyebabkan wasting akut dan efek jangka panjang pada pertumbuhan linier. Penelitian secara konsisten menunjukkan diare merupakan determinan dari penyakit infeksi yang menyebabkan stunting. Proporsi stunting karena episode selama 5 hari sebelumnya adalah 25% (95% CI 8-38) (Black et al 2013). Rendahnya praktek pemberian

22

makan adalah faktor determinan yang kuat dari stunting pada anak usia 0-23 bulan. Analisis sekunder dari Survey Kesehatan dan Demografi (SKDI) tahun 2007 menyatakan bahwa determinan dari rendahnya praktek pemberian makan pada anak usia 6-11 bulan di Indonesia adalah kurang signifikan dalam memenuhi minimum keragaman pangan atau dietary diversity (AOR = 6,36; 95 % CI 4,73; 8,56),