• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Suplemen Gizi Berbasis Lipid Dosis Kecil Terhadap Pertumbuhan Dan Kadar Hemoglobin Bayi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Suplemen Gizi Berbasis Lipid Dosis Kecil Terhadap Pertumbuhan Dan Kadar Hemoglobin Bayi"

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SUPLEMEN GIZI BERBASIS LIPID DOSIS

KECIL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KADAR

HEMOGLOBIN BAYI

NURUL MUSLIHAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ‘Pengaruh Suplemen Gizi Berbasis Lipid Dosis Kecil terhadap Pertumbuhan dan Kadar Hemoglobin Bayi’ adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

(4)
(5)

RINGKASAN

NURUL MUSLIHAH. Pengaruh Suplemen Gizi Berbasis Lipid Dosis Kecil terhadap Pertumbuhan dan Kadar Hemoglobin Bayi. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN, DODIK BRIAWAN, dan HADI RIYADI.

Anak pendek atau stunting dan anemia merupakan masalah utama pada balita di Indonesia. Pemenuhan kebutuhan energi dan zat gizi yang tinggi untuk tumbuh kembang dengan keterbatasan kapasitas lambung, dapat menjadi tantangan pada anak usia 6-24 bulan. Fortifikasi vitamin dan mineral di rumah tangga (home fortification) merupakan strategi pemberian zat gizi spesifik kepada balita yang membutuhkan densitas gizi yang tinggi seperti balita. Suplemen gizi berbasis lipid dosis kecil atau small-quantity lipid-based nutrient supplement (SQ-LNS) berbahan kacang tanah yang mengandung energi, protein, asam linoleat dan asam α-linolenat, 12 vitamin dan 10 mineral yang berhubungan dengan pertumbuhan linier, namun hubungannya dengan produksi hormon pertumbuhan dan IGF-1 pada anak baduta masih belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian SQ-LNS terhadap pertumbuhan dan kadar hemoglobin darah bayi.

Penelitian kuasi dengan rancangan community non-randomized controlled intervention yang dilaksanakan di 50 desa di 8 kecamatan, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur pada bulan Oktober 2014 sampai Agustus 2015. Intervensi gizi berupa LNS dosis kecil 1 bungkus per hari (20 g) dan biskuit MP ASI 3 keping per hari (30 g) selama enam bulan.

Tingkat kepatuhan konsumsi LNS selama 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan sebesar 71.7%, 62.7%, 59.3%. Sementara kepatuhan konsumsi biskuit sebesar 96.8%, 92.8%, 91.1%. Tidak ada perbedaan signifikan prevalensi ISPA dan diare selama penelitian (p>0.05). Prevalensi ISPA sebesar 36.3%, 35.5%, dan 35.6% dan prevalensi diare sebesar 19.3%, 22.2% dan 20.2% pada kelompok Kontrol, SQ-LNS, dan Biskuit.

Intervensi pemberian SQ-LNS dapat menunjukkan perbedaan signifikan yang lebih besar dibandingkan kelompok Biskuit dan Kontrol terhadap asupan PUFA, vitamin A, vitamin C, kalsium, Fe, dan Zn (p<0.01) namun belum menunjukkan perbedaan signifikan terhadap asupan energi, protein, dan lipid (p>0.05). Pemberian SQ-LNS 20 g dapat mengisi kekurangan asupan PUFA (omega 3 dan omega 6), vitamin A, vitamin C, kalsium, Fe, dan Zn dari makanan yang biasa dimakan terhadap kebutuhan harian.

Konsumsi SQ-LNS menunjukkan kenaikan berat badan sebesar 1.45 kg, 1.60 kg, 1.61 kg pada kelompok Kontrol, SQ-LNS, dan Biskuit (p>0.05) setelah enam bulan intervensi. Perubahan indeks BB/U pada kelompok SQ-LNS secara signifikan lebih besar (-0.05 z-skor) dibandingkan kelompok Kontrol (-0.47 z-skor), p<0.01 namun tidak menunjukkan perbedaan signifikan dibandingkan kelompok Biskuit (-0.06 skor), p>0.05. Pada kelompok Biskuit perubahan indek BB/U z-skor lebih besar dan signifikan dibandingkan kelompok Kontrol, p<0.01. Laju penambahan berat badan pada kelompok Biskuit (269 g/bulan) sedikit lebih besar dari kelompok SQ-LNS (266 g/bulan) dan Kontrol (242 g/bulan) namun tidak berbeda signifikan, p>0.05.

Setelah enam bulan intervensi, pemberian SQ-LNS menunjukkan secara

(6)

-0.09 z-skor) lebih besar dibandingkan kelompok Kontrol (7.15 cm; -0.87 z-skor) dan Biskuit (7.79 cm; -0.46 z-skor, p<0.01). Laju penambahan panjang badan pada kelompok SQ-LNS sebesar 1.43 cm/bulan yang lebih besar dan berbeda signifikan dengan kelompok Biskuit (1.29 cm/bulan) dan kelompok Kontrol (1.19 cm/bulan), p<0.01. Pemberian SQ-LNS lebih efektif untuk menahan laju penurunan pertumbuhan linier.

Prevalensi underweight sebesar 1.7% dan peningkatan prevalensi stunting sebesar 0.3% pada kelompok SQ-LNS dibandingkan kelompok Kontrol dengan RR 0.75 (95% CI: 0.27-2.11, p>0.05) menjadi underweight; dan RR 0.35 (95% CI: 0.088-1.42, p>0.05) menjadi stunting. Pemberian biskuit selama enam bulan menunjukkan penurunan prevalensi underweight 8.4% dan peningkatan prevalensi stunting 5.1% dibandingkan kelompok Kontrol dengan RR 0.43 (95% CI: 0.14-1.39, p>0.05) menjadi underweight; dan RR 0.94 (95% CI: 0.32-2.81, p>0.05) menjadi stunting. Dibandingkan kelompok Kontrol, subjek yang menerima SQ-LNS menunjukkan secara signifikan peluang penurunan insiden stunting sebesar 89% (p<0.05). Sementara subjek yang menerima biskuit menunjukkan secara signifikan mempunyai peluang penurunan insiden underweight sebesar 91% (p<0.05).

Peningkatan sekresi kadar GH pada kelompok SQ-LNS sebesar 18.55 pg/mL dan lebih besar dibandingkan kelompok Kontrol (16.98 pg/mL) dan kelompok Biskuit (4.06 pg/mL), p>0.05 namun berkorelasi signifikan positif dengan kenaikan berat badan (r=0.402, p<0.01), dan kenaikan BB/U z-skor (r=0.293, p<0.05). Peningkatan sekresi kadar IGF-1 terbesar pada kelompok SQ-LNS (8.36±3.53 ng/mL) dibandingkan kelompok Biskuit (2.81±5.73 ng/mL) dan kelompok Kontrol (-7.08±7.33 ng/mL), p>0.05 dan berkorelasi positif dengan kenaikan panjang badan (r=0.776, p<0.05), kenaikan PB/U z-skor (r=0.772, p<0.05).

Setelah tiga bulan intervensi, rerata kadar hemoglobin di kelompok SQ-LNS meningkat secara signifikan sampai 0.65 g/dl (p<0.05). Proporsi anemia menurun sampai 19.5%, yang secara signifikan dapat menurunkan insiden anemia sampai 100% (p<0.05). Pada kelompok Biskuit, kadar hemoglobin menurun sampai 0.71 g/dl. Proporsi anemia meningkat sampai 24.2% dengan penurunan insiden anemia sampai 63% selama tiga bulan intervensi (p>0.05).

Pemberian suplemen gizi berbasis lipid dosis kecil dapat menjadi salah satu intervensi dalam 1000 hari pertama kehidupan manusia dalam upaya pencegahan kejadian stunting dan anemia pada anak dibawah usia 2 tahun.

(7)

SUMMARY

NURUL MUSLIHAH. The effect of Small-quantity Lipid-based Nutrient Supplements on growth and hemoglobin level in infants. Supervised by ALI KHOMSAN, DODIK BRIAWAN, and HADI RIYADI.

Stunting and anemia among childhood is a common public health problem in Indonesia. The meeting of high energy and nutrient intake for healthy growth and development with limited gastric capacity could be challenging for children 6-24 month old. Home fortification with a multiple vitamin and mineral is a strategy for delivering specific nutrients for vulnerable group who needs high nutrient density, i.e., infant and childhood. Small-quantity lipid-based nutrient supplements (SQ-LNS) providing peanut butter with extra energy, protein, essential fatty acids, and 12 vitamins and 10 minerals. SQ-LNS can improve linear growth, meanwhile associated with growth hormone and insulin-like growth factor-1 in early infancy was unknown. The objective of the study was to assess effects of the provision small-quantity lipid-based nutrient supplements on growth, motor development, and hemoglobin concentration in infants.

A 6-month community non-randomized controlled trial was performed among infants aged 6 months who received 20 g of LNS or 3-pieces biscuit or who were controlled with no intervention. The study was conducted between October, 2014 and August, 2015 among 50 villages in 8 sub-districts, Bangkalan District, East Java Province.

Adherence to the SQ-LNS were 71.7%, 62.7%, 59.3% and adherence to biscuit was 96.8%, 92.8%, 91.1%, for 1 month, 3 month, and 6 month. Based on

mother’s self-reported, there was no significance differences in prevalence URI (upper respiratory infection), and diarrhea during the study (p>0.05). Longitudinal prevalence of URI was 36.3%, 35.5%, and 35.6% in the Control, SQ-LNS, and Biscuit groups. The prevalence of diarrhea was 19.3% in the Control group, 22.2% in the SQ-LNS group, and 20.2% in the Biscuit group.

Provision of SQ-LNS indicated the significance difference of PUFA, vitamin A, vitamin C, calcium, Fe, and Zn (p<0.01) but did not significant difference of energy, protein, and lipid intake with compared Biscuit and Control group, however SQ-LNS group. Provision of SQ-LNS can fill gaps of essential fatty acid, vitamin A, vitamin C, Fe, and Zn intake of complementary food to daily requirements.

After six- month intervention, the weight gain was 1.45 kg, 1.60 kg, 1.61 kg and not significant different among study groups (p>0.05). The change WAZ was significantly greater in SQ-LNS (-0.05 score unit) than Control group (-0.47 z-score unit), p=0.001 and not significant different in Biscuit group (-0.06 z-z-score), p>0.05. In Biscuit group, the change WAZ was significantly greater than Control group, p=0.001. Weight velocity in Biscuit group (269 g/month, 95% CI: 241-297) was greater than SQ-LNS group (266 g/month) and Control group (242 g/month) and no significant different, p>0.05.

(8)

significant greater than Control group, p<0.01. Length velocity in SQ-LNS was 1.43 cm/month was greater and significant than Biscuit group (1.29 cm/month) and Control group (1.19 cm/month), p<0.01. Provision of SQ-LNS was effective to hold decreasing of length velocity.

Provision SQ-LNS for six-month showed decreasing prevalence underweight by 1.7% and stunting by 0.3% compared to Control group had RR of RR 0.75 (95% CI: 0.27-2.11, p>0.05) of being underweight and RR of 0.35 (95% CI: 0.088-1.42, p>0.05) of being stunting. Provision biscuit for six-month showed decreasing prevalence underweight by 8.4% and increasing prevalence stunting by 5.1% compared to Control group and had RR of 0.43 (95% CI: 0.14-1.39, p>0.05) being of underweight and RR of 0.94 (95% CI: 0.32-2.81, p>0.053) being of stunting. Compared to Control group, children receiving SQ-LNS had significant reducing in the incidence of stunting by 89% (p>0.05) and incidence underweight by 91% (p>0.05).

The adjusted mean GH secretion in SQ-LNS group was 18.55±7.03 pg/mL and higher than Control group (16.98±7.08 pg/mL) and Biscuit group (4.06±5.59 pg/mL), p>0.05 and significantly correlation with body weight gain (r=0.402, p<0.01), and change of WAZ (r=0.293, p<0.05). The adjusted mean IGF-1 secretion in SQ-LNS group was greater (8.36±3.53 ng/mL) than Biscuit group (2.81±5.73 ng/mL) and Control group (-7.08±7.33 ng/mL), p>0.05 and significantly correlation with length gain (r=0.776, p<0.05) and change LAZ (r=0.772, p<0.05).

In SQ-LNS group over three-month intervention, the adjusted mean hemoglobin concentration increased significantly by 0.65 g/dl (p<0.05) and the proportion of anemia dropped by 19.5% and significant reducing in the incidence of anemia by 100% (p<0.05). In Biscuit group, the hemoglobin concentration decreased by 0.71 g/dl and the proportion of anemia was increased by 24.2% and 17.8% with reducing in the incidence of anemia by 63% over 3-month intervention (p>0.05).

Provision of small-quantity lipid-based nutrient supplement can be one of intervention for prevention stunting and anemia during the 1000 first day of life.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Gizi Manusia

PENGARUH SUPLEMEN GIZI BERBASIS LIPID DOSIS

KECIL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KADAR

HEMOGLOBIN BAYI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc 2. Dr Ir Anies Irawati, MKes

(13)

Judul Disertasi : Pengaruh Suplemen Gizi Berbasis Lipid Dosis Kecil terhadap Pertumbuhan dan Kadar Hemoglobin Bayi Nama : Nurul Muslihah

NIM : I162110041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS Ketua

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN Anggota

Dr Ir Hadi Riyadi, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Gizi Manusia

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian Tertutp: 29 Juni 2016 Tanggal Promosi : 26 Juli 2016

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2014 sampai Oktober 2015 adalah “Pengaruh Suplemen Gizi Berbasis Lipid Dosis Kecil terhadap Pertumbuhan dan Kadar Hemoglobin Bayi”.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis berikan kepada Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS sebagai ketua komisi pembimbing, beserta anggota pembimbing Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN dan Dr Ir Hadi Riyadi yang telah memberikan masukan, arahan, bimbingan dan dorongan moril selama penelitian dan penulisan disertasi ini.

Ucapan terima kasih kepada Dr Ir Budi Setiawan, MS dan Dr Ir Basuki Budiman, MS sebagai penguji prelim lisan, Prof Dr Ir Hardinsyah, MS dan Dr Anies Irawati, MS sebagai pembahas kolokium, Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MS dan Dr Ir Anies Irawati, M.Kes sebagai penguji luar komisi pada saat ujian tertutup dan Prof Dr Ir Ahmad Sulaeman, MSc sebagai pimpinan siding pda ujian tertutup atas masukan dan koreksi untuk penyempurnaan disertasi ini.

Terima kasih penulis sampaikan juga kepada Dr Ir Arif Satria, MS sebagai Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Dr Ir Budi Setiawan Ms dan Dr Rimbawan sebagai Ketua Departemen Gizi Masyarakat dan Prof drh M Rizal M Damanik, MRepSc PhD, Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS, dan Prof Dr Ir Dodik Briawan, MS sebagai ketua program studi S3 Mayor Gizi Manusia. Ucapan terima kasih dengan tulus juga penulis sampaikan kepada Guru Besar dan Bapak/Ibu Dosen Departemen Gizi Masyarakat, FEMA, IPB yang telah memberikan ilmu selama di IPB.

Penulis haturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Brawijaya, Dekan Fakultas Kedokteran, dan Ketua Jurusan Ilmu Gizi yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menempuh studi di Sekolah Pascasarjana IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan, Riset, dan Tehnologi yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) pada penulis selama menempuh pendidikan ini. Kepada Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan bantuan bahan intervensi berupa Biskuit MP ASI, Nutriset dari Prancis yang telah memberikan bantuan bahan penelitian berupa Small-quantity Lipid-based Nutrient Supplement (SQ-LNS), President Neys-Van Hoogstraten (NHF) Dr. F.P. De. Rooy yang telah memberikan bantuan penelitian dengan IN 246 tahun 2013 dan IN 259 tahun 2015, dan Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya melalui UPPM yang telah memberikan bantuan penelitian pada hibah kompetitif DPP/SPP FK UB tahun 2014, Penulis sampaikan terima kasih atas segala bantuan baik berupa bahan intervensi maupun pendanaan penelitian ini.

(16)

penulis sampaikan ucapan terima kasih, yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Bangkalan, kepala puskesmas, bidan desa, tenaga gizi dan ibu dari bayi yang menjadi subjek penelitian ini, serta petugas lapang yang bersedia melakukan pengumpulan data dan distribusi bahan intervensi dari rumah ke rumah subjek penelitian.

Terima kasih juga penulis sampaikan atas dukungan, kebaikan, ketulusan dari rekan dosen jurusan ilmu gizi FK UB, sahabat tercinta dan teman seperjuangan GMA 2011, ibu Trini, ibu Sri Yuni, Ibu Dara atas kebersamaan dan persahabatan selama studi S3, dan kakak kelas dan adik kelas dari mayor Gizi Manusia atas dukungan dan motivasi untuk menyelesaikan pendidikan ini.

Ungkapan terima kasih dan rasa hormat yang tulus, penulis sampaikan kepada Ayahanda Abi H. Salehoddin, M.Pdi (Alm) dan Ibunda Umi Hj. Siti Lutfiyah atas

do’a, kasih sayang, dan dukungan sehingga penulis dapat mencapai strata pendidikan tertinggi ini. Terima kasih kepada Adik-adik Penulis (Mustofa, Maskur saleh, Abdurahman Hidayah, Mustain Saleh, Mashuri, Nuril Mufarrihah), keluarga besar Bani Sofwan dan Bani Paiman di Bangkalan, Madura, dan bapak, ibu mertua, adik-adik ipar di Pekan Baru atas doa dan dukungannya.

Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada suami tercinta Ahmad Fadillah dan ananda tersayang Lina Ghassani Hanum atas doa, cinta dan kasih sayang, kesabaran, dukungan dan perhatiannya selama penulis menempuh studi S3.

Penulis menyadari disertasi ini masih belum sempurna, saran dan masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil penelitian ini sangat diharapkan. Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini memberi manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Bogor, Juli 2016

(17)

DAFTAR ISI

PRAKATA xiv

DAFTAR ISI xvi

DAFTAR SINGKATAN xviii

DAFTAR TABEL xix

DAFTAR GAMBAR xx

DAFTAR LAMPIRAN xxi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 4

Hipotesis Penelitian 4

Keterbaruan Penelitia 4

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Regulasi Pertumbuhan Anak 6

Kebutuhan Energi dan Zat Gizi untuk Tumbuh Kembang Anak 15

Determinan Anak Kurang Gizi 19

Pemetaan Penelitian Intervensi Makanan Pendamping ASI 22 Kerangka Teoritis dan Pemikiran Penelitian dan Definisi Operasional 32

3 METODE 37

Rancangan, Tempat, dan Waktu Penelitian 37

Jenis dan Bahan Intervensi Penelitian 37

Subjek Penelitian 42

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 42

Pengolahan dan Analisis Data 45

5 KEPATUHAN KONSUMSI SUPLEMEN GIZI BERBASIS LIPID DOSIS

KECIL PADA ANAK USIA 6-12 BULAN DI PERDESAAN 48

Pendahuluan 48

Metode 49

Hasil dan Pembahasan 52

Simpulan 57

6 PENGARUH SUPLEMEN GIZI BERBASIS LIPID DOSIS KECIL TERHADAP TINGKAT KECUKUPAN ENERGI DAN ZAT GIZI DAN

KUALITAS DIET 58

Pendahuluan 58

Metode 59

Hasil dan Pembahasan 61

Simpulan 70

7 PENGARUH SUPLEMEN GIZI BERBASIS LIPID DOSIS KECIL TERHADAP

PERTUMBUHAN DAN STATUS HORMONAL 71

Pendahuluan 71

Metode 72

Hasil dan Pembahasan 75

(18)

8 PENGARUH SUPLEMEN GIZI BERBASIS LIPID DOSIS KECIL

TERHADAP PERUBAHAN KADAR HEMOGLOBIN BAYI 92

Pendahuluan 92

Metode 93

Hasil dan Pembahasan 95

Simpulan 99

9 PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI PENELITIAN 101

10 SIMPULAN DAN SARAN 10606

Simpulan 106

Saran 106

DAFTAR PUSTAKA 107

LAMPIRAN 117

(19)

DAFTAR SINGKATAN

AKG Angka Kecukupan Gizi

ASI Air Susu Ibu

GH Growth Hormone

IGF-1 Insulin-like Growth Factor-1

IMT Indek Massa Tubuh

MP ASI Makanan Pendamping Air Susu Ibu MNP Multiple micronutrient powder

SQ-LNS Small Quantity Lipid-based Nutrient Supplements WHO World Health Organization

(20)

DAFTAR TABEL

1. Tipe zat gizi dan respon saat defisiensi 11 2. Frekuensi makan, energi dari MP ASI dan kapasitas lambung 16 3. Angka kebutuhan individu, upper level vitamin dan mineral 18 4. Kajian penelitian LNS pada anak pendek atau kurang gizi 29 5. Kajian penelitian LNS pada anak status gizi normal 31 6. Kandungan energi dan zat gizi dalam satu sajian harian

SQ-LNS dan Biskuit 38

7. Karakteristik subjek drop out dan subjek di akhir penelitian 41

8. Matrik variabel indikator 43

9. Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan SQ-LNS 55 10.Pengalaman konsumsi SQ-LNS dan Biskuit 56 11.Perbandingan rerata asupan energi dan zat gizi dari

makanan selain ASI 63

12.Proporsi anak usia 9-10 bulan menurut klasifikasi kecukupan

energi dan zat gizi 65

13.Proporsi dan rerata skor asupan makanan sumber hewani 68 14.Perbandingan rerata densitas zat gizi dari makanan selain ASI 70 15.Karakteristik sosio demografi terpilih dari subjek penelitian 76 16.Rerata data antropometri berdasarkan kelompok penelitian 78 17.Prevalensi underweight, wasting, stunting berdasarkan

kelompok penelitian 87

18.Insiden underweight, wasting, stunting berdasarkan

kelompok penelitian selama 6 bulan intervensi 87 19.Perubahan kadar GH dan IGF-1 selama 6 bulan intervensi 88 20.Koefesien korelasi status gizi, asupan energi dan zat gizi dan

status hormonal 90

21.Karakteristik latar belakang subjek 96

22.Kadar hemoglobin berdasarkan kelompok penelitian 97

(21)

DAFTAR GAMBAR

1. Fase pertumbuhan dan regulasi dalam tiga tahun pertama 6 2. Kerangka Konsep Gizi dan Pertumbuhan Optimum Anak 20 3. Kerangka konsep Intervensi Gizi Spesifik pada Siklus

Kehidupan 24

4. Kerangka Teoritis Anak Pendek 33

5. Kerangka pemikiran penelitian 35

6. Alur partisipasi subjek penelitian 41

7. Tingkat kepatuhan konsumsi selama masa intervensi 53 8. Tingkat kecukupan energi, protein, lipid anak usia 9-10 bulan 65 9. Tingkat kecukupan PUFA, Vitamin A, Vitamin C, Kalsium,

Fe, Zn anak usia 9-10 bulan 65

10.Proporsi subjek memenuhi 100% densitas zat gizi rekomendasi

dari makanan selain ASI 69

11.Tingkat konsumsi energi dan zat gizi makanan dan ASI

pada anak usia 9-10 Bulan 77

12.Kenaikan berat badan selama 3 dan 6 bulan intervensi 80 13.Kenaikan panjang badan selama 3 dan 6 bulan intervensi

menurut kelompok penelitian 81

14.Perubahan berat badan menurut umur (BB/U) z-skor selama 6

bulan menurut kelompok penelitian 84

15.Perubahan berat badan menurut panjang badan (BB/PB) z-skor selama 6 bulan menurut kelompok penelitian 85 16. Perubahan panjang badan menurut umur (PB/U) z-skor

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Ethical clearance penelitian 116

2. Gambaran produk SQ-lNS 117

3. Sertifikat analisis SQ-LNS 119

4. Surat keterangan BPOM RI 120

5. Informed consent penelitian 121

6. Ringkasan analisa statistik 125

(23)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masa emas dalam kehidupan manusia adalah 1000 hari pertama kehidupan, yaitu mulai dari konsepsi sampai anak usia 2 tahun. Asupan gizi yang tepat selama periode ini dapat menjadi landasan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat sejak masa balita sampai dewasa.

Stunting atau anak pendek dan anemia defisiensi besi merupakan masalah utama pada balita di Indonesia. Stunting atau anak pendek adalah anak dengan panjang/tinggi badan kurang dari -2 SD dari median standar pertumbuhan anak dari WHO (WHO 2007). Sementara anemia defisiensi besi adalah suatu kondisi jumlah sel darah merah tidak mencukupi kebutuhan fisioligis tubuh dan pada usia 6-59 bulan dikategorikan anemia saat kadar hemoglobin kurang dari 110 g/L (WHO, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan sebanyak 37.2% anak balita mengalami stunting atau pendek; 12.1% mengalami wasting atau kurus; dan 19.6% mengalami underweight atau berat badan kurang (Kemenkes RI 2013). Di benua asia, prevalensi stunting anak balita mencapai 36% dan Indonesia menduduki peringkat ke lima dari negara dengan jumlah anak pendek dan sangat pendek terbanyak setelah negara India, Nigeria, China, dan Pakistan (UNICEF 2009).

Prevalensi anemia defisiensi besi anak usia 6-59 bulan di dunia sebesar 42.6% (WHO 2014). Di Indonesia, prevalensi anemia anak usia 12-59 bulan sebesar 28.1% (Kemenkes RI 2013). Hasil studi di Kabupaten Bangkalan melaporkan prevalensi anak usia 6-23 bulan yang mengalami stunting sebesar 34.7%, wasting sebesar 19.0%, underweight sebesar 34.0%, dan anemia sebesar 46.7% (Muslihah 2014). Data menunjukkan prevalensi anak stunting meningkat dari 16.9% pada anak usia 6-11 bulan menjadi 40.8% pada anak usia 12-24 bulan, sementara prevalensi anemia menurun dari 58.4% menjadi 42.6% pada anak usia 6-11 bulan dan 12-24 bulan.

Keterlambatan pertumbuhan dapat menyebabkan konsekuensi jangka pendek dan panjang yang merugikan dan berhubungan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas anak, menurunnya perkembangan kognitif, motorik, sosial emosi; menurunnya performa sekolah dan kemampuan kapasitas pembelajaran; menurunnya kapasitas kerja dan produktivitas; rendahnya tinggi badan ibu saat dewasa dan meningkatnya obesitas dan kejadian penyakit tidak menular (Black et al. 2013). Kegagalan pertumbuhan selama bayi dan masa anak-anak sering tidak bisa diperbaiki atau irreversible (Martorell et al. 1994; Victora et al. 2008).

Pertumbuhan linier dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, hormon yang mengatur pertumbuhan, dan faktor lingkungan antara lain gizi, morbiditas, status social ekonomi). Penyebab anak yang kurang gizi khususnya anak pendek dipengaruhi oleh faktor ibu dan lingkungan rumah, rendahnya kualitas MP ASI, rendahnya praktik pemberian MP ASI, keamanan pangan dan air, rendahnya praktik pemberian ASI, dan kejadian infeksi (Stewart et al. 2013).

(24)

2

tingginya kejadian sakit dan rendahnya praktik pemberian makan bayi dan anak yang benar. Faktor prenatal menyumbang 20% dengan ditandai proporsi bayi lahir pendek < 48 cm sebesar 20.2% (Kemenkes RI 2013).

Selama periode postnatal setelah anak usia 6 bulan, rendahnya praktik MP-ASI diidentifikasi sebagai faktor resiko yang berhubungan secara langsung dengan stunting (Bhutta et al. 2013). Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) sangat penting dan menjadi pilar dalam pertumbuhan. Rendahnya kualitas makanan pendamping ASI memberikan kontribusi terjadi anak kurang gizi (Dewey 2003). Praktik MP ASI yang rendah merupakan faktor determinan kuat terjadinya stunting.

Kegagalan pertumbuhan umumnya mulai terjadi antara usia 4 dan 6 bulan dan terus berlanjut sampai usia 18 bulan (Maleta et al. 2003). Penurunan panjang badan menurut umur terbesar terjadi pada periode MP-ASI dari usia 6 sampai 24 bulan (Dewey dan Huffman 2009; Victora et al. 2010). Hasil penelitian di Malawi menunjukkan perbedaan kumulatif tinggi badan awal dengan standar median WHO saat usia 3 tahun sebesar 10 cm dan proporsi perbedaan sebesar 20% sudah terjadi saat lahir, 20% saat usia 6 bulan, 50% usia 6-24 bulan, dan sisanya 10% pada tahun ketiga (Dewey dan Huffman 2009; Maleta et al 2003). Di Indonesia, perbedaan panjang badan sudah dimulai sejak dini, penelitian yang dilakukan oleh Irawati et al (2008) menunjukkan perbedaan panjang badan anak laki-laki usia 4 bulan dengan rujukan WHO 2007 adalah 2.7 cm pada bayi minum ASI predominan dan 3.9 cm pada bayi minum ASI parsial. Sementara pada anak perempuan perbedaan panjang badan dengan rujukan WHO 2007 adalah 2.1 cm pada bayi minum ASI predominan dan 1.6 cm pada bayi minum ASI parsial. Anak diatas usia 6 bulan mempunyai potensi untuk pertambahan kecepatan tinggi badan minimal tiga kali dari kecepatan pertambahan tinggi badan normal (Golden 2009).

Makanan selain ASI pada anak usia 6 sampai 23 bulan membutuhkan densitas zat gizi tinggi untuk tumbuh kembang optimal (Dewey dan Brown 2003) namun keterbatasan jumlah yang dikonsumsi dan rendahnya densitas zat gizi, khususnya ketika keluarga tidak dapat menyediakan makanan sumber hewani yang sering seperti daging, ikan, telur, dan produk susu (Vitta dan Dewey 2012). Pemenuhan kebutuhan energi dan zat gizi yang tinggi untuk tumbuh kembang optimal dengan keterbatasan kapasitas lambung, menjadi tantangan pada anak usia 6-24 bulan. Pada usia 6-8 bulan, bayi yang minum ASI membutuhkan densitas zat besi 9 kali lebih besar dan densitas seng 4 kali lebih besar dari orang dewasa laki-laki. Studi di Bangkalan menunjukkan rerata asupan Fe dan Zn dari makanan selain ASI pada anak usia 6 sampai 23 bulan sebesar 2.8 mg/hari (35.2% AKG) dan 1.7 mg/hari (43.8% AKG) dan proporsi anak yang dapat memenuhi 100% dari kebutuhan harian rekomendasi dari Fe sebesar 2.1% dan Zn sebesar 3.1%. Densitas Fe dari makanan sebesar 0.7 dan Zn sebesar 0.4 dengan anak yang memenuhi proporsi 100% dari densitas Fe dan Zn yang direkomendasikan sebesar 3.8% dan 2.4% (Muslihah 2014). WHO telah merekomendasikan anak mengonsumsi makanan yang difortifikasi atau suplementasi gizi untuk memenuhi kekurangan zat gizi tersebut (PAHO/WHO 2004).

(25)

Adu-3 Afarwuah 2008). Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) sangat potensial mencegah anak pendek atau stunting namun bukti ilmiah saat ini masih beragam (Bhutta et al. 2013). Promosi MP-ASI yang optimal diidentifikasikan sebagai intervensi yang efektif untuk penurunan stunting dan variabel luaran lainnya yang merugikan (Bhutta et al. 2008).

Saat ini intervensi peningkatan makanan selain ASI dengan pendekatan fortifikasi vitamin dan mineral di rumah tangga (home fortification) dapat menjadi alternative dalam pencegahan anak pendek dan defisiensi vitamin dan mineral. Pendekatan ini merupakan strategi pemberian zat gizi spesifik kepada kelompok sasaran yang membutuhkan densitas gizi yang tinggi seperti balita dan ibu hamil secara langsung dan terdiri dari bubuk tabur multi zat gizi mikro atau Multiple Micronutrient Powder (MNP) dan small-quantity lipid-based nutrient supplements (SQ-LNS). MNP dan SQ-LNS dapat dicampur ke makanan yang biasa dikonsumsi anak sehingga tidak merubah kebiasaan dan keragaman makanan yang dikonsumsi. Kemasan MNP dan SQ-LNS dalam satuan sajian harian dan mempermudah pemberian pada kelompok sasaran. Suplemen gizi berbasis lipid dosis kecil atau small-quantity lipid-based nutrient supplement (SQ-LNS) berbahan kacang tanah yang mengandung energi, protein, asam lemak esensial, 12 vitamin dan 10 mineral. SQ-LNS dibutuhkan untuk pertumbuhan dan bertujuan untuk mencegah anak menjadi kurang gizi (undernutrition) dan meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan yang optimal (Arimond et al. 2013). Hal ini berbeda dengan MNP yang hanya mengandung vitamin dan mikro mineral. Hasil penelitian menunjukkan intervensi MNP tidak dapat meningkatan pertumbuhan linier namun efektif dalam pengurangan anemia dan defisiensi zat besi (De-Regil et al. 2011).

Intervensi MP ASI di Indonesia pada umumnya dilakukan dalam bentuk makanan, yaitu berupa biskuit dan bubur MP ASI, serta fokus pada anak kurang gizi atau MP ASI pemulihan. Biskuit adalah makanan yang biasa dimakan sebagai kudapan bagi anak atau bagian makanan utama pada anak dibawah 1 tahun. Biskuit

“MP ASI” adalah program pemerintah untuk pemberian makanan tambahan anak. Biskuit atau bubur bayi yang diproduksi secara komersial dapat dimakan langsung dan memungkinkan adanya perubahan keragaman makanan yang dikonsumsi.

Keterlambatan pertumbuhan linier adalah interaksi antara respon hormonal (hormone pertumbuhan, insulin, kortisol, dll), faktor pertumbuhan seperti Insulin-like growth factor-1 (IGF-1), binding proteins dan reseptor seluler, defisiensi zat gizi tertentu dan pelepasan sitokin selama periode infeksi. Regulasi pertumbuhan linier pada masa anak-anak (childhood) dipengaruhi oleh zat gizi dan faktor hormonal. LNS berpengaruh terhadap pertumbuhan linier, namun hubungannya dengan produksi hormon pertumbuhan dan IGF-1 pada awal masa anak-anak masih belum diketahui.

(26)

4

gambaran adanya peran regulasi hormonal? (2) Apakah pemberian LNS jumlah kecil dapat menurunkan kejadian stunting dan anemia dibandingkan biskuit?

Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian suplemen gizi berbasis lipid dosis kecil atau Small-quantity Lipid-based Nutrient Supplements (SQ-LNS) dan biskuit terhadap pertumbuhan bayi

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengkaji kepatuhan konsumsi SQ-LNS dan Biskuit

2. Mengkaji pengaruh pemberian SQ-LNS dan Biskuit terhadap tingkat kecukupan energi dan zat gizi dan kualitas diet

3. Mengkaji pengaruh pemberian SQ-LNS dan Biskuit terhadap pertumbuhan, hormon pertumbuhan, dan Insulin-like growth factor-1

4. Mengkaji pengaruh pemberian SQ-LNS dan Biskuit terhadap perubahan kadar hemoglobin bayi

5. Mengkaji dampak pemberian SQ-LNS dan Biskuit terhadap prevalensi dan insiden anak berat badan kurang (underweight), anak pendek (stunting), anak kurus (wasting), dan anemia

Hipotesis Penelitian

1. Tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin C, kalsium, Fe, dan Zn pada bayi yang menerima SQ-LNS 20 g per hari lebih tinggi dibandingkan bayi yang menerima biskuit 30 g per hari atau tanpa intervensi apapun

2. Pemberian SQ-LNS 20 g per hari dapat meningkatkan laju berat badan dan panjang badan lebih besar dibandingkan bayi yang menerima biskuit 30 g per hari atau tanpa intervensi apapun

3. Insiden anak anak berat badan kurang (underweight), anak pendek (stunting), anak kurus (wasting), dan anemia pada bayi yang menerima SQ-LNS 20 g per hari lebih rendah dibandingkan bayi yang menerima biskuit 30 g per hari atau tanpa intervensi apapun

Kebaruan Penelitian (Novelty)

1. Penelitian efikasi pertama di Indonesia dengan intervensi suplemen gizi berbasis lipid dosis kecil atau small-quantity lipid-based nutrient supplement (SQ-LNS) dalam upaya pencegahan stunting dan mengatasi permasalahan anemia

(27)

5 Manfaat Penelitian

1. Temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bukti ilmiah dari manfaat suplemen gizi berbasis lipid dosis kecil atau small-quantity based nutrient supplements untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal dan mencegah anak pendek atau stunting dan anemia defisiensi besi

2. Hasil dari penelitian ini menjadi dasar ilmiah (evidence) untuk pengembangan keputusan kebijakan dan program dalam upaya penurunan stunting dan anemia melalui peningkatan makanan pendamping ASI yang difortifikasi

3. Meningkatkan kapasitas diri bagi Penulis untuk mengelola dan mengorganisasikan sebuah penelitian bidang gizi di lapangan dan peluang bagi penulis untuk meningkat diri melalui diseminasi pada komunitas ilmiah baik di tingkat nasional maupun internasional.

4. Memberikan kontribusi dalam upaya penguatan kapasitas institusi pendidikan dan penelitian

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan melihat perbedaan pengaruh intervensi gizi melalui peningkatan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan fortifikasi zat gizi mikro dan atau zat gizi makro dengan pendekatan fortifikasi di tingkat rumah tangga. Intervensi dengan suplemen gizi berbasis lipid dosis kecil dirancang memperkaya makanan anak dengan sumbangan energi kecil dan tidak merubah frekuensi mengonsumsi ASI, kebiasaan dan keragamanan makanan yang dikonsumsi. Prevalensi anak pendek (stunting) menjadi isu global dan prioritas dalam program gizi. Upaya pencegahan penurunan laju pertumbuhan linier dan pengurangan prevalensi anemia menjadi salah satu target intevensi gizi.

(28)

6

2

TINJAUAN PUSTAKA

Regulasi Pertumbuhan Anak

Menurut model pertumbuhan ICP (Infancy-Childhood-Puberty), pertumbuhan biologi dibagi menjadi tiga periode, yaitu bayi (infancy), anak-anak (childhood), dan remaja (puberty) (Karlberg 1989). Pada fase infancy dimulai pertengahan kehamilan dan berlanjut sampai usia 3-4 tahun, awal fase childhood antara usia 6 sampai 12 bulan sampai growth spurt pubertas usia 13- 14 tahun. Fase infancy sangat tergantung pada zat gizi, sementara fase childhood didukung oleh growth hormone; dan pubertas diatur oleh sex steroid. Selama tiga tahun pertama dalah gabungan fase infancy dan childhood, Determinan utama dari kegagalan awal pertumbuhan adalah tertundanya fase childhood yang normalnya terjadi di usia 6 sampai 12 bulan. Alasan mengapa awal fase childhood pada beberapa anak tertunda masih belum jelas (Karlber et al. 1994). Sementara fase pertumbuhan dalam 3 tahun pertama kehidupan dapat dilihat pada gambar 1.

Fisiologi pertumbuhan somatik yang normal adalah interaksi yang komplek antara genetik, gizi dan hormonal dan seluruhnya bekerja dalam lingkungan seluker yang kondusif untuk pertumbuhan khususnya pada fase postnatal. Hormon pertumbuhan mempunyai peran utama dalam proses ini disamping hormon lainnya (hormon tiroid, sex steroid, dan glucocorticoid), dan faktor psikososial.

Gambar 1 Fase pertumbuhan dan regulasi pada tiga tahun pertama (Karlberg et al. 1994)

(29)

7 dengan umur tinggi dengan riwayat keluarga yang terlambat perkembangan pubertas atau growth spurt remaja yang telat); dan pendek karena riwayat keluarga atau Familial Short Stature/FSS yang ditandai tinggi badan yang proporsional dengan laju tumbuh yang normal, umur tulang normal, dan tinggi orang tua pendek (Maria 1998).

Stunting menunjukkan sebuah kegagalan untuk mencapai sebuah potensi genetik untuk tinggi (Golden 2009). Pengaruh antar generasi (intergenerational) terhadap pertumbuhan linier sudah didokumentasikan. Berat badan lahir menggambarkan kegagalan pertumbuhan intrauterine dan bayi, berhubungan dengan berat badan lahir rendah, anak stunting, komplikasi saat melahirkan dan meningkatkan kematian anak setelah dilakukan koreksi terhadap status sosial ekonomi dan intervensi gizi di Guetamala dapat menurunkan anak-anak yang stunting dan juga meningkatkan pertumbuhan generasi mendatang namun hanya pada anak turunan yang perempuan. Mekanisme yang memungkinkan untuk menjelaskan efek inter generasi terhadap pertumbuhan linier tidaklah secara eksklusif berdiri sendiri namun dipengaruhi oleh karakteristik genetik, efek epigenetik, programming dari perubahan metabolik, dan mekanisme dari berkurangnya ruang untuk janin tumbuh. Selain itu faktor sosio budaya berperan penting dalam transmisi intergenerasi dari kemiskinan dan ketakutan melahirkan bayi yang besar sehingga mengurangi makan selama kehamilan (Martorell dan Zongrone 2012).

Mekanisme keterlambatan pertumbuhan linier masih belum jelas dan kemungkinan karena tertundanya awal fase anak-anak (childhood) yang tergantung pada hormon pertumbuhan. Regulasi gizi dan hormonal berkontribusi pada kontrol pertumbuhan anak. Kemungkinan mekanisme dari pertumbuhan pendek (stunting) adalah interaksi antara respon hormonal (growth hormone, insulin, cortisol), growth factor (IGFs) dan binding protein dan reseptor seluler pada sel target, defisiensi zat gizi, dan pelepasan sitokin selama episode infeksi (Karlberg et al. 1994). Mekanisme yang pasti dibalik bervariasi pertumbuhan tulang longitudinal pada tingkat seluler belum banyak dimengerti (Nilson et al. 1994).

Pertumbuhan manusia merupakan suatu proses yang melibatkan penambahan somatik, diferensiasi dan pematangan fungsional organ. Pertumbuhan terjadi mulai saat konsepsi dan proses berlanjut sampai berhenti pada akhir masa remaja atau awal umur dua puluhan (Coley 2006). Pertumbuhan terjadi sebagai akibat adanya proses hiperplasia dan hipertropi sel.

Tinggi badan atau panjang badan merupakan indikator dari ukuran rangka tulang (skeletal) dan hal ini berhubungan dengan kandungan dan densitas mineral tulang. Anak yang tinggi menurut umurnya mempunyai massa dan densitas tulang lebih besar dari pada anak yang pendek (Zemel 2013). Pertumbuhan tulang rangka (Skeletal growth) adalah komponen pertumbuhan somatik dengan ditandai meningkatnya ukuran atau dimensi tulang dan kekuatan tulang yang dipengaruhi oleh perubahan komposisi tubuh, kematangan seksual, aktifitas fisik, gizi dan genetik (Leonard 2002). Pertumbuhan tulang longitudinal terjadi di growth plate melalui endochondral ossification.

(30)

8

penggantian yang berlanjut dari chondrocytes dari EGP oleh osteoblast pada proses yang disebut endochondral ossification (Gat-Yablonski et al. 2013). Regulasi gizi terhadap pertumbuhan masih kontroversial, pada mekanisme molekuler lokal, beberapa faktor yang meregulasi energi dalam sel dan hal ini penting untuk diteliti lebih lanjut. Hal ini juga termasuk karena faktor transkripsi seperti hypoxia-inducible factor (HIF)-1, mekanisme epigenik, microRNAs (miRNAs) (Pando 2012), dan enzim seperti mammalian target of rapamycin (mTOR) (Srinivas 2009).

Pada dasarnya pertumbuhan tulang longitudinal terjadi pada growth plate. Sebuah lapisan tipis cartilage yang memisahkan epifisi dari metafisis. Hal ini melalui suatu proses dimulai profelirasi aktif kemudian diferensiasi dan diikuti apoptosis dan kemudian mineralisasi. Pertumbuhan tulang dikendalikan oleh sejumlah gen yang mengkode untuk aksi hormone dan growth factor secara sistemik dan/atau lokal dalam growth plate (Chagin dan Savendahl 2009).

Keterlambatan pertumbuhan linier dipengaruhi oleh kekurangan zat gizi. Pada pertumbuhan prenatal atau janin sebagian besar diregulasi oleh suplai gizi dari ibu, walaupun gizi janin tidak selalu sama persis dengan status gizi ibu. Pertumbuhan janin (fetal growth) telah terbukti dapat mempengaruhi pertumbuhan linier sampai usia 2 tahun. Keterlambatan pertumbuhan linier yang mulai terjadi pada trismester kedua kehamilan yang dapat menghasilkan penurunan yang tidak sebanding baik pertumbuhan tulang (skeletal growth) maupun jaringan lunak. Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah namun cukup bulan (intrauterine retardation growth/IUGR) akan memiliki resiko menjadi stunting lebih besar dari bayi yang lahir normal. Pertumbuhan saat prenatal ditentukan oleh diet dan cadangan gizi pada ibu khususnya sebelum terjadi konsepsi, tinggi badan ibu juga dapat mempengaruhi aliran darah ke uterus dan struktur serta fungsi plasenta.

Plasenta bertanggung jawab bertanggung jawab terhadap suplai zat gizi ke janin, namun pada awal kehamilan bersifat histiotropic. Keadaaan status gizi ibu sebelum dan selama awal kehamilan akan mempengaruhi ukuran dan efikasi plasenta dan pertumbuhan janin (Blommfield et al. 2013). Ukuran uterus, insulin, IGF (insulin-like growth hormone) dan protein pengikatnya berperan dalam regulasi pertumbuhan janin (Gluckman 1989). Sementara itu pertumbuhan linier telah diketahui dangat tidak tergantung pada GH (Gluckman 1989). Penelitian yang dilakukan oleh Khan tahun 2011 menyimpulkan pemberian suplementasi makanan lebih awal pada ibu yang hamil menghasilkan proporsi penurunan stunting (rerata perbedaan 4.5 persen unit, 95% CI=1.2–7.8, p=0.01) dari awal masa bayi sampai usia 54 bulan untuk anak laki-laki, namun tidak untuk anak perempuan (p=0.31) (Khan et al. 2011). Analisis dari data RISKESDAS tahun 2007 menunjukkan resiko stunting pada anak lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) 1.81 kali lebih tinggi dari dibandingkan anak yang lahir dengan berat badan normal (Hayati 2013). Variasi fenotif dari tinggi badan adalah penjumlahan dari variasi genetik dan efek random lingkungan (Silventoinen 2008). Faktor instrinsik yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dari bayi sampai dewasa antara lain genetic, morphogen, dan hormone (Owen 1991). Sementara secara eksternal tubuh memperoleh substrat untuk membangun atau memelihara fungsi tubuh. Disamping itu kendali genetik dapat berinteraksi dengan lingkungan secara independen, seperti gen dapat mempengaruhi asupan kalori, pengeluaran dan metabolism kalori (Marti 2004).

(31)

9 dengan latar belakang genetik yang sama, dan pengurangan prevalensi stunting akan terjadi ketika populasi pindah dari lingkungan yang miskin ke yang lebih baik. Pertumbuhan fetal merupan hasil dari genetik, faktor kongenital atau lingkungan status gizi ibu. Pengaruh kurang gizi ibu terhadap pertumbuhan linier in utero mungkin lebih dari satu generasi untuk dipecahkan.

Secara umum regulasi terhadap pertumbuhan khususnya pertumbuhan linier faktor hormonal dan lingkungan. Regulasi dari faktor lingkungan terhadap pertumbuhan antara lain gizi, lokasi geografis, lingkungan fisik, status sosial ekonomi, morbiditas, dan edukasi (Martorell 1995; Silventoinen 2003; Black et al. 2008). Faktor lingkungan ini mempengaruhi baik fase pertumbuhan intrauterine dan postnatal. Dampak faktor lingkungan terhadap pertumbuhan telah diketahui dengan baik dan yang paling besar impaknya pada satu tahun kehidupan. Faktor lingkungan akan mempengaruhi variasi pertumbuhan sekitar setengah atau lebih pada usia dua tahun kehidupan dan akan berkurang seiring usia sampai sekitar 10% terhadap variasi pertumbuhan saat dewasa (Silventoinen et al. 2008). Pada kehidupan janin, kondisi uterus memberikan konstribusi setengah variasi dalam berat badan sehingga pengaruh lingkungan kuat terhadap intrauterine growth (Adair dan Pollit 1985; Dubois et al. 2007).

Pada dasarnya pertumbuhan manusia ditentukan secara genetik dan dimodifikasi secara biologi oleh faktor yang menbentuk pertumbuhan baik seca instrinsik maupun lingkungan. Pada dasaranya potensi pertumbuhan anak secara populasi hampir sama antara negara berpendapatan rendah dan tinggi (Bhandari et al. 2002; WHO 2006). Kegagalan pertumbuhan anak (childhood) pada populasi di negara-negara berpendapatan rendah dikarenakan faktor lingkungan daripada regulator pertumbuhan intrinsik secara genetik. Oleh karena penanganan faktor resiko lingkungan akan menjadi peluang eksternal untuk mengoptimalkan pertumbuhan, mencegah kegagalan pertumbuhan dan menstimulasi kejar tumbuh (catch-up growth). Pertumbuhan tulang rangka dipengaruhi juga oleh variasi genetic dan polymorphisms pada beberapa gen yang telah teridentifikasi berhubungan dengan variasi inter-individu dalan ukuran dan kadar hormone yang berhubungan dengan tulang seperti reseptor vitamin D, LDL receptor-related protein 5, insulin-like growth factor (IGF) 1 dan gen hormon pertumbuhan.

Regulasi Gizi pada Pertumbuhan Linier

Kajian pengaruh zat gizi terhadap pertumbuhan linier sudah dilakukan oleh Allen (1994). Pada negara-negara dengan pendapatan rendah, defisiensi zat gizi mikro umumnya berhubungan dengan undernutrition dan terkait dengan kegagalan pertumbuhan seperti zinc, iodine, selenium, dan asam lemak essential.

Pada sudut pandang kesehatan masyarakat, istilah tulang sehat terkait dengan kualitas rendahnya dari resiko gangguan otot rangka (skeletal) yaitu stunting, ricket & osteomalacia, dan osteoporosis dan patah karena kerapuhan tulang. Defisiensi zat gizi secara klasik yang berhubungan dengan stunting (energi, protein, Zn), ricket (contoh Vitamin D) dan abnormal tulang lainnnya (contoh Cu, Zn, vitamin C). Bukti ilmiah menyatakan puncak masa tulang dan resiko fracture dipengaruhi oleh pola pertumbuhan saat childhood dan paparan gizi saat janin, infancy dan selama childhood dan remaja (Prentice et al. 2006).

(32)

10

6(OH)2) dan ion lain yang menempel pada fibril collagen dan sekitar zat glycoproteins dan proteoglycans. Pembentukan tulang membutuhkan suplai yang cukup dari energi, asam amino dan mineral pembentuk tulang (Ca, P, Mg, Zn) dan ion lainnya (Cu, Mn, carbonate, citrate) dan vitamin (vitamin C, D, K) yang terlibat dalam pembentukan kolagen dan kristal, metabolisme kartilage dan tulang dan/atau homeostatis kalsium dan fosfat (Prentice et al. 2006).

Golden (1995) telah mengklasifikasikan zat gizi sebagai zat gizi tipe 1 (kalsium, Fe, tembaga, selenium, yodium, tiamin, riboflavin, niasin, pyridoxine, kobalamin, kolin) dan zat gizi tipe II (protein, sulfur, potassium, magnesium, fosfor, zinc, sodium, air), Tabel 1. Zat gizi tipe I dibutuhkan untuk fungsi biokimia tertentu di tubuh, sementara zat gizi tipe II merupakan zat gizi pertumbuhan yang akan membangun blok jaringan dan dibutuhkan hampir pada seluruh jalur biokimia. Menurut Golden (1995) defisiensi zat gizi tipe II adalah penyebab besarnya masalah stunting. Pada dasarnya seorang anak akan mempunyai dua cara respon ketika asupan makan tidak cukup dan ini dapat menyebabkan terjadi defisiensi zat gizi. Pertama, anak dapat terus tumbuh dengan mengkonsumsi cadangan tubuh dan kemudian terjadi penurunan dalam fungsi tubuh tergantung zat gizi yang defisiensi. Atau cara kedua, anak dapat berhenti tubuh dan akan mengambil zat gizi dalam tubuh agar dapat tersedia secara internal dan menjaga konsentrasi zat gizi dalam jaringan. Perbedaan dari kedua respon ini sangat fundamental dan hal ini dapat dilihat pada penelitian eksperimen hewan coba dan di bakteri, hewan di alam dan tanaman yang tumbuh pada tanah yang mempunyai defisiensi zat gizi yang sama. Zat gizi dimana ketika defisiensi akan memberikan respon pertama (tetap tumbuh dengan tanda atau sign dari defisiensi yang spesifik) atau respon kedua (penurunan proses tumbuh dan tidak memberikan tanda yang spesifik) disebut zat gizi tipe I dan II (Golden 1995).

Mekanisme ketika tubuh berhenti untuk tumbuh akibat respon akibat kekurangan gizi melalui pengurangan produksi hormon yang mempengaruhi pertumbuhan, reseptor menurunkan regulasi, pengurangan sintesis protein dan kegagalan pertumbuhan itu sendiri adalah sebuah tanda klinis dari defisiensi protein, Zn, magnesium, fosfor, dan kalium/potassium. Proses penurunan (turnover) di tingkat seluler mempengaruhi system imun yang pada akhirnya meningkatkan prevalensi penyakit infeksi. Hal ini memberikan garis dari penelitian observasi bahwa kegagalan pertumbuhan berhubungan dengan menurunnya respon imun, Tabel 3 dibawah ini memberikan gambaran tentang jenis zat gizi tipe 1 dan tipe II dan respon tubuh saat mengalami defisiensi.

(33)

11 oleh Imdad dan Bhutta (2011) menyimpulkan suplementasi seng mempunyai efek positif yang signifikan khususnya ketika diberikan sendiri pada anak dibawah 5 tahun. Penelitian terkini membuktikan LNS sebuah formulasi suplementasi makanan pendamping ASI dengan konsep fortifikasi rumah tangga yang mengandung makro mineral, mikro mineral essensial, dan lipid khususnya EPA/DHA dan dikenal LNS potensi untuk pencegahan dan penanganan stunting. Penelitian dengan pemberian tiga jenis MP-ASI supplemen yang difortifikasi di Ghana tahun 2007 menunjukkan anak yang diberi nutributter (LNS) mempunyai perubahan panjang badan menurut umur z-skor lebih signifikan dibandingkan dengan anak yang menerima sprinkle dan nutritab (Adu-Afarwuah et al. 2007). Faktor perbedaan ini tidak mungkin seng berdasarkan meta analisis yang sudah dilakukan (Brown et al. 2002). Pada kenyataan semua kelompok juga menerima seng. Kadar alpha asam linolenat pada kelompok yang menerima nutributter lebih besar dari kelompok lainnya sejalan dengan peningkatan panjang badan lebih tinggi.

Asam Lemak Essensial (ALE) adalah asam omega 3 (σ-linolenic acid atau ALA) dan asam omega 6 (linoleic acid atau LA). Asam lemak essesial ini tidak dapat diproduksi di dalam tubuh manusia. Fungsi ALE dan turunannnya belum dapat dimengerti sepenuhnya seperti vitamin dan mineral. Saat ini telah diketahui

Tabel 1 Tipe zat gizi dan respon saat defisiensi (Golden 1995)

TIPE I TIPE II 13. Vitamin C (ascorbic acid) 14. Vitamin A (retinol)

a) Tetap tumbuh pada tahap awal b. Tidak ada tanda klinis yang

spesifik

c. Konsentrasi jaringan dijaga dengan adanya defisiensi d. Tidak ada cadangan tubuh

dari zat gizi tersebut e. Tidak terjadi pada jaringan

tertentu

f. Berpengaruh pada

metabolisme secara umum g. Anoreksia merupakan

(34)

12

peranan penting ALE adalah berperan dalam pembentukan struktur dan fungsi penting dalan tubuh manusia khususnya dalam otak (Makrides et al. 2011). Asam lemak tidak jenuh rantai panjang atau PUFA terdiri dari ALA dan LA. Asam omega 3 atau ALA dapat dikonversi menjadi EFA dan DHA. Sementara asam omega 6 atau LA dapat dikonversi menjadi AA.

Sumber dari ALA adalah minyak/biji-biian flaxseed, walnut, beechnut, butternut, canola, kedelai (soy) dengan kandunngan tertinggi pda canola dan kedelai. Sementara sumber LA adalah minyak bunga matahari, jagung, kelapa sawit, dan kacang dengan kandungan ALA yang rendah (Huffman et al. 2011). Hasil dari penelitian menunjukkan asam omega 3 atau ALA berperan penting dalam peningkatan pertumbuhan linier dengan ditandai meningkatnya konsentrasi plasma ALA pada kelompok yang peningkatan panjang badan juga besar yaitu nutributter (Adu-Afarwuah et al. 2007). Asupan yang direkomendasikan (Adequate Intake/AI) oleh FAO untuk asam linoleat pada anak usia 6-24 bulan adalah 3.0 – 4.5 % dari energi dan asam α-linolenat adalah 0.4-0.6% energi.

Regulasi Hormonal Pada Pertumbuhan Linier

Hormon yang berperan dalam regulasi pertumbuhan adalah hormon pertumbuhan (growth hormone/GH), hormon tiroid, dan sex steroid). GH meningkatkan pertumbuhan khususnya tulang panjang dalam hal ini tinggi badan akhir, sementara aksi dari sex steroid dan hormon tiroid belum diketahui. Pertumbuhan tulang longitudinal adalah hasil proliferasi kondrosit dan osifikasi endokondral pada EGP. Growth plate adalah tempat kartilaginus yang terletak antara epipsis dan metapisis pada tulang panjang. GH dan IGF-1 mempunyai sel target yang berbeda pada EGP. GH menstimulasi dengan pembelahan prakondrosit pada lapisan sel bercabang sementara IGF-1 meningkatkan ekspansi klonal pada lapisan sel yang berkembang dari sel GH utama. Hormon tiroid memblok ekspansi klonal dan menstimulasi pematangan kondrosit. IGF-1 mRNA diregulasi oleh GH dan IGF-1 diproduksi dalam beberapa jaringan seperti hati, otot, lemak dan EGF. Gizi seperti energi dari lemak, karbohidrat, dan protein, juga mempengaruhi tinggi badan akhir, namun aksi mekanisme seluler belum diketahui (Nilsson et al. 1994). IGF-1 axis penting dalam regulasi ukuran tulang dan densitas mineral tulang yang menentukan kekuatan tukang dan data dari studi hewan coba transgenik yang melibatkan gangguan dan over ekspresi pada komponen IGF-I axis juga memberikan dukungan untuk peran utama IGF-1 pada metabolism tulang (Mohan dan Kesavan 2012).

Pada kehidupan prenatal, regulasi hormonal berlangsung sampai fase infancy sampai berakhir pada tahun pertama postnatal (Karlberg 1989). Pada penelitian hewan coba menyimpulkan pertumbuhan prenatal diregulasi setidaknya oleh morfogen dan hormone (Fowden 1995). Morfogen bertanggung jawab untuk diferensiasi organ dan hormone bertanggung jawab terhadap proses pertumbuhan secara umum. Insulin like-groowth factor (IGF) 1 dan 2, insulin dan glukokortikoid merupakan hormon yang penting dalam meregulasi pertumbuhan pada fase prenatal ini (Kaku 2007). Walaupun hormon pertumbuhan sudah ada sejak kehidupan fetal namun belum menunjukkan secara nyata regulasi pada pertumbuhan (Lee 2003).

(35)

13 saat yang sama, ini melibatkan pembentukan kembali tulang (bone remodeling) dan mempunyai pengaruh langsung pada kondrosit dari growth plate (Gat-Yablonski dan Phillip 2008).

Infeksi telah terbukti berhubungan dengan kurang gizi. Infeksi dapat menyebabkan kurang gizi (undernutrition) melalui pengurangan asupan zat gizi dan perubahan metabolism. Ketika sakit, keadaan berkurangnya asupan makan melalui penurunan nafsu makan (appetite), pengurangan absorpsi, dan kekurangan zat gizi. Penurunan asupan makan diikuti kehilangan nafsu makan umumnya pada anak sakit malaria, diare, infeksi saluran nafas dan kecacingan. Hubungan infeksi dalam hal ini diare dengan keterlambatan pertumbuhan sudah banyak diteliti. Respon inflamasi merupakan proses yang terbentuk sebagai pertahanan terhadap adanya trauma atau invasi dari organisme atau zat asing. Inflamasi ditandai dengan perubahan sistematik dan lokal dalam ekspresi dan dapat menjadi sebagai activator atau inhibitor. Pengaruh inflamasi terhadap pertumbuhan tulang dua kali. Pertama efek inflamantory sistematik yang mempunyai konsekuensi terhadap hormone, metabolism mineral dan zat gizi lainnya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tulang. Kedua mediator sitokin dari inflamasi yang menyebabkan perubahan lokal dalam regulasi sel untuk mempengaruhi proses endochondral dalam growth plate, dan aktivitas modeling dan remodeling yang berhubungan dengan pertumbuhan. Stunting sebagai hasil meningkatnya prevalensi infeksi baik sebagai ciri symptom atau subklinis. Respon metabolik dari infeksi meliputi malabsorpsi dan pelepasan sitokin dapat menjadi bagian yang bertanggung jawan terhadap kegagalan pertumbuhan pada anak. Infeksi berkonstribusi pada keterlambatan pertumbuhan melalui luka pda mukosa gastro-intestinal, hal ini menyebabkan malabsorpsi, khususnya zat gizi mikro, dan meningkatkan kemampuan untuk menyerap (permeability) antigen dan bakteri. Efek sistemik dari infeksi, yang ditandai dengan sitokin, menghasilkan banyak kehilangan zat gizi.

Identifikasi biomarker gizi diperlukan untuk dapat mendiagnosa keterlambatan pertumbuhan linier. Saat ini biomarker gizi yang digunakan untuk variabel pertumbuhan bervariasi namun belum ada biomarker tunggal yang memenuhi kebutuhan bagi endokriologist anak dan harus menggunakan kombinasi biomarker (Yackobovitch-Gavan et al. 2013). Biomarker gizi untuk pertumbuhan yang diketahui saat ini adalah meliputi:

1) Biomarker yang mengukur karakteristik fisik (penambahan berat badan, panjang badan, panjang kaki) dan adiposit pada jaringan adiposa (diukur oleh MRI) (Modi 2006); WHO telah merekomendasikan pengukuran untuk menilai penambahan pertumbuhan dengan tinggi badan atau panjang badan menurut umur, berat badan menurut umur, berat badan menurut tinggi badan/panjang badan, indekmassa tubuh menurut umur; sementara untuk melihat laju pertumbuhan dengan panjang badan, berat badan, maupun lingkar kepala (WHO 2006).

2) Biomarker untuk status zat gizi mikro (vitamin A, Fe, Zn)

(36)

14

kontroversional (Ramakrishnan 2004). Sampai saat ini Zn sebagai zat gizi mikro single menunjukkan bukti ilmiah yang konsklusif berhubungan dengan pertumbuhan (Ramakrishnan 2004). Kombinasi beberapa biomarker zat gizi mikro perlu ditetapkan. Menurut Umeta (2000) ketika Zn adalah zat gizi pembatas utama maka berhubungan secara signifikan antara kosentrasi Seng rambut dan indek fungsional fisiologis seperti pertumbuhan linier dan kepekaan indera pengecapan.

3) Leptin

Leptin secara langsung menstimulasi sekresi GH. Leptin juga mempunya efek stimulator profelirasi dan growth-plate cartilage (Gat-Yablonksi 2008)

4) IGF-1 dan IGFBPs (IGF-1 menjadi mediator utama aksi GH dan sebagai faktor pertumbuhan independent GH, sementara IGF-binding proteins (IGFBP) meregulasi bioavailability IGF-1. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kosentrasi GH dan IGF-1 responsif terhadap perubahan status gizi. Pada penelitian lain juga menunjukkan kadar serum IGF-1 dan IGFBP-3 menurun pada anak yang defisiensi sengan dan akan meningkat setelah suplementasi seng (Cesur 2009).

4) Marker pembentukan tulang dan kolagen

Sirkulasi PICP (Procollagen type I C-terminal Propeptide) mengambarkan pembentukan tulang. Bone alkaline phosphatase adalah marker spesifik untuk pembendaan osteoblast (Doherty 2002). Biomarker yang berkaitan dengan tulang adalah osteocalcin (OC). Biomarker lainnya untuk metabolism tulang antara lain pada proses pembentukan tulang atau oseteoblast biasanya dilakukan di serum (osteocalcin, bone-spesific alkaline phosphatase, procollagen peptides). Biomarker dari resorption atau disebut proses osteoclast yang diambil dari urine seperti hydroxyproline, hydroxylysine glycosides, pyridinium crosslinks.

Pengukuran untuk melihat efek suatu intervensi dengan tujuan pencegahan stunting dapat dilihat dari aspek pengukuran fisik baik dari panjang badan menurut umur secara absolut maupun laju pertumbuhan linier. Perbandingan dengan pengukuran panjang lengan dan tinggi kaki bagian bawah dapat menjadi alternatif untuk melihat proporsional tubuh (Waterlow 1994). Pada populasi kurang gizi masih belum dapat dikonfirmasi bhawa panjang kaki relatif dapat menjadi biomarker dari anak kurang gizi (Kinra et al. 2011).

Seng telah terbukti secara ilmiah menjadi zat gizi mikro yang menghambat pertumbuhan pada negara berkembang dimana anak-anak mengkonsumsi diet berbasis pangan nabati dengan kandungan atau absorpsi rendah (yeudall et al. 2005). Walaupun rasio seng dan protein relatif konstan pada makanan yang biasa dikonsumsi dari sayuran sampai daging namun ketersedian seng lebih kecil dari protein sehingga defisiensi protein selalu didahului defisiensi Seng (Golden 2009). Seng dibutuhkan untuk aktivitas lebih 200 enzim yang terlibat pada kebanyakan jalur metabolik sehingga sangat penting untuk fungsi biokimia, immunogi, dan klinis. Sebagai hasil dari fungsi yang beragam tersebut, defisiensi seng berpengaruh terhadap pertumbuhan fisik, fungsi imun, fungsi reproduksi, dan perkembangan neuro-behavioral (Hotz dan Brown 2004).

(37)

15 aktfitas metabolism lainnya. Salah satu indikator dari status seng populasi dari aspek fungsional adalah prevalensi anak pendek (stunted). Prevalensi anak yang pendek berdasarkan tinggi badan menurut panjang badan 20 % di populasi menjadi masalah kesehatan masyarakat karena resiko defisiensi Zn dan harus dilakukan intervensi gizi. Stunting telah terbukti responsif terhadap status seng. Penilaian status seng di tingkat populasi yaitu indikator biokima, dietetik, dan fungsional meliputi prevalensi asupan seng harian yang dibawah estimasi kebutuhan harian (estimated average requirement/EAR), persentase populasi dengan konsentrasi seng serum yang rendah, dan persentase anak dibawah usia lima (5) tahun dengan tinggi badan menurut umur kurang dari 2 SD Z-score (Gibson et al. 2008). Penggunakaan kadar seng rambut masih kontroversi namun bukti ilmiah menyatakan selama anak-anak (childhood), rendahnya konsentrasi seng di rambut menggambarkan status seng suboptimal yang kronis, ketika pengaruh counfonding factor kurang energi protein tidak ada. Rendahnya konsentrasi seng rambut juga ditemukan di beberapa penelitian yang berhubungan dengan indek lainnya dari sub-optimal status seng seperti terganggunya kemampuan indera pengecap, pendek, dan tinggi rasio molar fitat dan Zn di makanan (Gibson 2005).

Konsentrasi seng bervariasi menurut umur, jenis kelamin, musin, kecepatan pertumbuhan rambut, keparahan kurang gizi, dan kemungkinan warna rambut. Kajian mendatang perlu dilakukan untuk melihat seng rambut sebagai indek yang valid bagi indeks status seng rambut sub-optimal yang kronis. Tanda klinis dari defisiensi ringan yang berhubungan dengan nilai seng rambut pada bayi dan anak kurang dari 70 µg/g (1.07 µmol/g) pada musim panas (Vanderkooy dan Gibson 1987) dan kurang dari 110 µg/g (1.68 µmol/g) pada musim dingin (Gibson et al. 1989). Penelitian untuk melihat hubungan status seng rambut dan kejadian stunting untuk mengetahui apakah seng merupakan faktor pembatas pertumbuhan atau tidak. Pengukuran konsentrasi seng sebagai indikator status seng mempunyai beberapa keuntungan dan keterbatasan. Konsentrasi seng di rambut lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dari puasa yang lama, konsumsi makanan dan infeksi akut; kurang invasive disbandingkan pengambilan darah dan lebih tepat pada sasaran yang tidak dapat diterima dengan mudah untuk pengambilan darah seperti anak-anak; dan tidak seperti darah, sampel rambut tidak butuh proses yang spesifik seperti pendingin. Kelemahannya adalah keterbatasan ketersediaan referensi data dan beberapa kendala dalam interpretasi hasil (Habicht et al. 1999).

Keterlambatan pertumbuhan dapat terjadi karena tertunda awal fase childhood dimana bisa jadi GH tinggi namun reseptor GH tidak terekspresikan. Pengukuran hormonal marker menjadi potensial khususnya untuk melihat aktivitas GH dan 1. Suplementasi Zn 10 mg dapat meningkatkan secara signifikan IGF-1 plasma karena IGF-IGF-1 adalah mediator dari aksi untuk meningkatkan pertumbuhan dari growth hormone (Ninh et al. 1996).

Kebutuhan Energi dan Zat Gizi untuk Tumbuh Kembang Anak

(38)

16

pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan membutuhkan vitamin dan mineral yang tinggi (Dewey 2003). Pada periode ini ASI saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tingginya energi dan zat gizi dan perlu makanan selain ASI. Penggunaaan MP ASI yang terfortifikasi atau suplementasi telah direkomendasikan baik pada pedoman MP ASI bagi anak yang minum ASI (PAHO/WHO 2003), maupun pedoman makan bagi anak yang tidak minum ASI (WHO 2005). Pedoman itu juga merekomendasikan energi yang dibutuhkan dari MP ASI dan frekuensi makan atau kudapan yang direkomendasikan dan dapat dilihat pada Tabel 2. Frekuensi makanan harian baik makan utama atau kudapan berdasarkan referensi dari (PAHO/WHO 2004) dan kapasitas lambung.

Tabel 2 Frekuensi makan, energi dari MP ASI dan kapasitas lambung (PAHO/WHO 2003) mengalami keterlambatan pertumbuhan pada anak usia 6-8, 9-11, dan 12-23 bulan dengan kapasitas lambung 30 g/kg berat badan; b Asumsi asupan rata-rata asupan ASI

Rata-rata kebutuhan energi harian pada anak sehat usia 6-8 bulan sebesar 615 Kkal, usia 9-11 bulan 686 Kkal, dan usia 12-23 bulan sebesar 894 Kkal (Dewey dan Brown 2003). Di negara berkembang, jumlah asupan energi yang diharapkan dari MP ASI sebesar 200 Kkal (33 % dari total energi yang dibutuhkan) pada usia 6-8 bulan, 300 Kkal (45%) di usia 9-11 bulan dan 550 (61%) Kkal pada usia 12-23 bulan. Untuk mencapai kebutuhan energi tersebut butuh frekuensi makan dan densitas energi yang cukup. Energi densitas MP ASI < 0.6 Kkal/gram masih

tergolong rendah. Ketika densitas energi ≤ 0.8 Kkal/gram maka rekomendasi untuk

frekuensi makan 2-3 kali makan utama pada anak usia 6-8 bulan dan 3 sampai 4 kali pada anak usia 9-24 bulan dengan penambahan kudapan bergizi satu sampai dua kali sehari tergantung nafsu makan anak dan respon anak terhadap rasa lapar dan kenyang (PAHO/WHO 2003).

Jumlah protein yang dibutuhkan dari MP ASI pada usia 6-8 bulan sebesar 2 gram/hari (21%), usia 12-23 bulan 5-6 gram/hari (50%). ASI kaya akan lemak (30-50% energi). Dengan meningkatnya umur anak dan berkurangnya kuantitas ASI maka jumlah lemak (fat) yang dibutuhkan dari MP ASI (asumsi setidaknya 30% energi) (Dewey 2005). Kualitas lemak menjadi lebih penting dari kuantitas di MP ASI untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan.

(39)

alpha-17 linolenic acid (ALA) berperan dalam menunjang pertumbuhan linier dan meningkatkan kadar ALA di plasma dibandingkan kelompok yang hanya menerima zat gizi mikro saja (Adu-Afarwuah et al. 2007). Tahun 2006 Codex telah merekomendasikan kadar asam linoleat tidak boleh kurang dari 300 mg per 100 Kkal dan tidak boleh lebih dari 1,200 mg per 100 gram produk. Rekomendasi yang diberikan untuk anak yang mengalami MAM (Moderate Acute Malnutrition) kisaran 5:1 sampai 15:1 dari rasio asam linoleat ke asam α-linolenat.

Zat gizi mikro baik vitamin atau mineral dibutuhkan dalam jumlah besar dari MP ASI. Prosentase yang dibutuhkan beragam tergantung kadarnya di ASI. Zat gizi yang sulit untuk terpenuhi dan harus bersumber dari MP ASI meliputi Fe (97-98%), Zn (80-87%), vitamin B6 (80-90%) (Dewey 2005). WHO/FAO menggunakan RNI (recommended nutrient intake) untuk pengembangan produk pangan. RNI digunakan untuk anak usia 1-3 tahun dan dan akan sedikit lebih tinggi untuk bayi usia 6-11 bulan kecuali RNI Fe bayi lebih tinggi dari anak usia 1-3 tahun. Pada anak kurang gizi di negara berkembang, kebutuhan gizi tipe I lebih tinggi dari RNI karenan paparan stress lingkungan (polusi, asam rokok), dan infeksi. Umumnya anak yang menerima MP ASI terfortifikasi di negara berpendapatan rendah juga mengalami kurang gizi. Akibatnya standar zat gizi dengan RNI terlalu rendah karena tidak memasukkan kebutuhan untuk mengembalikan cadangan tubuh. Permasalahan lainnya adalah bioavabilitas dari zat gizi dan adanya standar CODEX dan regulasi nasional menjadi sulit untuk meningkatkan kadar zat gizi diatas RNI. Angka kebutuhan gizi atau Recommended Nutrient Intake dan upper tolerable nutrient intake level (UL) dari Vitamin dan Mineral pada anak usia 1 sampai 3 tahun dapat dilihat pada Tabel 3. UL pada tabel tersebut dilaporkan oleh WHO/FAO (Allen 2006), kecuali seng dan magnesium (WHO/FAO 2004), sementara mangan dan fosfor oleh IOM (IOM 2005).

UL adalah asupan harian maksimum agar tidak memberikan resiko yang memberikan efek merugikan pada kesehatan (WHO/FAO 2004). WHO/FAO tidak menetapkan UL pada bayi usia 6-11 bulan, namun IOM menetapkan khususnya vitamin A, vitamin D fluorine, Fe, Se, dan Zn. Hanya vitamin D dan selenium, dimana IOM menetapkan UL pada bayi 6-11 bulan lebih rendah dari UL anak usia 1 sampai 3 tahun yang ditetapkan WHO/FAO, sementara zat gizi lainnya UL lebih dari 200% RNI (IOM 2005). Golden menyatakan anak-anak di Negara berkembang, RNI dan UL terlalu rendah pada beberapa zat gizi karena kondisi yang stress dan lingkungan yang tidak mendukung dan kebutuhan untuk catch up growth (Golden 2009).

Pada anak yang mengalami kurang gizi mengalami pertumbuhan dengan kecepatan yang meningkat untuk kejar tumbuh. Kebutuhan menjadi lebih besar proporsi dari total kebutuhan dan keseimbangan untuk perubahan gizi. Diet yang lebih kaya dengan densitas zat gizi tinggi dibutuhkan untuk sintesis jaringan fungsional yang lebih cepat dari normal.

Gambar

Tabel 1  Tipe zat gizi dan respon saat defisiensi (Golden 1995)
Gambar 2  Kerangka Konsep Gizi dan Pertumbuhan Optimum Janin dan Anak
Gambar 3   Kerangka Konsep Intervensi Gizi Spesifik pada Siklus Kehidupan
Tabel 4 Kajian penelitian LNS pada anak pendek atau kurang gizi
+7

Referensi

Dokumen terkait

and total population is 2,408,995 persons. The change of land use affected to water resource availability which can be used because related to evapotranspiration and the ability

SKL Ekspor Impor Page 29 Terkait dengan kursus dan pelatihan Ekspor Impor Level IV sesuai KKNI, maka. pembelajaran lampau yang dapat diakui sebagai bagian dari

Berdasarkan latar belakang di atas perumusan masalah yang diambil dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana hasil penilaian laporan keuangan Koperasi Wanita Keluarga Sakinah

Dari beberapa teori dapat disimpulkan bahwa kemampuan matematika awal adalah kepekaan terhadap cara berpikir ilmiah dan membangun konsep yang ditunjukkan dengan

Jika matahari tinggi maka radiasi yang jatuh hampir tegak lurus pada permukaan bumi, sedangkan jika matahari rendah ma- ka radiasi akan disebarkan dalam area yang luas sehingga

membentuk lapisan &gt;e(/2 atau hidrksida yang terus menerus bertambah seiring dengan  berjalannya waktu. Piringan pisau menggunakan bahan dasar durall . Bahan dasar durall 

yang sangat nyata terhadap persentase hidup dan jumlah akar yang mana untuk keberhasilan pertumbuhan stek daun jeruk J.C sampai tahap diferensiasi akar media

Konsep dasar yang digunakan pada rancangan Pasar Tradisional adalah Ekonomis dan Hygienis,dimana hal ini menyangkut pada fungsi utama pasar tradisional sebagai